Senpai~ Suki Deshita! : Last Chapter

Cerita sebelumnya….
Baca: [Chap 1] [Chap 2] [Chap 3][Chap 4] [Chap 5] [Chap 6] [Chap 7[Chap 8] [Chap 9]

@@@

Senior oh senior… Aku mencintaimu!

Sabaku Gaara.

Masih ingatkah janjimu padaku?  Tujuanku masuk Konoha Academy adalah untuk mengejarmu. Jadikan aku kekasihmu. Tapi apa maksudnya ini, ternyata diam-diam kau sudah punya pacar. Lalu aku dianggap apa? Oh, hanya seorang adik kelas yang kau sayangi. Ya, baiklah, aku mengerti. Meski sakit hati dan terpuruk karena itu. Tapi kau tahu, sekarang sudah tidak lagi. Akhirnya aku bisa ucapkan selamat tinggal pada dirimu yang tak membalas cintaku dan pada diriku yang pernah mencintaimu.

“Sayonara, senpai.”

Uchiha Sasuke.

Apa maumu sebenarnya, heuh? Menyebalkan. Senang mempermainkanku? Mencuri ciuman pertamaku, mengusikku, dan sekarang kau curi juga hatiku. Kau anggap apa aku? Mainanmu? Kekasihmu? Orang yang kau cintai? Ya, apapun itu, aku bahagia bersamamu. Kuserahkan seluruh perasaanku dengan tulus padamu. Bersamamu kini kuawali cinta yang tak ingin kuakhiri.

Aishiteru, senpai.

@@@

Senpai~ Suki Deshita! : Last Chapter

Chapter: 10
Pair: Sasuke Uchiha x Sakura Haruno
Rate: T
Genre: Romance, Friendship, Comfort
Disclaimer: NARUTO © MASASHI KISHIMOTO
Length:  6.821 words
WARNING: OOC, AU, typo, alur GaJe cerita se-mau-gue. *Warning inside!*

Story by
Me!! [FuRaha]

If you don’t LIKE?

Read?

Don’t Read?

Up to You!!!

~Itadakimasu~

*
*
*

Awan kelabu tebal menyembunyikan sosok mentari. Menjadikan pagi ini terlihat suram. Seiring jutaan tetes air pun jatuh bercucuran. Gerimis kecil membawa pula udara yang berhembus dingin. Seandainya ini hari libur, orang-orang pasti lebih memilih meringkuk dalam selimut atau menikmati secangkir cokelat panas daripada berjalan di bawah lindungan payung, seraya menyusuri jalanan basah dan berkubang. Dimana cipratan lumpur akan sedikit mengotori sepatu, menimbulkan noda kecoklatan pada kaos kaki putih yang kaukenakan.

Tuk..

Kurasakan ada yang menyentuh bahu kiriku. Lekas aku menoleh namun tak kudapati siapapun. Dan ketika kuputar kembali kepalaku kearah sebaliknya, satu jari langsung menyerang pipiku, membuatku berteriak kaget. Sementara orang jail itu tertawa kecil, puas melihat reaksiku.

“Hihihi~ kena kau.” kata seorang pemuda berambut merah yang terkikik geli berdiri dihadapanku kini.

“Huh, kak Gaara. Usil deh.” dengusku setengah kesal padanya. Permainan kekanak-kanakan seperti ini dulu sering dia lakukan untuk sekedar menggodaku.

“Maaf~” kata Gaara dengan wajah sama sekali tak menunjukkan penyesalan. Kurasa dari awal dia memang sengaja berniat iseng padaku. “Maafin aku ya, Saku-chan.”

“Hmm,…” Aku picingkan mata, menatap ragu Gaara yang balas mengeluarkan jurus puppy eyes-nya. Ugh~ siapa yang tega melihat wajah imut lelaki itu sekarang. Maka dengan senang hati akhirnya aku maafkan. “Iya deh, tapi jangan lakukan lagi ya kak?”

“Hahaha, ga janji ah.” balas Gaara sambil nyengir.

Kami berdua kembali berjalan. Kuperhatikan Gaara yang tak berpayung. Membiarkan dirinya begitu saja terkena tetesan hujan. Gerimis memang nyaris reda, tapi kalau dibiarkan, butiran kecil air yang turun dari langit itu pun tetap akan membuatnya basah. Merasa tak tega biarkan dia kehujanan, perlahan kuangkat payung merahku sedikit lebih tinggi. Mengundang Gaara masuk dalam lindungan.

“Nih, kau yang pegang.” tawarku padanya.

“Sankyu~” kata cowok itu sambil tersenyum, lekas mengambil alih pegangan payungku. Berganti dia yang memayungi.

Kami berdua berjalan berdampingan bersama dibawah satu payung. Seraya menyusuri jalan menuju gerbang Konoha yang mulai terlihat, obrolan ringan pun menghangatkan suasana. Sedikit berbasa-basi, menanyakan kabar, hingga mulai menceritakan sesuatu yang konyol dan tak penting. Membuat kami tersenyum, tertawa dan memperlihatkan beragam ekpresi lain. Silih berganti di wajah kami masing-masing.

“Oh, jadi benar Matsuri yang menceritakan semuanya pada SFC?”

“Mereka bertanya soal foto itu. Kau tahu sifat Matsuri, dengan senang hati dia menceritakan semuanya.” kata Gaara, “Sebal kan? Kau marah padanya? Kalau dia tak cerita tentang gadis di foto itu adalah kau, mungkin kejadian tempo hari tak akan terjadi.”

Aku menggeleng pelan, “Tidak. Aku tidak marah. Sebal sih iya, awalnya. Tapi tidak kok. Matsuri tak bersalah. Dia hanya menceritakan hal yang memang dia ketahui.”

“Lagian, kami juga tak tahu kalau hubungan kalian berdua dirahasiakan. Aku sendiri baru tahu hari itu. Mengejutkan. Kupikir sejak kapan kau dan Sasuke mulai bersama. Kau tak pernah cerita. Menyebut namanya dihadapanku pun tidak. Tahu-tahu sudah ada orang bernama Sasuke itu, jadi pacarmu.”

“Haha~ yah, memang mengejutkan. Aku juga sama lho, soal Matsuri.” balasku tak mau kalah.

Gaara langsung membuang muka, seolah enggan membicarakan hal itu. Dan aku juga sama. Tak mau lagi membahasnya. Karena rasanya seperti mengorek kembali luka lama.

“Tapi kau pacaran dengan orang berbahaya.” Gaara kembali membuka pembicaraan.

“Apa maksudmu? Sasuke tak jahat. Kalau kemarin dia tak cepat datang dan menemukanku, mungkin…” aku bergidik kala mengingat kejadian tempo hari. “Pasti akan sangat mengerikan. Mereka serius melakukannya. Tapi syukurlah dia menyelamatkanku. Aku senang Sasuke selalu ada saat aku membutuhkannya. Melihat Karin, aku tak mengerti kenapa kecemburuan bisa membuat orang senekat itu. Padahal apa salahnya kalau Sasuke punya pacar, Sasuke kan cuma…”

“Tidak. Ini salahnya.” kata Gaara, “Sasuke bersalah.”

Diam sesaat. Kugulirkan pandanganku melihat kearah lelaki berambut merah itu, menanti dia kembali bicara.

“Jangan lupa Sakura, karena Sasuke-lah mereka menyerangmu. Dan kupikir ini masih belum selesai. Fansnya banyak dan selama kau tetap menjalin hubungan dengan dia, hal seperti kemarin bisa saja terjadi lagi.”

Sesuatu dalam dadaku bergejolak. Terus terang aku tak suka mendengar ucapannya. Meskipun Sasori juga berpikir seperti itu, tapi omongan Gaara rasanya lebih terkesan menyudutkan. “Kau mau bilang kalau aku tak pantas jadi pacar Sasuke?” tanyaku kemudian.

“Bukan begitu, yang tak pantas pacaran denganmu itu justru Sasuke. Kau bisa dapat yang lebih baik dari dia.”

“Oh, ya?” kusunggingkan bibirku, “Siapa yang lebih baik dari Sasuke? Apa itu kau?”

Sejenak Gaara terdiam. Wajahnya berubah serius mendengar pertanyaanku. “Sakura, aku…”

Melihat ekspresinya sekarang, itu malah membuatku terkekeh pelan, “Hehe, bercanda kok.” Selaku kemudian, “Anggap aku tak bilang. Barusan kesannya seperti aku sedang mencoba menggodamu ya?”

“Iya.” Gaara mengangguk. Tersenyum tipis, “Dan aku tergoda lho, Sakura.”

“Hah? Hahaha~…” tawaku kian terdengar jelas. Lucu juga si Gaara ini.  “Aku bilang kan bercanda.” kataku sambil menyenggol pelan bahunya, yang langsung dibalas cowok itu dengan menyenggol lagi bahuku.

Sejenak kami tertawa. Suasana tak mengenakan tadi seketika hilang. Kembali berganti canda. Dan saat-saat seperti ini rasanya sedikit mengingatkanku pada masa lalu.

“Eh, kau masih ingat kedai dango yang ada di simpang jalan dekat sekolah kita dulu?” tanya Gaara. “Sudah lama ya tidak kesana.”

“Iya.  Aku juga kangen makan disana. Apa kabar nenek penjualnya ya? Apa beliau masih sehat-sehat saja? Aku ingat dia selalu memberiku bonus satu tusuk dango. Baik sekali.”

“Kapan-kapan kesana yuk, Sakura.” ajak Gaara.

Aku mengangguk setuju, “Iya, aku akan bilang pada Sasuke. Kau juga hubungi Matsuri. Kita pergi sama-sama. Sepertinya kali ini akan lebih menyenangkan.” Aku teringat acara kencan sepulang sekolah kami berempat waktu itu. Betapa sengsaranya aku melihat GaaMatsu. Tapi sekarang pasti akan berbeda. Aku bersama Sasuke dan itu bukan lagi sandiwara.

“Hmm, harus sama mereka juga ya?” tanya Gaara.

Aku mengernyit, menatapnya heran. “Tentu saja kan, masa hanya kita berdua. Orang bisa salah paham.”

Gaara mengangkat sebelah alisnya, “Iya sih, kau benar.”  Dia mendengus. Ada kekecewaan dalam raut wajahnya. “Hanya saja, terkadang aku juga sedikit merindukan saat-saat bersama kita tanpa mereka.”

Eeeh??….

Hatiku berdesir mendengarnya. Arah pembicaraan ini mulai terasa aneh. Heran dengan sikap Gaara yang berubah kembali memikirkanku. Apa ucapannya sungguh-sungguh? Apa dia benar enggan ada Sasuke atau Matsuri diantara kami, kenapa?

Ada satu kemungkinan yang kemudian terbesit dibenakku kini. Jangan-jangan Gaara…

Tidak. Aku menggeleng. Cepat mengenyahkan pikiran itu. Aku tidak mau berpikir Gaara sekarang mulai menyesal atau  menyimpan perasaan lain padaku. Meski ada bagian dalam hatiku yang masih berharap padanya, tapi tidak. Aku tidak mau kalau itu sampai terjadi. Karena rasanya pasti akan sulit dan menyedihkan.

“Sakuraaa~” panggil seseorang, membuyarkan lamunanku. Aku lekas menoleh kebelakang dan mendapati seorang gadis berambut pirang ekor kuda berlari-lari kecil menghampiri.

“Ino!!” aku balas berteriak memanggil namanya sembari melambaikan tangan.

“Nih.” Gaara menyerahkan payungku kembali, “Lain kali kita bicara lagi ya Sakura. Jaa~…” pamit lelaki itu langsung berlari pergi menuju gedung sekolah diseberang sana. Sejenak kupandangi sosoknya sebelum berlalu jauh.

“Heh, kau, dasar pengkhianat!” bentak Ino begitu datang. “Kau itu sahabatku bukan sih? Tak beritahu aku, tiba-tiba sudah pacaran dengan kak Sasuke. Lalu pagi-pagi sudah selingkuh dengan kak Gaara. Apa kau sungguh Sakura yang kukenal? Siapa kau sebenarnya, heuh?”

“I, Ino~…” Aku jadi tak enak hati berhadapan dengannya. Sudah kukira dia akan marah dan menyerangku dengan rentetan pertanyaan tentang kejadian kemarin. “Maaf.” Tak ada kata lain yang lebih baik dari ini yang bisa kuucapkan sekarang.

“Baik, akan kumaafkan asal kau cepat ceritakan semuanya padaku. Sedetail-detailnya.” kata Ino lekas menarik tanganku, mengajak masuk kedalam gedung sekolah.

Baru saja sampai dan tanganku lepas dari pegangan Ino, tiba-tiba ada orang lain yang cepat mencengkeram tanganku lagi. Aku tersentak. Menjatuhkan payung yang kugenggam di tanganku itu. Terkejut ketika kembali aku dibawa pergi. Bukan oleh Ino, karena gadis itu pun sama kagetnya denganku. Blue Sapphire-nya membelalak tak percaya melihat sesosok lelaki berambut raven itu muncul. Tanpa basa-basi langsung menyeretku.

Sasuke…

Langkah kaki kami terhenti begitu sampai di sisi koridor lain yang terlihat sepi. “Hei, ada apa sih?” tanyaku heran. Lelaki itu tak menjawab, hanya onyx-nya yang menatap tajam. Melihat ekspresi wajahnya yang dingin sesaat membuatku takut.

“Sasu…” bibirku baru terbuka, hendak kembali bertanya. Namun satu kata pun tak selesai aku ucapkan. Lekas terkunci rapat oleh bibirnya. Emerald-ku membulat, bersama dengan degup jantung yang berpacu cepat. Tak kupercaya dia akan menciumku tiba-tiba seperti ini.

Entah kenapa rasa takut tadi kian menjalar dalam diri. Sasuke terlalu memaksa. Aku tak suka. Membuatku ingin lepas dari perlakuannya. Kucoba menghindar tapi dia malah makin ganas melumat bibirku. Sementara lidahnya mulai menyeruak masuk, menginvasi seluruh isi mulutku. Kedua tanganku dipegangnya erat. Aku jadi tak bisa berontak.

Usai melepaskan pagutan itu pun Sasuke lekas menarikku kedalam pelukannya. Kurasakan kedua tangannya yang terkepal mencengkeram erat bajuku. Seolah tak ingin biarkan aku lepas. Aku makin tak mengerti dengan sikapnya ini. Tapi daripada aku yang tadi merasa takut, kupikir justru ketakutan itu ada pada Sasuke sekarang.

“Ada apa sih?” / “Kau milikku, kan?”

Dua pertanyaan itu keluar bersamaan dari mulut kami masing-masing. Tapi hatiku langsung bergetar ketika mendengar bisikannya.

“Kau milikku, kan?” daripada disebut pertanyaan, itu lebih terkesan penegasan.

Perlahan Sasuke mengendurkan dekapannya. Aku menengadah memandang wajahnya yang jauh lebih tinggi. Dalam diam, mata kami hanya saling bertatapan. Sudah kuduga onyx itu menyimpan kecemasan yang tak biasa. Sebenarnya ada apa, dalam hati aku masih bertanya-tanya.

“Aku tidak suka melihatmu bersamanya.” lanjut pemuda itu.

Deg!…

Aku langsung teringat Gaara. Apa mungkin Sasuke tadi melihat kami jalan bersama?

“Sasuke, aku…”

“Jangan buat aku cemburu, Sakura.” Sasuke menatapku lekat. “Kau milikku, kan?!”

Aku terkekeh pelan. Menarik bibirku dan membuat satu senyuman. Kuangkat sebelah tanganku dan meletakkannya di pipi wajah tampan pemuda itu. Membelainya lembut. “Iya, Sasu. Aku milikmu. Tak ada yang perlu kau cemaskan. Gaara itu cuma masa lalu.” jelasku padanya.

Sejenak Sasuke menghela, menggulum senyuman. Wajahnya tampak lebih manis. Meski tak mau terang-terangan menunjukkan perasaannya, kurasa dia pasti senang mendengar jawabanku. Melihatnya seperti ini, sekarang aku tahu betapa dia mencintaiku.

“Percayalah padaku.” kataku seraya mendaratkan kecupan singkat di sudut bibirnya.

Gaara adalah masa lalu.

“Sayonara, senpai.” Waktu itu sudah kuakhiri perasaanku dan membuang diriku yang pernah mencintainya. Kuharap hatiku tak akan goyah.

Jadi Sasuke, sungguh tak ada yang perlu kau cemaskan.

“Hn. Baiklah. Aku percaya.” balas Sasuke.

@@@

Karin cs resmi dijatuhi hukuman skors 1 bulan oleh sekolah. Ditambah masa pengawasan dan masuk dalam daftar hitam. Sasuke tampaknya tak suka. Padahal dia berharap mereka sekalian saja dikeluarkan dari sekolah. Tapi bagiku, asalkan mereka jera, kupikir tak masalah. Tak ada lagi SFC. Tak ada lagi ancaman. Dan bisa menjalani hari-hari damai dan bahagiaku bersama dirinya itu sudah cukup.

Tapi tentu saja fans Sasuke itu tak hanya Karin. Hubungan kami bukan lagi jadi rahasia. Meskipun memang sejak awal kami tak sepakat jadian, tapi sekarang semua orang sudah tahu aku kekasihnya. Beragam respon bermunculan. Dari yang turut senang dan mengucapkan selamat, hingga terkejut, kecewa dan mengucapkan sumpah serapah agar kami tak bahagia. Kebanyakan itu dilakukan fansgirl-nya dari berbagai angkatan. Seperti kata Sasori, aku benar-benar sudah jadi musuh dalam masyarakat.

Setelah kejadian tempo hari pun terkadang masih sering kudapati perlakuan kasar SFC. Delikan mata tajam mereka. Pandangan kesal. Menunjukkan kebencian. Cibiran. Yah, kalau sebatas itu mungkin masih bisa tahan. Setidaknya tak ada yang berani menjahiliku secara ekstrim.

Pernah suatu hari kudapati bangkuku dalam keadaan penuh coretan dan sampah. Ada juga yang sengaja mencuri buku-bukuku di loker, lantas dikembalikan dengan kondisi rusak atau basah. Baju olahraga juga sempat hilang dan begitu ditemukan sudah kotor penuh jejak sepatu. Belum lagi beragam sms iseng berisi kata-kata kutukan. “Mati”, “Putus”, “Tak tahu diri”, “Kau tak pantas untuk Sasuke!” hal-hal semacam itu. Pernah juga teror telepon di tengah malam. Yang begitu kuangkat hanya terdengar keheningan atau deru nafas seseorang. Membuatku merinding ketakutan.

Sasuke tentu tak tinggal diam. Dia begitu melindungiku. Akan sangat marah bila pelakunya berhasil ditemukan. Tak membiarkan sesuatu yang buruk terjadi padaku lagi. Lama kelamaan mereka pun tak berani secara langsung menghadapiku. Meski ini juga tak sepenuhnya berakhir. Beberapa orang diam-diam masih suka usil.

Sraakk… Pletak…

“Aw~….” Aku meringis. Langsung menengadah melihat kearah balkon lantai dua. Nampak dua orang gadis dengan cepat menghindar, kabur sebelum kukenali wajah mereka.

“Ya ampun Sakura, kau tak apa-apa?” cemas Ino sembari melihat keadaanku.

Aku menggeleng. Rasanya tak begitu sakit. Hanya saja barusan entah apa yang mengenai kepalaku. Ketika kuperhatikan keadaan sekitar, kudapati beberapa bungkus plastik, kaleng minuman, bola-bola kertas dan debu-debu kotoran berserakan di lantai. Mungkin ada salah satu benda keras dari sampah-sampah yang mereka lempar tadi mengenai kepalaku.

“Keterlaluan. Buang sampah sembarangan. Mereka pikir kau ini apa. Itu senior kan, anak kelas tiga.” kesal Ino seraya membersihkan rambutku yang kotor. “Kau harus laporkan ini pada Sasuke. Biar mereka diberi pelajaran.”

Aku hanya tertawa kecil mendengar omelannya. Aku yang jadi korban, tapi malah Ino yang marah. Sebenarnya aku sendiri pun kesal. Tapi rasanya percuma kalau hanya megeluh. Toh aku juga tak tahu siapa yang melakukan ini padaku.

“Haaa~ Sakura, gawat!!” panik Ino tiba-tiba. “Itu, itu di kepalamu ada…”

“Apa? Ada apa? Cepat singkirkan dariku.” Aku ikut panik. Takut di kepalaku ada ulat bulu atau semacamnya.

Wajah Ino mengkerut, perlahan diangkatnya sedikit helaian rambutku. Aku punya firasat buruk mengenai ini. Ketika aku pun menyentuh benda lunak, basah nan lengket diatas rambutku itu.

“Ah~ Sh*t! Permen karet!” teriakku tak percaya. Benar-benar keterlaluan. Kenapa harus bubble-gum, diatas rambut softpink-ku lagi. “Aah~ sebel. Gimana nih?” rengekku bercampur kesal.

“Cepat bersihkan, Sakura.” usul Ino, “Aku ambil sisirku dulu ke kelas ya.”

“Iya, cepat ya. Kutunggu di kran air sana.” kataku sebelum gadis itu ngacir.

Aku membungkuk, menundukkan kepala di bawah kran. Sambil meraba-raba bagian belakang kepalaku, kukumpulkan helaian rambut yang terkena permen karet tadi.  Perlahan kuputar kran itu dan rasa dingin langsung menyerang begitu airnya jatuh membasahi.

“Iih, sebel…” dengusku, dengan susah payah mencoba sedikit demi sedikit membersihkan permen karet itu sendiri. Meskipun tak yakin ini akan berhasil atau justru malah membuatnya melebar dan mengenai bagian rambutku yang lain. Kuharap Ino cepat datang dan membantuku. Posisiku sekarang benar-benar sulit.

Tap…

Terdengar bunyi langkah kaki mendekat.

“Ah, Ino, coba lihat, bagian ini sudah bersih belum sih?” tanyaku masih menunduk membersihkan rambutku.

“Sakura?” Yang balas adalah suara bariton seorang cowok.

Aku sedikit mengangkat kepala. Menggulirkan pandangan menyusuri jenjang kaki panjang sosok yang berdiri didekatku itu hingga sampai ke wajahnya. Walau dari suara tadi sebenarnya sudah kukenali siapa dia. “Kak Gaara?”

Dahi lelaki bertato ‘Ai’ itu berkerut, mengernyit heran melihatku. “Sedang apa kau?”

“Ah, ha ha ha~…” aku tertawa hambar.

Rasanya malu sekali. Pasti sekarang aku terlihat aneh dimatanya. Membasahi rambutku seperti ini, memangnya sedang keramas.

“Ano~ senpai, rambutku kena permen karet.” lanjutku sambil nyengir. Gaara hanya ber-‘Oh’-ria mendengar penjelasanku. “Sambil menunggu Ino aku coba membersihkannya sendiri, hehe.”

“Hmm, mau kubantu?” tawar Gaara.

“Eeh, gak usah kak.” Aku menolak. Tapi Gaara lekas mendekat, ikut memegang rambutku. “Aduh kak, jangan. Ini kan jijik. Kotor.” kataku coba hentikan dia.

“Gak apa-apa kok. Aku bantu. Pasti susah kalau sendirian.” kata Gaara yang kurasakan tangannya dengan lembut mulai menarik helaian rambutku. Membersihkan permen karet itu sedikit demi sedikit. “Kenapa bisa sampai seperti ini? Rambutmu sudah cantik, warna bubble-gum alami, masih ingin diolesi permen karet, ckckck.”

“Iih, memangnya aku sengaja. Mana mungkin, kan?” protesku padanya.

“Terus?” tanya Gaara.

“Ada yang usil.” jawabku.

“Siapa?”

“Err, entahlah.”

“Fans Sasuke?”

Aku diam saja, tak menjawab tebakan Gaara yang tepat itu.

Sesaat menyusul tawa kecil terdengar darinya. “Sudah kuduga. Pasti Sasuke.”

“Fans-nya.” Aku coba koreksi.

“Fufufu~ kau bela dia lagi.” cibir Gaara.

“Tentu saja, dia kan pacarku.” kutegaskan kalimat itu.

“Huh, pacarmu ya.”

“Hn.”

Hening sejenak. Yang terdengar hanyalah bunyi air yang mengalir. Dalam diam, kurasakan tangan kami tak sengaja bersentuhan setiap kali Gaara menyapu lembut helaian rambutku. Suasananya jadi aneh. Aku mulai merasa tak nyaman. Berada dekat bersamanya seperti ini tiba-tiba membuatku jadi berdebar.

“Ehm, sudah cukup kak, makasih.” kataku seraya sedikit menghindar darinya. Menepis sekilas tangan itu.

“Eeh, tapi belum bersih lho.” kata Gaara,

Aku angkat kepalaku menghadap wajahnya. “Ah, ini udah lumayan. Sisanya biar aku tunggu Ino saja.” kataku seraya menyisir rambutku ke sisi kanan leher dengan jari. Tetesan air jatuh dari tiap helaian soft-pink itu ketika aku meremasnya dan mencoba sedikit mengeringkannya.

“Hmm, aku pergi dulu. Sampai nanti.” pamitku seraya melenggangkan kaki.

“Tunggu.” cegah Gaara, langsung menahan lenganku. “Kenapa kau jadi seperti ini sih Sakura?”

Langkahku terhenti. Kembali berbalik. “Hah, Apa maksudmu?” tanyaku, benar-benar tak mengerti apa maunya lelaki ini.

“Kau sengaja menghindariku.” kata Gaara.

“Tidak. Aku hanya takut ada orang lain yang melihat kita dan jadi salah paham. Jadi tolong lepaskan tanganku!” pintaku padanya, setengah memaksa. Karena Gaara terlihat seperti ingin terus menahanku.

Gaara berdecih. “Tch, maksudmu Sasuke?”

“Hn.” Aku mengangguk pelan, sedikit menundukkan pandangan.

“Dia terlalu mengekangmu?”

“Tidak. Bukan gitu.”

“Lalu kenapa? Aku sudah mengenalmu jauh sebelum dia. Dan melihatmu sekarang, tiba-tiba berubah, menghindariku, menjaga jarak, kau tahu bagaimana perasaanku diperlakukan seperti itu olehmu?”

“Maaf, tapi aku sungguh tidak bermaksud menghindar. Aku hanya…”

“Yah, tak masalah sih.” sela Gaara, “Itu masih lebih baik daripada melihat kalian bersama. Jujur saja, belakangan ini hatiku sering gelisah. Aku kesal. Resah. Tak sudi melihatmu dengan Sasuke. Menurutmu kenapa aku bisa merasa seperti ini?”

“Mana aku tahu.” Kugulirkan pandanganku ke arah lain, menghindari Zambrud hijau pucat yang menatap lekat itu. “Kau bicara seolah kau cemburu.”

“Sakura…” Aku tersentak. Tanpa kusadari tenyata Gaara sudah berada dekat denganku. Jarak kami sekarang hanya terpaut dua langkah. Dekat sekali. Kugeser kakiku, mundur kebelakang. Tapi tiba-tiba tangan kananku dipegangnya.

“Kak Gaara, apa yang kau…” Aku berusaha menarik kembali tanganku, tapi dia malah menggenggamnya erat.

“Aku menyukaimu.”

Emerald-ku membulat tatkala mendengar kalimat itu terucap darinya. Seketika jantungku berdegup kencang, nyaris tak percaya. Suka? Gaara suka padaku?

“Hahahaha…” aku tertawa kecil, mencoba menghalau rasa gugup. “Jangan bercanda kak. Jangan ucapkan rasa suka yang tak lebih dari perasaan seorang kakak terhadap adik itu dengan wajah serius begitu. Nanti orang bisa salah mengartikannya.”

“Rasa suka yang ku maksud bukan itu, Sakura. Aku tak menganggapmu sebagai adik. Aku…” sejenak Gaara terdiam, makin lekat menatapku. “Oh, jadi itu sebabnya? Begitu? Yang pernah coba kau katakan padaku waktu itu adalah ini? Sekarang aku mengerti.”

“Tidak.” Dengan paksa kurebut kembali tanganku darinya. Berganti meletakkannya diatas dada. Kucengkeram rasa sakit yang tiba-tiba merasuk.

Situasi seperti ini tak pernah kuduga akan benar-benar datang. Ketika Gaara sadar. Ketika dia menyadari maksudku dulu. Sewaktu pernah kuungkapkan perasaanku padanya. Sewaktu dia tak mengerti rasa suka seperti apa mauku. Sekarang dia bilang dia mengerti. Dia bilang dia memiliki perasaan yang sama sepertiku dulu. Rasa suka seorang pria terhadap seorang wanita. Bukan menganggapku sekedar adik kelas kesayangannya. Rasa suka yang dulu sangat kuharapkan.

“Kau menyukaiku. Jadi selama ini kau suka padaku kan Sakura? Kau mencintaiku.” lanjut Gaara, berbicara seolah puas.

Aku menggeleng, “Tidak. Hmm, iya sih. Tapi itu dulu. Sekarang tidak lagi. Aku sudah membuangnya. Aku menyukai Sasuke. Dihatiku sekarang hanya ada dia.”

“Hahaha, mana mungkin.” Gaara tak percaya.

“Hentikan kak, jangan dibahas lagi. Kau bicara seperti ini tak ingat dengan Matsuri? Bagaimana bisa kau menyukaiku?”

Raut wajah Gaara langsung berubah. Pertanyaanku tadi tepat sasaran.

“Aku suka padamu, kau suka padaku, itu sudah tak penting lagi sekarang.” lanjutku.

“Tapi kalau kau mau, kita bisa mulai lagi dari awal.” Gaara mencengkeram kedua bahuku. Membuatku takut memikirkan apa yang hendak dilakukannya. “Lupakan Sasuke dan Matsuri. Pikirkan tentang kita saja. Jangan bilang kalau rasa itu sepenuhnya sudah hilang, Sakura.”

“Tidak. Jangan!” panikku ketika perlahan Gaara mendekatkan wajahnya.

Dia pasti sudah gila. Hendak menciumku. Aku lekas berpaling, menolak maksudnya. Dan bibir lembut pemuda itu berhasil mendarat disudut bibirku. Nyaris saja.

Tapi…

Haaah??!!

Aku terbelalak. Seketika Emerald-ku menangkap sosok berambut raven itu berdiri tak jauh sambil menatap kami. Sama terkejutnya denganku.

Sejak kapan?

“Sasuke…” desisku tak percaya. Lekas aku mendorong tubuh Gaara menjauh. Seiring melangkahkan kaki menghampiri pemuda bermarga Uchiha itu.

Sasuke berjalan melewatiku. Mendekati Gaara dan tanpa basa-basi langsung melayangkan satu pukulan keras ke wajahnya.

Buk… Gaara sampai tersungkur.

“Kyaaa~…” teriakku melihat kejadian yang berlangsung cepat itu.

“Apa yang coba kau lakukan padanya?” geram Sasuke, menarik leher kemeja seragam Gaara.

Gaara berdecih, menyeka pipi kirinya yang tadi kena pukul. “Hanya mencoba mengambil kembali milikku.” balas pemuda itu sambil menyeringai.

“Beraninya kau…”

Buk… Sasuke kembali memukul Gaara.

“Kau pikir kau siapa?”

Buk…

“Sialan!!”

Buk…

“Sudah cukup!!” teriakku. “Hentikan, Sasuke!!” lekas kutahan tangannya sebelum pukulan ke lima mengenai Gaara. “Cukup. Jangan pukul dia lagi.”

Onyx itu mendelik, menatap tajam. Jelas dia pasti tak suka aku mencegahnya dan terkesan seperti sedang membela Gaara.   “Tch,…” Sasuke menepis tanganku seraya menghempaskan Gaara. “Ya, terserah-lah!” desisnya kemudian melengos pergi.

“Tidak. Tunggu. Tunggu dulu Sasu…” panggilku, langsung mengejarnya. “Jangan salah paham.” Aku tahan bahunya, coba hentikan dia.

“Aku paham Sakura.” kata Sasuke. Lelaki itu sedikit menoleh, menunjukkan ekpresi dingin. Kemarahan masih nampak diwajahnya.

“Tidak. Ini tidak seperti yang kau pikirkan. Tadi Gaara hanya…”

“MAKANYA AKU BILANG AKU PAHAM!” bentak pemuda itu setengah berteriak.

Langsung membuatku membeku. Cairan bening perlahan berkumpul diatas irisku. Menatap sosoknya dengan perasaan takut. Baru kali ini kulihat Sasuke begitu marah.

“Karena orang itu dia makanya aku sangat paham.” lanjut Sasuke, “Kau tak akan semudah itu melupakannya dan berpaling padaku.”

Aku menggeleng. Membantah tuduhannya. “Tidak, Sasu. Sepenuhnya itu sudah hilang. Kau sendiri yang menghapusnya. Percayalah padaku.”

Sasuke menurunkan tanganku dari atas bahunya. Menatapku teduh. “Cukup, Sakura. Aku tak mau dengar lagi. Sepertinya sekarang dia juga sudah menyukaimu. Itu bagus, kan? Cintamu berbalas. Jadi lakukanlah sesukamu. Aku tak peduli.” ucapnya seraya kembali berbalik dan melenggang pergi.

Aku tak mau dengar lagi…. Lakukan sesukamu…. Aku tak peduli….

Dalam kepalaku kalimat itu terus menerus berulang. Tak peduli? Dia bilang tak peduli padaku? Sasuke~…

Seketika itu air mataku tumpah. Menatap nanar punggung tegap pemuda dengan model rambut mencuat itu berlalu pergi begitu saja.

“Hik… hik… hik…”

Gaara mendekat. Tangannya hendak menyentuh bahuku, namun cepat aku menepisnya. “Pergi kau!” bentakku padanya.

Lelaki itu balas menatapku penuh rasa bersalah, “Maaf.” ucapnya kemudian.

Tubuhku bergetar dan kudekap kuat-kuat. Air mataku terus mengalir meski kugigiti bibir bawahku agar jangan sampai terisak. Sementara dalam hatiku seperti ada sesuatu yang menusuk. Sakit. Aku merasa sakit.

Sasuke~

Di jalan setapak menuju gedung barat, ada sebuah pohon Sakura besar dimana dibawahnya terdapat sebuah bangku kayu tempatku biasa duduk menunggu. Sambil menikmati pemandangan taman sekolah dan sejuknya udara yang berhembus, terkadang aku bersenandung kecil menanti jam pelajaran dikelasnya selesai. Tak lama, perhatianku akan teralih, ketika kugulirkan pandanganku melihat sosok itu mendekat.

Jenjang kaki panjangnya melenggang santai. Berjalan sambil memasukkan sebelah tangannya kedalam saku celana, sementara sebelahnya lagi menenteng tas diatas bahu. Blazer seragam Konoha sengaja dia pakai sekenanya. Begitupun dengan dasi yang dipasang tak rapih dan satu kancing kemeja yang terbuka. Angin sepoi memainkan anak-anak rambut raven miliknya. Yang berponi acak dengan sedikit lebih panjang dibagian sisi kiri dan kanan. Sempurna membingkai wajah stoic rupawannya. Meski jarang dia perlihatkan pada yang lain, tapi kepadaku, bibir itu menarik satu garis senyuman.

“Ayo kita pulang.” Ajak pemuda itu sambil mengulurkan satu tangan putihnya.

“Ayo.” Dengan perasaan gembira, aku pun ikut tersenyum seraya meraih tangan itu.

Lalu sambil bergandengan tangan, kami berjalan pulang bersama. Begitulah. Selalu seperti itu.

Tapi tidak kali ini….

Senyumnya, ajakannya, uluran tangannya, tak ada. Bahkan sedikitpun dia tak melirik padaku. Sosoknya berlalu pergi begitu saja. Sesaat waktu seakan berhenti ketika kusadari Sasuke mengacuhkanku. Sakit dalam dada kembali terasa. Semarah itukah dirinya sampai bersikap seperti ini?

“Sasuke…” panggilku.

Pemuda itu tetap berjalan seolah tak mendengar.

“Sasu…” / “Heh, kau! Uchiha!”

Panggilanku barusan tertelan suara lain. Yang lebih keras dan tegas.  Suara yang berhasil membuat si-empunya nama itu berhenti sejenak. Menengok ke arah pemuda bertato ‘Ai’ di kening yang memanggilnya dengan nada tak mengenakan. Aku pun sama terkejutnya ketika melihat Gaara berdiri tak jauh dari kami.

“Bisa bicara sebentar?” tanya Gaara.

“Tch, tak ada yang perlu dibicarakan, baka!” kesal Sasuke.

Kelas baru saja selesai. Banyak siswa yang mau pulang sekolah berhenti sejenak memperhatikan kami. Suasana memanas tadi siang kembali terasa. Semoga saja kali ini Sasuke dan Gaara tak sampai berkelahi.

“Apa lihat-lihat? Memangnya disini ada tontonan menarik, heuh?” bentak Sasuke pada kerumunan siswa-siswa itu. “Sana pergi!”

Melihatnya semarah itu, semua orang langsung pada bubar. Meski beberapa tampak masih penasaran, mencuri-curi pandang.

Sasuke menyunggingkan bibirnya. Melirikku dan Gaara bergantian. “Tch, kalian berdua. Mau bilang apa juga aku tak peduli.”

“Benar kau tak perduli? Kau mau membiarkan Sakura begitu saja?” tanya Gaara.

Aku sebenarnya tak begitu suka berada di tengah situasi seperti ini. Tapi aku pun penasaran dengan jawaban Sasuke. Apa yang akan dikatakannya, apa dia sungguh tak peduli lagi padaku?

“Hn.” Tak berucap apapun, lelaki itu kembali berbalik dan langsung melengos begitu saja.

Apa?!

Memandang Sasuke yang berlalu pergi, tanganku terkepal. Merasa geram. Sial. Rasanya aku kesal sekali. Aku tidak suka diperlakukannya seperti ini. Ketakutanku makin menjadi. Kupikir kalau aku tetap berdiam diri, selamanya mungkin aku akan kehilangan dirinya.

“Sakura, kau lihat sendiri kan, orang itu tak bisa lagi diharapkan. Dia meninggalkanmu.” kata Gaara. “Sebaiknya sekarang kau…”

“Tidak.” Aku menggeleng. Aku tidak mau kalau sampai hal itu terjadi.

Maka tanpa mempedulikan ucapan Gaara, aku pun berlari. Ku ambil langkah dan terus mengejarnya. Sosok Sasuke didepanku itu. Kuulurkan tanganku hendak meraihnya.

“Sasuke…” Kupeluk dia dari belakang. Mendekapnya erat. “Jangan tinggalkan aku.” kataku dibalik punggung tegapnya.

Langkah kaki Sasuke terhenti. Hening sejenak. Dia masih terdiam. Meski aku berkata seperti itu dan memeluknya erat sekarang. Membuatku sedih hingga air mataku kembali tumpah.

“Maaf Sasuke. Aku yang bodoh. Aku yang tak berguna. Aku yang tak peka. Tak memikirkan perasaanmu.” ucapku, terisak dipunggungnya. “Kau boleh marah. Kau boleh memukulku. Kau boleh mencaciku. Tak apa. Asal kau tak acuhkan aku. Tak meninggalkanku. Aku mohon Sasuke, tetaplah disisiku.”

Kucengkeram erat bajunya, sungguh tak ingin lepas. Tersentak ketika kurasakan tangan Sasuke pun mulai memegang kedua tanganku yang melingkar diperutnya. “Sakura…” Suara rendahnya menyebut namaku. “Ternyata aku memang tidak bisa…” lanjut pemuda itu. Membuat perasaanku makin tak karuan.

Aku berdebar dan semakin sakit ketika perlahan dia mencoba mengendurkan dekapanku. Sampai akhirnya tanganku pun lunglai dijatuhkannya.

Begitukah?

Hatiku melengos. Seolah jiwaku hilang. Terhempas jauh. Merasa kehilangan tenaga. Aku pun nyaris terjatuh. Tapi detik berikutnya….

Grep….

Sesaat tak percaya ketika kepala berhelaian raven itu menelusup pada celah antara leher dan rambutku. Kedua tangan kokohnya kini berbalik melingkar ditubuhku. Memasukanku dalam pelukan. Mendekapku erat. Sampai buatku merasa sesak.

“Ternyata aku memang tak bisa mengabaikanmu Sakura.” bisiknya.

“Sasuke…” Perlahan kukendurkan pelukannya. Berganti menatap intens onyx itu. Sementara jari-jarinya dengan lembut mengusap pipiku. Menyeka air mata yang tadi sempat mengalir.

“Kau menangis karena aku?” gumam Sasuke, tampak bersalah. “Maaf.”

“Tidak. Kubilang ini salahku. Aku yang bodoh. Padahal kau pasti lebih sedih dariku.”

“Kau benar. Hatiku kesal. Aku cemburu. Lelaki mana yang tahan melihat gadisnya disentuh pria lain. Aku pasti sudah gila kalau tadi tak menghajarnya. Apalagi orang itu adalah dia. Orang yang pernah berarti bagimu. Tapi kau malah terang-terangan membela dirinya dihadapanku. Aku benar-benar marah.”

“Bukan. Maksudku tadi bukan begitu. Aku hanya tak mau kalian sampai berkelahi cuma karena aku. Tapi jadinya kau malah salah paham.”

Sasuke menghela, menundukkan pandangan. Menempelkan keningnya di keningku. Berbicara saling berbisik.

“Aku takut Sakura. Aku selalu merasa takut kau lebih memilih dia. Kupikir kau tak akan mengejarku tadi. Jadi sebenarnya yang tak ingin kehilangan adalah aku.”

“Aku juga tak ingin kehilangan dirimu Sasu, makanya kukejar. Sudah kubilang tak ada yang perlu kau cemaskan. Percayalah padaku. Padahal kau sendiri yang membantuku menghapusnya. Memberiku kebahagiaan lain yang tak pernah kusesali. Gaara adalah masa lalu. Dan aku memilihmu.”

“Sungguh?” tanya Sasuke kembali menegakkan kepala.

Aku mengangguk mantap.

“Tapi dia suka padamu, kan?”

“Tapi aku suka padamu.”

“Bohong.”

“Aku suka Sasuke.” jawabku penuh semangat. “Suka. Suka. Suka. Suka. Suka. Suka. Suka. Suka. Suka. Suka….”

“Cukup.” potong Sasuke. Perlahan tangannya sedikit mengangkat daguku lalu memberikan satu kecupan lembut diatas bibir, “Aku percaya. Dan aku juga menyukaimu.”

Senyumku seketika itu langsung mengembang. Sungguh merasa bahagia. Perlahan kurasakan pipiku terasa panas. Pasti merona.

“Hmp, Kau ini. Orang-orang pada lihat tahu.” gumamku malu, menggulirkan pandangan ke kiri dan kanan. Beberapa siswa tampak berbisik-bisik melihat kami.

“Aaah~…” Sejenak Sasuke menghela nafas lega. “Biar saja. Jangan pedulikan. Sudah selesai. Ayo kita pulang, Sakura.”

“Hn.” Aku mengangguk. Tak menunggu dia mengulurkan tangan, aku duluan yang langsung merangkul lengan itu.

‘Senangnya…’ pikirku.

Dan juga mungkin pikirnya.

‘Bisa berjalan seperti ini lagi bersamamu.’

@@@

Musim semi, tahun ajaran baru.

Aku mengengadah, menatap matahari yang bersinar terik menyilaukan mata. Sungguh hari yang cerah. Dengan semburat awan putih tipis seperti kapas menghiasi langit biru yang terbentang luas. Kuhirup dalam-dalam wangi angin yang berhembus sejuk. Mengingatkanku pada kenangan di hari itu.

“Heh, kau! matamu jangan jelalatan ya!”

Aku tersentak mendengar bentakan itu. Langsung menggulirkan pandangan jauh ke seberang lapangan sana. Suara Sasuke sampai terdengar kemari.

“Hihihihi….” Disebelahku Ino terkikik geli. “Tak kusangka tahun ini anak kelas tiga juga ikut diturunkan mengurus mereka. Jadi teringat pas kita orientasi dulu ya Sakura. Lihat, kak Sasuke tetap kejam seperti biasa.”

Aku mengangguk setuju.

“Dan sekarang sepertinya dia malah makin populer. Gimana tuh, pasti langsung dikeceng anak baru.”

“Haha, biar aja, pacarnya kan tetap aku seorang.” kataku dengan perasaan bangga.

“Huh, padahal dulu siapa ya, yang sesumbar begitu membenci cowok itu? Tapi sekarang malah berbalik sangat mencintainya.” cibir Ino, “Dasar, sudah kuduga kelak pasti kau akan terpikat juga padanya.”

Aku terkekeh. Menjulurkan sedikit lidahku. “Itu karena ada banyak hal yang sudah dia lakukan untukku, membuatku terpesona.”

“Aih~ so sweet.” goda Ino. “Baguslah kalau kau bahagia bersamanya.”

“Ya, sangat bahagia.” kataku sambil tersenyum, seraya melayangkan pandangan kearah Sasuke.

“Eh,eh,  lihat tuh. Anak itu mirip denganmu dulu.” Ino menunjuk seorang gadis berambut navy blue panjang sepunggung yang tertunduk lesu dimarahi Sasuke. “Sial sekali dia, kena marah terus. Anaknya ceroboh dan kikuk sih. Pantas saja jadi incaran. Ckckck~ Atau jangan-jangan memang benar sedang diincar lagi, sama…” Ino melirik padaku. Menggulum senyum mencurigakan.

“Apa?” tanyaku, “Kau mau bilang Sasuke sedang mengincarnya?”

Gadis berambut pirang ekor kuda itu hanya mengangkat bahu. “Siapa tahu aja kan. Secara tuh cewek lebih manis darimu.”

“Huh, sialan kau.” dengusku kesal sembari mencubit pipi tembem Ino.

“Aaw, sakit tahu.” Ino menepis tanganku.

“Jangan bicara sembarangan. Sasuke tak mungkin berpaling dariku.” kataku dengan penuh keyakinan.

“Iya, iya, aku kan tadi cuma bercanda.”

Untuk kesekian kalinya kulirik kembali jam tanganku. Sudah sepuluh menit berlalu dari waktu biasa kami bertemu. Tak biasanya Sasuke terlambat seperti ini. “Apa terjadi sesuatu?” pikirku. Kesal menunggu, aku putuskan untuk beranjak mencarinya. Berjalan berkeliling sekitar sekolah.

Melewati koridor kelas dua, senyumku langsung mengembang kala melihat lambang kipas merah putih diatas jaket biru khasnya. Berdiri memunggungiku, memperlihatkan tatanan rambut ravennya yang mencuat kebelakang. Aku melangkah perlahan seraya mendekatinya. Bermaksud ingin memberi kejutan. Tapi aku sendiri malah yang terkejut, ketika kusadari ternyata Sasuke tak sendiri.

Dia tengah bicara dengan seseorang. Gadis manis berambut navy blue dengan mata lavender-nya yang cantik. Anak kelas satu kikuk dan ceroboh yang selalu kena damprat Sasuke pas masa orientasi kemarin. Kalau tidak salah namanya Hyuga Hinata. Dia sepupu Hyuga Neji, mantan ketua OSIS dulu yang sekarang sudah lulus dari Konoha.

“Se, selama ini aku, aku merasa kagum. Aku masuk Konoha juga karena ingin mengejar cintaku. Makanya, aku mohon senpai, aku… terimalah ini.” ucap Hinata seraya menyerahkan sebuah amplop pada Sasuke.

Eeehh~… Aku syok bukan main. O-M-G. Sasuke lagi ditembak sama dia.

“Hn. Baiklah.” jawab Sasuke.

WHAT THE?!

Emerald-ku membulat tatkala mendengar pula jawaban lelaki itu. Apa-apaan ini? Hatiku terasa panas. Bisa-bisanya dia bilang gitu. Menerima Hinata jadi pacarnya. Lalu aku dianggap apa.

“Heh, tidak bisa!” bentakku dengan geramnya berjalan menghampiri mereka. SasuHina tampak terkejut melihatku datang tiba-tiba. “Sasuke itu milikku. Jangan coba-coba kau dekati dia ya!” kataku pada Hinata.

Siiiiiing….

Suasana hening sejenak. Bibir Hinata bergetar memperlihatkan kegugupannya. Lavender itu pun menatapku takut.

“Ano~ senpai, sebenarnya aku…”

“Hahaha….” Disebelahku Sasuke tertawa kecil.

Dengan tatapan sebal, aku mendelik padanya. “Malah ketawa lagi, apanya yang lucu?!”

“Kau manis Sakura.” kata Sasuke, sambil mengangkat sebelah alisnya. “Pas bilang aku milikmu dengan tampang serius gitu. Haha…”

“Hiih, bukan itu masalahnya sekarang. Kau serius mau pacaran dengannya, heuh?!” tuduhku.

Tawa di wajah Sasuke seketika hilang. Tersenyum pun tidak. Kembali pada ekspresi dinginnya. Sejenak lelaki itu menatapku lekat. Entah kenapa aku jadi merasa takut. Jangan-jangan dia serius dengan Hinata dan mau minta putus dariku. Ugh~ Memikirkannya saja sudah buat hatiku sedih.

“Yang tadi tidak jadi.” kata Sasuke kembali melihat Hinata. “Kupikir aku juga malas. Kau lakukan saja sendiri.”

“Eh, apa maksudnya?” Aku mengernyit. Makin tak mengerti. Apalagi melihat wajah Hinata tampak kecewa.

“Tap, tapi aku tak berani…”

“Kalau si Dobe sih pasti senangnya bukan main. Aku yakin dia bakal terima kamu.”

“Eeeh? Dobe itu Naruto kan?” cengangku, “Jadi yang disukai Hinata…”

Gadis itu langsung blushing, dengan wajah semerah kepiting rebus. “Ma, maaf, sudah membuatmu salah paham. Karena mereka sahabat dekat, tadinya aku mau minta kak Sasuke menyampaikan surat cintaku pada kak Naruto.”

“Oh, gitu…” kataku sambil garuk-garuk kepala yang tak gatal. “Jadi malu, hehe…”

“Huh, dasar kau ini…” cibir Sasuke, mengacak-acak rambutku gemas.

Dari jauh kulihat Naruto cuma nyengir. Tampak malu-malu ketika menerima kertas merah jambu yang diserahkan Hinata dengan gugup. Sebenarnya aku masih ingin tahu apa yang akan terjadi pada mereka setelahnya, tapi Sasuke keburu menyeretku pergi.

“Gak ada kerjaan ngintip orang mau jadian.” kata Sasuke.

“Eh, jadi kak Naruto sudah pasti menerima Hinata?” tanyaku dengan bersemangat.

“Hn.”

Ya, apapun itu, aku ikut merasa senang melihat Hinata berhasil menyampaikan perasaan tulusnya pada Naruto.

Sampai di tangga turun menuju lantai satu, langkahku terhenti ditengahnya. Sasuke tampak heran melihatku, “Ada apa?” tanyanya.

Aku tersenyum. Tiba-tiba teringat masa lalu. “Tempat ini penuh kenangan.”

Menanggapi perkataanku, Sasuke hanya mengangkat sebelah alisnya. Enggan ikut bermelankolis.

“Aku pernah jatuh dari tangga dan kau menolongku. Lalu kita…” Aku gigiti bibir bawahku, malu-malu melihat kearahnya.

“Ah, kalau yang itu aku juga ingat.” kata Sasuke.

“Kurasa mungkin perasaan kita sudah mulai ada sejak saat itu.” lanjutku, yang langsung ditanggapi Sasuke dengan anggukan setuju.

“Disini, aku juga mengungkapkan perasaanku pada Gaara.”

“Tch,…” Sasuke tampak kesal, “Kalau yang itu aku tak mau ingat.”

“Tapi kau menarikku pergi sebelum aku benar-benar hancur.”

“Ya, ya, hebat kan aku.” kata Sasuke dengan bangganya.

“Nee Sasuke, kalau seandainya tadi senior yang disukai Hinata adalah kau, apa kau akan menerimanya?” tanyaku penasaran.

“Apa maksudmu seperti seseorang yang kukenal, yang sampai rela mati-matian masuk Konoha cuma buat kejar senior yang lama dia keceng, eh, pas nyatain ke si cowok itu ternyata dia udah punya pacar.”

“Huh, kau menyindirku.” balasku sebal, “Iya, misalnya kau ada di posisi itu, bagaimana? Apa yang akan kau lakukan?”

“Hn.”

“Cepat jawab!” desakku, “Apa kau pun akan goyah seperti Gaara?”

Tangan kanan Sasuke terangkat lantas membelai lembut pipiku. Sementara Onyx-nya menatap lekat. “Tentu saja tidak. Aku kan tak selemah dia.” kata Sasuke seraya mengecup bibirku lembut.

“Hihihi~…” aku tertawa kecil, “Ini ciuman kita yang keberapa ya setelah yang pertama kita lakukan disini?”

“Hn. Yang pasti bukan yang terakhir.” Sasuke kembali mendaratkan bibirnya. Sengaja menyibakkan rambutku, menelusupkan jari-jarinya ke belakang tenguk leher. Membuatku bergidik geli menerima sensasinya. Dengan mudah kecupan ringan itu jadi french kiss. Saling melumat. Memainkan lidah. Bertukar saliva. Dan…

“Ehem,…” sela seseorang yang langsung merusak suasana romantis diantara kami.

“Kak Gaara.” kaget juga aku, mendapati pemuda itu muncul dan berdiri di ujung anak tangga paling bawah.

Sekilas dia tersenyum, “Maaf mengganggu. Tapi lain kali jangan ciuman di tengah jalan dong. Cari tempat lain.”

“Hehe…” aku nyengir menanggapinya. Sementara Sasuke berdecih kesal. Kehadiran Gaara memang selalu merusak suasana hatinya. Meskipun ini sudah lama berlalu sejak terakhir kali mereka berseteru memperebutkanku.

Ah~ kesannya aku belagu sekali sampai jadi bahan rebutan dua cowok tampan ini. Tapi itulah faktanya, pemirsa (?)

“Mau kemana kak?” tanyaku sedikit berbasa-basi.

“Ke kelas. Ada barang yang ketinggalan.” jawab Gaara.

“Oh, gitu…” Aku hanya mengangguk-angguk, pura-pura ngerti.

Sementara Sasuke sudah mendelik sebal padaku. Dia memang paling tak suka kalau melihatku mulai bersikap sok akrab dengan Gaara. Jadi kuputuskan untuk menyudahi saja pembicaraan kami.

“Kalau gitu cepat kak, sebelum ada yang ambil.” kataku seraya mempersilahkannya lewat.

Gaara mengangguk setuju. “Iya, harusnya kusadari itu lebih cepat. Lekas kuambil sebelum diambil. Karena setelah hilang, aku pasti akan menyesal.”

Aku tersenyum kaku, mendengar perkataannya yang seperti sedang membicarakan hubungan kami bertiga.

Jenjang kaki panjang lelaki itu pun mulai melangkah menaiki anak tangga. Sasuke lekas menarikku semakin dekat dengannya ketika Gaara berjalan melewati kami. Sekilas pale green Zambrud milik pemuda itu mendelik.

“Oh iya, kulihat hubungan kalian berdua baik-baik saja.” Gaara berhenti sejenak dan kembali menoleh.

“Tch, tentu saja. Memang apa yang kau harapkan, heuh?!” balas Sasuke.

“Aku mengharapkan kebahagiaan Sakura.” jawab Gaara. Membuatku terperangah. Tak kukira dia akan berkata seperti itu. “Kau menjaganya dengan baik kan?” lanjut pemuda itu.

“Tak perlu cemas.” kata Sasuke. “Kau lihat dia tak kekurangan satu apapun kan?”

“Hmm, baguslah kalau gitu.” Gaara menggulirkan pandangannya kembali menatapku. “Sakura, kalau kau tak bahagia bersamanya, cari aku ya.” lanjut pemuda itu, setengah bercanda. Tapi langsung bikin Sasuke naik darah. Dan aku hanya terkekeh pelan.

“Jangan harap!” kata Sasuke seraya melingkarkan kedua tangan kokohnya memelukku dari belakang. “Kau itu cuma masa lalu. Sedangkan aku sudah berikan masa depan pada Sakura.”

Perlahan tangan itu mengusap-usap perutku. Aku jadi geli dibuatnya.

“Eeh, Sasu~…” Apa sih yang sedang dipikirkannya, sengaja melakukan ini didepan Gaara. Bikin cowok berambut merah itu pun terbelalak.

“Wah, hubungan kalian sudah sampai sejauh itu?” Gaara sedikit menyunggingkan bibirnya, “Kalau gitu selamat.”

Hah? Selamat buat apa?

Cengo sesaat. Aku mengernyit tak mengerti. Sementara Sasuke menyeringai dan terlihat puas.

“Sampai nanti, Sakura.” pamit Gaara, disertai senyum tipisnya kembali melangkah meninggalkan kami.

“Iih~ Untuk apa kau lakukan itu didepannya?” kesalku tak percaya, ketika akhirnya kusadari maksud Sasuke mengusap perutku tadi. “Orang bisa salah paham mengira aku sedang hamil, baka!”

Sejenak Sasuke tertawa, “Haha~ bagus kan. Biar dia gak macam-macam. Tahu kau sudah sepenuhnya jadi milikku.”

“Sialan kau. Jangan bercanda soal ‘itu’ dong. Kau mau nanti tersebar gosip yang tidak-tidak mengenai aku. Kita bahkan belum pernah melakukannya.”

“Tapi beberapa kali hampir kan~” goda Sasuke. Langsung bikin aku blushing. Sementara jemarinya perlahan menelusuri pipi, bibir, leher, dan langsung ku hentikan sebelum turun melewati satu kancing kemejaku yang terbuka.

“Kau gila. Jangan lakukan disini!” Marahku padanya. Tapi cowok itu cuma nyengir sambil masang tampang tak bersalah. “Kenapa pikiran cowok selalu mesum gitu sih? Kalau sikapmu seperti ini aku merasa kau hanya senang mempermainkanku.” lanjutku sambil cemberut. “Padahal tadi seenaknya kau bicara tentang masa depan sampai sejauh itu dengan begitu meyakinkannya dihadapan Gaara.”

Sasuke menggangguk. Kedua tangannya menggenggam erat tanganku. “Aku tak main-main. Aku sungguh ingin berikan masa depan itu untukmu. Lima tahun, tidak, mungkin bisa lebih cepat dari itu.” Sasuke menatapku lekat. “Sakura, aku serius ingin menjadikanmu seorang Uchiha.”

Emerald-ku membulat seiring degup jantung yang berpacu cepat. Aku terperangah mendengar perkataannya. Sementara kurasakan wajahku memanas. Pasti merona seperti Sasuke yang tampak dengan semburat garis merah di kedua belah pipinya.

“Sasuke, jangan bercanda lagi. Kau berkata seolah kau sedang melamarku sekarang.”

“Hn.”  Sasuke mengerucutkan bibirnya, “Kenapa? Tak suka? Kupikir Uchiha Sakura cukup bagus.”

“Aku tak percaya. Ini masih terlalu cepat. Apa kau yakin, serius mau bersamaku selamanya?”

“Tentu saja.” Onyx itu lekas mengunci Emerald. Sementara kedua tangan Sasuke beralih merengkuh wajahku. Mengangkatnya sedikit lebih tinggi. “Karena aku mencintaimu.” bisik Sasuke kemudian.

Dia mengucapkan kata yang paling kusuka. Yang membuatku tersenyum dan merasa bahagia. Lalu kuucapkan pula kalimat yang paling dia suka.

“Senpai, Aishiteru mo~…”

Sasuke tersenyum, lalu mendaratkan bibirnya dengan mulus diatas bibirku.

~FIN~

~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Meski udah tamat tapi ini masih ada lanjutannya lho, silakan dibaca:

[Sequel & Another Story]  My Lovely Junior

~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Bachot Session from Author:

(^-^)/  Senang sekali, akhirnya Senpai~ selesai juga. Walau sedih harus berpisah dengan cerita ini (T-T)

Maaf atas keterlambatan publish m(_ _)m padahal rencananya hari minggu lalu mau dibuat chap 10, tapi akhirnya saya putuskan untuk sekalian saja publish dalam satu chapter *langsung tamat*. Biar tidak penasaran dan lama menunggu.

Wkwkwk~ entah cerita ini berakhir bagus ato tidak di mata anda?? (=_=)a

Sebenarnya saya pun belum puas. Masih ditemukan banyak ke-GJ-an 😛 Tapi saya sudah berusaha dengan miskinnya inspirasi yang saya dapat akhir-akhir ini, hehe~ *ngelak* #plakk —> curhat tak penting.

OK, This chapter special for YaYak, sv3p, Kazunarilady, kimsongeum, Yua-Yuki Bento Gobel, AoLia Seiya, Saifful, Niken, Niemoe, nandhaa, Han Eun Sung, Marshanti Lisbania Gratia, Ar Cyma, naumi, fidiadta

Yang selalu setia dan bersedia komen… (T-T) whaa~ *terharu* tanpa kalian aku tak bersemangat menyelesaikannya. Terima kasih banyak….  m(_ _)m

Terima kasih juga kepada semua yang sengaja ato tak sengaja membaca Fic Abal ini dari awal mpe akhir.  Komen donk ya, hehe~ *sangat diharapkan* 😀

Nah, Sampai ketemu lagi di Fic Project saya yang lain. Berikutnya siap dengan Cherry~ *yg sempat Hiatus* juga one-shot Song-Fic…

Tunggu saja ya, hehehe~

Jaa~ (^-^)/

90 Comments

Leave a Reply

2 Pings & Trackbacks

  1. Pingback:

  2. Pingback:

Leave a Reply to chii Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *