Cherry, LOVE me [again] : Chapter 8

Cerita sebelumnya…. Baca [Chap 1] [Chap 2] [Chap 3] [Chap 4][Chap 5] [Chap 6][Chap 7]

Sakura pergi bersama Sasori. Itu cuma kencan, apa masalahnya? Bukankah dulu aku juga sering melakukannya?

“Heh, baka! Berhentilah berkeliaran disekitarku!” ketusku waktu itu. Berulang kali kukatakan pada Sakura setiap kali kepergoki dia menguntitku saat pergi kencan.

Yah, dulu aku tak habis pikir kenapa ada orang tolol seperti dirinya yang berbuat konyol tak berguna. Membuang-buang waktu dengan mengikuti kemanapun aku pergi. Terkadang kutemukan dia duduk sendirian di meja sudut café tersembunyi atau tak sengaja bayangannya kulihat terpantul dari kaca jendela etalase toko yang kulewati. Tak ada yang dilakukannya, hanya diam memperhatikan. Meski berulang kali kuhindari, tapi sekelebat bayang gadis itu nampak selalu muncul bahkan dalam sudut pandang terkecil onyx-ku sekalipun.

Sungguh aku tak mengerti kenapa dia dulu bersikeras melakukan hal sia-sia seperti itu. Mungkin bukan sekedar untuk menarik perhatianku. Padahal aku yakin apa yang dilihatnya selama dia berjalan di belakang hanya akan menusuk kembali gurat luka tak tersembuhkan yang sudah kutorehkan. Bukan pada raga, melainkan pada hatinya yang sengsara. Saat aku dengan sengaja membiarkan gadis lain mengisi tempat dimana dialah yang seharusnya pantas berada disisiku. Menggandengku, merangkul mesra, memeluk erat, bersenda gurau, tertawa bersama, merasa bahagia. Dihadapan Sakura aku bersenang-senang menikmati hidupku sendiri tanpa peduli akan perasaannya.

Dan barulah sekarang aku sadari, “Oh, jadi seperti ini…”

Melihat tunanganku bersama orang lain dadaku terasa sakit. Sesak seperti tertekan. Ada yang bergelora. Panas membara. Terbakar kecemburuan. Membuatku geram. Lebih dari sekedar perasaan sedih dan ingin menangis, yang ingin kulakukan adalah pergi menghadangnya dan merebut kembali tempat itu. Tempat yang seharusnya jadi milikku, di sisi Sakura.

=0=0=0=0=0=0=

=0=0=0=

Cherry, LOVE me [again] : Chapter 8

Chapter: 8/?
Pair: Sasuke Uchiha x Sakura Haruno 
Rate: T
Genre: Romance, Hurt/Comfort
Disclaimer: NARUTO © MASASHI KISHIMOTO
Length:   6.006 words
WARNING: OOC, typo, alur GaJe cerita se-mau-gue. 

Story by

Me!! [FuRaha]

If you don’t LIKE? Read? Don’t Read?

WHATEVER!!!

~Itadakimasu~

*

*

*

Tap… Tap… Tap…

Aku langkahkan kakiku yang asalnya cepat menjadi lebih ringan. Ada jarak sekitar delapan meter.

Aman.

Tap… Tap… Tap…

Sampai di persimpangan jalan, langkahku terhenti dan lekas bergerak mundur, menarik diri bersembunyi di balik punggung orang-orang yang berlalu-lalang disekitar.

Menunggu.

Dari jauh kulihat sekilas gadis berwarna rambut mencolok itu sedikit menoleh kearah belakang sebelum perhatiannya kembali teralih pada pemuda baby face yang berjalan disebelahnya. Sambil bersenda gurau, tak lama mereka kembali melangkah menyeberang jalan melintasi puluhan mobil dan kendaraan lain yang terhenti sejenak karena lampu merah menyala.

Huff~ tidak ketahuan, kan?

Harapku.

Menilai situasi sudah cukup aman, aku kembali bergerak mengintai mereka.

Tap…tap…tap…

Ini konyol. Aku sudah benar-benar tampak seperti penguntit. Aku yang seorang Uchiha, pemuda tampan, keren, berkarisma, serius melakukan ini? Imej-ku. Harga diriku. Bisa-bisa turun kalau sampai ketahuan.

Niat sekali aku melakukannya. Supaya tak mudah dikenali, aku bahkan sengaja mengenakan kacamata berlensa gelap dan jaket biru dongker bertudung yang sementara ini kupakai untuk menutupi hair stylist emo ciri khasku yang mencuat kebelakang. Tapi tentu saja meskipun aku sudah cukup banyak menutup diri, penampilanku tetap terlihat keren. Terbukti masih banyak kutemui gadis-gadis yang melirik dan tersenyum, curi-curi pandang padaku selama aku berjalan meski penampilanku sekarang seaneh ini. Walau dengan kacamata dan jaket tebal, sepertinya aku tampil lebih baik, tidak tampak semisterius Shino Aburame, teman kuliahku yang maniak serangga itu yang biasa berdandan sepertiku sekarang.

Sstt~… cukup bersikap narsisnya, mari kita kembali pada pengintaian.

Awalnya tadi aku nyaris putus asa, berpikir tak akan bisa menyusul Sakura dan Sasori yang sudah pergi lebih dulu tanpa menyisakan petunjuk apapun soal kemana tujuan mereka. Tapi untung saja bibi Tsunade ada dipihakku. Alih-alih mengkhawatirkan kondisi kesehatan Sakura, pura-pura menelepon ponsel gadis itu, sekalian saja tanyakan dimana mereka sekarang berada. Meskipun sebenarnya aku sendiri sudah punya feeling pasti tempat yang mereka datangi tak akan jauh dari distrik Konoharajuku yang biasa dikunjungi anak muda buat hang-out di akhir pekan. Kencan sambil melewati jalan-jalan ramai yang diisi dengan toko-toko, berbagai fashion butik, restoran cepat saji dan café.

“Hmm, bagaimana rasanya?” tanya pemuda berambut merah itu. Manik obsidiannya menatap intens sang emerald, “Kau suka?”

“Hmmm,…” Si gadis berhelaian merah muda mengangguk kecil, wajahnya tersipu lantas menggulum senyum malu-malu. “Iya, aku suka….”

“Bagus lah kalau kau suka,…” Sasori masih mendekat, perlahan jemarinya menyeka sedikit ujung bibir Sakura. “Kau tak pintar gunakan lidahmu ya, sampai belepotan gini. Padahal tadi langsung jilat saja. Hmm, gimana, sudah tahu rasanya enak, kau mau coba lagi tidak Sakura?” tawar Sasori.

“Eh, ta, tapi…” Gadis itu tampak gugup, entah karena perlakuan Sasori atau karena mendengar kalimat beragam makna yang didengarnya kemudian.

“Aku tak keberatan kok, kalau kau mau, akan aku berikan….” Dari ujung bibir, jemari pemuda itu kini beralih menyisir tepi rambut soft-pink Sakura ke belakang telinga. “Jadi, apa kau mau, milikku?” tanyanya, bicara dengan nada terdengar menggoda.

“Sungguh? Semuanya….” Sakura balik bertanya. “Kau akan berikan itu untukku?”

Sasori mengangguk. “Iya, apapun untukmu….”

“Baiklah.” Satu senyum ceria tampak di paras cantik gadis musim semi itu. “Makasih kak, kalau gitu ini buatku.” Sakura lantas mengambil es krim milik Sasori. “Aku tak tahu kalau mint tea ice cream rasanya akan seenak ini. Bosan kalau strawberry terus. Eh, tapi benar nih tak apa-apa kalau es krim-mu buatku?”

Sasori terkekeh pelan, “Iya, ambil saja kalau kau suka.”

“Asyik.” riang Sakura, “Hmm, lalu kau sendiri? Apa sebaiknya kita kembali ke kios tadi dan beli es krim rasa baru ya?”

“Tidak usah. Melihatmu menikmatinya saja buatku sudah cukup.”

“Mana bisa begitu….” Sakura mengerucutkan bibirnya. “Nih, kalau kau mau, punyaku untukmu saja?” Gadis itu menyodorkan es krim strawberry miliknya, “Kita tukeran. Aku juga tak mungkin menghabiskan dua-duanya sekaligus kan? Yah, tapi itu juga kalau kau tak merasa jijik…”

“Slurrp~…” Sasori lantas menjilat sedikit es krim strawberry yang masih ada di tangan Sakura. “Enggak kok, mana mungkin jijik, ini enak,…” Sambil tersenyum pemuda itu julurkan lidahnya dan menyeka ujung bibirnya sendiri yang sedikit belepotan.  

“Aaah~ kak Saso, jangan langsung tiba-tiba jilat dong. Untung es-nya tak sampai tumpah. Nih, pegang punyamu sendiri.” rajuk gadis itu, ikut-ikutan bertingkah manja.

“Hmm, suapi aku dong Sakura.” pinta Sasori.

“Hah? Su, suapi…” Sakura jadi salting, makin terlihat malu menghadapi Sasori yang terus melancarkan serangan jurus pemuda bertampang imut. Gadis mana yang bisa menolak menghadapi senyum manis dengan obsidian miliksi Akasuna itu yang balas menatap puppy-eyes.

Dan Sakura pun luluh.  “Ehm, baiklah. Aku suapi.”

“Wah, ini benar-benar enak.” kata Sasori disela menikmati es krim yang Sakura suapi untuknya.

“Iya, aku juga suka rasanya. Ini rasa favoritku.”

“Seleramu bagus.” puji pemuda itu.

“Kau juga.” balas Sakura sembari mulai mencicipi mint tea ice cream milik Sasori yang sekarang jadi miliknya. “Mau coba yang ini lagi tidak, kak?”

Tanpa penolakan Sasori langsung melahap es krim yang Sakura sodorkan. “Eh, kalau tukeran gini kita kaya ciuman gak langsung ya.” kata pemuda itu kemudian sambil terkekeh dan mengangkat sebelah alisnya.

Sakura pun ikut tertawa kecil. “Hahaha, iya ya…”

“Hmm, Sakura, apa nanti kita juga bisa ciuman beneran?” tanya pemuda baby-face itu, setengah bercanda kembali menggoda Sakura. Bikin si gadis musim semi makin tertawa dan tersipu malu.

Ggrr~…

Mendengar pembicaraan mereka, telingaku sampai panas rasanya. Bahas soal es krim saja bisa jadi seerotis itu.

“Dasar Sasoriii~ sialan!! Kuhajar kau kalau berani melakukannya.” desisku dengan geram sembari mengepalkan tangan.

Sungguh, kalau aku bisa keluar sekarang dan muncul dihadapan mereka, pasti akan langsung kupukul pria itu. Cih, sayang sekali aku yang masih bersembunyi di balik semak-semak tak jauh dari mereka sekarang ini cuma bisa menahan diri menyaksikan adegan roman itu.

Selama beberapa menit mereka berdua masih tampak asyik menikmati es krim sambil mengobrol dan duduk santai di sebuah kursi taman. Sakura terlihat gembira, sepertinya Sasori memperlakukannya dengan baik dan penuh perhatian. Tak kusangka pemuda itu mampu menyenangkan Sakura lebih daripada diriku. Belum pernah kulihat Sakura berwajah seceria itu saat bersamaku dulu maupun akhir-akhir ini. Miris rasanya melihat mereka berduaan.

Semakin lama mereka bersama, semakin mereka terlihat akrab. Si rambut merah itu sudah berani menggandengan tangan Sakura selama mereka berjalan-jalan. Sesekali bahkan dengan kurang ajarnya sampai merangkul bahu kecil Sakura atau melingkarkan tangannya di pinggang gadis itu.

Huff~… Baiklah, sekarang aku masih bisa sabar. Tapi sampai kapan?

Makin kuperhatikan jadi makin banyak adegan yang membakar mata dan emosiku. Entah dengan cara dan rayuan apa Sasori terus menggoda Sakura. Aku jadi kesal sendiri, disamping merasa cemburu saat kulihat Sakura menyandarkan kepalanya di bahu pemuda itu dan membiarkan Sasori membelai helaian rambut soft pink-nya dengan lembut sementara mereka menikmati tontonan film romantis di layar bioskop.

Aih~ dunia serasa milik berdua. Hoek… cuih… cuih…

Plung… plung… plung…

Sambil mengumpat kesal, kulempari saja kepala merah sialan itu dengan biji popcorn dari bangku belakang.

Sasori celingukan, mencari pelaku pelemparan diantara kegelapan. Buru-buru aku bersembunyi sebelum ketahuan. Untungnya ruangan bioskop kini tak terlalu penuh. Jadi tak akan ada yang curiga saat melihatku bertingkah aneh. Apalagi aku memang sengaja duduk di barisan bangku belakang yang jarang ada orang pesan.

Yah, pastinya kuyakin si bajingan itu punya niat busuk sampai sengaja pilih nonton roman picisan daripada film action 3D yang lagi booming di box office  sekarang. Makanya tak akan  kubiarkan dia curi-curi kesempatan pada Sakura.

Klontang…

Saat ada kesempatan aku lempar juga kaleng cola kosong tepat ke arah kepalanya. Bikin pemuda itu meringis kesakitan.

Sialnya, rencanaku menjatuhkan Sasori itu malah gagal.

“Ya ampun, siapa sih, iseng banget?!” kesal Sakura, tampak membela dan mengkhawatirkan Sasori. “Kakak gak apa-apa?” tanyanya sembari mengelus kepala merah itu yang kuharap jadi benjol.

Ugh~ harusnya kulempar saja tadi dia dengan batu sekalian biar kepalanya jadi bocor.

“Gak asyik ah Saku, kita keluar yuk.” ajak Sasori.  Lekas menarik tangan Sakura dan keluar dari ruang studio teater.

Aku pun sama, tak menunggu lama ikut mengendap-endap keluar mengikuti mereka.

Lorong panjang bernuansa red gold disepanjang jalur menuju pintu keluar studio tampak remang dan sepi. Tentu saja karena kami pergi di tengah acara pemutaran film. Jarang ada yang berlalu-lalang kecuali mereka yang hendak pergi ke toilet. Dan sepertinya situasi  seperti inilah yang memang dimanfaatkan Sasori. Aku sudah curiga ketika pemuda itu sejenak menghentikan langkahnya dan menahan Sakura.

Sambil bersembunyi di balik tembok sebelum belokan lorong tempat kedua orang itu berada, diam-diam aku memperhatikan, memasang telinga dengan seksama mendengar pembicaraan si merah dan pink yang sepertinya mulai terdengar serius.

“…”

“Kak Saso…”

“Sakura, sungguh aku serius menyukaimu. Jadilah pacarku.” ucap Sasori.

“Haah?!” Seketika itu onyx-ku membulat. Terkejut. Setengah tak percaya dengan apa yang barusan kudengar. Sasori menyatakan cintanya pada Sakura. Beraninya tuh cowok…

“Gimana Sakura, kau mau ya jadi pacarku?!” desak pemuda itu.

“Err, ta, tapi, kak Sasori, a, aku, aku tak tahu harus jawab apa kalau sekarang. Ini terlalu tiba-tiba. Aku masih…” Sakura jadi gugup, bingung dan salah tingkah.

“Kau juga suka padaku, kan?” tanya Sasori.

“Ehm, ya aku tak membencimu…”

Grep…

Tanpa basa-basi lagi Sasori langsung memeluk Sakura. “Ya, tak masalah kalau kau sekarang masih belum bisa menjawabnya. Tapi katakan saja kalau kau menyukaiku. Bagiku itu sudah cukup.” ucapnya sok baik dan dewasa, walau tetap terdengar agak memaksa. “Kau masih tak percaya? Akan kubuktikan kalau aku serius menyukaimu, Sakura…”

What the?!!…

Bagai air 99,99 derajat yang siap mendidih, aku mungkin sudah tak bisa lagi menahan diri. Daritadi sudah banyak yang kulihat. Jalan bersama. Pergi makan. Nonton film romantis? Baiklah, masih bisa kumaafkan. Tapi apa itu? Hoi, berani sekali dia mau grepe-grepe cewek orang. Aku yang tunangannya saja belum pernah lakukan itu.

Aish~… Sakura baka! Harusnya kau cepat bereaksi menghajarnya.

Saat kulihat tangan Sasori perlahan mulai bergerak. Yang kanan, dari punggung mulai turun sampai pinggang, bahkan hampir menyentuh bokong Sakura. Dan yang kiri perlahan naik menyusuri sebelah sisi tubuh gadis itu, terus sampai sedikit lagi nyaris mencapai bawah ketiaknya. Yang pasti siapapun tahu kalau sudah sampai sana, sengaja atau tak disengaja tangan itu akan menyentuh juga bagian tubuh tertentu yang lebih sensitif bagi wanita. Masih belum cukup, kepala merahnya bahkan siap tenggelam dalam celah antara helaian pink dan lekukan jenjang leher gadis itu.

100 derajat.

Amarahku yang mendidih pun membucah keluar. Tubuhku bereaksi, langsung bergerak sendiri menerjang Sasori.

“Aaaarrghh~…” … BUK… Kuhadiahkan pukulan keras pada si baby face itu sebagai salam pembuka. “Sialan. Beraninya kau…” geramku.

“Kyaaa~…” sontak Sakura menjerit. “Kak Sasori!!”

Cih, dalam hati aku makin kesal. Kenapa masih saja dia mencemaskan bajingan ini.

BUK…

Sasori tak tinggal diam. Dia balas memukulku. Seperti banci, buatku pukulannya barusan tak terlalu keras. Hanya berhasil mendorongku jauh sampai menabrak tembok dan membuat kacamataku sedikit melorot.

“Sasuke!!” cengang Sakura kemudian. Emeraldnya terbelalak tak percaya saat dia berhasil mengenaliku. Gadis itu lekas mendekat dan menarik paksa tudung jaket yang masih menutupi kepalaku. “Apa yang kau lakukan? Kenapa ada disini?”

Aku hanya mengerling pada Sakura, kembali fokus menatap Sasori yang kini balas menyeringai setelah mengetahui identitasku.

“Dasar bocah…” cibirnya.

Kuserang lagi lelaki itu, cepat mencengkeram kerah bajunya. Kuangkat sebelah tanganku yang terkepal, bersiap menghajarnya.

“Cukup!” teriak Sakura menghentikan. Dia tahan tanganku yang hampir melayang mengenai Sasori. “Jangan buat keributan, Sasuke.” pintanya.

Samar terdengar derap langkah mendekat. Mungkin petugas keamanan yang datang. Yah, dalam hati aku pun tak mau buat masalah. Terlebih lagi sampai melibatkan orang lain. Walaupun  situasi yang kuhadapi kini masih tak bisa dengan mudah kuterima, tapi akhirnya, dengan terpaksa kulepas juga lelaki itu.

“Dengar ya, Akasuna. Ini peringatan terakhirku. Sekali lagi kau berani menyentuh Sakura, aku tak akan pernah melepaskanmu.” desisku berkata tajam pada Sasori.

Segera setelahnya, lekas kuambil sebelah tangan Sakura dan langsung membawa gadis itu pergi tanpa basa-basi. Menghiraukan erangan protes dan rontaannya yang minta dilepaskan. Terus kuseret dia sambil masih membawa amarahku yang belum sepenuhnya terlampiaskan.

Sialan!

“Sasuke, lepas! Lepaskan aku! Sakit tahu! Lepas!” teriak Sakura.

Beberapa orang yang berpapasan dengan kami tampak memperhatikan dan menatap heran. Seakan sudah tak ada lagi rasa malu dalam diriku, aku tak peduli apa kata orang meskipun mungkin di mata mereka sikapku sekarang ini terlihat kasar dan keterlaluan.

Tak mungkin membawa Sakura yang berisik turun lewat lift, aku pilih jalan melalui tangga darurat. Sementara itu Sakura yang minta dilepaskan terus berontak sambil teriak dan memukulku.

“Aaaww~…” Aku meringis kala dia nekat menggigit tanganku. Refleks aku jadi mengebaskannya. “Sialan kau!” balasku kesal.

“Kau yang sialan! Beraninya merusak kencan pertamaku. Menyebalkan. Kau jahat. Kau tak pernah biarkan aku bahagia. Kau senang melihatnya? Senang melihatku menderita?” maki Sakura padaku sambil mendorong-dorongku. “Untuk apa kau mengikutiku, heuh? Dasar penguntit. Gak punya kerjaan!”

Tak bisa terus diperlakukan seperti ini, langsung saja aku tahan kembali kedua tangannya. “Cukup!” bentakku setengah berteriak pada gadis itu. Sakura sesaat bergeming. “Sungguh kau berharap aku tadi tak datang menyelamatkanmu, heuh?” tanyaku padanya.

“Apa? Menyelamatkanku kau bilang?” cengang Sakura tak mengerti. “Dari apa?”

Sebal dengan sikap menantangnya, lekas saja kupeluk gadis itu. Sakura terkejut dan meronta berusaha berontak dariku.

“Lepaskan aku, Sasuke!” teriaknya.

“KENAPA TADI PADA SASORI KAU TAK SEPERTI INI, BAKA!” balasku, bicara dengan tegas dan terus terang.

Diam sejenak. Sakura menghentikan pergerakannya. Dia melemah. Mungkin baru menyadari maksud perkataan dan tindakanku yang sebenarnya.

“Apa kau memang lebih suka dipeluk olehnya?” lanjutku kemudian, bicara sambil berbisik di telinga Sakura. “Kau lebih suka dia yang menyentuhmu daripada aku?”

“Sasuke…”

Merasa kami sekarang sudah tak terlalu emosi dan bisa bicara baik-baik, perlahan aku kendurkan dekapanku. Kutatap emerald itu dalam-dalam. “Maaf, kalau tadi aku sudah bersikap kasar padamu. Bukan maksudku melakukannya, aku hanya tak bisa terima dia memperlakukanmu seperti itu. Aku tak tahan saat kau bersamanya, berusaha menyentuhmu. Aku cemburu. Benar-benar cemburu.”

“Sasuke, pikiranmu berlebihan. Sasori tak akan berani melakukannya padaku, dia…”

“Dasar bodoh!” Aku cepat menyela perkataannya. “Kau yang terlalu berlebihan berpikir positif soal dia. Kalau benar dia tak berani, lalu yang tadi itu apa? Kau sama sekali tak merasa dia hampir melecehkanmu, heuh? Lihat betapa polosnya kau sampai tak mengerti pikiran lelaki seperti dia. Di tempat terbuka seperti tadi saja dia sudah berani menyentuhmu dengan tak wajar. Kutebak pasti setelah nonton, kalian berikutnya bermaksud pergi ke karaoke, kan? Tinggal cari-cari kesempatan buatmu mabuk, Sasori pasti langsung membawamu ke Love Hotel.”

Dahi Sakura sedikit berkerut, bibirnya mengerucut dan pandangannya tertunduk. “Masa sih, kak Sasori…”

“Benarkah ini akan jadi kencan pertamamu yang menyenangkan? Kau mau habiskan segalanya sekarang? hari ini? dengannya?” tanyaku, diam-diam terus tanamkan beragam hal buruk itu dalam pikiran Sakura. Meyakinkan padanya sejahat apa itu Sasori. Meski sebagian besar perkataanku itu mungkin cuma bualan dan terlalu berlebihan.

Drrt… Drrt… Drrt…

Bunyi samar getar ponsel terdengar dari dalam tas jinjing yang Sakura bawa. Sejenak menyita perhatian. Lekas dia rogoh isi kantongnya dan sesaat merasa ragu untuk mengangkat panggilan telepon itu tatkala dilihatnya satu nama muncul dalam list display ponsel plip pink metalik-nya. Emerald itu bergulir bolak-balik menatapku dan ponsel bergantian.

Paham dia menunggu responku, aku hanya sedikit mengendikan bahu. Memberikan tanda ‘terserah’ mau dia angkat atau tidak telepon itu.

“Moshi moshi…” Sakura putuskan menjawabnya, dia mulai bicara sambil menuruni anak-anak tangga menuju lantai bawah menjauh dariku.

Aku sendiri putuskan untuk tak ikut campur urusannya. Kubiarkan Sakura sendiri walau tetap kupasang telinga mendengar isi percakapan mereka yang samar. Kuduga pasti Sasori yang sedang menghubunginya.

“Hmm, iya… tidak apa-apa. Aku baik-baik saja, kakak sendiri?… Syukurlah. Maaf soal yang tadi… iya… hmm, tidak, tidak usah. Lain kali saja. Terimakasih, hari ini menyenangkan. Sekali lagi aku minta maaf, Sasuke sudah memukulmu… iya, aku mengerti. Baiklah, akan aku pikirkan. Hmm,… iya, sampai nanti kak…” Usai bicara, Sakura lekas menutup ponselnya dan langsung terduduk lemas di salah satu anak tangga. Tampak tak bersemangat gadis itu menyenderkan kepalanya ke tembok.

“Menyebalkan…” dengus gadis itu sambil menghela nafas panjang.

“Siapa? Aku?” tanyaku seraya mendekati Sakura.

Dia mengerling seraya buang muka, enggan melihatku. “Iya, menyebalkan. Kau dan semuanya. Kencan pertamaku gagal, aku benar-benar sial.”

“Maaf,…” Aku sedikit torehkan satu senyum samar saat mendengar jawabannya. Melihat wajah Sakura yang tampak muram sekarang entah kenapa malah membuatku ingin tertawa. Mungkin karena detik berikutnya aku berpikir pasti bisa menghibur gadis itu. Yah, walau kurasa aku pun tak pantas menertawai kesialannya sekarang.

“Hmm, baiklah. Aku tahu aku turut bersalah sudah merusak acara kencanmu. Akan kutebus kesalahanku. Masih ada banyak waktu. Sakura,…” kuulurkan tanganku kehadapannya. “Ayo pergi kencan denganku.”

“Kencan?” Sakura sejenak menoleh menanggapi ajakanku.

“Iya, kita kencan. Kau dan aku. Berdua, bersenang-senang. Bagaimana?” tawarku padanya. “Aku akan menemanimu.”

“Haah, benarkah? Aku pergi kencan denganmu sekarang, Sasuke….” tanya Sakura, mengulangi. “Kita berdua pergi bersenang-senang?”

Aku mengangguk, “Iya, yuk!” Senyumku sudah merekah saat melihat gadis itu juga tersenyum dan lekas bangkit berdiri. Terlebih lagi saat uluran tanganku akhirnya pun dia sambut.

Tapi…

PLAKK…

Sakura pukul dan cepat tepis tanganku itu. “Jangan harap!” lanjutnya, kembali berwajah sinis seraya melenggang pergi. “Siapa yang mau pergi kencan denganmu…”

Onyx dan Emerald saling berkilat saat keduanya berpapasan.

“Cih, berani juga kau menolakku…” gumamku tak percaya. Antara miris, kesal dan kecewa, ada sedikit rasa geli juga melihat tingkah Sakura yang berubah tegas sekarang. Aku jadi terkekeh pelan, padahal tak ada sesuatu yang lucu di sini.

Sakura… Sakura… Memang tak mudah ya mendapatkan cintamu kini.

“Kau lapar, mau pergi makan?” tanyaku.

Masih melenggang, Sakura hanya balas menggeleng.

“Hmm, bagaimana kalau mampir sebentar ke game center? Aku jago ambil boneka dari kotak crane lho~…” tawarku. “Kau mau…”

“Tidak.” jawab gadis itu datar.

“Ke Taman Hiburan?” tawarku lagi. “Kita pergi naik bianglala….”

“Ssshh,…” Sakura berdesis, mendelik padaku. “Pergi saja sendiri. Tak perlu mengajakku dan jangan berkeliaran disekitarku. Aku mau pulang.”

Hhhh~…

Aku mendengus, lagi-lagi ditolaknya meski berulang kali kucoba bujuk dia tapi tak berhasil. Mood gadis itu tentang kencan sepertinya sudah rusak gara-gara kejadian dengan Sasori. Padahal kalau saja dia masih Sakura yang dulu, pasti dengan senang hati dan berbinar-binar menerima semua ajakanku.

Ck~… Tidak!

Cepat-cepat kusingkirkan pikiran tentang masa lalu. Aku pikir tak sebaiknya aku bandingkan Sakura yang dulu dan yang sekarang. Percuma saja karena sepertinya masa lalu lebih banyak menyimpan kenangan buruk bagi Sakura kalau aku sengaja mengungkitnya.

“Sakura!” panggilku.

Yang punya nama sama sekali tak menanggapi. Masih saja berjalan lurus.

“Heh, tunggu sebentar!” sengaja kutahan tangan gadis itu sementara untuk menarik perhatiannya.

“Tidak mau. Aku sudah bilang kan jangan paksa aku.” tolak Sakura untuk kesekian kalinya.

“Sekali ini saja…” bujukku, sepintas aku mengerling kesebelah kiri memandang sebuah toko dimana kami sekarang berhenti tepat didepannya. “Aku ingin setidaknya hari ini kita buat satu saja kenangan menyenangkan.” ajakku.

“Eh, hei,…” protes Sakura saat aku menarik tangannya, setengah memaksa menyeret gadis itu memasuki sebuah toko aksesoris. “Untuk apa kau bawa aku kemari?” tanyanya sambil mengernyit heran.

“Selamat Datang!” sapa ramah seorang pelayan begitu kami masuk.

“Pilih barang yang kau suka, aku mau memberimu hadiah.” kataku pada Sakura.

“Hah?” Gadis itu cengo sesaat. “Hadiah? Sejak kapan kau jadi suka bertingkah konyol begini, memberikan hadiah pada seorang cewek rasanya bukan gayamu Sasuke.”

“Hn. Tentu saja sejak aku berusaha meyakinkan kembali seorang gadis keras kepala yang dulu mencintaiku. Kulakukan ini untukmu, puas?!”

“Cih, aku tidak…”

“Tidak ada tidak.” Cepat kusela perkataannya. “Kau harus mau. Kau tahu aku akan sangat memaksa kalau kali ini kau terus menolakku.” ancamku padanya.

“Kau…” Sakura hendak membalas.

“Makanya cepat pilih!” bentakku.

Masih menggerutu, gadis itu mendelik sebal padaku.

“Permisi, ada yang bisa saya bantu?” tanya seorang pelayan berambut perak berkacamata bulat. Kabuto, itulah nama yang kulihat tertera pada name tag-nya. “Apa kalian sedang bingung mencari hadiah untuk sepasang kekasih?” tanyanya lagi.

“Hn.”

Pemuda itu melirik kearah tanganku dan Sakura yang masih berpegangan. “Wah~ kalian mesra sekali.” gombalnya, mulai lancarkan jurus rayuan salesman. “Kebetulan kami punya banyak barang bagus untuk pasangan seperti kalian.”

“Hah? Tidak, kami tidak…” Sakura hendak menolak.

“Iya,…” Aku kembali sela ucapannya, “Bisa kasih saran hadiah apa yang pantas kuberikan untuk kekasihku ini agar tak berhenti mengomel dan mau menuruti apa mauku?” tanyaku pada Kabuto.

Kabuto terkekeh mendengarnya, lain dengan Sakura yang balas memelototiku sekarang. “Siapa yang cerewet…” gumam Sakura tak terima.

“Ah, iya, tentu saja ada satu hadiah yang cocok.” Kabuto sebentar membungkuk, mengambil sesuatu dari dalam lemari kaca etalase. “Kalau kau benar serius terhadap kekasihmu, hadiah inilah yang paling tepat untuk kau berikan padanya. Ini model keluaran terbaru. Limited Edition Heart Ring Couple.”

Cincin?

Aku tak menduga benda itulah yang ditawarkannya. Sakura pun tampak sama terkejutnya denganku. Sejenak kami berdua terdiam memperhatikan sepasang logam perak berukir cantik dalam kotak kaca putih itu.

Hn, dalam hati aku sendiri memang sudah merasa kalau hadiah seperti inilah yang cocok kuberikan pada Sakura.

“Hmm, ya, tapi memberikan barang seperti ini maknanya lebih dalam dari sekedar hadiah biasa. Kalau kesannya seperti membebanimu mungkin aku bisa sarankan produk lainnya dari Heart dan toko kami. Ada kalung, gelang, lalu…”

“Tidak. Aku ambil yang ini.” kataku.

“Sasu…” Sakura menatapku tak percaya.

“Berapa harganya?” tanyaku to the point.

Kabuto menyebutkan satu harga dan tanpa banyak tawar cepat kurogoh dompetku untuk membayarnya. 50.000 ryo. Lumayan.

“Heh, kau pikir aku mau memakainya?” desis Sakura.

“Harus mau.” balasku padanya.

“Sebentar aku bungkus…” tawar Kabuto.

“Tidak perlu.” Langsung saja aku ambil satu cincin yang ukurannya lebih kecil lantas menyematkannya di jari manis tangan kanan Sakura yang daritadi terus kugenggam. Sementara cicin satunya lagi kupakai sendiri di jari manis tangan kananku.

“Hebat. Ukurannya pas. Wah~ berarti kalian memang berjodoh dengan cincin ini. Kudoakan juga supaya kalian terus bahagia selamanya ya.” kata Kabuto sambil tersenyum, “Sering-seringlah mampir dan belanja lagi di toko aksesoris Orochimaruko~…”

“Hn.”

“Ugh, susaaahhh~…” gerutu Sakura, masih saja dia berusaha melepaskan cincin itu dari jarinya.

“Percuma. Kalau kau terus paksa, kau hanya akan patahkan jarimu sendiri.” kataku. Melihat tingkah Sakura rasanya aku malah jadi ingin tertawa.

Sakura balas men-death glare, “Iih, menyebalkan. Kau selalu saja berbuat seenaknya dan memaksaku seperti ini. Aku tak suka pakai cincin ini.”

“Apa salahnya dengan cincin itu? Itu bagus dan pantas untukmu. Bagus pula untuk kita. Bukankah memang seharusnya kita pakai cincin pertunangan kan?”

“Heh, sembarangan bicara soal pertunangan. Kau lupa kalau itu masih belum diresmikan? Aku juga masih belum menerimamu Sasuke. Ingat baik-baik.”

Aku selangkah lebih maju dan menghadang jalan Sakura. Bicara padanya sambil jalan mundur. “Lalu aku harus bagaimana supaya kau mau menerimaku?” Seperti déjà vu. Pertanyaan ini rasanya dulu sering muncul dalam pembicaraan kami. Tentu saja dalam waktu, peran dan situasi yang berbeda. “Katakan, Sakura?!” tanyaku padanya.

JDUG…

Tak sengaja aku menubruk seseorang.

“Duuh~… Hoi, hati-hati dong kalau jalan. Dasar…” maki orang yang kutubruk.

“Maaf…”

Kami sama-sama menoleh dan betapa terkejutnya aku saat kulihat orang itu adalah gadis cantik berambut merah berkacamata yang jelas aku mengenalnya.

“Karin?!” / “Sasuke?!”

Bertemu dengannya sekarang saat aku sedang bersama Sakura membuat firasatku jadi tak enak.

“Wah~ wah~ wah~ coba lihat, tak kusangka kita akan bertemu disini. Mantanku dan….” Mata Karin bergulir menatap tajam Sakura yang berdiri di sebelahku. “Hei, kau masih hidup?” tanyanya dengan tak sopan bicara sinis dan tampak meremehkan.

“Jaga bicaramu.” desisku padanya. Membela Sakura yang jadi terdiam dan hanya menundukan pandangan saat melihat Karin.

“Hahahaha~…” Karin tertawa kecil. “Menggelikan sekali melihat kalian berdua. Terutama kau Sasuke, tak kusangka kau serius kembali pada gadis ini. Heh, kau…” Karin berjalan mendekati Sakura, “Hmm, siapa sih namamu, aku lupa…” Mantanku itu lantas dengan berani mengangkat dagu Sakura, memaksa gadis itu menghadapnya. “Ah, iya, bunga Sakura di musim semi. Haruno Sakura. Itu namamu kan?”

Sakura masih terdiam. Tak balas barang satu katapun celoteh Karin.

“Aku ingat wajah dan matamu ini. Masih sama seperti waktu dulu kita sempat bicara. Terlihat ketakukan menghadapiku. Apa kau ingat? Hahaha~… tentu saja kau pasti masih ingat kejadian waktu itu. Cih, tak kusangka kudengar kau seberani itu sampai nekat coba bunuh diri untuk menarik perhatian Sasuke-ku. Gara-gara ulahmu itu kau rusak kebahagiaanku dan Sasuke. Dasar gadis sial!”

Gawat, aku merasa situasinya mungkin akan jadi buruk kalau kami terus tetap berada disini.

“Karin, hentikan!” Aku hendak menjauhkan Karin dari Sakura. Tapi aku malah didorongnya.

“Diam kau Sasuke! Jangan ikut campur. Aku punya urusan sendiri dengan… hmm, apa tepatnya status gadis ini? Tunanganmu, heuh? Cih,…” Karin kembali menghadang Sakura. “Heh kau, bagaimana rasanya setelah berhasil merebut kekasih orang lain? Kupikir kau tetap hidup pun pasti tak bahagia, kan?” tanyanya.

“…”

Karin menyeringai. Mungkin merasa puas melihat Sakura masih saja terdiam tak melawannya. “Padahal kalau kau sampai mati, itu pasti lebih baik. Hahaha~… Hidupmu itu tak penting. Kau tahu, kau memang gadis menyedihkan. Kau lemah, bodoh, jelek, tak tahu diri, tak berguna, sedikitpun kau tak pantas bersama Sasuke. Kau….”

PLAKK…

Aku melohok tak percaya seketika kulihat tangan Sakura melayang dan mendarat keras di pipi kiri Karin. Tak hanya aku yang terkejut, aksi Sakura barusan bahkan menyita perhatian orang-orang disekitar kami. Sungguh berani sekali dia melakukannya di depan umum.

“Kurang ajar!!” raung Karin sembari memegangi pipinya yang jadi merah lengkap dengan tanda berupa telapak tangan kini tertoreh di atasnya. “Beraninya kau padaku!! Dasar tak tahu diri!”

“Siapa yang kau sebut tak tahu diri?!” balas Sakura yang akhirnya buka mulut. Gadis itu bicara sinis dengan menekankan nada suaranya. Ditambah dengan sorot emerald yang berkilat tajam dan satu seringai angkuh yang baru kali ini kulihat, membuat Sakura yang biasa berwajah manis jadi tampak horor sekarang.

“Jangan sok mengataiku.” lanjut Sakura, “Kaulah yang menyedihkan. Kaulah yang tak tahu diri. Kaulah yang dari awal tak tahu apapun, tak pernah tahu apapun.” Sakura mengangkat tangan kanannya. Sengaja memperlihatkan benda berkilauan yang tersemat di jari manisnya kehadapan Karin. “Kau lihat?! Aku ini tunangannya. Sasuke itu tunanganku. Dan kami akan segera menikah. Jadi dari awal kau bukanlah siapa-siapa, Karin! Kau tak berhak bicara begitu, kau tak berhak atas Sasuke! Sasuke itu milikku, dan akan selalu jadi milikku!”

Whoaaa~… Sakura keren!!

Sungguh, kalau aku bisa berteriak sekarang, aku ingin teriakan betapa senangnya aku mendengar pernyataan Sakura barusan.

Aku milikmu dan kau milikku.

“Pssstt… pssttt… psstt…”

“Oh, jadi mereka bertunangan….”

“Pantas saja dia kena tampar. Yang tak tahu diri itu dia.”

“Wanita penggoda…”

“Dasar tak tahu malu, bukan siapa-siapa tapi berani menantang.”

“Perusak hubungan orang…”

“Pssstt… pssttt… psstt…”

Orang-orang disekitar kami jadi asyik bergosip dan bisik-bisik. Tak nyaman terus berada ditengah situasi seperti ini, aku lekas membawa Sakura pergi. “Ayo,…” kuajak gadis itu seraya mengambil sebelah tangannya. Sakura mengangguk, kali ini tak menolakku malah balas merangkul lenganku.

Cairan bening tampak berkumpul di atas iris mata Karin saat kami berdua berlalu melewatinya. Gadis itu hampir menangis tapi masih dia tahan dengan menggigiti bibir bawahnya.

“Mantan menyedihkan.” desis Sakura, berbisik ditelinga gadis itu, bicara dengan sadis. “Rasakan!”

“Oh Kamisama, barusan hebat sekali. Tak kupercaya aku bisa melakukannya. Aku lepaskan emosiku. Aku, aku….” Sakura terus menatap telapak tangan kanannya yang tadi dia pakai untuk menggampar Karin. “Dari dulu aku selalu berharap bisa membalasnya. Tak kusangka kesempatan seperti ini akan datang. Hahahaha~… rasakan itu Karin sialan. Dasar…” gumamnya sambil menyeringai.

Mata yang menyipit, sudut bibir yang terangkat, raut keceriaan tampak terlukis di paras cantik gadis itu. Sesekali dia terkekeh, kadang terkikik, lalu tertawa. Sakura masih menikmati kejadian dengan Karin tadi, seolah kini ada kepuasan tersendiri dalam dirinya. Aku mungkin sedikit mengerti perasaan gadis itu sekarang yang akhirnya bisa balas dendam pada Karin. Teringat dulu dia pernah dilabrak, ditampar dan dipermalukan oleh Karin.

“Hn, kau jadi sesenang ini hanya karena menamparnya? Apa kau ingin lakukan itu pada Karin dari dulu?” tanyaku, sedikit berbasa-basi.

“Ya, tentu saja. Hahahaha~… bukan hanya tampar sih. Yang lebih kuinginkan adalah balas memakinya. Aku ingin teriakan padanya siapa diriku. Mengungkapkan hal yang sebenarnya, kalau Sasuke itu tunanganku, seperti tadi, aku bilang padanya kalau Sasuke itu milik…” Kalimat Sakura mengambang, dia berhenti bicara dan cepat menutup mulutnya. Emerald itu bergulir, menghindari tatapan onyx-ku.

“Hn.” Aku angkat sebelah alisku, sedikit menggodanya. “Sasuke itu milik…? Cepat selesaikan kalimatmu, Sakura.”

“Eu? hm,…”  Sakura mendehem, memilih bungkam dan langsung buang muka. “Tidak.” katanya sambil melengos pergi, mempercepat langkah kakinya berjalan meninggalkanku.

Aku terkekeh melihat sikap Sakura yang kini kembali pasang stoic mode. “Ck~ Dasar munafik!” gumamku. Cepat kulenggangkan jenjang kaki panjangku dan menyusul gadis yang sudah pergi lebih dulu menyeberangi zebra cross dipersimpangan jalan.

“Heh, sudah cukup, berhentilah berpura-pura kau terus menolakku. Aku juga tadi mendengar semuanya. Aku terkesan saat kau bilang dengan tegas ‘Sasuke itu milikku’. Berarti sekarang kau sudah mau menerimaku kan, Sakura?”

“Tidak.” jawab gadis itu sambil mendelik padaku yang sudah berjalan beriringan disebelahnya, “Jangan salah paham Sasuke. Tak ada maksud lain, tadi aku terpaksa mengatakannya karena Karin terus memprovokasiku.”

Aku sedikit mendengus dan menghela nafas panjang, “Sebenarnya apa maumu? Apa kau akan terus seperti ini sampai dendammu terlampiaskan?”

“Ya.” Sakura sedikit mengunggingkan bibirnya. “Dan aku merasa sekarang aku belum cukup menyiksamu, Sasuke.”

“Hah? Terus menolak, bersikap kasar, balas melawan, bermesraan dengan lelaki lain, kau pikir aku tak sakit diperlakukan seperti ini olehmu?” balasku pada Sakura. “Keterlaluan. Begini saja buatku rasanya sudah tak nyaman dan kau bilang ini masih belum cukup menyiksaku?”

“…”

“Ada lagi. Saat kau terbaring sakit, kau pikir bagaimana perasaanku setiap kali melihatmu masih belum siuman? Aku menunggu, dengan rasa bersalah yang menyiksa, mengkhawatirkanmu, takut terjadi sesuatu padamu. Aku…”

“Enam tahun Sasuke!” teriak Sakura, menyelaku bicara.

Sampai diseberang jalan, sejenak kami hentikan langkah dan bicara saling berhadapan. Aku terpana melihat ekspresi wajah Sakura sekarang. Sedikit cairan bening tampak berkumpul di atas iris emeraldnya yang menatapku dengan teduh.

“Enam tahun…” kata Sakura lirih, “Kau lupa berapa lama aku tersiksa olehmu? Pernahkah sebelum ini kau peduli pada perasaanku?”

Rahangku mengeras. Kukepalkan tanganku kuat-kuat. Menahan gejolak yang datang ketika sekelebat kenangan kami di masa lalu selintas bermunculan dalam pikiran. Mendengar pertanyaan Sakura itu saja rasanya sudah membunuhku. Aku tak bisa menjawabnya, karena jawaban yang akan keluar terdengar lebih menyakitkan.

Tidak pernah. Itulah jawabannya. Aku yang dulu sangat tak berperasaan, tak mencintainya, tak pernah peduli akan perasaan Sakura.

“Karena kau sudah baca diary-ku, kau pasti sudah tahu seperti apa perasaanku saat itu.” Sakura kembali menatapku intens. “Jadi Sasuke, mengertilah, kalau sekarang aku punya banyak alasan untuk membencimu. Aku benar-benar membencimu.” Gadis itu maju selangkah, menempatkan satu jarinya di atas dadaku. Bicara sambil menunjuk-nunjuk. “Sebaiknya kau enyah saja dari hadapanku. Kalau perlu, mati aja sana!”

Deg!

Dadaku mendadak sakit serasa tertikam tajam belati yang menusuk jauh kedalam diri. Mendengar kata-kata yang barusan terlontar dari mulut Sakura persis seperti kata yang sempat aku dulu ucapkan padanya. Apakah saat itu pun Sakura merasa sesakit ini saat disumpahi olehku untuk mati?

“Hn.” Aku sedikit menundukkan pandangan, tersenyum samar. “Baiklah, kau ingin aku mati? Akan kulakukan kalau itu buatmu bahagia….” Kembali kubalas perkataannya dengan kalimat serupa yang pernah dia tulis dalam buku hariannya.

“Hah? Hahahaha~…” Sakura malah tertawa kecil. Kepalanya menggeleng pelan sementara emeraldnya menatapku tak percaya. “Jangan berlagak sok bilang kau pun akan lakukan hal yang sama seperti apa yang kulakukan dulu, Sasuke. Aku tahu kau tak bodoh. Kau tak akan sampai membunuh dirimu sendiri hanya karena aku bilang ‘mati’. Ya, aku bertaruh kau tak akan lakukan itu.”

“Hn.” Kusunggingkan bibirku dan kembali menatapnya. “Ya, kau benar. Aku kan tak setolol dirimu Sakura, aku tak akan sampai nekat bunuh diri. Kupikir untuk apa aku melakukannya, hanya akan mengulangi tragedi yang sama. Masih mending kalau nanti aku seberuntung dirimu, masih diberi kesempatan hidup. Lha kalau enggak? Aku beneran mati dan kau mungkin malah akan berbahagia dengan pria lain. Tak ada untungnya buatku.”

“Cih, sudah kuduga…”

“Tapi apa benar begitu?” tanyaku, “Benar kau tak akan peduli kalau aku mati?”

“…” Dalam diam, ekspresi wajah dingin Sakura tetap tak mencair. Dia serius menunjukkan sikap seriusnya padaku. melihatnya seperti ini malah membuatku makin putus asa.

“Berhati-hatilah dengan ucapanmu Sakura. Jangan sampai kelak kau menyesal sepertiku.” lanjutku sambil tersenyum pahit.

“Baiklah Sasuke, aku juga sudah merasa lelah.” Sejenak Sakura menghela nafas panjang. “Kupikir kita tak bisa terus seperti ini. Kalau yang kau nanti sekarang adalah ketegasan dariku, kurasa mungkin lebih baik….”

Onyx-ku seketika membulat saat kulihat Sakura menunjukkan cincin peraknya tepat kehadapanku. Sejak kapan? Tanpa kusadari ternyata dia berhasil melepaskan cincin itu dari jari manisnya.

“Bukankah lebih baik kita akhiri saja semuanya sampai disini, Sasuke…”

Triiiing…. Sakura menjatuhkan cincin itu begitu saja.

“Heh, apa yang kau lakukan?” cengangku tak percaya dia serius membuangnya.

Kulihat logam perak melingkar itu sesaat memantul ke sisi trotoar sebelum bergulir dan terus menggelinding hingga ke badan jalan. Refleks aku mengejarnya sebelum berlalu terlalu jauh, bermaksud mengambil kembali benda itu. Kupikir karena lampu merah masih menyala, aku mungkin masih sempat memungutnya dari tengah jalan, tapi…

Tiiiitt…tiiitt….

Bunyi klakson mulai bersahutan begitu merah berganti hijau, memintaku agar cepat menyingkir dari sana.

‘5 detik lagi saja. Beri aku kesempatan.’ Harapku sembari terus berlari menggapai cincin itu. Dan baru saja hendak kupungut…

BRUUUMMM… tiiiitt…

Sebuah mobil nyaris menyerempetku.

“Fiuh~ Untung aku cepat menghindar…” pikirku merasa sudah berhasil selamat, sebelum kusadari kalau dari arah berlawanan datang bis mendekat. “Haaa….”

Sesaat aku sempat ragu untuk mengambil langkah mundur, karena aku tahu dari arah lain truk trailer bermuatan pun mulai mendekat. Bunyi klakson terdengar dimana-mana. Kepanikan ini membuatku beku. Terlebih lagi kusadari jarak kedua mobil itu kian mendekat. Aku harus bagaimana? cepat kupacu otakku untuk berpikir. Terus melangkah maju ataupun mundur keduanya terlalu beresiko. Memberikan isyarat tangan untuk menghentikan laju kendaraan itupun sepertinya tak berguna.

Sial. Pasti aku benar-benar mati.

“Sasuke!!!”

Kudengar Sakura berteriak dari seberang jalan ketika kedua mobil itu kian melaju kencang. Mendekat dan semakin mendekat. Lalu bagiku, detik demi detik waktu sesaat seakan berhenti.

CKIIITT….

Kejadiannya begitu cepat sampai kesadaranku tak bisa menangkap semua respon dengan jelas. Hanya derit suara ban bergesek aspal yang terdengar nyaring lalu semua yang terlihat dalam onyx-ku pun samar dan menjadi gelap.

DUAKK…

Sakit.

Cuma itu yang kurasakan sekarang.

Teringat perkataan Sakura semenit sebelum kejadian, ‘Mati aja sana’, apa aku sungguh akan mati?

Hn.

Ya sudahlah, mungkin ini masih bagian dari hukum karma yang harus kuterima.

Selamat tinggal, Sakura.

Kalau ada sesuatu yang pasti kusesali sebelum aku mati, itu masih tentang dirimu. Andai aku tahu sebelumnya kalau hidupku akan sesingkat ini, tak akan kusia-siakan waktu untuk menyakitimu. Tapi aku senang setidaknya diakhir aku sempat mencintaimu.

Ya, aku mencintaimu…

=0=0=0=0=

TBC… Next to chapter 9

=0=0=0=0=

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Bachot session from Author:

Maaf lama publish, belakangan saya sibuk kerja di dunia nyata sampai-sampai tidak punya banyak waktu buat OL. Blog udah terlantar gini uy, padahal banyak yang harus saya urus tapi ga sempat terus. *curhat ga penting*

Ok, tidak usah banyak bachot…

This chapter special for YaYaK, kazunarilady, Dwi Kharisma, asdf,  Marshanti Lisbania Gratia, Lailan slalu mencintai ghalma, Sarah Zakila, sv3p, Jile Tamariska Sing, Decha, chii, Sslove, Itha, Rahma, nathaya, Amaterasu Uchiha, zoggakyu, gee, sohwarizkia, ayu sasusaku, Eviech, Uchiha Nanda, qori, Judy Maxwell, Tyara Hinamori, Dika Rahmat,  dan kamu yang udah baca FF ini tapi gak meninggalkan jejak komen. Terima kasih sudah baca (^-^)/

Senang sekali jadi banyak readers baru yang komen 😀 Komen lagi dunk, hehe~ *ngarep*

Kyaaa~ apa yang terjadi dengan Sasuke?! /(T-T)

Penasaran? Sabar dulu ya….

Tidak ada spoiler chap 9. Saya janji mau cepet updet minggu ini juga kok *deathline dua hari*

Jaa~ -(^o^)/

35 Comments

Leave a Reply

11 Pings & Trackbacks

  1. Pingback:

  2. Pingback:

  3. Pingback:

  4. Pingback:

  5. Pingback:

  6. Pingback:

  7. Pingback:

  8. Pingback:

  9. Pingback:

  10. Pingback:

  11. Pingback:

Leave a Reply to christina pearl Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *