Cherry, LOVE me [again] : Chapter 7

Cerita sebelumnya…. Baca [Chap 1] [Chap 2] [Chap 3] [Chap 4][Chap 5] [Chap 6]

=0=0=0=

Cherry, LOVE me [again] : Chapter 7

Chapter: 7/?
Pair: Sasuke Uchiha x Sakura Haruno 
Rate: T
Genre: Romance, Hurt/Comfort
Disclaimer: NARUTO © MASASHI KISHIMOTO
Length:  5.442 words
WARNING: OOC, typo, alur GaJe cerita se-mau-gue. 

Story by

Me!! [FuRaha]

If you don’t LIKE? Read? Don’t Read?

WHATEVER!!!

~Itadakimasu~

*

*

*

Ruangan yang dihiasi pita dan balon warna-warni, spanduk bertuliskan ‘Selamat Datang’, crackers di tangan, dan saat gadis cantik itu masuk, serempak kami semua bilang, “Selamat datang kembali, Sakura!”

Plop…pop…plop…pop…plop…

Bunyi crackers terdengar bersahutan seiring untaian dan serpihan kertas dari crackers tersebut melesat keluar menghujani sang gadis.

“Wha~ terima kasih. Padahal kalian tak perlu repot-repot menyambutku seperti ini.” kata Sakura, sedikit terharu sekaligus senang.

“Apa yang kau bicarakan, tentu saja harus disambut dengan gembira.” kata Kaa-san, lekas memeluk Sakura. “Syukurlah kau sudah sembuh, selamat datang kembali sayang.”

“Iya, terima kasih bibi Mikoto.” ucap Sakura sambil tersenyum seraya melepaskan pelukannya. “Terima kasih juga paman.” lanjutnya  bicara pada ayahku.

“Mulai sekarang, jagalah dirimu baik-baik.” kata Too-san sambil menepuk bahu Sakura.

Gadis itu mengangguk. Tak lama emeraldnya lantas bergulir melihat ke arahku yang berdiri di sebelah Too-san. Seketika itu pandangan lembutnya hilang, berganti dengan tatapan tajam. Melihat sikap ketusnya padaku, aku hanya sedikit menyunggingkan bibir.

Tahu gadis musim semi itu pasti tak akan datang menghampiriku, langsung saja aku berinisiatif sendiri memeluknya duluan. Sakura sesaat terperangah menanggapi sikapku yang tiba-tiba dengan rasa tak nyaman. Dia coba mendorongku jauh, menunjukkan sikap enggan. Tapi tentu saja tak kubiarkan lepas. Malah makin kupeluk erat dirinya.

Aku tak peduli sesinis apapun dia tanggapi kehadiranku, aku sungguh tulus menyambutnya. “Okaeri…” kataku seraya memberikan sebuah kecupan ringan di atas keningnya. Aku benar-benar bersyukur dia sudah sembuh dan bisa kembali pulang ke rumah. “Tak perlu berterima kasih, Sakura.” bisikku  ditelinganya. Setengah meledek.

“Tch, untuk apa aku berterima kasih padamu.” desis Sakura. Tak mau kalah.

“Duh, mesra sekali kalian.”goda bibi Tsunade. “Senang melihatnya.”

“Iya.” kataku sambil tersenyum puas.

Lain dengan Sakura yang setelah berhasil mendorongku jauh, malah balas men-death glare dan masang tampang cemberut. Sepertinya kalau saja tak ada orangtua kami di sini, gadis itu pasti akan balas memukulku.

Hihihi~… aku jadi geli sendiri melihat Sakura berwajah dongkol dan kesal menahan diri. Dia persis sepertiku dulu. Pasti menyebalkan berpura-pura bersikap baik di depan orangtua kalau kami tengah bersama. Menunjukkan kebahagiaan palsu. Tapi kalau sekarang sih aku sudah tak seperti itu lagi. Baru kusadari ternyata ini cukup menyenangkan. Saat aku tak bersandiwara dan tulus melakukannya sepenuh hati. Karena aku sungguh mencintai Sakura.

Tapi Sakura….

“Heh kau, jangan berbuat seenaknya lagi padaku ya. Kalau kau berani memelukku seperti itu, aku akan sungguh menghajarmu.” kata gadis itu ketika kami tinggal berdua sementara yang lain sudah pergi duluan ke ruang keluarga.

Aku mengerling, sedikit menyunggingkan bibirku dan terkekeh pelan. Sungguh merasa geli mendengar ancamannya. “Hmm, terus saja pura-pura menolak Sakura, padahal kau juga suka kan? Dasar cewek munafik.” balasku.

“Siapa yang munafik?” Sakura tak terima tuduhanku. “Aku sudah benar-benar muak padamu. Akan kuadukan hal ini pada orangtuaku dan minta pertunangan kita dibatalkan.”

“Apa yang akan kau lakukan?” tantangku, “Huh~ percuma. Dulu aku saja tak bisa, apalagi kau.”

“Jangan meremehkanku, Sasu. Tak seperti dirimu, kalau aku yang bilang, mereka pasti akan dengarkan. Akan kuungkapkan semuanya. Akan kuhancurkan ikatan yang dulu selalu kau bilang tolol ini. Aku pasti bisa.” kata Sakura dengan penuh keyakinan.

“Benarkah? Kau yakin bisa melakukannya?” tanyaku, “Kau bisa hancurkan segalanya?”

“Iya. Kenapa? Kau takut aku tak tega hancurkan hatimu, heuh?” balas Sakura.

“Bukan hatiku. Tapi apa kau pun sungguh tega bisa hancurkan kebahagian mereka?” tanyaku lagi seraya melayangkan pandangan ke arah orangtua kami yang tengah asyik bercengkerama di ruang keluarga.

Emerald Sakura lekas bergulir mengikuti arah pandangku. Sejenak dia tertegun memperhatikan pemandangan harmonis yang tampak di sana.

“Kau pikir kenapa aku dulu tak pernah bisa membatalkan pertunangan kita? Itu bukan karena aku tak mampu. Hmm, ya, memang sih, nyatanya aku tak mampu. Pada akhirnya aku tetap tak bisa egois mementingkan diriku sendiri dan menghancurkan perasaan kedua orangtuaku. Bagaimanapun juga ikatan kita tak hanya mereka anggap sekedar wasiat kakek yang wajib mereka penuhi. Lebih dari itu, orangtuaku sudah sangat menyukaimu. Terutama ibuku. Meski kita belum menikah, tapi dia sudah menganggapmu seperti putri kandungnya sendiri.” lanjutku, mencoba meyakinkan Sakura.

“Iya, aku tahu. Bibi Mikoto begitu baik padaku.”

“Saking sayangnya, aku bahkan sampai pernah kena tampar.”

Sakura menatapku tak percaya, “Tampar? Kau… oleh bibi Mikoto….”

“Tamparan pertama yang kudapat dari seorang ibu. Dan itu karenamu, Sakura.”

“Kenapa?” tanya gadis itu.

“Dia membelamu dan merasa begitu sakit hati setelah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tahu kebahagiaan kita palsu, tahu jahatnya aku padamu, tahu sebabnya kau terluka….” Kalimatku mengambang. Sesaat aku terdiam. Terkenang kembali kejadian waktu itu, saat Kaa-san menangisi penderitaan Sakura dipelukanku. “Ibuku menyayangimu. Tak bisa kubayangkan kalau sampai dia kehilangan dirimu. Hatinya pasti akan sangat terluka.”

Sakura terdiam, pandangannya sedikit tertunduk, mungkin sedang memikirkan perkataanku.

“Aku bicara begini tak ada maksud untuk menghasutmu demi kepentinganku sendiri. Bila kau sungguh ingin membatalkannya, terserah apapun yang akan kau lakukan. Tapi aku tak akan tinggal diam kalau itu menyangkut kebahagiaan ibuku.” lanjutku lagi.

“Kalau begitu kenapa dulu kau bersikeras menolakku?” tanya Sakura, “Kalau kau benar memikirkan ibumu, kenapa baru sekarang kau bicara seperti ini? Kau mau memanfaatkan perasaan ibumu untuk membujukku, heuh? Seperti biasa, yang terlihat dimataku hanyalah keegoisanmu saja, Sasuke.”

“Iya, aku egois. Aku bodoh. Aku menyesal. Aku katakan itu berulang kali padamu sekarang. Karena aku dulu tak menyukaimu. Karena aku merasa terpaksa bila bersamamu. Ada alasan aku selalu menolakmu. Itu karena aku….”

“Cukup.” Sakura menyela, “Aku tak butuh alasanmu. Aku tak ingin dengar apapun cerita di masa lalu.” Sakura sengaja menutup kedua telinganya, “Aku sungguh ingin membuang segalanya Sasuke. Dirimu. Perasaan cintaku….” Gadis itu lantas menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Menangis. Aku pikir Sakura sekarang sedang menyembunyikan dirinya yang menangis. “Ini menyakitkan. Aku tak ingin terluka lagi…” gumam Sakura lirih.

“Sakura….” Aku mendekat dan sebentar merasa ragu untuk sekedar mengulurkan tanganku menyentuhnya. Takut dia menolakku seperti biasa. Tapi melihatnya seperti ini pun aku tak bisa diam saja. Maka dengan berani, perlahan aku memeluknya. “Maaf.” bisikku. “Aku dulu sudah sangat menyakitimu. Membuatmu terluka. Makanya kubilang sekarang aku menyesal. Akan kuperbaiki semua kesalahanku. Terimalah aku lagi, Sakura. Aku mencin….”

“Tidak.” Sakura berontak. Dia melepaskan diri dari pelukanku seraya menjauh. “Aku tak bisa lakukan itu sekarang. Mana bisa aku menerimamu setelah apa yang terjadi. Tidak mau. Aku masih takut. Perasaanku kacau. Aku merasa sakit tiap kali memikirkanmu.”

“Sakura…” aku terhenyak mendengar perkataannya. Sedalam itukah luka yang sudah kutorehkan pada hatinya sampai tak mudah disembuhkan?

“Jadi tolong Sasuke, jangan paksa aku sampai aku merasa lebih baik.” lanjut Sakura, tangannya menyeka cairan bening yang sedikit membasahi pipi. “Sampai lukaku sembuh…”

“Hn. Baiklah.” jawabku, “Sampai kau mencintaiku lagi. Aku akan berusaha dan aku tak akan menyerah meski kau terus menolakku.”

Sakura sedikit menyunggingkan bibirnya, tersenyum samar. “Iya, berusahalah sampai aku bisa menerimamu atau menyerahlah sampai kau sadari semua yang kau lakukan hanya akan jadi sia-sia.”

Aku pun mengangguk dan tersenyum. Sakura mulai melenggangkan kakinya pergi dariku.

“Tak akan ada yang sia-sia, Sakura. Tekadku sudah bulat karena aku punya tujuan.” gumamku seraya masih memandangi gadis yang berlalu itu. Selain karena aku mencintaimu, menyayangi ibuku, aku juga lakukan ini karena janjiku di masa lalu.

Aku tertunduk, sebentar mengusap wajahku seolah menghapus lelah. “Iya, bagaimanapun juga ada janji yang harus kutepati.” Dalam pikiranku kini terbayang sosok seseorang. Punggung tegap seorang pemuda yang telah lama tak kulihat. Sedikit terasa sakit saat aku mengingatnya. “Karena aku tak akan seperti orang itu. Aku tak ingin seperti dia.” gumamku.

.

.

Kami lanjutkan acara penyambutan kedatangan Sakura dengan makan malam dan mengobrol santai. Baik dulu maupun sekarang, berada ditengah pembicaraan keluarga tak pernah buatku merasa nyaman. Bosan. Aku selalu pertanyakan pentingnya kehadiran anak bila orangtua tengah asyik bercengkerama sesama mereka membahas masalah diluar urusanku.

Sakura pun begitu. Gadis itu bahkan sudah kabur duluan. Bilang merasa lelah dan meminta pergi beristirahat. Padahal aku tahu dia hanya ingin menghindariku atau enggan mendengar saat masalah pertunangan kami mereka bahas. Persis sepertiku dulu yang suka mencari-cari alasan, saking ingin berontaknya dari situasi seperti ini. Dulu, aku selalu dipaksa Kaa-san menghampiri Sakura saat dia termenung sendirian. Tapi sekarang, tanpa disuruh, aku mengikuti kemana gadis itu pergi sampai ke kamarnya.

Saat aku mengintip sedikit dari celah pintu yang terbuka, aku lihat Sakura tengah duduk di tepi ranjang. Gadis itu menunduk dan memandang teduh sesuatu yang tengah digenggamnya. Menyadari kehadiranku, dia sedikit terkejut dan lekas berdiri.

“Kau,… apa yang kau lakukan di situ? Gak sopan intip-intip kamar cewek.” marahnya.

“Hn. Bibi Tsunade mencarimu. Kau disuruh turun.” kataku, mengarang kebohongan. “Apa benar kau sakit lagi? Sepertinya tidak. Kau cuma pura-pura kan?” Aku mulai melenggang masuk kedalam kamarnya.

“Eh, hei, keluar kau! Jangan sembarangan ya!” bentak Sakura, mengusirku.

Aku hanya balas mengerling. Tak peduli. Onyx-ku cepat bergulir memandang kesekeliling kamar manisnya yang bernuansa putih dan ditata unik.

“Waah~…” aku terperangah ketika mataku mendapati sesuatu yang luar biasa menakjubkan dalam kamar itu. “Sakura, sungguh kau atur sendiri kamarmu seperti ini? Ckckck~ ternyata kau itu benar-benar… Hahaha~….” Aku tertawa sambil menggeleng tak percaya.

“Iih, keluar! Sudah kubilang keluar!” Sakura makin mencegahku masuk, sambil berusaha terus mendorong-dorongku.

Stalker ya.…” lanjutku seraya menahan kedua tangannya. “Kau ini penguntit.”

Tuduhanku itu langsung bikin Sakura terdiam. Semburat garis merah mulai tampak di kedua belah pipinya. “Bu, bukan. Ini tak seperti yang kau kira. Aku…” tampak malu, Sakura coba membantah.

“Hmm,…” Aku angkat sebelah alisku, menatapnya curiga, “Apanya yang bukan kalau buktinya ada sebanyak ini…” lanjutku sambil menyapu pandangan kesekeliling kamarnya yang ditempeli banyak foto. Ya, ada banyak foto terpajang di sana. Fotoku. Foto yang Sakura ambil diam-diam. “Fufufufu~… hobimu mengerikan.” godaku.

“Tch,…” Sakura berdecih seraya menarik kembali kedua tangannya yang kutahan. “Aku,… aku baru mau singkirkan semua ini.” Dan tangan itu pun cepat menyambar, mencabut dan merobek salah satu fotoku yang terpajang.

Sret… Sret… Sret…

Dia mulai ambil foto lain dan langsung merobeknya tanpa basa-basi.

“Eh, hei, apa yang kau lakukan?” Aku tak percaya Sakura serius melakukannya. “Kau gila ya. Jangan sembarangan robek foto orang dong.” protesku.

“Terserah. Punyaku ini. Bukan urusanmu.” balas gadis itu.

“Tentu saja urusanku. Memangnya foto yang kau robek itu wajah siapa?”

“Ggrr~… Andai aku sungguh bisa merobek wajahmu, Sasuke.” geram Sakura.

“Heh, bukankah kau memajangnya sebanyak ini karena ingin terus kau pandangi, heuh?”

“Tidak. Aku sudah tak butuh semua ini.” jawab Sakura, sambil terus merobek-robek fotoku.

“Hoi!” Aku cepat menahan tangannya lagi sebelum dia kembali mengambil lembar fotoku yang lain. Setengah memaksa, sengaja kudorong gadis itu merapat ke tembok dan membuat jarak kami lebih dekat.

“Lepas!” bentak Sakura, “Lepaskan aku, Sasuke!”

“Hn,…” Aku makin erat mencengkeram tangannya sementara onyx menangkap sang emerald. Menatapnya intens.

“Mau apa kau?” tanya gadis itu, takut-takut melihatku. “Lepaskan aku!”

Melihatnya berontak seperti ini, aku malah makin enggan melepaskannya. “Sakura~…” panggilku lembut, “Kau benar, kau memang tak butuh foto-foto itu lagi. Untuk apa kau simpan semua ini kalau sekarang orangnya sendiri sudah ada disini. Pandangi saja aku, sepuasmu.” godaku.

“Apa?” Sakura mengernyit. Bibirnya sedikit tersungging, menorehkan satu senyum meremehkan. “Kau pikir kau siapa? Tidak mau!” jawabnya sambil buang muka.

“Jangan munafik.” Langsung saja aku rengkuh wajah itu, memaksanya kembali menghadapku. “Padahal kau suka melakukannya, kan? Hmm, sepanjang malam, sepanjang hari kau tatap aku, kenapa sekarang tak mau?”

“Karena aku bukan lagi aku yang dulu. Aku yang sekarang malah muak melihatmu!”

“Tch, kau bohong lagi Sakura. Jujur saja padaku, aku lihat lho. Yang kau pandangi tadi sambil melamun itu fotoku, kan?” Aku tak asal tebak. Aku sungguh lihat itu sekilas diatas ranjangnya ada figura yang membingkai fotoku dan Sakura yang tengah bersama.

“Kau jangan salah paham. Aku lihat itu bukan dengan perasaan bahagia. Tadi aku sedang berpikir ingin membuang segalanya!”

“Bohong.” tuduhku. “Aku yakin pasti selain kau pandangi fotoku itu, mungkin kau juga…” Perlahan ku sentuh bibir lembutnya dengan ibu jariku, “Cium aku seperti ini…”

“Kyaaa~…” jerit gadis itu sesaat sebelum aku redam teriakan di bibirnya dengan bibirku. “Hmmp… mmp…”

Sakura coba berontak, sementara aku terus menahan dan menciumnya sampai…

JDUG….

“Aaww~…” ringisku sambil mengusap-usap keningku yang kena tabrak jidat lebar Sakura. “Sakit, baka!”

“Salah sendiri kau lakukan itu.” balas Sakura, menatapku penuh kebencian. “Keterlaluan. Jahat. Tega sekali kau berbuat ini padaku. Aku makin muak padamu. Benci. Benci. Benci. Aku membencimu, Sasuke!”

“Apa sih, cuma dicium doang. Kau bukannya suka ya?”

“Menjijikan.” desis Sakura, wajahnya hampir menangis. “Kau pikir aku cewek apaan?! Dua kali kau paksa aku seperti ini, kau pikir aku suka? Dasar rendahan.”

Masih menggerutu marah, dia cepat menyingkir dariku. Melihat sikapnya itu malah bikin aku jadi tak enak hati. Apa aku sungguh keterlaluan memaksanya?

“Eeh, eu… iya deh iya, maaf. Maafkan aku. Tadi aku bercanda.” kataku seraya menahan bahu gadis itu.

“Tch, bercanda?” Sakura menepis tanganku, “Leluconmu gak lucu!” balasnya.

Dia makin tak mempedulikanku. Dia lanjutkan perbuatannya yang dengan sengaja mulai menyingkirkan semua foto-foto yang terpajang di kamarnya. Tangannya makin cepat melepas fotoku, merobeknya, meremasnya, melemparnya ke tempat sampah kecil di sudut kamar. Figura dan beberapa barang lainnya pun tak luput dari usaha pembersihan besar-besaran yang dilakukannya dengan penuh emosi.

“Hoi, heh, kau…” Mau mencegah pun tak bisa. Aku cuma bisa diam saja sambil menatapnya tak percaya.

“Buang… buang… buang semua benda tak berguna ini… kotor… menjijikan… Sasuke sial… buang semuanya… buang… buang…” gerutu Sakura.

Sraak…

Terakhir yang dia lempar ke tempat sampah adalah agenda merah marun yang dulu sempat jadi masalah buat Karin. Agenda yang kutahu isinya catatan aktifitasku sehari-hari yang rutin Sakura tulis. Dan sekarang dia membuangnya.

Deg!

Sesuatu dalam dadaku berdebar sakit. Melihat Sakura berwajah dingin tega melakukan semua ini. Membuang kenangannya seperti sedang membuang diriku. Semarah itukah?… Sebenci itukah dia padaku sekarang? Padahal dengan melihat kamar ini terisi banyak barang yang berhubungan denganku, aku bisa bayangkan saat Sakura dulu menatanya rapih sembari berdebar memikirkanku. Dia berharap dan dengan perasaan cinta dia simpan kenangan itu satu per satu. Sama seperti yang kulihat dalam diary yang kubaca dan isi kotak berharga yang menyimpan kenangan kami. Bukan seperti ini, yang dengan tak berperasaannya Sakura putuskan membuang segalanya.

Masih terdiam, aku menatap gadis berhelaian soft-pink itu tampak sibuk mencari-cari sesuatu. Dia berjinjit naik keatas kursi memeriksa lemari, sampai berjongkok dan masuk ke kolong tempat tidur.

“Apa yang kau cari? Apa yang masih belum kau buang?” tanyaku datar.

“…” Sakura tak menjawab.

“Kotak kayu manik berukir?” tebakku.

Sakura menoleh, menatapku curiga. “Bagaimana kau tahu?” tanya gadis itu heran.

 “2307.” kataku sambil tersenyum samar.

Wajah Sakura berubah tegang, “Kau, kenapa….” Dia tampak tak percaya.

“Tanggal ulang tahunku bahkan sampai kau jadikan kode kunci kotak berhargamu. Itu bukti kalau kau sangat mencintaiku, Sakura.”

Emerald hijau itu membulat, memelototiku. Tampak ada kemarahan didalamnya. “Darimana kau tahu? Bagaimana kau tahu soal kotak itu? Dimana kotak itu sekarang?!”

“Hn. Ada padaku.” jawabku sambil mengerling.

Sakura cepat menyerangku. Dia cengkeram leher bajuku. “Kembalikan.” desisnya.

“Hn. Tidak mau.” tolakku.

“Itu… milikku. Kembalikan, Sasuke!” pintanya, sangat memaksa.

“Untuk apa kukembalikan kalau kau akan membuangnya. Lebih baik aku yang simpan.”

“Bagaimana kotak itu bisa ada padamu? Kau buka isinya?” tanya Sakura.

“Aku tahu kode kuncinya sudah pasti tentu bisa lihat isinya, kan?”

 “Kau…”

“Hadiah ulang tahun, sampah tak berharga, foto dan…” Aku sengaja tak selesaikan kalimatku. Dia jelas tahu apa saja isi kotak itu.

“Kau tak membacanya, kan?” tanya Sakura dengan suara tercekat.

“Hn.” Aku hanya mengangkat sedikit bahuku menjawab pertanyaannya.

Seketika itu emeraldnya berkilat, makin menatap tajam. Emosi gadis itu kian meluap. Cengkeraman tangannya makin erat. Aku serasa tercekik. “Sembarangan, kurang ajar sekali kau berani baca diary orang!” raungnya.

Merasa tak nyaman, aku mulai berontak melepaskan cengkeramannya. Sakura serius. Aku sungguh bisa mati kalau terus membiarkannya mencekikku seperti ini. Tak sengaja aku dorong gadis itu. Sakura yang kehilangan keseimbangan hampir terjatuh ke belakang.

“Eeheeh…” Tak ingin biarkannya terluka. Aku bermaksud menarik kembali tangan Sakura. Tapi aku sendiri malah tak sengaja menginjak potongan kertas-kertas foto yang berserakan di lantai. Membuatku ikut terpeleset, terhuyun dan akhirnya kami sama-sama terjatuh.

Bruugh…

Untung saja ke atas ranjang. Aku menindih Sakura sebentar. Sebelum cepat kuangkat tubuhku darinya, tak ingin lama membebani gadis itu dengan berat tubuhku. Padahal kalau suasananya lain, mungkin situasi ini akan sedikit berbeda.

‘Tidak’. Aku menggeleng, cepat mengenyahkan nafsu liar lelakiku. ‘Sadarlah Sasuke. Yang ada kalau kau serang Sakura sekarang, kau pasti terbunuh.’… Setidaknya itulah yang kutebak akan Sakura lakukan padaku setelah ini. Mungkin memaki sambil mendorongku jauh. Tapi nyatanya…

Glek….

Aku menelan ludah. Perasaanku tegang. Onyx-ku membulat. Saat kudapati Sakura terdiam. Wajahnya berubah pucat. Ekspresinya membeku. Emeraldnya yang terbuka menatap kosong.

“Sakura…” Aku panggil gadis itu, “Sakura…” Aku mengernyit. Apa dia sedang bercanda? Keadaannya aneh. “Hoi, Sakura!” panggilku lagi sembari menepuk-nepuk pipinya. “Sakura!” teriakku.

Tak lama dia tersentak. Matanya mengerjap seolah barusan aku sungguh sudah membangunkannya dari lamunan.

“Kau kenapa?” tanyaku cemas.

Seketika itu cairan bening mulai tampak berkumpul di atas emeraldnya. Bibir gadis itu bergetar. Cepat dia sembunyikan dengan sebelah tangannya yang gemetar. Tidak. Tak hanya itu, tubuhnya pun ikut gemetaran. Responnya aneh untuk sekedar karena jatuh tadi. Tapi itu mungkin saja wajar kalau barusan dia alami trauma. Aku menduga perasaan terhempas yang Sakura rasakan tadi mengingatkannya saat dia terhempas jatuh dari tempat yang tinggi dulu. Membuka kembali kenangan mengerikan yang pernah dia rasakan.

“Sakura…” Aku menatap teduh gadis yang tampak masih ketakutan itu. Perlahan menariknya masuk dalam pelukanku.

“Whuaaa… aaa… aaa… aa…” tangis itu pun akhirnya pecah. Sakura makin meringkuk dalam dekapanku. Mencengkeram erat bajuku kuat-kuat. Seolah tak ingin lepas. Miris aku merasakannya. Meski tak tahu ketakutan seperti apa yang dialaminya sekarang. Rasanya mungkin lebih menyakitkan daripada luka luar yang sudah dideritanya.

Aku tak tahu apapun soal perasaannya. Dia gemetaran. Tangan yang menahanku itu pun,… air matanya,… suaranya,… hatinya pun… semuanya gemetaran.

“Sakura, iya, sudah, tak apa-apa. Kau baik-baik saja sekarang. Tenanglah.” bisikku sembari terus membelainya. Menenangkan gadis itu.

Dari luar mungkin suasananya terlihat romantis. Saat sepasang manusia berlainan jenis berbaring bersama di atas ranjang dengan jarak berdekatan. Saling mendekap erat dan berbagi kehangatan. Tapi tidak untuk kami saat ini.

Dalam keheningan, terkadang yang terdengar hanya segukan samar gadis itu. Atau bisikan kalimat kecilku yang menenangkan. Perasaan yang menyelimuti kami sekarang adalah perasaan takut untuknya dan rasa bersalah untukku. Kembali aku sadari yang membuat Sakura sampai seperti ini tentu saja diriku. Aku sungguh merasa berdosa mengingat yang kutorehkan tak hanya luka yang terlihat membekas di tubuhnya.Tapi kulukai juga perasaan, hati dan pikirannya bahkan sampai seperti ini.

Kurasakan nafas beratnya mulai teratur, begitu pula dengan degup jantungnya yang kembali berpacu normal. Tangan yang sedari tadi mencengkeram eratku pun telah lunglai. Dalam wajahnya yang terlelap, kulihat Sakura sudah kembali tenang. Dia lelah. Menangis sampai tertidur.

Syukurlah,… Aku menghela nafas lega.

Setelah merasa cukup dan tak ingin mengganggu tidurnya, aku lekas bangkit dari sisinya. Walau sebenarnya masih ingin berada lebih lama dan lebih dekat dengan gadis itu.

Kuselimuti tubuhnya dan sebentar membelai kembali sebelah pipi ranumnya. Menelusuri jejak air mata mengering sampai pada ujung kelopak matanya yang kini jadi sembab.

Oyasumi… ii yume mitai.” bisikku terakhir sembari mengecup keningnya.

Aku mendengus ketika kuperhatikan kembali keadaan kamar yang berantakan ini. Sampah berserakan di lantai. Sebentar aku membereskannya. Perasaan kecewa datang tatkala aku sungguh membuang sobekan lembar foto-fotoku sendiri. Dari tempat sampah, aku pungut kembali agenda yang tadi sempat dia buang, beberapa barang dan figura yang masih belum rusak, lalu menaruhnya diatas lemari. Sedikit aku sembunyikan benda-benda itu. Mungkin Sakura akan kembali membuangnya kalau dia temukan ini. Tapi aku tak tega membiarkannya membuang segala kenangan yang kurasa dulu begitu berharga baginya.

“Sakura, kau sampai seperti ini…” gumamku tak mengerti. Semarah itukah? Sebenci itukah? Hatiku sakit jadinya.

Sebentar aku tatap sebuah foto yang terbingkai dalam figura cantik berukir. Foto yang tadi kulihat Sakura pun termenung memperhatikannya. Gambar didalamnya tak begitu istimewa. Hanya menampilkan sosokku dan Sakura di usia 13 tahun. Foto yang diambil sewaktu pertama kali kami bertemu. Seperti biasa, aku terpotret dengan wajah dingin yang cuek. Nyaris buang muka sembari melipat kedua tanganku di dada. Lain dengan anak gadis disebelahku yang dengan cerianya tersenyum sampai emeraldnya menyipit. Berwajah imut sembari menaruh kedua tangannya yang terkepal di sisi kiri dan kanan pipinya.

Kembali kulayangkan pandanganku menatap sosok Sakura yang kini terbaring lelap. Meski hatiku sekarang sakit tapi kupikir hati gadis itu pun sama sakitnya. Selama bertahun-tahun dia tanggung rasa itu sementara aku tak peduli. Apa aku berhak mengeluh padanya sekarang?

“Hhh~…” Aku menghela nafas panjang, “Maafkan aku, Sakura.”

.

.

Baru saja aku keluar dari kamar, aku terkejut setengah mati mendapati seseorang telah berdiri dihadapanku.

“Bi, bibi…” kataku dengan gugup, melihat bibi Tsunade muncul tiba-tiba.

Matanya bergulir bolak-balik melihat ke arah Sakura yang berbaring di kamar dan penampilanku yang sedikit berantakan.

“Eu, aku… kami tak lakukan apapun.” kataku coba jelaskan. “Tadi Sakura…”

“Dia tidur?” tanya bibi Tsunade, menyelaku.

“Hn.”

“Baguslah.” Wanita berambut pirang yang tampak awet muda itu tersenyum samar, “Terima kasih.” ucapnya kemudian.

“Tidak.” balasku, pandanganku tertunduk. Aku menggeleng. “Aku tak pantas menerima kata itu. Bibi, sebenarnya aku,… aku… ada hal yang ingin aku bicarakan.”

“Sstt,…” desis bibi Tsunade, kembali menyelaku. “Aku tahu.”

Aku terperangah. Jantungku berdebar. Perasaanku jadi tak karuan. Dia tahu?

“Mikoto sudah ceritakan semuanya. Pantas saja sekarang sikap Sakura berubah. Dia bahkan sampai mengarang kebohongan soal amnesia. Rasanya aneh sekali…”

“Maaf…” gumamku, sungguh merasa bersalah. Cepat atau lambat ini pasti terjadi, saat mereka tahu apa yang sebenarnya kami sembunyikan. “Aku akan terima hukumanku.” kataku pasrah.

“Iya, kau harus terima hukumanmu.” kata bibi Tsunade.

“Apapun akan kulakukan. Tapi aku tak mau kalau sampai harus berpisah dengan Sakura. Aku benar-benar menyesal. Aku sekarang sungguh mencintainya, bibi, jadi aku mohon…”

“Benar kau mengatakannya dengan sungguh-sungguh? Kau mencintai putriku?” tanya bibi Tsunade.

Tanpa ragu aku mengangguk mengiyakan.

Satu senyuman tampak di wajah wanita itu. “Baguslah. Makanya aku bilang aku berterimakasih padamu.”

Aku mengernyit, tak mengerti.

“Terima kasih karena kau kini tulus mencintai Sakura. Yang terjadi di masa lalu mungkin musibah bagi keluarga kita. Bagus kalau sekarang kau sudah sadari kesalahanmu. Kau pun pasti berat menjalani semua ini. Apapun yang terjadi, kami sangat ingin melihat kalian berdua bahagia bersama. Tapi melihat keadaan Sakura sekarang sepertinya akan sulit. Dan itu hukuman untukmu Sasuke.” Perlahan bibi Tsunade menaruh kedua tangannya di bahuku. “Jadi berusahalah sebaik-baiknya.”

Aku terperangah mendengar perkataannya. Kupikir aku akan kena damprat wanita yang terkenal kejam dan lebih keras dari ibuku ini. Tapi sebaliknya ternyata dia malah mendukung dan menyemangatiku. Rasanya senang sekali.

“Tapi ingat,…” cengkeraman tangan bibi Tsunade jadi lebih erat. Matanya berubah menatapku tajam. Aku jadi sedikit takut melihatnya. “Aku tak akan memaafkanmu kalau sekali lagi kau buat Sakura terluka.” lanjutnya.

“Hn.” Tanpa ragu aku mengangguk mantap. Senyumku mengembang. Setelah dikatai seperti ini, perasaanku malah jadi lebih baik. Yang diucapkannya bukan ancaman atau peringatan, tapi lebih pada amanat yang harus kujaga.

.

.

.

.

.

.

Cahaya matahari hangat menyinari hari minggu pagi yang cerah. Langit biru bersih dengan semburat awan tipis seperti kapas pun tampak menghiasi. Di hari seperti ini sudah pasti cocok dipakai buat jalan-jalan. Pergi bersama orang yang kau cintai alias berkencan.

Aku baru saja sampai di depan pintu gerbang rumah besar keluarga Haruno dan langsung terperangah menatap sesosok gadis cantik melenggang turun menyusuri tangga halaman layaknya seorang bidadari yang turun dari khayangan. Aku terpesona melihat penampilan Sakura yang berbalut white-dress selutut berpadu cardigan merah dengan sedikit hiasan bunga tersemat di dada kirinya. Sementara rambut soft-pink sebahunya tetap dibiarkan terurai dan diberi bandana merah sebagai pemanis. Sederhana namun elegan. Mungkin karena lama aku terbiasa melihat Sakura berpakaian piyama atau biasa, aku pikir penampilannya sekarang jadi terlihat cantik. Iya, dia sangat cantik.

“Wow, hebat sekali, aku baru mau datang mengajakmu keluar, tapi kau ternyata sudah siap.” kataku, “Kita sehati ya, Sakura.”

“Ng?” Sakura mengernyit menatapku, “Siapa yang mau pergi denganmu.” katanya.

“Lho, kau sampai berdandan secantik ini kalau bukan mau pergi memang mau kemana?” Aku lekas menarik tangan Sakura, “Cuacanya cerah. Kita pergi jalan-jalan yuk.” ajakku.

“Aaah~ lepas!” kata Sakura seraya mengenyahkan tanganku. “Aku memang mau pergi, tapi bukan denganmu.”

“Hah? Terus sama siapa? Ibumu atau…”

Tiit… tiit….

Perhatianku teralih oleh bunyi klakson jazz merah mentereng yang terparkir di seberang jalan. Sesosok manusia dengan helaian rambut warna serupa yang tak kalah mencoloknya pun lekas keluar dari dalam mobil itu.

“Kak Sasori!” panggil Sakura sambil tersenyum ceria dan melambaikan tangan.

Pria yang jelas lebih tua dariku tapi masih bertampang baby-face itu berjalan dengan belagunya menghampiri kami. Seraya melepas kacamata hitam yang dipakainya, dia meraih sebelah tangan Sakura, sedikit membungkuk lantas mengecupnya. “Pagi, Hime.” sapanya, “Kau cantik sekali hari ini.”

Hime??… Aku sampai sweatdrop melihat kelakuannya yang norak. Gombal abis. Plus menyebalkan.

“Terima kasih.” balas Sakura yang tampak senang diperlakukan seperti itu.

Halah, bisa-bisanya dia tersanjung oleh rayuan Sasori. Sakura baka!

“Apa maksudnya ini?!” tanyaku setengah emosi. “Jangan bilang kalau kau…”

“Aku mau kencan.” kata Sakura, lantas beralih ke sisi Sasori dan menggandeng lengan pemuda itu. “Dengannya, hihihi~… bye Sasu.” Gadis itu bahkan dengan sengaja melambaikan tangannya padaku seraya berpamitan.

WHAT THE!!….

Aku melohok menyaksikan mereka. Tunanganku pergi kencan dengan lelaki lain?

“Heh, tunggu!” aku kejar mereka. Lekas menarik tangan Sakura sebelum dia masuk ke mobil Sasori. “Siapa yang ijinkan kau pergi dengannya? Tidak boleh!” titahku.

“Iih, apa sih Sasu. Aku sudah bilang pada orangtuaku, mereka bilang boleh.” kata Sakura.

“Aku yang tak ijinkan. Kau tak boleh pergi dengannya!”

Sakura mengerling, tersenyum samar seolah meremehkan. “Apa hakmu? Kau pikir kau pantas melarangku, heuh? Egois sekali kau, sedangkan dulu kau bebas melakukannya!”

Tch,… Aku paling benci kalau Sakura sudah membahas masa lalu. Dia benar. Aku dulu suka seenaknya melakukan hal yang kusuka. Sementara aku pacaran dan berkencan dengan gadis lain, dia tak pernah protes meski hatinya pasti kesal dan sakit.

“Err, pokoknya tak boleh. Jangan pergi dengan dia.” Aku mendelik pada Sasori. “Kau pikir kau akan aman berkendara dengannya. Dia pernah alami kecelakaan mobil, mana bisa kupercayakan keselamatanmu padanya.”

Sasori terkekeh, “Heh, tenang saja. Aman kok. Aku akan hati-hati. Lagipula sekarang aku sudah sembuh. Asal kau tahu saja, kecelakaan waktu itu bukan salahku. Temanku yang menyetir, aku cuma korban. Si Deidara itu juga sekarang sedang dalam proses pengadilan. Bisa-bisanya dia menyetir dan alami kecelakaan gara-gara ngebut dan tersibak poninya sendiri. Ckck~… kalau ingat kejadiannya rasanya malah jadi konyol.”

“Iya, tak ada yang perlu kau cemaskan, Sasu.” Sakura malah mendukungnya.

“Err, tapi tetap saja…” Aku putar lagi otakku, mencari-cari alasan. “Mana bisa kubiarkan kau pergi dengan orang asing.”

“Ya ampun,…” Sasori geleng-geleng kepala. “Ribet banget sih, Sakura. Cuma mau ajak kau jalan saja susah amat. Orang itu bahkan lebih protektif dari ayahmu.” sindirnya.

“Tch, tentu saja. Memang yang kau ajak itu siapa? Dia bukan gadis sembarangan. Dia itu tunanganku, tahu!” bentakku.

“Tunangan?” Sasori menatap Sakura, “Bukannya dia itu pesuruhmu?”

“Hahaha~…” Sakura hanya tertawa kecil. Padahal tak ada sesuatu yang lucu disini. Emosiku sudah hampir meledak. “Sudahlah kak Sasori. Biarkan saja dia. Ayo kita pergi.”

Aku kembali menahan tangannya.

“Iih, lepaskan aku, Sasuke!” protes Sakura, “Kau tak berhak melarangku!”

Aku makin menarik gadis itu mendekat padaku dan merangkulnya. “Heh, dengar ya, Akasuna. Dia, Sakura Haruno itu milikku, Sasuke Uchiha. Camkan baik-baik!” ucapku tegas pada Sasori.

“Sasuke, norak banget sih kelakuanmu.” Sakura lekas mendorongku jauh. “Itu masih belum resmi kan. Jangan bicara sembarangan.”

Haah? Sembarangan?… Aku benar-benar terhenyak mendengar perkataan Sakura. Tega sekali dia menolakku terang-terangan di hadapan orang lain.

“Uchiha…” gumam Sasori. Ekpresinya sedikit berubah. Dia balas melihatku, menelisik memperhatikanku dari atas hingga bawah.

Apa maunya?… pikirku. Tatapannya buatku tak nyaman.

“Kau bilang kau Uchiha?” tanya Sasori. “Sasuke Uchiha?”

“Hn. Ya. Kenapa? Masalah buatmu?” tantangku. “Kenapa kalau aku seorang Uchiha?” Bukannya mau sombong, Asal tahu saja margaku itu cukup special. Jadi wajar saja kalau orang yang mendengarnya sedikit terkejut.

“Hah, pantas saja wajahmu rasanya tak asing. Kau sekilas mirip dengan temanku.” kata Sasori.

Kali ini giliran aku yang mengernyit heran melihatnya, “Teman?” Entah kenapa firasatku jadi tak enak.

“Iya, aku punya teman. Dia juga seorang Uchiha. Entah mungkin saudara atau kerabat jauhmu, namanya Itachi. Itachi Uchiha.” lanjut Sasori.

Deg!…

Onyx-ku seketika membulat, aku terhenyak mendengar nama ‘Itachi’ disebutnya. “Itachi? Kau kenal Itachi?” tanyaku tak percaya.

Sasori mengangguk.

Tanpa sadar aku langsung menyerang lelaki itu. Kucengkeram kerah lehernya kuat-kuat. Bertanya padanya dengan penuh emosi. “Benar kau kenal dia? Apa kau pernah bertemu dengannya?”

“Hmm, ya, sebenarnya waktu aku sakit, dia juga sempat menjengukku.” kata Sasori.

“Benarkah? Dimana dia? Apa kau tahu dimana orang itu sekarang?!”

“Eh, heh, Sasu… Apa yang kau lakukan!” Sakura lekas melerai kami. Dia mendorongku jauh dari Sasori. “Kau kenapa sih?”

Perasaanku masih bergejolak. Dalam pikiranku terbayang sosok seorang pemuda yang berusia 4 tahun lebih tua dariku. Berdiri memunggungi memperlihatkan punggung tegapnya dan helaian raven gelap yang dikuncir panjang. Onyx serupa diriku itu menatapku dengan tatapan yang tak kumengerti. Sedikit wajah rupawannya tersenyum samar. Itulah gambaran Itachi yang terakhir kulihat. Entah seperti apa wajahnya sekarang, lebih dari 5 tahun aku tak pernah bertemu lagi dengan orang itu.

“Memangnya Itachi itu siapa?” tanya Sakura tak mengerti.

“Dia, Kakakku dan…” Sejenak aku terdiam, kutatap Sakura lebih dalam. Haruskah kukatakan rahasia itu padanya. Kalau sebenarnya Itachi itu….

“Sakura, jadi pergi tidak?” sela Sasori.

Gadis itu bolak-balik menatapku dan Sasori bergantian. Sesaat merasa ragu. Tampak di matanya sedikit kecemasan saat melihatku. Kupikir aku bisa memenangkan keraguan sesaat yang membuatnya bingung, tapi… “Ehm, iya, aku pergi.” kata Sakura. Gadis itu putuskan melenggang bersama pemuda berambut merah itu. Sekilas dia masih sempat melirikku sebelum masuk ke mobil dan Sasori menutup pintunya.

Bruumm…

Mobil itu melaju meninggalkanku yang pada akhirnya cuma bisa diam. Kujambak helaian rambut ravenku sebentar. Pusing sekali rasanya. Perasaanku kacau. Karena Itachi tadi sesaat aku bingung. Sasori bilang dia mengenalnya. Aku curiga, kalau begitu jangan-jangan Itachi masih ada di kota ini.

Mendadak aku resah. Aku khawatir memikirkan orang yang pergi begitu saja 5 tahun lalu, apa suatu hari akan kembali lagi dan mengambil apa yang dulu jadi miliknya?

“Tidak!… Dia tak akan berani.” gumamku, mencoba meyakinkan diri sendiri.

“Hhh~…” Sejenak aku menghela nafas panjang. Aku menoleh dan memandang jauh ke arah mobil Sasori tadi pergi. Kupikir sekarang ada hal lain yang lebih penting kulakukan.

Sakura….

Aku harus mengejarnya.

=0=0=0=0=

TBC… Next to chapter 8

=0=0=0=0=

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Bachot session from Author:

A~Ye~… (^-^)/ “Akhirnya publish juga. Maaf lama~…” <– kayaknya ini udah jadi kalimat wajib Author tiap ng-bacot deh, hehe~ (=___=)a

Wkwkwk~… bahkan tulisan itu pun saya copas dari chapter sebelumnya, heu~… *saking malesnya* <- sekarang saya copas lagi dari chapter sebelumnya 😛 hihihi~…

Untuk membalas chapter 6 yang katanya dikit (cuma 300o-an kata), kali ini saya beri  5000-an deh, hehehe~… Bagaimana reader, apa sudah puas? Sepertinya tidak ya, karena saya lama publish, wkwkwk~… #bletak *ditimpuk*

Hmm, senangnya sekarang jadi banyak reader baru yang komen (T-T) *terharu* … Bahkan saya coba publish FF ini di FFn juga responnya cukup bagus, uhmmm… tengkyu… tengkyu… *Padahal FF GaJe*… Syukurlah kalo ceritanya pada suka, kalo masih ada kekurangan, harap dimaafkan dan jangan lupa kasih saran… m(_ _)m … *minta komen*

This chapter special for YaYaK, kazunarilady, Dwi Kharisma, asdf,  Marshanti Lisbania Gratia, Lailan slalu mencintai ghalma, Sarah Zakilasv3p, Jile Tamariska Sing, Decha, chii, Sslove, Itha, Rahma, nathaya, Amaterasu Uchiha, zoggakyu, gee, sohwarizkia dan kamu yang udah baca FF ini tapi gak meninggalkan jejak komen. Terima kasih sudah baca (^-^)/

Whoaa~…. Sudah ada nama Itachi disebut-sebut sebenarnya ada apa? Hmm, lalu apa Sasuke akan diam saja melihat Sakura kencan dengan Sasori?

Apa?! Spoiler chapter 8 ???? Ok deh…

== *Yang gak suka dikasih bocoran, silahkan lewati bagian ini* ==

Ini konyol. Aku sudah benar-benar tampak seperti penguntit. Aku yang seorang Uchiha, pemuda tampan, keren, berkarisma, serius melakukan ini? Imej-ku. Harga diriku. Bisa-bisa turun kalau sampai ketahuan.

Jalan bersama. Pergi makan. Nonton film romantis? Baiklah, masih bisa kumaafkan. Tapi apa itu?? Hoi, berani sekali dia mau grepe-grepe cewek orang. Aku yang tunangannya saja belum pernah lakukan itu. Aish~… Sakura baka! Harusnya kau cepat bereaksi menghajarnya.

“Kyaaa~ Sasuke, apa yang kau lakukan? Kenapa ada disini?!”

“Sialan kau, beraninya merusak kencan pertamaku. Menyebalkan. Kau jahat. Kau tak pernah biarkan aku bahagia. Kau senang melihatnya? Senang melihatku menderita?!”

“Baiklah. Akan kutebus kesalahanku. Masih ada banyak waktu. Ayo pergi kencan denganku.”

“Tidak mau. Aku sudah bilang kan jangan paksa aku.”

“Wah~ coba lihat, tak kusangka kita akan bertemu disini. Mantanku dan….” Mata Karin bergulir menatap tajam Sakura yang berdiri di sebelahku.

“Bagaimana rasanya setelah kau berhasil merebut kekasih orang lain? Kupikir kau tetap hidup pun pasti tak bahagia, kan?”

Plaakk… Aku melohok tak percaya Sakura sungguh berani melakukannya.

“Dari awal Sasuke itu milikku, dan akan selalu jadi milikku!”

“Aku terkesan mendengarnya. Berarti sekarang kau sudah mau menerimaku, Sakura?”

“Aku membencimu. Enyah kau dari hadapanku. Kalau perlu, mati aja sana!”

“Baiklah, akan kulakukan kalau itu buatmu bahagia….”

“Sasuke!!”

Sial. Pasti aku benar-benar mati. Ya sudahlah, mungkin ini masih bagian hukum karma yang harus kuterima. Selamat tinggal, Sakura.

Ckiitt…. Duak…

==================*end of spoiler*=======================

Huaaa~ spoiler macam apa ini??? *dag-dig-dug*

Apa yang sebenarnya terjadi? Nantikan chapter 8 ….

Jaa~ (^-^)/ *kabuuuur* -> takut digebukin fans Sasuke

“Tenang, gak akan bikin sad story kok.” (^-^)v  *Masa iya tokoh utamanya mati?*

42 Comments

Leave a Reply

6 Pings & Trackbacks

  1. Pingback:

  2. Pingback:

  3. Pingback:

  4. Pingback:

  5. Pingback:

  6. Pingback:

Leave a Reply to FuRaha Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *