DAREKAGA : Chapter 2

Cerita sebelumnya…. Baca [Chap 1]

Aku tak pernah alami kejadian tak terduga seperti ini. Menemukan diriku ada dalam situasi paling mengejutkan seumur hidup. Seolah ada waktu yang berlalu, terlewati tanpa aku sadari apa yang sempat aku lakukan saat itu. Aku sama sekali tak ingat. Kenapa? Kenapa aku di sini? Apa yang sudah kulakukan? Apa yang sebenarnya terjadi?

Kenapa?!


-o0o-

DAREKAGA : Chapter 2

Sasuke-sakura
Story by FuRaHEART

Disclaimer:
Sasuke Uchiha x Sakura Haruno x Itachi Uchiha and all characters of NARUTO © MASASHI KISHIMOTO
fanart / illustrations are NOT mine

Rate: Teen
Genre: Romance, Hurt/Comfort
Length: 2.725 words
WARNING: AU, OOC, (miss)typo, alur GaJe cerita se-mau-gue

Happy Reading
-o0o-


Setengah sadar aku terbangun dari tidurku. Kepalaku terasa berat. Rasanya pusing. Dan inilah yang memaksaku daritadi tak bisa beranjak dari posisi berbaring. Sambil masih melenguh, meronta, menendang selimut dan menyusup di balik bantal lembut, aku tekan kepalaku kuat-kuat. Perlu beberapa saat sampai akhirnya aku merasa lebih baik, membuka mataku dan menyadari ada yang salah dengan kondisiku saat ini.

Rasa malas itu seketika hilang. Seolah jentikan jari sihir membangunku dan menarik seluruh kesadaranku kembali. Aku sontak bangkit mengambil posisi duduk. Tubuhku langsung tegang, padahal aku tadi sungguh merasa lemas. Tapi degup jantung yang berpacu sekian kali lipat ini menyadarkanku bahwa aku masih hidup. Ya, aku masih hidup dan yakin aku tak sedang bermimpi.

“A-apa-apaan ini…” gumamku tak percaya. Emerald bergulir menatap sekeliling. Aku terbangun di satu ruangan asing. Bukan kamarku. Bukan rumahku. Bukan pula tempat yang kuingat pernah aku datangi.

Kamar yang cukup luas dengan lampu penerangan redup. Ada beberapa perabot dan perangkat elektronik. Sedikit tirai jendela tersibak, menyusupkan seberkas cahaya mentari pagi. Di atas sofa tampak aku kenali bolero maroon milikku. Berserakan dengan beberapa potong pakaian lain di lantai. Sebelah sepatu high heels-ku sama berantakannya, tergeletak di dekat sepasang sneaker entah milik siapa.

Dalam keterkejutan itu aku kian bertanya-tanya, terutama saat aku dapati bahwa diriku tak sendirian di sini. Aku melohok menatap sesosok punggung yang telanjang. Terbaring di sampingku dengan wajah menghadap ke arah lain. Sepertinya dia masih tertidur.

“Hiiiii~…” Aku memekik dan lekas menarik tanganku yang hampir menyentuhnya. Aku peluk diriku sendiri, memastikan keadaanku. “Tenang, Sakura, Tenang!” gumamku berulang kali sambil mengatur nafas dan berusaha menyingkirkan rasa tegang.

Aku tak boleh panik sekarang. Aku harus tenang. Ini membingungkan dan aku mulai berpikir macam-macam. Tentu saja hal terburuk pasti mengarah ke sana. Jangan-jangan aku dan dia… TIDAK! Karena aku terbangun masih berpakaian, jadi aku rasa aku tak sampai melakukan ‘itu’-kan? Pikiranku mencoba positif walau setengah kekhawatiran masih ada dalam diri. Terlebih lagi yang terpenting, siapa dia?!

Perlahan aku coba memerhatikan sosok itu. Dia manusia—tentu saja, seorang lelaki. Sepertinya cukup tampan. Entahlah aku tak bisa lihat dengan jelas wajahnya yang tertutup sedikit poni dari rambut ravennya yang berantakan. Apa aku pernah bertemu dengannya?

“Hn.”

Aku tersentak saat mendengarnya melenguh dan sedikit bergerak. Gawat. Dia bangun. Lekas saja aku beranjak dari ranjang. Dengan panik aku ambil barang-barangku. Menyambar bolero, tas dan sepatuku. Aku harus cepat-cepat pergi dari sini sebelum dia menemukanku.

Sial!

Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang kulakukan? Ini bukan main-main. Aku menoleh menatap miris bangunan tempat aku keluar barusan. Mengerikan. Aku ada di LOVE Hotel dengan seorang lelaki yang tak kukenal. Aku juga tak ingat apa-apa, selain sekelebat potongan ingatan kemarin yang tak sempat aku susun kembali sekarang. Aku hanya ingin pulang.

Dengan langkah cepat aku terburu-buru menuju halte terdekat. Untung saja bis tujuanku sudah datang. Aku naik dan duduk di kursi kosong dekat jendela. Menghiraukan pandangan orang lain yang mungkin mengira aku gila karena penampilanku yang berantakan. Aku gigiti bibirku dan menyeka sedikit air mata yang menelesak turun. Kalau tak ingat aku sedang di muka umum, aku sungguh ingin menjerit dan menangis sekencang-kencangnya sekarang. Saat aku sadar ternyata dompet dan ponselku tertinggal di sana.

AAAARRRGGHHHH!

.

.

.

Harusnya kemarin jadi hari paling menyenangkan dalam hidupku. Perasaan berbunga-bunga itu sungguh membuatku tersipu. Aku senang saat kak Itachi mengajakku berkencan. Usai sekolah, aku langsung pulang ke rumah dan mengabaikan Ino dan Hinata yang justru telah lebih dulu mengajakku pergi bermain tempo hari.

“Maaf ya, aku punya acara lain yang lebih penting.” ucapku pada mereka.

Aku bersiap-siap, berdandan yang cantik. Bahkan sampai kebingungan memilih baju mana yang harus kupakai. Mengira-ngira seperti apa penampilan gadis yang akan disukai kak Itachi. Aku yang simpel dan apa adanya, tak semanis Ino atau seanggun Hinata akhirnya memaksakan diri tampil feminim. Sungguh ini diluar kebiasaanku, meski aku tetap gadis cantik dan manis, hehe.

White mini dress dengan tampilan rok bergelombang sedikit diatas lutut berpadu bolero merah marun menutupi bagian atas terusannya yang tak berlengan. Aku dapat gaun ini dari Tou-san sebagai hadiah kelulusanku waktu masuk SMA Konoha. Tak pernah sekalipun aku pakai. Tentu saja karena belum ada acara khusus yang memaksaku untuk memakainya. Dan sekarang aku rasa inilah saatnya.

Aku sedikit memakai riasan, walau itu tak terlalu mencolok. Untung saja saat pesta piyama di rumah Ino beberapa waktu lalu, kami pernah iseng main dandan-dandanan. Aku tahu caranya, meski agak kesulitan memakai bulu mata palsu. Ugh, akhirnya tak jadi kupakai dan hanya mengoleskan bedak tipis diatas pelembab biasa, blush on, eyes shadow, maskara dan lipstik warna peach. Tak kupercaya aku nekat meminjam peralatan make-up itu diam-diam dari Kaa-san.

Aku menata rambut merah mudaku dengan gaya berbeda. Tak lagi dibelah tengah dan diberi pemanis bandana merah seperti biasa, tapi mengikatnya ke pinggir dengan ikat rambut berbentuk sama seperti namaku dan diberi poni menyamping. Setelah semua beres, aku merasa percaya diri melihat penampilanku sendiri terpantul dalam cermin. Ternyata aku memang manis, pikirku sambil bergaya dan mengedipkan sebelah mata. Sungguh tak sia-sia aku berusaha tampil cantik tadi. Dan semoga saja kak Itachi akan menyukainya nanti.

Kaa-san menatapku sambil tersenyum simpul saat aku pamit keluar rumah sore itu. Aku langsung kabur menenteng tas kecil dan sepatu high heels-ku sebelum dia menginterogasiku. Tapi kurasa Kaa-san bisa menduga aku akan pergi main bersama teman-temanku seperti biasa.

“Jangan pulang terlalu larut, ya?!” ucapnya memperingatkanku.

Ittekimasu.”

Jam 7 malam di Konoharajuku. Sudah dua jam aku menunggu dan kak Itachi tak juga menampakkan diri. Saking bersemangatnya aku memang datang satu jam lebih awal dari waktu yang dijanjikan, tapi tak kukira akan ngaret selama ini. Dalam pesan yang dikirimnya tadi siang, kak Itachi bilang kami akan bertemu jam 6 di dekat taman air mancur di pusat kawasan gaul ini.

Telepon yang anda hubungi sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan, silakan…’

Ish, dengusku kesal mendengar jawaban yang sama dari seberang saat aku coba menghubungi Itachi. Sudah berapa kali aku hubungi dia tapi tak tersambung, selain aku bombardir juga dengan beragam pesan lewat medsos dan SMS yang tak dibalas daritadi.

Menyebalkan! Aku jadi bete sekarang. Kakiku juga pegal, rasanya mau copot—karena terus berdiri diatas hak 7 cm. Ini benar-benar sebuah siksaan. Make-up dan tatanan rambutku pun pasti sudah luntur dan tak serapih tadi. Dan melihat ke sekeliling, aku iri dengan satu persatu orang yang menunggu di taman ini saat mereka mulai dijemput pasangannya. Tapi selain itu aku juga kesal menghadapi beberapa pria iseng yang terkadang mencoba menggodaku. Untung tak sampai ada yang berani macam-macam.

Tuk

Sentuhan ringan di bahuku sontak membuatku berharap. Aku sudah pasang senyum dan tampang manis saat aku berbalik menghadapinya. Aku sangka itu kak Itachi yang akhirnya datang, namun ternyata…

Lebih parah daripada menghadapi pria asing hidung belang, aku tak pernah merasa seterkejut ini bertemu dengan orang yang aku kenal.

“Hai, Sakura!”

Rasanya seperti tertangkap basah, mendapati dua gadis blonde dan navy itu menyapa.

“I-ino… Hinata juga…” cengoku menatap mereka berdua.

“Kyaaaa… akhirnya kau mau datang.” pekik mereka, nyaris berteriak heboh. Langsung saja menerkamku dengan pelukan erat.

“Senangnya melihatmu di sini, Sakura.”

“Aku tak menyangka ini dirimu saat dari jauh tadi aku kenali warna pink rambutmu.”

“Kami sempat ragu untuk mendekat.”

“Eh, tahunya betulan kau.”

“Kukira kau sungguh menolak datang, ternyata pulang duluan untuk berdandan segala.”

“Niat banget sih.”

“Bikin greget.”

“Kamu cantik.”

“Tu-tunggu, ini tak seperti yang kalian kira…” Aku coba jelaskan.

“Ah, sudah… sudah… kami maklum kok, kalau akhirnya kau berubah pikiran.”

“Tidak. Bukan begini maksudnya… aku di sini bukan untuk pesta itu.”

“Nyahahahaha…”

Mereka sama sekali tak mendengar, langsung mengaitkan lengan di sisi kiri dan kanan, mengajakku jalan bersama.

“Tunggu! Tunggu dulu!” Aku berusaha melepaskan diri. Terutama saat ponsel di tanganku bergetar. “Tunggu sebentar!” Setengah memaksa aku tarik lenganku yang di kekang Ino dan Hinata. “Sebentar ada telepon masuk nih.” Aku kemudian menjauh sejenak untuk menerima panggilan itu.

Aku menghela nafas sambil menenangkan diri. Tapi jantungku malah berdegup kencang saat menempelkan speaker ponsel itu ke telingaku, karena aku tahu yang menelepon ini kak Itachi. Akhirnya~!

Moshi moshi… Itachi-senpai.”

Yo, Sakura-chan ya…”

“Iya, kakak sudah sampai? Ada dimana?” tanyaku sambil celingak-celinguk mencari sosok Itachi yang mungkin ada di dekat sini. “Aku sekarang ada di depan toko baju…”

“Ah, maaf ya.” jawab Itachi, “Tapi aku masih di rumah.”

Eh?!

“EEEEHHH?!” aku tercengang. “Di rumah?!”

“Hehe,” lelaki itu sejenak terkekeh, “Iya, aku ketiduran dan lupa ada janji denganmu.”

“A-apa…” gumamku tak percaya.

“Lalu mendadak aku juga ada urusan penting jadi tak bisa kesana sekarang…”

Untuk sesaat rasanya aku seakan terhempas ke dunia yang kosong. Suara-suara di sekitarku menghilang. Tatapanku menerawang jauh entah kemana, mungkin mencari sosok yang kunanti namun tak hadir disini. Degup jantung yang berdebar tadi kini malah membuat dadaku terasa sakit. Bibirku bergetar, tapi lekas kukatupkan rapat-rapat. Seraya tanganku kian erat menggenggam ponsel yang rasanya ingin aku banting sekarang.

“—ra… Sakura… kau masih mendengarku? Sa~ku~ra-chan…”

Pikiranku kembali tersadar oleh panggilan manis itu.

“Ah, iya kak…”

“Kau tak apa-apa, kan? Sungguh, aku tak bermaksud mengecewakanmu. Aku juga tak tahu akan seperti ini. Maaf ya.”

Aku sejenak tertawa hambar, “Iya, tak apa-apa. Aku bisa maklum, kalau kau sedang sibuk.”

“Ehm, lain kali kita betulan pergi main deh.”

“Haha, iya. Aku akan tunggu kesempatan itu.”

“Okay, kalau gitu… sudah dulu ya. Bye.”

Tuttutututututttt

Bye.” balasku, yang mungkin bahkan tak sempat dia dengar.

Huff.

“Sakura, kau tak apa-apa?” tanya Ino sambil mengguncangkan lenganku. Mereka kembali mendekat saat melihatku terdiam.

“Telepon dari siapa tadi?” lanjut Hinata, menatapku cemas. “Kau dapat kabar buruk?”

Aku hanya menghela nafas panjang, tersenyum miring dan menggeleng pelan. “Bukan apa-apa.” jawabku.

“Jadi kau mau pulang saja?” tanya Ino.

Sejenak aku berpikir dan kembali menatap dua sahabatku itu. Genggaman tangan mereka terasa hangat dan menenangkan. Kurasa aku sudah tahu apa yang akan kulakukan sekarang.

“Pulang?” gumamku. Perlahan aku menarik kedua tanganku dari genggaman mereka dan mengangkat pandanganku yang semula tertunduk. “—yang benar saja.” Aku angkat satu jariku tinggi ke udara, “Ayo kita bersenang-senang sekarang!” ajakku bersemangat.

“Ye~ah!” Mereka pun ikut berseru.

Kami tertawa-tawa sejenak, lalu kurangkul dua sahabatku itu dan berjalan bersama.

Persetan denganmu, Itachi!teriakku dalam hati, saking kesalnya.

Lalu selanjutnya apa yang terjadi?

Aku paksa otakku berpikir. Mengingat kembali apa saja yang kulakukan kemarin. Pasti ada sesuatu di pestanya Sai semalam.

Ya, di Goukon Party itu…

Berlokasi di sebuah tempat karaoke. Kami disambut dengan baik oleh Sai. Sudah ada beberapa orang yang hadir dan menikmati pesta. Suasananya ramai. Ada banyak makanan dan minuman, orang-orang bernyanyi dan menari, mengobrol dan mengakrabkan diri. Aku kira ini hanya acara kumpul-kumpul biasa, tapi Sai pun mengundang beberapa teman yang tak aku kenal.

Aku ikut meramaikan dengan berduet bersama Ino menyanyikan lagu Harumonia lengkap dengan tariannya yang membuat penonton bersorak. Menangis saat melantunkan Utakata Hanabi dan ikut menari saat Bacchikoi dibawakan. Dan karena memang goukon, maka tak aneh bila disela kesenangan itu beberapa orang mulai mengambil kesempatan untuk berkenalan.

Aku sudah tahu Ino sejak awal mengincar Sai, tapi tak kukira Hinata begitu gugup saat didekati Naruto. Neji sampai menatapnya curiga, padahal sepupu Hyuuga-nya ini juga asyik dengan gadis bernama Tenten. Shikamaru tampak berselisih dengan kak Temari. Adik tirinya yang bernama Gaara sesekali tampak menatapku, tapi aku hiraukan dan berpura-pura tak tahu. Kiba pamit pulang karena mencemaskan anjingnya Akamaru yang terus mengeram pada gadis—entah siapa namanya, karena terlalu berbau kucing. Shino ikut nimbrung saja. Kankuro mengadakan pertunjukan duetnya bersama Rock Lee. Tamu lain pun ikut bersenang-senang.

Setelah mengambil sepotong cake, aku menjauh dari meja tempat Chouji makan dengan rakus. Tak lupa mengisi kembali gelas kosongku dengan minuman berasa unik, yang entah kenapa membuatku panas dan perasaanku senang. Limun bersoda yang warnanya menarik. Walau begitu jadinya kepalaku terasa berat. Mungkin karena dentuman musik menghentak berbaur dengan berbagai suara obrolan banyak orang. Lama-lama membuatku pusing. Aku juga lupa kalau aku belum makan, tapi malah banyak minum begini. Perutku mulas. Mual. Rasanya mau muntah, tapi…

Jalanku jadi limbung dan karena tak terbiasa memakai high heels, aku hampir terpeleset. “Maaf…” ucapku tak sengaja menabrak seseorang saat akan kembali ke tempatku. Untung saja dia menahan lenganku. Aku berusaha mengangkat pandanganku dan kulihat semuanya jadi berbayang.

“Hoi, Teme, kau terlambat!”

Aku mendengar Naruto berteriak dan kurasa itu adalah suara terakhir yang aku dengar sebelum aku tak sadarkan diri.

Bruk

Itu dia!

Orang itu, lelaki yang tadi bersamaku, dia juga tamu pesta semalam. Walau samar, sedikit aku bisa mengingatnya. Tapi tak bisa kupercaya kemarin aku mabuk dan akibatnya terjadi hal mengerikan begini. Argh, apa yang sudah kulakukan?! Aku acak-acak rambutku frustasi. Tapi bagaimana dengan Ino dan Hinata, apa mereka sungguh membiarkanku pergi bersama orang asing? Tidak. Pasti ada sesuatu yang terjadi. Sial. Aku harus cari tahu kebenarannya.

Bis hampir tiba di halte tujuanku. Aku bersiap untuk turun dan dengan gugup menghampiri supir, memberi alasan tak bayar ongkos karena dompetku ketinggalan.

“Apa?! Kalau tak punya uang, harusnya kau jalan saja, nona!” semprotnya padaku.

“M-maaf…” ucapku sambil menunduk.

“Sudah, Pak! Biar aku saja yang bayar.” seru seseorang.

Aku menoleh, menatap seorang wanita yang duduk di kursi depan. Dia tersenyum ramah dan tampak cantik dengan helaian rambutnya yang panjang terurai.

Tatapanku padanya mungkin sekarang berbinar. Aku sungguh merasa tertolong. “Terimakasih.”

“Sama-sama. Kau pasti sudah alami hari yang berat. Berhati-hatilah.” ucapnya lembut.

Aku tersenyum miris dan mengangguk, sekali lagi mengucapkan terimakasih dan membungkuk padanya sebelum turun. Sejenak memerhatikan bis yang berlalu itu hingga menghilang dari pandangan. Aku menghela nafas panjang. Dalam hati bersyukur, setidaknya ada kebaikan yang aku dapatkan di tengah kesialan yang aku alami.

Tanpa aku sadari bahwa pertemuan kami seolah takdir yang kian mengikatku dengan nama ‘itu’ di kemudian hari.

.

.

.

TBC… Next to Chapter 3

.

.

.


Author Note:

Yo (^-^)/ Akhirnya updet juga, hihihi… senangnya bisa lanjut. Gak tau apa ceritanya menarik dan kalian suka atau tidak? Terimakasih udah baca dan tinggalin jejak untuk chapter sebelumnya. Anda penasaran? Tunggu lanjutannya ya~…

Berikut ini masih ada side story, silakan simak dan bila ada yang ingin disampaikan, review saja, okay?!

Special Thanks to Reviewers:

ekki, Ayra Uzumaki, Shikyuu, Tifanny Melinda, Yutaka Ratna, Zanika Putri, Ainun, hanifah24, Louis, nur n, Uchiha Rien, sasusakuchiharuno (juana wp), ahra02, uchiha, Tikkha C’lediesVikeur Asthina, chii, winda, 

And

All of You Silent Readers


.

.

.

DAREKAGA

(Side Story)

Pemuda itu merebahkan tubuh si gadis musim semi ke atas ranjang. Sejenak membiarkannya sementara dia sibuk dengan dirinya sendiri. Langsung pergi ke kamar mandi. Sekali lagi dia melihat noda menjijikan di kaos favoritnya dan berdecih kesal. Merutuki kejadian tak terduga yang dianggapnya sebuah kesialan. Seharusnya dia tak terjebak ucapan Dobe yang memintanya datang ke pesta orang-orang bodoh. Tapi menghabiskan waktu di rumah dimana teman-teman kakaknya yang berisik berpesta juga sama menyebalkannya. Setidaknya di tempat Sai, dia mungkin bisa bertemu orang itu.

Dan benar saja, baru juga datang yang ditemuinya adalah Dia.

Bruk

Sebuah bolero mendarat tepat mengenai wajahnya saat dia baru kembali ke kamar. Disingkirkannya kain itu sembarangan, sama seperti jaket miliknya tadi dan kaos yang kini jadi basah usai dia bersihkan nodanya.

“Aw…” ringisnya sakit, saat tak sengaja menginjak ujung hak sepatu yang mungkin dilempar gadis mabuk itu. Sambil masih berjingkrak-jingkrak dengan sebelah kaki, pemuda setengah telanjang itu mendekat.

Mereka tak akan begini kalau Haruno Sakura—demikian nama gadis itu dikenalnya—tidak mabuk dan tak sadarkan diri. Sementara yang lain pamit pulang mengantar incaran pasangannya masing-masing di pesta goukon itu, Sasuke diminta menemani Sakura yang sedang menunggu taksi. Tapi Sakura malah memuntahinya dan pingsan lagi. Terpaksa dia membawanya kemari.

Sakura sudah tidur dengan posisi tubuh tak karuan dan rambut acak-acakan. Sasuke lekas merapihkan kembali rok yang tersingkap dan melepaskan sebelah sepatu yang masih dikenakan gadis itu. Tidurnya pulas sampai diperlakukan begini saja tak bereaksi.

Satu senyuman tipis mengembang di wajah tampan pemuda itu saat dia memerhatikan ekpresi tidur Sakura.

“Kenapa kita selalu bertemu saat kau tak menyadariku?” bisiknya sambil menyingkirkan helaian rambut merah muda yang menghalangi dan menyentuh halus pipi gadis itu. “Kapan kau akan tahu aku ada?”

Onyx menatap teduh. Dia terdiam, tampak tengah berpikir. “Aku pasti akan membuatmu menjadi milikku.” ucapnya sebelum dengan lancang mencuri ciuman lembut sang putri.

.

.

.

.

Mind to Review?

49 Comments

Leave a Reply

2 Pings & Trackbacks

  1. Pingback:

  2. Pingback:

Leave a Reply to FuRaha Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *