Cherry, LOVE me [again] : Chapter 3

Cerita sebelumnya… Baca [Chap 1][Chap 2]

Ini rahasia yang tak pernah kuberitahukan pada siapapun. Gadis yang bernama Sakura Haruno itu adalah tunanganku. Baik teman maupun pacarku sendiri tak ada yang tahu tentang hal ini. Selain dihadapan keluarga kami, aku dan Sakura seperti dua orang asing. Aku membencinya dan aku tak peduli. Bahkan ketika kulihat Karin melabraknya, menamparnya, karena perbuatan bodohnya yang menguntitku selama ini ketahuan.

Aku melihatnya menangis, namun aku tetap menutup mata dan hatiku.

Tch, ada apa dengan gadis itu?! Tak tahu diri! Berulang kali kubilang aku membencinya, tetap saja, Sakura bilang dia mencintaiku.

=0=0=0=

Cherry, LOVE me [again] : Chapter 3

 

Chapter: 3/?
Pair: Sasuke Uchiha x Sakura Haruno
Rate: T
Genre: Romance, Hurt
Disclaimer: NARUTO © MASASHI KISHIMOTO
Length: 2.977 words
WARNING: OOC, typo, alur GaJe cerita se-mau-gue. Maap kalo ceritanya jelek dan mengecewakan. Buat yang sengaja dan ga sengaja kebetulan nemu n baca Fic Abal-Abal ini, setidaknya setelah kalian membaca tolong beri komen ya (sangat diharapkan).

Story by

Me!! [FuRaha]

 

If you don’t LIKE? Read? Don’t Read?

 

WHATEVER!!!

 

~Itadakimasu~

 

*

*

*


“Heh, baka!” panggilku saat menemui Sakura yang tengah duduk termenung di teras belakang rumah. Dia tampak terkejut dan lekas mengusap-usap wajahnya, seperti sedang menyeka air mata. Oh, jadi itu yang sedang dilakukannya disini dari tadi. Menangis sendirian.

Dari dalam rumah, Kaa-san memelototiku. Memberi tanda menyuruhku untuk mendekati Sakura. Sambil mendengus, aku mengangguk, pasrah menurut dan berdiri bersandar di pilar tembok tak jauh dari gadis itu.

“Apa yang kau tangisi, heuh? Tolong jangan buat orang lain salah paham, mengira aku yang menyakitimu.” ucapku ketus.

“Iya, maaf.” balas Sakura, masih dengan menundukkan kepala.

“Ayo, masuk! Dan jangan berbuat bodoh lagi!” desisku sembari mulai melenggangkan kakiku pergi darinya.

Grep… Langkahku tiba-tiba terhenti kala ujung belakang bajuku ditariknya. Aku kembali menoleh, dan menatap sebal gadis itu. Ugh, kalau saja ini bukan di rumah, sudah kusingkirkan dia.

“Apa?!” bentakku.

“Maaf.” kata Sakura, “Soal kejadian siang tadi, aku benar-benar minta maaf, Sasuke. Aku ceroboh tak menjaga agenda itu baik-baik. Aku tak tahu akan ada orang yang iseng memeriksa tasku dan menemukan fotomu. Tapi tenang saja, itu bukan diary-ku. Tak tertulis apapun mengenai hubungan kita disana. Karin dan mereka tak akan tahu. Aku hanya…”

“Cukup!” potongku cepat, malas aku mendengar ocehannya. “Aku tak peduli. Meski kau sesumbar berkata pada orang lain siapa dirimu sebenarnya, tak akan ada orang yang percaya. Karena aku sendiri yang akan menyangkalnya.”

Emerald hijau gadis itu membulat. Cairan bening mulai menumpuk kembali diatas irisnya. “Begitukah, Sasuke? Kau masih tak mau mengakuiku?”

“Hahaha~…” aku tertawa, “Tentu saja, bodoh!”

“Ke, kenapa? Kau tahu kan kalau aku begitu mencintaimu.” ucapnya dengan suara tercekat.

“Tak ada alasan. Aku hanya membencimu. Sekali benci, aku akan benci. Itu saja.” jawabku dengan tidak berperi-kemanusiaan.

“Tapi aku tunanganmu.” jelas Sakura, tampak ingin menegaskan hubungan kami.

“Tch, itu bukan mauku. Mereka yang sudah seenaknya mengatur hal ini. Dan kau, kau harusnya sadar, sudah tahu aku membencimu, mana bisa kita lanjutkan hubungan tolol ini lagi. Sebaiknya kau juga bilang pada orangtuamu, kalau kita sama-sama menolak, pasti mereka pun akan setuju membatalkannya.”

Sakura menggigit bibirnya, mencoba menahan tangis. Sementara tangannya makin mencengkeram erat ujung bajuku. “Aku tidak bisa melakukannya. Aku tak mau.”

“Heh, lepaskan!” bentakku, mulai merasa tak nyaman berada didekatnya. Baru saja hendak kudorong dia, tiba-tiba…

“Sasuke!!” panggil Kaa-san.

‘O, ow… gimana nih?’ Aku panik. Bolak-balik menoleh melihat Kaa-san dan Sakura bergantian. Gawat, kalau Kaa-san tahu Sakura menangis seperti ini, aku pasti kena marah.

“Ada apa?” tanya Kaa-san seraya mendekat. “Kenapa Sakura?”

“Ehm,…” langsung saja ku tarik gadis itu masuk dalam pelukanku. Meredam tangisannya didada. “Haha~… tidak, tidak ada apa-apa kok.” kataku cepat memberikan alasan. “Suasana hatinya sedang tak enak. Tapi ini bukan masalah serius. Jangan khawatir.”

Kaa-san mengernyit, menatapku curiga. Mau tak mau aku terpaksa mendekap Sakura lebih erat dan mengusap-usap punggungnya seolah sedang mencoba menenangkan gadis itu.

“Bagus Sasu, hibur Sakura ya. Bantu masalahnya. Jangan biarkan dia sedih.” Kaa-san tampak puas dengan perlakuanku terhadap Sakura. “Kalau begitu ibu tak akan ganggu. Kalian berdua santai saja.” lanjut Kaa-san sambil mengedipkan sebelah matanya, sok genit.

“I, iya.” jawabku sambil tersenyum kaku dan mengangguk kecil.

Ugh,…

.

.

.

Setelah kulihat Kaa-san kembali ke ruang keluarga dan tak ada seorangpun yang memperhatikan kami lagi, lekas saja kudorong Sakura menjauh. “Tch, menyebalkan. Kenapa aku harus selalu melakukan hal memuakan seperti ini denganmu dihadapan mereka.” dengusku kesal.

Tapi setelah kudorong, Sakura malah berbalik kembali memelukku erat.

“Eh, hei, apa yang kau lakukan? Lepaskan! Jangan keenakan ya!” bentakku, “Tadi aku melakukannya bukan karena aku suka. Kau jangan salah paham.” Aku berusaha melepaskan diri dari pelukannya.

“Tapi aku suka!” teriak Sakura, setengah terisak. “Aku suka Sasuke. Suka. Suka. Suka. Suka. Selalu suka Sasuke.”

“Heh, diam, baka! Jangan bicara sembarangan!” desisku sinis, kulirik orang-orang di dalam rumah yang masih nampak asyik bercengkerama. Kuharap mereka tak mencurigai kami mulai bertengkar.

“Aku mohon, Sasuke. Sedikit saja, terimalah perasaanku. Biarkan aku bersamamu….” ucap Sakura lirih.

Huff~… Sampai tadi aku masih bisa menahannya, tapi… 5…4…3…2…1… Kesabaranku sekarang sudah habis.

“Heh, dengar ya!” langsung saja kuhempaskan tangan Sakura dan mendorongnya agak kasar menjauh dariku. “Jangan buat aku semakin muak padamu. Benci. Benci. Benci. Benci. Aku membencimu.” kubalas setiap kata ‘suka’ darinya dengan kata ‘benci’.

“Sasu…”

“Aku harus apa agar kau mengerti betapa aku membencimu? Kau masih tahan kuacuhkan? Masih kuat menerima perlakuan kasarku? Kau tahu, aku ini pria brengsek. Punya tunangan tapi pacaran dengan gadis lain. Bermesraan dihadapannya. Jujur saja, berulang kali kau pun pernah memergoki kami kan? Aku berkencan dengan Karin. Aku memeluknya, menciumnya, mencumbunya. Masih tahan kau melihatnya? Sedangkan denganmu, didekati olehmu saja aku selalu menolak. Haruskah kuceritakan hal lainnya lagi, Sakura? Semua perlakuan lembutku yang tak pernah kuberikan padamu, aku melakukannya dengan gadis lain. Bukan denganmu!”

“Aku tahu, kau lakukan itu hanya untuk membuatku benci padamu. Kau sengaja melakukannya agar aku  menyerah.” balas Sakura, “Aku percaya, kau tak benar-benar mencintai Karin.”

“Hahaha~…” aku kembali tertawa, sungguh merasa geli. “Cinta? Apa itu cinta? Kau bilang kau mencintaiku tapi kau sendiri tak biarkan aku meraih kebahagiaanku. Kau egois Sakura. Kau pikir dengan terus bersikap seperti ini aku akan berpaling padamu? Jangan harap!”

“Lalu aku harus bagaimana?!” teriak Sakura, disela isakannya, “Hik… hik… hik… aku harus bagaimana supaya kau bisa mencintaiku, Sasuke?”

Gadis itu menangis. Untuk kesekian kalinya aku lihat dia menangis dan menanyakan hal yang sama setiap kali kami bertengkar membicarakan masalah ini. Air matanya, ketulusannya, apa sedikitpun itu tak menyentuh perasaanku?

Perlahan aku mendekat, kutaruh tanganku diatas bahu kecilnya yang gemetar dan tampak rapuh. Seraya memperpendek jarak diantara kami, aku terus menatap emerald-nya lekat-lekat. Kusingkirkan helaian rambut soft-pink miliknya kebelakang telinga dan sedikit merengkuh wajah gadis itu. Sakura tampak gugup menerima perlakuan seperti ini olehku. Dia pikir aku mau apa? Menciumnya? Padahal yang akan kulakukan tetap sama seperti biasa.

Aku berhenti tepat ketika bibir kami nyaris bersentuhan. Dengan cepat aku kembali menyingkir dan berganti berbisik di telinganya. “Tunanganku yang malang. Bagaimana nasibmu nantinya kalau kita benar-benar jadi menikah? Hidupmu akan sengsara bila kau tetap mau bersamaku. Sampai kapanpun aku tak akan pernah mencintaimu. Camkan itu baik-baik, Nona Haruno!”

Air mata makin mendesak turun melewati pipi ranum gadis itu. Emeraldnya menatapku nanar. Tampak jelas betapa hatinya terluka mendengar perkataanku. Aku yang kejam. Aku yang tak punya hati. Aku yang tak peduli padanya. Harus kuyakinkan berapa kali lagi agar dia mau mengerti dan melepaskanku?

“Sakura!! Sasuke!!”

Aku tersentak, lekas menurunkan tanganku dari bahu Sakura dan berbalik. Melihat para orangtua berjalan mendekati kami.

“Lho, kamu nangis sayang?” tanya bibi Tsunade tampak cemas mendapati sembab di wajah anak gadisnya.

Sebentar Sakura melirik padaku, sebelum dia menutup mulutnya dan menggeleng pelan. “Aku tidak apa-apa.” jawab gadis itu sambil tersenyum dan cepat menyeka pipinya yang sedikit basah.

“Ya, tentu saja. Tak ada yang perlu dicemaskan. Sasuke sedang menghiburnya kan?” ujar Kaa-san sambil menyenggol-nyenggol pinggangku dengan sikunya. “Syukurlah kalian berdua makin mesra.”

“Hn~…” Aku hanya tersenyum kaku sembari menggaruk-garuk belakang rambut raven-ku yang ditata unik. Aslinya sih gak gatal. Tapi apa barusan, ‘menghibur’ dan ‘mesra’ katanya? Haha… dalam hati aku terkekeh geli. Apanya yang mesra? Mungkin dari jauh tadi kami terlihat seperti sedang berpelukan dan berciuman. Tapi kenyataannya justru akulah yang membuat Sakura menangis dan terluka.

Bibi Tsunade menatap cemas, membingkai wajah putrinya dengan kedua telapak tangan. “Ada apa denganmu hari ini? Kau berbeda dari biasanya Sakura, apa terjadi sesuatu?”

Sakura hanya tersenyum samar sembari menggeleng pelan. Dilihatpun tahu, memang ada yang tak beres dengannya. Wajahnya lesu begitu, nangis lagi. Dan semua ini salah siapa coba? Ya, salahku.

Tch,… terserah-lah! Aku tak mau repot-repot memikirkannya.

“Sasuke!” seru bibi Tsunade, tangannya perlahan menggenggam erat tanganku dan Sakura. “Bibi percaya, kalau bersamamu, Sakura pasti akan bahagia. Karenanya, bibi mohon, tolong jaga Sakura baik-baik ya.”

Deg!…

Aku tidak bisa berkata apapun menanggapi permintaan tulusnya. Meski sebagian besar diriku ingin menyangkal ucapannya. Berkata ‘Aku tak bisa membahagiakan Sakura’. Tapi entah kenapa ada bagian dalam hatiku yang sedikit tersentuh oleh perkataannya.

“Iya, itu sudah pasti.” kata Kaa-san, ikut-ikutan menggenggam tangan kami. “Kalian berdua akan bahagia bersama. Sasuke dan juga Sakura.”

Ucapan itu terdengar seperti harapan. Doa bagi kami berdua. Sekilas aku berpandangan dengan Sakura. Onyx-ku menangkap emeraldnya. Apa benar bisa begitu? Kebahagiaan dalam cinta yang sepihak?

Aku rasa mustahil.

Sakura Haruno.

Tak mungkin, bila aku harus dengan gadis sepertimu.

“Nah, melihat kalian sudah seakrab ini, kami rasa sekarang kami tak perlu lagi membuang-buang waktu untuk menundanya.” lanjut bibi Tsunade.

“Iya benar. Lebih baik kita cepat sampaikan kabar bahagia itu.”

“Kalian berdua pasti senang.”

Entah kenapa aku merasa arah pembicaraan mereka mulai terdengar serius. Dan makin merasakan firasat buruk ketika sebelah tanganku perlahan Kaa-san angkat dan menyuruhku menggenggam sebelah tangan Sakura.

“Selamat ya, Sasuke dan Sakura. Akhir minggu ini kami putuskan untuk meresmikan hubungan kalian berdua.” lanjut mereka semua sambil tersenyum dan tertawa bahagia.

WHAT THE…..!!!

Aku terbelalak tak percaya. Shock mendengarnya. Rasanya seperti tiba-tiba tersambar petir. Keputusan itu bagaikan hukuman dari langit. Sama sekali tak bisa dihindari.

“Be, benarkah? Akhir minggu ini?”

Diam-diam aku melirik Sakura. Kini satu senyuman terlukis diparas cantiknya. Gadis itu tak bisa menyembunyikan perasaan bahagianya saat mendengar kabar ini. Seolah segala kesedihan dan luka di hatinya tadi telah terhapus. Ya, tentu saja, meresmikan pertunangan kami kan hal yang diinginkannya. Lain denganku, yang justru sama sekali tak gembira. Aku muak. Benci semuanya. Kebencianku semakin memuncak tatkala melihat Sakura berwajah bahagia seperti itu. Sial. Apa sudah tak ada cara bagiku untuk menghentikan rencana konyol ini?

“Eh, tunggu sebentar!” selaku diantara kegembiraan mereka.

Suasana langsung hening seketika, seluruh perhatian kini tertuju padaku.

“Ehm, begini, menurutku, tidak, maksudku menurut kami…” kulirik Sakura dan menggenggam tangannya lebih erat. “Kami tak bisa bertunangan sekarang. Kami rasa kami tak bisa lagi melanjutkan hubungan ini. Iya kan, Sakura?!” Kutatap emerald gadis itu. Aku yakin dia paham maksudku.

“Hee~…?!” Semua orang terkejut mendengar pernyataanku.

“Sasu…” Senyum di wajah Sakura pun seketika itu langsung pudar.

“Apa maksudmu tak mau bertunangan, heuh?!” gelagar Too-san, mulai menampakan kemarahan.

“Sasuke!! Apa yang coba kau bicarakan?” Kaa-san melotot padaku, “Kau tidak berencana membatalkannya kan?!”

Bibi Tsunade dan paman Jiraiya saling berpandangan, tak kalah paniknya.

“Apa maksudnya ini?”

“Jelaskan pada kami!”

“Iya, aku, maksudku tadi…”

Glek… Aku tidak tahu kalau situasinya akan jadi heboh seperti ini. Kaa-san mencengkeram erat sebelah bahuku. Onyx-nya yang serupa denganku itu menatap lekat-lekat. Nafasnya terdengar berat, tanda dia sedang berusaha menghalau emosinya.

“Sasuke, kita sudah pernah bicarakan ini.” bisik Kaa-san padaku. “Kau tak lupa dengan janjimu pada Ibu kan?”

Deg!…

Kata-katanya langsung merasuk kedalam hati. Kebimbangan yang semula bisa kusingkirkan mendadak muncul kembali tatkala mendengar kata ‘janji’ yang disinggungnya.

“Kaa-san, tapi aku…”

“Jangan kecewakan ayahmu seperti yang dilakukan orang itu. Ibu mohon.” sela Kaa-san kemudian, cepat memotong penjelasanku.

Ugh, lagi-lagi kelemahanku disentuhnya. Dia tahu aku tak bisa menolak keinginannya kalau menyangkut ‘janji’ dan ‘orang itu’.

“Um, ano~… bukan seperti itu maksudnya.” Sakura mulai buka suara. Kali ini seluruh perhatian teralih padanya. “Maksud Sasuke bukan mau dibatalkan. Tapi aku…” Sakura menunjuk dirinya sendiri, “Aku sebenarnya yang tadi minta padanya supaya pertunangan kami diundur lagi saja. Kami baru lulus. Kupikir aku ingin fokus melanjutkan sekolahku tanpa harus memikirkan masalah ini…”

“Masalah apa maksudmu? Memang pertunangan ini akan jadi masalah?” hardik bibi Tsunade. Sakura juga mulai kena damprat orangtuanya. “Kalian kan tidak harus menikah sekarang. Cuma bertunangan saja tak akan ganggu studi kamu, Sakura. Justru ini nantinya baik untuk statusmu. Apa sebenarnya yang kalian berdua rencanakan?”

Sakura merengut, menundukan pandangan. Usahanya mencoba membelaku gagal. Aku tahu sulit baginya untuk berbohong, karena itu tak sesuai dengan keinginannya.

“Cukup! Jangan perkeruh lagi keadaan.” sela paman Jiraiya. “Seperti yang sudah diputuskan. Akhir minggu ini. Tak ada alasan apapun untuk menunda atau membatalkannya.”

Too-san mengangguk setuju, masih menatapku tajam. “Nanti kita bicara lagi, Sasuke.” ucapnya seraya berlalu pergi bersama paman Jiraiya.

“Padahal kalian tak perlu pikirkan apapun. Cukup menurut saja apa kata kami.” kata bibi Tsunade.

“Iya benar, kami tahu mana yang terbaik untuk kalian.” lanjut Kaa-san.

“Baiklah.” jawab Sakura.

“Hn.”

Sial. Aku hanya bisa diam. Menahan perasaanku kembali. Sungguh akan berakhir seperti ini, tak ada lagi yang bisa kulakukan?

.

.

.

“Aaaw~…” Sakura meringis, dia menatapku takut.

Saking kesalnya barusan, tanpa sadar ternyata aku sudah meremas tangannya kuat-kuat. Segera saja kulepaskan genggamanku. Berganti menjambak rambutku. Rasanya pusing sekali memikirkan masalah ini. Aku berangsur pergi meninggalkan Sakura.

“Sasuke, kau tidak apa-apa?” tanya Sakura, tampak cemas.

Aku berdecih, mendelik padanya. “Pergi kau!” desisku tajam. “Menjauh dariku.”

Bukannya menuruti perkataanku, Sakura malah mendekatiku. “Maaf, Sasuke. Tadi aku tak bisa banyak membantu. Bagaimana sekarang, sudah terlanjur diputuskan, apa tak ada cara lain untuk kita mencegahnya?”

Haah?!…. Lelucon macam apa ini? Lucu sekali mendengar perkataan Sakura. Apa dia sungguh ingin membatalkann pertunangan ini?

“Heh, kau, berhentilah berpura-pura. Jujur saja saat ini kau pasti senang kan? Keinginanmu akhirnya terwujud. Berbahagialah.”

Sakura diam sejenak, sebelum kemudian dia menggeleng. “Tidak, Sasu. Aku tak bahagia, kalau kau pun tak bahagia.”

“Hahaha~….” Aku terkekeh pelan. Makin merasa konyol. “Apa kau bercanda? Sejak kapan kau peduli pada kebahagianku? Kalau kau mengerti perasaanku, seharusnya dari dulu kau menyingkir dariku.”

“Kenapa? Apa buatmu aku begitu mengganggu? Apa aku menyusahkanmu?” tanya Sakura.

“Ya.” jawabku singkat, padat, jelas.

Mata hijau emerald itu kembali menatapku nanar, “Maaf, Sasuke. Maaf kalau ternyata aku justru menyusahkanmu. Tapi apa tak ada sedikitpun perasaanmu untukku?”

“Perasaan? Heuh,…”Aku sedikit menyunggingkan bibirku. Onyx-ku makin menatapnya sinis. “Satu-satunya perasaan yang kumiliki padamu hanyalah rasa benci. Sadarilah itu, Sakura.”

Kulihat Sakura mulai kembali menangis. Malas berurusan dengan gadis itu, yang hanya akan membuatku makin emosi, buru-buru aku menyingkir darinya. Tapi lagi-lagi langkahku terhenti, ketika dua lengan kecilnya melingkar dipinggangku. Pelukan eratnya dari belakang menghentikan kepergianku.

“Jangan benci aku, Sasuke.” kata Sakura dibalik punggungku sambil terisak. “Aku mohon. Aku tak minta untuk disukai olehmu, tapi tolong setidaknya jangan membenciku karena aku sudah seenaknya mencintaimu. Yang kusuka hanya Sasuke seorang. Tak apa, aku bisa mengerti kalau kau tak balas menyukaiku. Tapi jangan membenciku. Karena suka, makanya aku ingin kau bahagia. Katakan saja, kalau ada yang bisa kulakukan, akan kulakukan apapun untukmu.”

Sejenak aku menghela nafas panjang. Cukup sudah kutahan emosiku dari tadi. Perlahan kulonggarkan dekapannya dan berbalik menghadap gadis itu.

“Sakura, sungguh kau ingin aku bahagia?” tanyaku.

Gadis itu menengadahkan kepalanya, menatapku yang jauh lebih tinggi darinya, lalu menggangguk pelan. “Iya, aku ingin Sasuke bahagia.”

“Kalau begitu menghilanglah.” Kuungkapkan semua kekesalanku pada Sakura. “Yang paling kubenci selama ini adalah keberadaanmu. Kalau kau tak ada, aku akan bahagia.”

Emerald gadis itu membulat. “A, apa maksudmu?” tanya Sakura tak mengerti.

“Pergi. Menjauh. Menyingkir. Enyah dariku. Jangan pernah muncul lagi dihadapanku!”

Tak ada sedikitpun rasa bersalah di hatiku melihat ekpresinya yang menyedihkan kini. Kupikir jika aku ingin mengakhiri semuanya, aku harus tegas mengatakannya.

“Kalau perlu, mati saja kau!” desisku dengan dingin seraya berlalu pergi meninggalkan Sakura.

=0=0=0=

Bruukk…

Dihadapanku kulihat dia terjatuh.

Dihadapanku kulihat dia berlumuran darah.

Sosoknya jadi tak berdaya.

“Mati saja!”

Setelah kupikir kini, seperti apa perasaannya saat kuucapkan kalimat terakhir itu. Pasti hancur dan sangat terluka. Dengan tak berperasaan, malam itu aku seperti sudah menyumpahinya.

Tak pernah kuduga, Sakura akan menuruti apa mauku. Gadis itu  benar-benar melakukannya. Mencoba membunuh dirinya sendiri dan memberikan rasa bersalah itu padaku. 

=0=0=0=0=

TBC…. Next to chapter 4

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Bachot Session from Author:

Yeah… akhirnya chapter 3 publish (^-^)/ Maaf ya lama~

Setelah menunggu hampir sebulan sejak saya menjanjikan buat cepat updet, ternyata banyak hambatan dalam penyelesaiannya, dan ini pun jadinya cuma dikit. Tadinya mau sekalian updet chap 4 tapi lom beres semuanya, daripada nunggu lama lagi ya terpaksa updet segini dulu, heuheu~ (=___=)a

Diluar dugaan ternyata banyak  yang suka dan menantikan Fic abal yang satu ini, fufufu~… (T-T) *terharu* Setidaknya saya bersyukur Fic ini ga jadi Hiatus selama-lamanya *udah khawatir* (^-^)v hihihi~

OK, This chapter special for….

YaYaK, kazunarilady, Dwi Kharisma, asdf,  Marshanti Lisbania Gratia, Lailan slalu mencintai ghalma, Sarah Zakila, dan kamu yang udah baca Fic ini tapi gak komen.

Seperti biasa, Readers yang baik adalah yang comment. Jadi yang berkenan, silahkan beri komentarnya ya (^-^)/

Nah, sebagai bocoran, saya kasih spoiler buat chap 4 deh 😀

 ========== Spoiler Alert!!! =========== *Yang gak suka silahkan lewati*

Tolong hapus mimpi buruk ini. Aku selalu teringat saat tangannya yang berlumuran darah menggapai-gapaiku lemah. Lalu sampai mencengkeram ujung bajuku seperti yang biasa dia lakukan untuk menahan setiap kepergianku.

“Sasuke, apa ada yang kau sembunyikan? Siapa sebenarnya gadis itu?”

Plakk… Kaa-san menamparku, “Anak kurang ajar! Tak kukira kau bisa setega itu.”

Hatiku bergetar setiap kali membuka lembar demi lembar Diary itu.  Segala perasaan, luka, kepedihan yang selama ini kuberikan masih ditanggapinya dengan tulus dan senyuman. Semakin kusadari dalamnya rasa cinta gadis itu, semakin besar rasa bersalahku padanya.

“Maaf.” Meski beribu kali kuucapkan, sepertinya dosaku tak terampuni.

Kuseka cairan bening yang tanpa sadar menetes diujung mataku. Rasanya melegakan. Aku senang sekali. Sakura siuman!

Eh, Ekspresi macam apa itu, tatapan matanya berbeda.

“Sasuke Uchiha?” tanyanya dengan wajah polos.

“Aku sudah siap bila kau marah, memaki atau berbalik membenciku. Tapi tidak untuk yang satu itu. Aku tidak terima kalau kau melupakanku. Yang hilang itu ingatan atau rasa cintamu? Jangan pura-pura, Sakura Haruno!”

“Hah, kau pikir kau itu siapa?”

“Aku tunanganmu, baka!”

================================

Fufufu~ terbayang apa yang terjadi di chap 4?

Tunggu saja ya.

Thanks for reading –(^o^)/ comment pliss….

34 Comments

Leave a Reply

10 Pings & Trackbacks

  1. Pingback:

  2. Pingback:

  3. Pingback:

  4. Pingback:

  5. Pingback:

  6. Pingback:

  7. Pingback:

  8. Pingback:

  9. Pingback:

  10. Pingback:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *