Cherry, LOVE me [again] : Chapter 9

Cerita sebelumnya…. Baca [Chap 1] [Chap 2] [Chap 3] [Chap 4][Chap 5] [Chap 6][Chap 7][Chap 8]

CKIIIITT….

Kejadiannya begitu cepat sampai kesadaranku tak bisa menangkap semua respon dengan jelas. Hanya derit suara ban bergesek aspal yang terdengar nyaring lalu semua yang terlihat dalam onyx-ku pun perlahan samar dan menjadi gelap.  

DUAK…

Sakit.

Cuma itu yang kurasakan sekarang.

‘Mati aja sana!’

Teringat perkataan Sakura semenit sebelum kejadian, apa aku sungguh akan mati?

=0=0=0=

=0=0=0=0=

Cherry, LOVE me [again] : Chapter 9

Chapter: 9/?
Pair: Sasuke Uchiha x Sakura Haruno 
Rate: T
Genre: Romance, Hurt/Comfort
Disclaimer: NARUTO © MASASHI KISHIMOTO
Length:   5.975 words
WARNING: OOC, typo, alur GaJe cerita se-mau-gue. 

Story by

Me!! [FuRaha]

If you don’t LIKE? Read? Don’t Read?

WHATEVER!!!

~Itadakimasu~

*

*

*


“Sasuke!!… Sasuke!!… Sasukeeee~!!…”

Hn.

Ditengah kesadaranku yang samar, terdengar seseorang memanggil namaku berulang kali. Suara di kejauhan itu terdengar menjangkau sampai kebagian tergelap diriku. Suara yang seakan menuntun kembali jiwa ini menuju ke arah cahaya.

“Sasuke!… hik… hik… aku mohon. Sasuke!!”

Lagi-lagi terdengar. Siapa? Siapa yang memanggilku? Suara terisaknya membuatku terusik.

Hn.

Meskipun masih terasa berat dan sulit, perlahan aku coba membuka mataku. Sesaat merasa silau dengan cahaya yang tiba-tiba terlihat, membuatku mengerjap sekali untuk memperjelas pandanganku yang sedikit buram. Sesosok bayang samar tampak mulai masuk dalam jangkauan onyx-ku. Kulihat wajah tegang itu balas fokus memperhatikan. Sementara manik emerald hijau miliknya nampak berkilauan. Basah mencucurkan cairan bening yang mengalir melewati pipi ranumnya dan jatuh tepat ke atas kulit wajahku.

“Sa~ku~ra~…” gumamku lemah, ketika akhirnya kukenali pasti siapa dia.

“Huaa~ Sasuke, syukurlah. Kau, kau sudah sadar?! Sasuke~…” ucapnya. Raut ketegangan yang semula tampak di paras cantik itu lekas pudar berganti keceriaan lengkap dengan satu senyuman. 

Senang sekali aku melihatnya. Sesaat tadi kukira aku sedang bermimpi bisa melihat lagi rupa gadis itu. Tapi air matanya, suaranya, senyumannya… sekarang aku yakin ini nyata. Dan semakin terasa nyata saat tanganku pun digenggamnya. Hangat.

“Baka! Baka! Baka! Baka! Baka! Apa yang kau lakukan, bodoh?! Hik… hik… hik…” teriak Sakura sambil terisak. Cengkeraman tangannya makin mengerat. Kembali kulihat wajah itu menangis. “Dasar kau, benar-benar cowok menyebalkan. Kau senang membuatku menangis dan menderita. Kau sungguh ingin mati untuk membalas perbuatanku? Kau sengaja, kan? Kau coba mengujiku? Jangan menakutiku seperti ini, Sasuke~… Kukira tadi kau tak akan bangun lagi. Aku… aku… aku sampai… huaaa… hik… hik… hik…”

“Hn.” Aku mengernyit dan tersenyum samar padanya. Kucoba ulurkan tanganku, hendak menyeka air mata itu, ingin coba mendekapnya untuk menghapus tangis itu. Tapi rasa nyeri dan ngilu seketika menjalar di beberapa bagian tubuhku dan langsung menghentikan maksudku.

“Aah, jangan banyak bergerak dulu Sasuke! Pelan-pelan…” Sakura perlahan membantuku duduk. Dia lekas mengambil tempat didekatku dan membiarkanku sedikit bersandar padanya.

Kupegang kepalaku yang masih terasa sedikit pusing. “Sebenarnya apa yang terjadi, Sakura?” tanyaku. Barulah kusadari kini ada perban yang membalut luka di sekitar kening dan tanganku. Bagian tubuhku yang lain pun terasa sakit, ada banyak memar dan luka kecil disana. Tapi yang terasa begitu menyiksa adalah nyeri di bahu kiriku, mungkin ada tulang yang sedikit bergeser. “Aku kenapa? Tadi…” Kucoba untuk mengingat-ingatnya kembali. Terus terang aku tak tahu apapun soal luka ini dan kejadian sehabis aku tak sadarkan diri.

Kulayangkan pandanganku kesekitar. Kukira sekarang aku sedang terbaring di Rumah Sakit dalam kondisi parah atau apa gitu, tahunya masih ada di teras pelataran sebuah toko tak jauh dari jalan tadi. Tapi pemandangan yang kulihat di seberang sana benar-benar mengejutkan. Ketika kudapati suasana masih tampak ramai. Banyak mobil-mobil pemadam kebakaran, patroli polisi, ambulans dan kerumunan masyrakat lainnya di lokasi kejadian.

“Kau terluka karena tertimpa muatan barang…” jelas Sakura. “Kau ingat kau hampir tertabrak truk? Untung saja tak sampai terjadi. Nyaris. Kau hanya terserempet saat truk itu coba overdrift menghindarimu. Tapi truknya kehilangan kendali dan malah menabrak pagar pembatas jalan. Entah bagaimana, saat oleng, muatan barangnya terlepas dan beberapa dus jatuh menimpamu. Akhirnya terjadi kecelakaan beruntun. Jalanan panik dan saat itu kau sudah terbaring pingsan di tengah jalan. Aku takut sekali saat berpikir kau bisa saja malah tergeleng mobil lain dari belakang. Mengerikan kalau sampai itu benar terjadi. Aku enggan mengingatnya.”

Kulihat kepulan asap hitam tampak membumbung tinggi dari mobil truk yang penyok dan terbakar, sementara petugas masih berupaya memadamkan apinya. Parah. Tak kusangka akan jadi seperti ini. Dan lebih tak kusangka lagi, aku pun tadi nyaris tewas. Ya, aku pasti sudah mati kalau aku tak seberuntung ini masih diberi kesempatan untuk tetap hidup sekarang. Sakura benar, membayangkannya saja dalam pikiran sudah buatku bergidik ngeri.

Kembali kugulirkan onyx-ku, memandang bagian tubuhku sendiri, menelusuri luka apa saja yang kudapat. Hn, selain bahu kiri dan pergelangan kaki yang terkilir kurasa luka lainnya tak terlalu parah. Setidaknya aku yakin aku tak sampai patah tulang atau luka organ dalam lainnya. Aku benar-benar beruntung. Walau tetap merasa sakit, tapi ini pun keajaiban bukan?

“Sebentar aku panggil petugas kesehatan dulu ya. Mungkin sebaiknya kau perlu dibawa ke Rumah Sakit untuk perawatan…”

“Tidak usah.” cegahku, tak ingin jauh dari sisi Sakura. “Aku baik-baik saja. Tetaplah disini.” pintaku. Kusandarkan kepalaku diatas bahu kecilnya. Sungguh merasa lelah.

Sepertinya Sakura tak keberatan. Dia tak menolak atau mungkin sebenarnya sekarang dia merasa terpaksa? Entahlah, aku tak peduli. Yang penting saat ini aku benar-benar ingin bersamanya. Berbagi perasaan lega karena untuk sesaat lalu aku sempat berpikir negatif tak bisa lagi berada didekatnya. Berpikir aku sungguh akan mati sampai pasrah mengucapkan selamat tinggal.

Darah?

Aku tertegun ketika tak sengaja pandanganku menangkap noda kemerahan yang mengotori rok gaun putihnya Sakura. Aku yakin itu pasti darah. Mungkin itu darahku. Dan baru saja hendak kulihat lebih jelas,…

“Mau apa kau?!” Sakura seketika beringsut, agak menjauhkan dirinya dariku. Apa saat aku coba pegang rok itu, dia kira aku hendak menyingkapkannya. “Jangan sembarangan ya! Disaat seperti ini apa sih yang kau pikirkan, dasar…” gerutu gadis itu sembari menarik-narik ujung roknya dan saat itulah aku lihat ada luka parut di punggung tangan Sakura.

“Heh, kau kenapa?” tanyaku. Cepat kuambil tangan itu sebelum sempat dia coba sembunyikan dariku. Kulihat sebentar lukanya. Gurat itu memang tak terlalu besar, tapi tetap saja bisa infeksi kalau terus dibiarkan apalagi darah disekitarnya pun sudah mengering bercampur debu dan tanah kotor.

“Sakura, ini…” Kutatap emeraldnya dalam-dalam, “Jangan-jangan kau terluka karena…”

“Sudahlah,…” Sakura langsung menarik kembali tangannya, “Aku tak apa-apa. Ini cuma luka kecil.”

“Apa kau terluka karena aku?” tanyaku kembali, “Mungkinkah tadi kau coba selamatkan aku saat…” Dalam pikiran, terbayang olehku mungkin Sakura tiba-tiba datang menerjang dan mendorongku ke sisi lain jalan untuk menyelamatkanku seperti dalam cerita-cerita roman. Atau mendorong jauh mobil truk itu dengan kekuatan tersembunyi miliknya seperti yang dilakukan Edward Cullun saat menyelamatkan Bella Swang di film Twilit.

“Tidak.” Sakura menyela, dia terkekeh sambil menggeleng pelan, “Mana mungkin aku menyelamatkanmu. Aku kan tak sehebat itu.”

“Tidak, kau hebat.” jawabku, “Pastinya kau sangat hebat. Aku yakin luka itu ada hubungannya denganku. Katakan yang sebenarnya Sakura, kau coba menyelamatkanku kan?”

“Jangan berpikiran terlalu jauh, Sasuke. Yang kulakukan itu tak seberapa. Tadi sewaktu kulihat kau terjatuh di jalan, tubuhku langsung bergerak sendiri. Tapi aku tak tahu harus berbuat apa. Aku hanya coba pindahkan beberapa barang yang menimpamu, lalu berusaha menyeretmu kemari. Walau pada akhirnya yang membopongmu kesini tentu saja bukan aku.”

“Hn.”

“Aku tak menolongmu. Sebaliknya, justru akulah yang menyebabkan semua ini terjadi. Akulah yang bersalah.” Sakura sedikit tersenyum samar. Pandangan gadis itu tertunduk. Dia gigiti bibir bawahnya yang bergetar, seakan mencoba menahan tangis. “Tak seharusnya tadi aku lakukan itu padamu. Kejam sekali aku sampai berkata ‘mati’. Padahal aku lebih tahu dampaknya begitu menyakitkan. Kau benar, aku juga menyesal. Menyesal mengatakannya. Seandainya tak kukatakan Sasuke, mungkin kau tak akan terluka. Aku minta maaf. Maaf, maafkan aku…” ucap Sakura lirih. 

Melihat gadis itu sekarang tertunduk, bicara dengan suara bergetar dan tubuh yang gemetar. Menyela isak tertahan, berkata maaf, semua itu benar-benar menyentuh hatiku. Miris rasanya. Aku makin merasa tersiksa, sedih dan bersalah padanya. Lihat betapa tulusnya gadis itu sekarang. Mengingatkanku pada Sakura-ku yang dulu, yang selalu peduli dan memikirkanku.

“Bodoh…” aku mendengus. “Jangan minta maaf. Kau tak bersalah.” Perlahan kuambil sebelah tangan kanan kecilnya dan memandang kembali gurat luka yang terdapat di punggung tangan itu. Sekilas aku tersenyum pahit, ketika kulihat ditanganku masih ada benda perak melingkar, tersemat di jari manisku sedang di jari manis Sakura tak ada.

“Akulah yang gegabah. Pada akhirnya semua yang kulakukan selalu saja membuatmu sakit dan terluka. Seandainya tadi kita langsung pulang, aku tak terus mendesakmu dan kita tak bertengkar mungkin hal ini tak akan terjadi. Konyol, cuma karena cincin ya, haha~…” Aku tertawa hambar. “Jangan-jangan itu cincin terkutuk lagi. Sekarang sudah hilang dan usahaku jadi sia-sia…”

“Ano, Sasuke…” Sakura menyelaku bicara. “Sebenarnya tidak sia-sia…”

Sejenak aku mengernyit, penasaran apa yang mau dilakukannya ketika tanganku balas dia genggam, sementara tangan kirinya menaruh sesuatu di atas telapak tanganku.

“Cincinnya tak hilang. Kau berhasil mengambilnya.” lanjut Sakura.

Seketika itu onyx-ku membulat, tak percaya menatap sebuah cincin perak ada tepat dihadapanku sekarang. “Mustahil…” gumamku.

“Aku juga tak percaya. Tapi itu sungguh kutemukan ada dalam genggaman tanganmu tadi.”

“Hah? Hahaha~…” Aku tertawa kecil. Antara senang dan terkejut bercampur menjadi satu. “Benarkah?”

Sambil tersenyum Sakura mengangguk.

“Ya ampuuun… cincin sialan. Gara-gara ini nih.” dengusku masih terkekeh. “Kupikir tadinya aku mau pergi ke toko itu lagi dan minta ganti rugi. Mungkin si Kabuto sudah jual cincin terkutuk.” candaku, “Haah, sebaiknya kita buang saja benda ini…”

“Jangan!” kata Sakura, “Hmm, kenapa mau kau buang?”

“Hn.” Aku angkat sebelah alisku, “Yah, kupikir untuk apa aku simpan benda yang sudah buatku celaka. Lagipula bukankah dari awal kau sendiri pun tak menginginkannya?”

“Ck~ iya sih, tapi…” Gadis itu sebentar mengerucutkan bibir mungilnya, sekilas tampak ragu untuk bicara. “Memangnya kau tak sayang kalau kau buang cincin itu begitu saja? Kau kan sudah bersusah payah mengambilnya sampai terluka begini. Kupikir mungkin…” gumam Sakura pelan.

“Hn.” Aku menelisik makin memperhatikan gadis itu, “Lalu harus kuapakan?” tanyaku sok polos. “Kalau tak kubuang memangnya mau kau pakai?”

“Eh, itu…” Sakura lekas mengerlingkan manik emerald hijaunya, tak berani menatap langsung onyx-ku.

“Huuh, kau ini…” Melihat ekspresi gadis itu sekarang malah membuatku geli. “Bilang saja terus terang kau tak tega melihatnya terbuang karena sayang padaku kan?”

“Aku, aku tak sayang padamu!” bantah Sakura, “Yang kusayang itu cincinnya.”

“Iih, sama aja bego.” sindirku.

Sakura cemberut, mengembungkan sebelah pipinya.

“Baiklah.” kataku, “Tak akan kubuang. Tapi sebagai gantinya ini harus kau pakai.” Setengah mendesak, langsung saja aku sematkan cincin itu kembali ke tempatnya semula. Di jari manis orang yang kucintai. Tunanganku, Sakura Haruno.

“Kau…”

“Sstt…” desisku, tak terima penolakan. “Kalau kau buang lagi, aku pasti akan mengambilnya kembali. Dan mungkin saja saat itu kita tak seberuntung sekarang. Jadi Sakura…”

“Sasuke…” gumam gadis itu. Wajahnya seketika merona ketika perlahan kuangkat dagunya dan mulai mempersempit jarak diantara kami.

Mulanya kening, lalu hidung, sedikit lagi, maka…

“Ehem,…” sela seseorang. Kehadirannya yang tiba-tiba muncul langsung merusak suasana romantis diantara kami. “Maaf mengganggu.”

Tch, memang mengganggu!… kesalku dalam hati.

Sontak kami berdua menoleh. Melihat seorang pria brewokan separuh baya berdiri dihadapan kami sambil memperlihatkan lencana kepolisiannya.

“Inspektur Sarutobi Asuma, perkenalkan.” ucapnya disela menghisap sebatang rokok. “Bisa kita bicara sebentar? Sepertinya kalian pun korban dari kecelakaan ini. Dan menurut keterangan beberapa saksi, kalian berdua berada cukup dekat dengan lokasi kejadian. Aku hanya ingin tahu faktanya. Tolong ceritakan apa yang sebenarnya terjadi sesaat sebelum kecelakaan? Apa yang kalian lakukan waktu itu?”

Aku dan Sakura saling berpandangan. Firasatku jadi tak enak.

“Kami sedang menyelidiki kemungkinan ada faktor penyebab lain kenapa supir truk itu sampai kehilangan kendali.” lanjut Asuma.

“Dan kalau memang ada faktor lain?” tanya Sakura, berbicara hati-hati.

“Tentu saja, Fuuuh~…” sejenak Asuma hembuskan asap rokoknya ke udara, “Orang itu harus ikut bertanggungjawab.”

Mendadak perasaan tegang menyelimutiku. Kulayangkan kembali pandanganku kearah jalanan sana. Situasinya memang benar-benar kacau. Satu unit truk terbakar, kendaraan lainnya pun ada yang rusak. Barang muatan tumpah dan dijarah. Belum lagi kemungkinan terdapat korban jiwa. Dan ini semua ulah siapa? Ulah kami, ulahku. Bisa jadi akulah yang bersalah, lalu aku mungkin akan terima hukumanku.

Glek!

Masuk penjara?

.

.

.

.

.

Cerahnya langit di siang hari tanpa kusadari perlahan berganti gelap nan suram. Sementara melamun, dari kaca jendela mobil yang kutumpangi kupandangi lampu-lampu jalan yang mulai menyala. Menyatu dengan gemerlapnya malam yang terlihat berkilauan. Selintas aku mendelik melihat cahaya merah yang terpantul dari kaca spion mobil diluar. Berputar-putar sembari mengeluarkan bunyi nyaring yang membuatku pusing.

Ngiung…Ngiung…Ngiung…

“Ck~…” Aku mendengus, “Paman, apa kau tak bisa matikan sirene itu? Kau kan tak sedang mengejar penjahat, untuk apa dinyalakan?” kataku dengan jengkel.

“Hahaha~… Kenapa kau tak suka?” tanya Asuma sambil terkekeh. Sekilas dia memandangku dari kaca spion depan sementara tetap konsentrasi menyetir di bangku kemudi. “Sirene ini sengaja kunyalakan biar kita bisa cepat sampai. Kau lihat sepanjang jalan mobil lain menyingkir dan membiarkan kita duluan yang lewat.”

“Yah, aku juga tahu. Tapi ini tetap saja memalukan…” gerutuku. “Apa kata orang nanti kalau mereka melihatku naik mobil patroli. Bisa-bisa dikira kriminal, tch…”

“Tidak apa-apa kan Sasu, orang juga tak akan tahu, hihihi~…” disebelahku Sakura malah terkikik geli, “Harusnya kita berterimakasih sudah diberi tumpangan.”

“Hn.” Aku hanya terdiam, melipat kedua tanganku di dada, mendelik kesal. Malas membalas perkataannya yang benar. Diberi tumpangan sih iya, aku juga berterimakasih. Naik mobil patroli polisi juga boleh saja, tapi sirene-nya itu lho, sangat mengganggu.

“Lagian kau memang nyaris jadi tersangka.” lanjut Sakura.

“Heh, aku tak bersalah.” protesku. “Iya kan paman?”

“Hmm, iya, iya, untuk kasus ini status Uchiha hanya sebagai saksi. Meskipun dia yang menyebabkan terjadinya kecelakaan, tapi karena tindakannya itulah kami jadi bisa mengungkap kasus yang lebih besar.”

Ini memang diluar dugaan. Kukira tadi aku akan benar jadi tersangka. Sewaktu diinterogasi aku baru tahu kalau truk yang nyaris menabrakku itu membawa barang selundupan narkoba dalam muatannya. Dan karena aksiku, kejahatan mereka jadi terungkap. Meskipun memang harga yang harus dibayar juga setara. Sampai menyebabkan kekacauan dan korban luka.

“…”

“Baiklah, kita sudah sampai.” kata Asuma, menghentikan laju kendaraannya tepat di depan gerbang sebuah rumah besar. “Silahkan turun.” lanjutnya kemudian ketika dilihatnya aku masih duduk diam sambil celingukan.

Aku juga bukannya tak mau turun, tapi kuharap tak ada tetangga yang melihat. Bagaimanapun juga pikirku naik mobil patroli itu kesannya memalukan.

Ceklek…

Pintu disampingku terbuka. Satu tangan putih terulur, “Ayo…” ajak Sakura yang ternyata sudah turun lebih dulu. Dia lekas melingkarkan sebelah tanganku di pundaknya, membantuku berdiri. Cedera di pergelangan kakiku yang terkilir membuat jalanku tertatih.

“Uchiha, semoga lukamu cepat sembuh. Kami akan menghubungi kalian lagi sekiranya masih dibutuhkan informasi. Terutama kau, kemungkinan kau harus hadir di persidangan kalau kasus ini digulirkan ke pengadilan. Bersiaplah…” kata Asuma, “Oh iya, sampaikan juga salamku untuk Fugaku.”

“Hn.”

“Terimakasih atas tumpangannya, paman.” kata Sakura.

“Tak perlu sungkan. Tugasku memang membantu masyarakat.” balas Asuma sambil mengangkat sebelah tangannya, pamit. “Sampai nanti.”

Bruuummm.. Ngiung…Ngiung…Ngiung…

Mobil hitam putih itu berlalu. Masih saja sirene-nya dinyalakan. Dasar…

“Jadi paman Sarutobi kenal ayahmu?” tanya Sakura.

“Hn. Katanya dulu mereka teman kuliah.”

“Ooh, jangan-jangan kau bebas karena koneksi keluarga.” cibir gadis itu.

“Heh, kau ini… lebih senang kalau aku masuk penjara?”

“Hmm, mungkin.” jawab Sakura sambil bercanda. “Kupikir pasti itu akan sangat menyiksamu.”

“Haah? Memangnya kau masih ingin balas dendam padaku?”

“Iya.”

“Bukankah kita sudah baikan?”

“Siapa bilang?” kata Sakura sambil mengerling, sok cuek. “Aku tetap membencimu.”

“Hn,…” Melihat sikapnya itu malah buatku terkekeh geli.

Kalau memang dia benci, kenapa dia sepeduli ini padaku?

“Ya ampuuuun~… Tuan muda Sasuke, nona Haruno. Apa yang terjadi?” cemas Ayame, terkejut begitu melihat kami datang dengan kondisi berantakan. Buru-buru dia membantu Sakura membawaku ke kamar.

“Tolong bawakan kotak obat dan pengompres. Siapkan air hangat dan kain lap. Kapan biasanya Tuan dan Nyonya Uchiha pulang? Kau boleh hubungi mereka, tapi sementara jangan bilang dulu soal kecelakaan, aku tak mau membuat mereka cemas. Lalu setelah itu…” Sakura bicara dengan Ayame sementara gadis itu sibuk mengurusku. Membenarkan letak bantal agar buatku merasa nyaman, memeriksa kondisiku dan lainnya. “Masakan juga bubur, tapi jangan terlalu kental…”

“Tidak. Aku tak mau makan.” selaku, “Aku mau langsung tidur. Kalau kau mau masak, masakan sesuatu untuk Sakura saja. Oh iya Ayame, tolong hubungi juga keluarga Haruno, bilang nona Sakura ada disini dan mungkin akan terlambat pulang.”

“Sasuke…” Sakura hendak protes.

“Apa?!” tanyaku, “Kau mau langsung pergi meninggalkanku yang sakit sendirian?”

“Tapi, disini juga ada banyak maid yang bisa…”

“Sstt…” desisku sembari men-deathglare-nya. Kembali aku bicara pada Ayame, “Selain yang kuperintahkan, jangan lakukan apapun. Pergilah.” titahku padanya, bikin Sakura melohok tak percaya.

“Baik, Tuan.” kata maid itu setengah membungkuk sebelum pamit pergi meninggalkan kamarku.

“Kau seenaknya saja memutuskan.” kata Sakura.

“Hn. Rumahku ini.” balasku tak mau kalah, “Terserah aku mau berbuat apa.”

“Tch,…” Sakura mengerling seraya berbalik dan melenggangkan kakinya pergi.

“Kau mau kemana?” tanyaku.

“Pulang.” jawab Sakura.

“Hei, jangan pulang dulu. Setidaknya bantu aku…”

“Apa?!” bentak Sakura lekas menoleh “Kau bukannya tak butuh apapun dan mau langsung tidur?”

“Iya, tapi aku ingin ganti baju dulu. Tolong bantu…” pintaku, setengah memohon.

“Hah?” Sakura melohok, “Ganti baju?”

“Bahuku sakit, aku tak bisa melakukannya sendiri.”

“Kau…” Sakura uring-uringan sebentar. Tampak bingung, bolak-balik berjalan menuju pintu atau pilih kembali padaku.

“Hn?” Aku terus menatapnya. Aku tak tahu apa mata elangku bisa mengeluarkan jurus puppy-eyes untuk membujuknya ya? Yang pasti sebenarnya aku pun tak terlalu berharap. Aku hanya ingin menggoda Sakura. Dan aku tak percaya aku berhasil melakukannya saat kulihat Sakura kembali berjalan mendekatiku.

“Sini…” gerutu Sakura tampak marah. “Bajumu saja kan?”

“Sama celana…”

“Apa?! Kau gila. Aku tak mau melakukannya.”

“Iya, iya, bercanda. Bajunya saja, hehe~…” kataku sambil terkekeh.

“Huff~…” Sakura mendengus. Tapi meskipun begitu, dia tetap melakukannya dengan hati-hati. Ketika t-shirt biru yang kupakai itu perlahan diangkatnya. Sedikit demi sedikit mulai memperlihatkan otot perutku, dada bidangku, sampai seluruh tubuh bagian atasku yang terbentuk sempurna kini tampak polos.

“Sial…” desisnya lekas palingkan wajah. Gadis itu terlihat gugup, enggan melihatku. Berusaha menyembunyikan semburat garis kemerahan yang seketika muncul di kedua belah pipinya.

Aku juga sama. Wajahku serasa terbakar sekarang. Pasti merona seperti Sakura. Jantungku jadi berdebar kencang. Perasaanku tak karuan. Sepertinya ide menyuruh dia membantuku ganti baju ini benar-benar gawat.

Pria dan wanita.

Dalam kamar.

Berduaan.

Status = bertunangan.

Dalam pikiranku jadi bermunculan banyak hal.

“Yang mana?” tanya Sakura, lekas membuyarkan lamunanku. “Kau mau ganti baju dengan yang mana?”

“Hmm, piyama saja. Dilemari kiri, rak kedua.” kataku.

Sakura lekas menurut.

“Heeeh? kotakku…” kata gadis itu, terkejut saat mendapati dalam lemari terdapat kotak kayu putih berukir miliknya.

Argh~ sialan… Dengusku. Aku lupa kotak itu ada disana. Jadi ketahuan deh.

“Kau menyembunyikannya di sini? Dasar pencuri…” kesal Sakura.

“Aku tak mencurinya. Ibumu sendiri yang dulu memberikannya padaku. Tanya saja kalau kau tak percaya.” kataku, berusaha membela diri. Kulihat Sakura mengeluarkan juga kotak itu dari lemari disamping membawakan piyama untukku. “Heh, simpan lagi kotaknya di sana. Kau tak boleh membawanya!”

“Kenapa? Punyaku ini…”

“Paling juga kau akan membuangnya kan? Daripada dibuang lebih baik untukku.”

“Daripada untukmu, lebih baik kubuang.” balas Sakura.

“Kau…” Aku melotot padanya, “Simpan itu disana!”

“Haah? Tidak mau.”

“Ggrr~…simpan!” geramku.

“Tidak!”

“Simpan!!”

“Tidak!!”

Kalau terus seperti ini, sama-sama tak mau kalah, sudah pasti pertengkaran akan dimulai.

“Simpan!!!” teriakku. Terus ngotot.

“Aah, iya baik!” teriak Sakura tak kalah kerasnya dariku. Meskipun begitu akhirnya gadis itu pun menyerah juga. “Akan kusimpan. Puas?! Dasar kau memang menyebalkan!”

BRUUK… Sengaja dia lempar piyama ditangannya ke arahku.

“Pakai bajumu sendiri!”

“Aaaww~…” Aku meringis. Refleks tadi aku angkat tanganku untuk menangkap piyama itu. Bikin nyeri di bahuku menjalar sakit.

“Sasuke, kau tak apa-apa?” cemas Sakura lekas menghampiriku.

“Kejam sekali kau.” Aku men-deathglare-nya. “Perasaan waktu kau sakit, aku tak pernah berlaku sekasar ini padamu.”

“Maaf~…” Sakura menunduk, bibirnya mengerucut. Tampang cemberutnya sekarang terlihat begitu menyesal.

Aku yang melihatnya malah jadi tak bisa marah. Manis sekali. Membuatku jadi ingin terus menggodanya. “Kau pikir sakitku ini bohongan?” lanjutku. “Buat angkat tanganku sendiri saja sulit. Ugh, dingin lagi.” Aku pura-pura bergidik, “Bisa masuk angin nih kalau cepat tak pakai baju. Atau mungkin kau lebih senang melihatku telanja…”

“Sembarangan.” sela Sakura cepat, “Huuh, baiklah. Aku bantu.” Walau masih terlihat jengkel, tapi gadis itu lekas mengambil piyamaku dan dengan hati-hati seperti tadi dia membantuku memakainya.

“Hn.”

Dalam diam ditengah keheningan sesaat, lama kutatap gadis musim semi yang kini tertunduk dihadapanku itu. Perasaanku mulai berdebar lagi setiap kali memperhatikannya. Saat tangan-tangan kecilnya satu persatu mengaitkan kancing bajuku. Sungguh, tanpa keraguan aku mencintainya. Kami bertunangan dan suatu hari pasti akan menikah. Melihat Sakura sekarang, kupikir kelak dia pun bisa jadi istri yang baik.

Istri?

Blush… Wajahku makin terasa panas. Bisa-bisanya aku berpikiran sejauh itu sekarang, meskipun sebenarnya dalam hati aku pun sangat berharap. Memang benar. Saat ini, jarak ini, yang begitu dekat, hingga aku bisa mencium wangi shampo pada helaian rambut soft pink-nya, membuatku terbuai.

Cup~…

Lalu tanpa sadar aku kecup keningnya. Membuat Sakura terkejut seraya menjauhkan dirinya dariku.

“Apa yang kau…”

“Terimakasih.” ucapku sambil tersenyum, menyela ucapannya yang mungkin hendak melontarkan kata-kata protes atas tindakanku barusan.

“Sasuke…”

“Entah sekarang mungkin dalam hatimu masih tak bisa menerimaku sepenuhnya, tapi hari ini aku senang sekali kau mulai peduli padaku, Sakura. Terimakasih.”

Sakura hanya menggulum bibirnya dan mengangguk pelan. “Sama-sama.”

“Tunggu!” cegahku cepat menahan tangannya saat Sakura hendak beranjak dari sisi ranjangku.

“Apa lagi, sudah selesai ganti baju kan? Aku mau pulang. Kau juga sebaiknya beristirahat.”

“Hmm, sebentar lagi.” pintaku, “Temani aku tidur.”

“Apa?!” Emerald hijau itu membulat, terbelalak melihatku.

“Eh, maaf, maksudnya bukan temani tidur gitu~…” Aku sebentar mengerling. Malu sekali. Kupikir dia pasti salah paham maksudku. “Eu, itu maksudnya kau tetaplah di sini sampai aku benar-benar tidur.”

“Ya ampun Sasuke, memangnya kau ini anak kecil?”

Brugh… Kurebahkan tubuhku terlentang di atas kasur.

“Lima menit saja, Sakura.” kataku seraya menutup mata. “Aku ingin tidur sambil menggenggam tanganmu…” kukendurkan tanganku yang mencengkeram tangannya. Kukira Sakura akan lekas menarik tangannya dariku, tapi ternyata tidak.

“Hmm, lima menit ya…” kata Sakura, kembali duduk di sisi ranjang.

Seketika itu aku langsung kembali bangkit. Memutar posisi tidurku dan meletakkan kepalaku di atas pangkuannya.

“Hei!” teriak Sakura protes, hendak berdiri.

“Lima menit!” kataku. Cepat mengatur posisi tidurku dengan menjadikan pahanya sebagai bantalan. “Kalau lima menit aku tak tidur, kau boleh pergi.”

“Aargh~… kau ini, dasar.”

“Sstt,…” desisku, “Jangan berisik.”

“Haah? Ha ha ha~…” Sakura tertawa berat, “Menyebalkan.” gerutunya.

“Hn.”

Kuhiraukan itu dan lekas menutup mataku. Menikmati lima menit kesempatan yang kupunya, yang ternyata terasa begitu lama. Entah apakah waktu yang jadi berjalan lambat, tapi sampai aku benar-benar terlelap, Sakura tak beranjak dari sisiku.

“Dasar manja…” bisik seseorang disela sentuhan yang terasa lembut membelai helaian ravenku. “Oyasumi~…”

=0=0=0=0=0=

 

 

=0=0=0=0=0=

Malamnya aku bermimpi…

Mimpi yang aneh dan berputar-putar. Aku berlari mengitari planet padang rumput kecil dengan latar mozaik seperti dalam game jadul yang waktu kecil sering kumainkan. Karakter chibi-ku berpetualang sambil membawa pedang. Melewati banyak hal. Bertemu dengan kelinci merah bertampang mirip Karin dan kalajengking pembunuh berwajah Sasori. Setelah berhasil kukalahkan, aku sampai di sebuah kastil. Dimana Sakura berpakaian putri menyambutku.

Kami bermain-main di ladang bunga. Kubuatkan dia mahkota dari bunga deasy dan kubawa Sakura ke tepi danau, dimana dua angsa tampak berdansa di atas permukaan airnya. Tanganku digenggamnya, Sakura merangkulku, aku merasa bahagia. Ikan koi melompat, menciprat dan membuat permukaan kolam meriak. Begitu kembali tenang, kulihat bayangan kami terpantul diatasnya. Permukaan danau tampak bening seperti kaca, sehingga dengan jelas aku pastikan bayangan yang ada disana memang Sakura. Gadis itu berdiri disisiku. Tapi aku terkejut kala kupandang bayanganku sendiri disana.

Itu bukan aku.

Melainkan wajah yang serupa diriku. Dialah yang ada disana. Yang  berbahagia bersama Sakura adalah…

Itachi-nii??

Hhhhh~…hhh~…hhh~…hhh~…

Aku sontak terbangun dengan perasaan berdebar dan nafas terengah.

Mimpi apa itu? Petandakah atau hanya bunga tidur?

=0=0=0=0=

=0=0=0=0=

Selang beberapa hari, kondisiku mulai pulih. Bagian luka yang terkadang masih terasa sakit paling hanya bahuku. Tapi itu pun tak terlalu parah. Sekarang aku sudah bisa mengangkat tanganku sendiri dengan normal seperti semula. Dan luka di bahu itu pun kini hanya menyisakan lebam keunguan sebagai bukti akibat benturan. Bekas luka lainnya juga mulai menghilang. Sakura rajin merawatku, mengolesinya dengan krim penghilang luka dan mengganti perbanku. Meskipun berulang kali dia bilang dia datang menjenguk dan melakukannya dengan terpaksa -karena terbebani rasa bersalah- Tapi aku benar-benar senang dengan situasi ini.

“Bagus, sudah kering. Sepertinya tak perlu dibalut lagi.” ucap Sakura seusai membuka perban di kepalaku.

“Hn.”

“Sesekali tolong perhatikan lukamu itu. Harusnya kau lakukan sendiri, jangan hanya mengandalkanku.” gerutu Sakura, “Padahal cuma lepas perban saja masa sampai harus aku. Apa kau sebegitu payahnya sampai tak bisa melakukan hal sepele seperti ini? Suruh saja Ayame, atau siapa kek, dokter pribadi keluarga Uchiha misalnya…”

“Kau kan dokter pribadiku.” kataku sambil mengangkat sebelah alis, sedikit menggodanya.

“Haah?” Sakura sweatdrop. “Aku bukan dokter. Aku bahkan tak kuliah di kedokteran.”

“Tapi kau ingin jadi dokter, kan?” tanyaku, memandang wajahnya yang kini berubah muram. “Tahun depan masuklah Akatsuki, biar kita bisa selalu bersama.”

“Selalu bersama?” tanya Sakura, emeraldnya yang sesaat lalu tertunduk kini bergulir menatapku. “Sasuke, aku…”

“Apa? Kau mau bilang kau membenciku? Kau masih tak mau menerimaku? Kau masih ingin balas dendam? Tak puas menyiksaku? Jangan bicara kalau itu yang mau kau katakan.” Aku lekas menyela. Terus terang aku merasa bosan mendengar penolakannya. Entah dia yang munafik tak mau mengakui perasaannya atau memang aku yang belum mampu merebut hati Sakura sepenuhnya. “Aku tak mau bertengkar denganmu. Apalagi di tempat ini.”

Ya, sekarang kami ada di teras belakang rumah. Tempat yang dari dulu biasa kami pilih saat ingin bicara berdua. Di tempat ini aku selalu bertengkar dengan Sakura. Tempat yang kalau kami gali dalam kenangan, hanya akan ada rasa sakit dan luka. Terlebih lagi ketika teringat saat terakhir kali kami disini adalah malam saat paling menusuk dalam hidup kami. Bagiku dan baginya…

Suasana hening sejenak. Kami berdua terdiam. Sakura tak membalas perkataanku. Sepertinya yang mau dia katakan padaku tadi memang penolakan. Huff~… Kalau ingat itu rasanya aku jadi putus asa.

Pluung…

Satu kerikil kecil terlempar ke kolam. Bunyi riak airnya mengisi keheningan. Aku melirik ke arah gadis yang tak punya kerjaan itu. Sakura pungut satu kerikil lalu melemparkannya ke kolam. Selama ini dia selalu bilang kalau dia yang sekarang bukan lagi Sakura yang dulu. Tapi kebiasaannya melempar batu masih sama seperti dulu. Setiap kali kami disini, ketika aku dipaksa Kaa-san menemani Sakura, selama kami terdiam, itulah yang sering Sakura lakukan.   

Pluung…

Sakura balas melirikku ketika aku pun ikut-ikutan melempar batu ke kolam.

Pluung… Pluung…

Kami berdua sama-sama melempar batu ke kolam. Sakura mendelik dan menyunggingkan bibirnya, tersenyum meremehkan kala lemparannya lebih jauh dariku.

Pluung… Pluung…

Kulempar sekali lagi dan masih saja aku yang kalah darinya. Bikin gadis itu cekikikan, semakin menertawakanku.

Sial.

“Heh, Ayo taruhan! Siapa diantara kita yang berhasil melempar batu paling jauh.” tantangku, “Yang kalah harus mengabulkan satu permintaan yang menang ya.”

Sakura memungut satu batu. “Kalau aku yang menang, kau harus berhenti menggangguku dan jangan pernah lagi memaksaku.”

“Cium aku Sakura.” seraya kupungut juga sebuah batu, kukatakan taruhanku. “Kau harus menciumku kalau kau kalah.” 

Onyx dan emerald saling berkilat, seolah saling menyetujui. Aku dan Sakura bersiap. Dan pada waktu yang hampir bersamaan kami sama-sama lempar batu itu.

Pluung… CTAR…

Batu Sakura berhasil mendarat tepat di ujung kolam. Gadis itu sudah tertawa-tawa kegirangan. “Hahaha~ kau lihat. Aku yang menang.” Sedangkan batuku melambung jauh ke seberang kolam sampai mengenai tembok benteng rumah. “Lemparanmu meleset, Sasuke.”

“Heh, kau lupa apa taruhannya? Kubilang siapa diantara kita yang berhasil melempar batu paling jauh kan?”

“Aah, itu…” Sakura mendengus. Wajahnya berubah cemberut. Dia kembungkan sebelah pipinya.

“Tak terbatas sampai kolam, baka!” lanjutku, kembali mengingatkannya. “Jadi akulah yang menang, kan? Khekhekhe~…” kataku sambil tertawa puas.

“Kau curang.” bantah Sakura. “Kau tak sebutkan itu dari awal.”

“Ckckck~… kau kalah. Terimalah kenyataan itu.” kataku, “Sekarang kabulkan permohonanku.”

“Apa?! Tidak mau. Aku tak mau melakukannya. Menciummu? Tidak. Tidak. Tidak. Jangan coba paksa aku, Sasuke!”

“Heh, kau sudah kalah, masa tak mau penuhi permintaanku. Kita kan sudah sepakat.”

“Ya, tapi tetap saja…” Sakura mendumel, “Masa aku harus menciummu…”

“Jadi kau mau ingkar janji?”

Emeraldnya bergulir, “Err, ya tidak. Kalau kau minta yang lain mungkin aku bisa lakukan. Tapi jangan itu…” Sakura menggigiti bibir bawahnya. “Kau tak malu apa, kalau kita melakukannya disini?”

“Hn. Kenapa? Disini juga hanya ada kita berdua. Atau kau mau lakukan di tempat yang lebih privasi? Kita ke kamarku.” ajakku setengah bercanda.

Bletak… Sakura menjitakku.

Pervert.” desisnya.

“Aish~ sakit…” ringisku sembari mengusap-usap kepalaku. “Duh, kau kan tak harus sampai memukulku. Barusan nyaris kena lukaku lho. Kalau aku sampai berdarah lagi gimana coba?”

“Iih, sikapmu makin menyebalkan…”

“Hmm, ya sudah kalau kau tak mau. Ini jadi janji seumur hidup. Kau berdosa kalau kau tak kabulkan.” gumamku. Setengah pasrah, setengah berharap. Mulai kulenggangkan jenjang kaki panjangku, pura-pura marah. “Dasar pendusta. Aku baru tahu kalau kau orang yang suka ingkar janji.”

Grep…

Tiba-tiba ujung bajuku ditariknya, gadis itu mencegahku pergi. “Tunggu!” Aku kembali menoleh. Emeraldnya lekas menghindar, enggan menatap onyx-ku. “Err, baiklah. Akan kulakukan sekarang.” katanya, tampak malu.

Aku menyeringai, “Sungguh?” tanyaku penuh selidik. “Kalau kau terpaksa, aku tak mau melakukannya.”

“Hiih~… kau sendiri yang mendesakku. Mau lakukan tidak?!”

“Eh, iya, iya…” kataku bersemangat, “Ayo lakukan.”

Sakura tampak gelisah ketika perlahan dia dekatkan wajahnya. Tapi baru sebentar dia kembali menarik diri.

“Apa? Tidak jadi?” dengusku kecewa.

“Ehm, pejamkan matamu” pinta Sakura. “Aku malu kalau terus kau tatap.”

Ow~… aku terkejut. Dia serius?…

“Kau tak akan menipuku, kan?” tanyaku curiga. “Bagaimana kalau nanti pas aku merem kau kabur, atau kau tak gunakan bibirmu untuk menciumku?”

“Kau tak percaya padaku?” Sakura malah balik bertanya. Aku menggelengkan kepala. Gadis itu mendengus, “Hhh~.. ya sudah gak jadi.”

“Ah, iya, baiklah.” Aku putuskan untuk percaya padanya.

Perlahan aku tutup kedua mataku. Dalam kegelapan yang terasa hanya degup jantungku sendiri yang berdetak kencang. Aku menanti walau tak terlalu berharap. Aku tak yakin Sakura sungguh mau melakukannya. Tapi tak ada salahnya aku mencoba. Mungkin dia sungguh…

Ah~…

Aku rasakan ada sekilas hembusan nafas hangat mendekat serta sedikit wangi cherry yang tercium. Aku tahu itu berasal dari lipgloss yang dipakainya. Apa sungguh jarak kami sekarang begitu dekat? Dia benar-benar akan menciumku? Dan penantianku terjawab saat bibirku akhirnya terasa lembut tertekan sesuatu.

“Sudah.” kata Sakura.

“Hah?” Aku lekas membuka mata. Mengerjap-erjap sebentar sementara kugulum sendiri bibirku. “Sudah?” tanyaku. “Kok gak kerasa? Bohong ah~…”

“Hiih~… Sumpah aku sudah menciummu.” kata Sakura. Gadis itu menyentuh bibirnya. “Memang rasanya harus gimana? Kupikir yang namanya ciuman itu kan cukup sekedar menempelkan bibir kita.”

“Dasar bodoh. Kau masih tak tahu caranya ciuman? Sini, mau kuajarkan?” tawarku.

“Hah?” Sakura mengernyit, “Maksudmu…”

Aku cepat memperpendek jarakku dengan Sakura, sehingga wajah kami sekarang hanya tinggal terpaut beberapa senti. “Kuajarkan kau bagaimana caranya ciuman yang enak.” Perlahan aku merengkuh wajahnya.

“Sa…su..ke…” Gadis itu gugup menerima perlakuanku.

“Sstt…” desisku, “Kau diam saja. Ikuti apa kataku.”

“Hmmp….” Pertama aku mulai mendaratkan bibirku di atas bibir Sakura.

“Begini saja tak cukup kan, sayang?” tanyaku di sela pagutan.

Emerald Sakura membulat. Dia tampak ingin lepas tapi aku cepat menahannya. “Pejamkan matamu dan biarkan indramu yang lain yang lebih merasakannya.” bisikku. “Pelajari…”

Sluurp…. Disela menggulum dan melumat, aku jilat permukaan lembut bibirnya. “Itu tanda, bukalah sedikit mulutmu…”

“Mmmp… Sasu…” bisik Sakura. Mungkin dia hendak menolak, tapi kumanfaatkan itu untuk memasukkan lidahku kedalam mulutnya. Membuat dua daging tak bertulang  kini saling bertaut.

Sakura berontak, mungkin merasa tak nyaman. Lidahnya berulang kali mendorongku keluar. Tapi aku bisa balas mengendalikannya. “Tenang. Lakukan pelan-pelan. Ikuti gerakanku.”

“Hmmph….mmph…hh…hh..hh…”

Ya, Sakura bisa mengikutinya dengan baik sampai kami selesaikan first french kiss itu hingga pasokan udara benar-benar habis.

“Bagaimana, sudah bisa?” tanyaku seusai pagutan seraya mengatur kembali nafasku yang terengah. “Sekarang giliranmu yang lakukan itu untukku.”

“Hmm, Sasuke, kau…” Sakura jadi salah tingkah, wajahnya memerah, tampak malu melihatku.

Tak kusia-siakan kesempatan ini. Kembali kudekap erat tubuhnya dan memenjarakan emerald dalam onyx. Sedikit demi sedikit makin kupersempit jarak diantara kami, menyatukan kening dan ujung hidung. Sedikit lagi… tapi aku masih tetap menunggu respon Sakura.

“Dasar pemaksa…” gumam gadis itu sesaat sebelum akhirnya dia daratkan juga bibirnya dengan lembut diatas bibirku.

Aku sekilas tersenyum. Geli mendengarnya. Apa yang dia bilang bertolak belakang dengan kelakuannya yang justru balas melumat, menggulum, menjilat dan menginvasi seluruh isi mulutku dengan agresif. Disaat seperti ini perasaan memang tak bisa ditutupi. Aku tahu lewat debaran jantungnya yang berdegup beriringan dengan jantungku, Sakura pun sebenarnya memiliki perasaan yang sama. Aku yakin.

“Hn, kau hebat juga. Tipe orang yang cepat belajar dengan sekali praktek ya…” kataku, sedikit menggodanya. Kupilin ujung rambut merah muda itu dan menyelipkannya ke belakang telinga. Perlakuanku itu bikin Sakura makin blushing sudah seperti udang rebus.

“Hmm, itu karena kau yang ajari. Aku pasti disebut bodoh kalau tak melakukannya dengan baik.” kelit gadis itu, menggulirkan emeraldnya, lagi-lagi tak berani menatapku.

“Gadis pintar.” pujiku, sambil mengacak-acak atas rambutnya. Gemas.

Tapi kali ini Sakura malah cemberut. “Kau yang pintar mengajariku. Sudah pasti karena kau lebih berpengalaman. Huff~…” Ada nada kecemburuan terdengar dalam kalimatnya.

“Tidak.” kataku. “Aku juga baru pertama kali melakukannya, denganmu.”

“Uso~…” dengus Sakura, “Pastinya sudah sering lakukan dengan Kar…”

“Sstt…” aku berdesis, mencegahnya bicara lebih lanjut. Kutaruh jari telunjukku di atas bibir mungilnya. “Sumpah. Kaulah yang pertama Sakura…” kini kutaruh tanganku disebelah pipinya. Membelai lembut. “Sekarang kita sama-sama tahu. Kau sendiri merasakannya kan, sewaktu kita berciuman? Kita punya perasaan yang sama. Masa lalu kita memang rumit. Aku tak tahu apa aku harus menyuruhmu melupakan segalanya atau tidak. Disatu sisi saat itu merupakan kenangan buruk bagimu, yang ada hanya aku yang memberimu luka. Tapi disisi lain, masa itu adalah saat kau begitu besar mencintaiku, yang justru sekarang kau bilang telah hilang.”

“Sasuke…”

Kini kutarik sebelah tangan Sakura dan meletakannya di dada kiriku. Tepat diatas jantungku.

“Sakura, aku ingin kau lupakan segala lukamu, tapi tak berarti aku sendiri bebas dari rasa bersalah. Tapi satu hal yang harus kau tahu, aku sekarang mencintaimu. Benar-benar mencintaimu setulus hatiku. Terimalah perasaanku…”

Manik emerald itu membulat tatkala mendengar pernyataanku. Wajah Sakura berubah tegang. Tapi lebih tegang lagi diriku yang menanti jawaban gadis itu. Ayolah, aku sudah ungkapkan segala perasaanku sekarang. Membuang segala keangkuhan yang kumiliki dengan mengucapkan kata-kata yang tak biasa aku ucapkan. Tidak pada siapapun. Hanya padanya. Masihkah dia akan menolakku?

“Sasuke, aku…”

PRAAANG…

“Kyaaaaaaaaaaaa~….”

Bunyi barang pecah dan lengkingan nyaring yang tiba-tiba terdengar seketika mengusik suasana. Aku dan Sakura sama-sama menoleh kedalam rumah. Sekilas kami berpandangan sebelum akhirnya beranjak menuju tempat asal suara itu.

“Apa sih, Ayame ya?” Aku mendumel kesal. Merasa kejadian barusan sungguh sudah merusak kesempatanku dan Sakura. Tapi meskipun begitu, aku juga sedikit cemas dan penasaran dengan apa yang terjadi.

Begitu kami hampir sampai di ruang tamu, kulihat Ayame tampak gemetaran dan berwajah tegang. Sementara pecahan vas bunga kristal kesayangan Kaa-san jatuh berserakan di lantai.

“Tu, tuan muda…” gumam maid itu, matanya berbinar bukan melihat padaku.

Langsung saja kugulirkan onyx-ku ke arah yang dia lihat.

Deg!

Sama seperti Ayame, aku pun terkejut melihatnya. Ketika di pintu depan sana berdiri sesosok pemuda jangkung dengan potongan rambut raven gelap berkuncir. Pemuda tampan yang punya sekilas garis wajah persis sepertiku.

“Yo, baka otoutou…” sapanya, sambil tersenyum dan mengangkat sebelah tangannya padaku. “Tadaima.”

Haah?… deg-deg-deg-deg-deg-deg-…

“Itachi-nii…”

=0=0=0=0=

TBC… Next to chapter 10

=0=0=0=0=

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Bachot session from Author:

Tepat pukul 22.00 WIB saya selesaikan FF ini di PC rumah. Kebut kejar DeathLine yang saya janjikan bakal publish hari minggu. Keburu gak ya?? Dan maaf banget ternyata gak keburu. Itu gara-gara koneksi modem yang jelek. Tapi saya berusaha mpe tengah malem gini buat tetap publish. Benar-benar penuh perjuangan nih, mpe bela-belain begadang meskipun besok saya harus kerja pagi dan bangun subuh buat sahur.

Hadoooh~ pas puasa gini malah bikin cerita yang bikin blushing /(>,<) Maaf ya~… waktunya mungkin ga tepat, padahal rencana awal chapter ini mau saya publish sebelum puasa, tapi gak keburu. Dan hebatnya lagi FF ini selesai dalam waktu kurang dari dua hari, hehe~ *ga nyangka*…

Sebenarnya banyak yang ingin dicurhatkan, tapi keburu ngantuk berat jadi langsung saja, this chapter special for…

YaYaK, kazunarilady, Dwi Kharisma, asdf, Marshanti Lisbania Gratia, Lailan slalu mencintai ghalma, Sarah Zakila, sv3p, Jile Tamariska Sing, Decha, chii, Sslove, Itha, Rahma, nathaya, Amaterasu Uchiha, zoggakyu, gee, sohwarizkia, ayu sasusaku, Eviech, Uchiha Nanda, qori, Judy Maxwell, Tyara Hinamori, Dika Rahmat, LoLaa Uchiwara, KazuhaRyu dan kamu yang udah baca FF ini tapi gak meninggalkan jejak komen.

Terima kasih sudah baca (^-^)/ Ditunggu komennya lagi ya, hehe~… 😀

Akhirnya Itachi pun muncul, saya lepaskan dia dari kandang, hehe~…. #CTAR *di-Susanou*

Lalu apa yang terjadi?

Gomen ne~… m(_ _)m ga sempet bikin spoiler, yang pasti chapter depan bakal diungkapkan masa lalu Itachi dan Sasuke, juga nasib hubungan keluarga Uchiha-Haruno selanjutnya.

Fufufufu~… penasaran?? Tunggu saja, OK? 😀

Jaa~ -(^o^)/

47 Comments

Leave a Reply

3 Pings & Trackbacks

  1. Pingback:

  2. Pingback:

  3. Pingback:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *