DAREKAGA : Chapter 4

Cerita sebelumnya… Baca [Chap 1] [Chap 2] [Chap 3]

-oOo-

“Suatu hari nanti mungkin kau akan ingat.”

Separuh diriku tak peduli, separuh diriku penasaran. Meski pikiranku selalu berkabut setiap kali aku berusaha mengingatmu, tapi aku ingin tahu tentang kebenaran dari semua cerita yang kau katakan. Dan segala hal yang coba kau buktikan padaku membuatku yang tak yakin merasa tak asing. Seolah kehadiranmu sedikit demi sedikit membuka kenangan yang tak pernah kutahu pernah tersimpan dalam ingatan.

“Siapa kau sebenarnya, Sasuke Uchiha?”

-o0o-

DAREKAGA : Chapter 4

(Dia si Pengusik)

FB_IMG_1448321449927

Story by FuRaHEART

Disclaimer:

Sasuke Uchiha x Sakura Haruno x Itachi Uchiha and all characters of NARUTO (c) MASASHI KISHIMOTO

fanart / illustration are NOT mine

Rate: Teen
Genre: Romance, Hurt/Comfort
Length: 6.547 words
WARNING: AU, OOC, (miss)typo, alur GaJe cerita se-mau-gue

Happy Reading

-o0o-

.

.

.


“Tidak mungkin…” gumamku.

“Kenapa?” Aku tersentak oleh sentuhan tangan Itachi di bahuku, sontak membuyarkan lamunanku. “Apa kau baik-baik saja, Sakura?” tanyanya sedikit khawatir.

Aku gelagapan, lekas mengangguk-angguk dan cepat kembali pasang tampang seperti biasa. “I-iya, aku baik-baik saja kok.” ucapku sambil tersenyum.

“Syukurlah kalau begitu. Kau tampak aneh sekembalinya dari toilet tadi, kupikir terjadi sesuatu.”

“Ha ha ha, tidak.” jawabku kaku. Mana mungkin aku bisa dengan jujur mengatakan apa yang terjadi tadi saat aku bertemu dengan Sasuke pada Itachi. Hatiku memang sedikit gelisah sekarang. Entah kenapa rasanya seperti ada semacam ketakutan tak beralasan yang menjalar di sekujur tubuhku. Aku terlalu memikirkan ucapan Sasuke dan juga mungkin—kusentuh kembali sisi leher sebelah kananku—mengingat perbuatannya padaku, rasanya aku…

Tuk

“Eh?!” Aku terkejut kala keningku tiba-tiba diketuk oleh Itachi.

“Tuh, kan. Kau melamun lagi.” kata Itachi. Lelaki itu tersenyum dan melihatnya sekarang tampak memikirkanku membuatku jadi tersipu. Kurasa memang sebaiknya aku harus fokus pada satu orang di hadapanku ini. “Ayo, minum.” Itachi mengacungkan gelasnya mengajakku bersulang.

“He’em.” Aku menggangguk dan menyambut tawarannya. Denting suara gelas kaca terdengar nyaring. Aku tegak habis minuman soda itu. Memaksanya masuk meski terasa menyakitkan melewati tenggorokanku kini. Seolah aku pun tengah berusaha menelan segala kegelisahanku sekaligus di dalamnya.

“Nah, begitu dong,” Itachi mengelus-elus helaian rambut merah mudaku sementara aku seka ujung bibirku yang basah dengan punggung tangan. “bersenang-senanglah Sakura.”

Ya, yang namanya Sasuke itu, dia bukan siapa-siapa. Kuyakinkan hal itu dalam diri. Dia tak ada hubungannya. Yang aku sukai adalah Itachi Uchiha. Aku tak harus peduli pada yang lain.

Setelah itu pesta bersama gerombolan Akatsuki ini masih terus berlangsung walau tanpa suara musik menghentak yang terdengar terlalu keras seperti sebelumnya. Mereka terlihat asyik bercengkerama dan seperti biasa aku hanya duduk diam saja menikmati camilan. Sebentar berbincang denganku, Itachi kembali mengabaikanku ketika dia malah asyik bercanda dengan yang lain. Selama beberapa saat aku masih bersabar menunggu semua ini berakhir atau berharap Itachi akan segera mengajakku pulang. Tapi ternyata tanda-tanda itu sama sekali tak ada. Berulang kali aku melirik jarum jam di dinding yang terus bergerak hingga hampir menunjukkan pukul sembilan malam. Aduh, mau sampai kapan aku di sini? Aku mulai gelisah karena hal lain, kupikir ini sudah terlalu larut untukku keluyuran di luar ketika esok hari kita semua masih ada jadwal sekolah pagi.

“Kak, aku pamit pulang sekarang ya?” Aku yang sudah menggandeng kembali tas sekolahku akhirnya memberanikan diri menghampiri Itachi dan menyela keasyikannya. “Ini sudah larut, aku harus segera pulang. Kalau lebih dari ini bisa-bisa orangtuaku marah.”

Yah, karena sebelumnya aku tak bilang dulu mau pergi kemana sehabis pulang sekolah, mereka pasti sudah mencoba menghubungi ponselku dari tadi. Dan kalau tahu nomornya tak aktif, bagaimana aku bisa mengatakan pada mereka kalau ponselku hilang? Argh, rasanya aku benar-benar sial. Merasa banyak tertimpa masalah belakangan ini.

“Oh, gitu…” kata Itachi seraya bangkit berdiri, “Baiklah kalau itu maumu. Ayo!”

Sebentar aku berbasa-basi berpamitan juga dengan yang lain. Beberapa dari mereka ada yang terlihat kecewa aku pulang dan memintaku tetap tinggal lebih lama. Namun ada pula yang biasa saja, bersikap tak peduli padaku. Tak sia-sia usahaku, akhirnya Itachi akan mengantarku pulang dan kami akan punya waktu berdua lagi sedikit lebih lama. Kupikir begitu, tapi nyatanya sampai di pintu depan, saat aku tengah bersiap memakai sepatuku kulihat Itachi tak mengganti sandal rumahnya dan malah bersikap santai menatapku yang bergegas.

“Kau bisa pulang sendiri, kan?” ucap lelaki itu tiba-tiba.

APA?!

Aku sedikit terkejut mendengarnya. Kukira dia mengajakku kemari dan menahanku sampai jam segini punya tanggung jawab untuk mengembalikanku ke tempat asalku!, teriak batinku tak percaya.

“Aku tak bisa keluar sekarang. Kau tahu apa jadinya kalau aku tak ada di rumah mengawasi teman-temanku di sini? Menyuruh mereka pulang sekarang juga tak bisa. Aku ingin sekali mengantarmu tapi bagaimana ya…” lanjut Itachi, sebentar tampangnya terlihat tengah berpikir keras. “Mungkin aku bisa mengantarmu sampai halte terdekat. Kurasa jam segini kau masih bisa mengejar bis terakhir. Atau aku pesankan taksi saja ya…”

Aku merengut dan sejenak terdiam. Aku tak tahu harus bilang apa menanggapinya. Dalam hati, jujur aku merasa kecewa. Tahu aku tak akan diantar pulang olehnya, aku akan pamit dari tadi dan yakin bisa pulang sendiri. Sebenarnya sekarang juga bukannya aku tak berani, tapi ini sungguh di luar bayanganku. Kenapa sikap Itachi begini padaku?

“Hmm, sudahlah kak, tak apa-apa, aku bisa…”

“Tunggu!” sela Itachi tiba-tiba memotong ucapanku. Kulihat dia menoleh dan aku ikut melihat kemana arah pandangnya menuju.

Berdiri di ujung lorong sana adalah sosok Sasuke yang baru saja turun dari tangga. Penampilannya terlihat berbeda dengan stelan jaket dan celana jeans berwarna gelap, juga menenteng helm full face dengan sebelah tangannya.

“Apa kau mau pergi?” tanya Itachi kemudian pada Sasuke.

“Hn.”

“Kemana?”

Onyx serupa milik Itachi itu berputar malas, “Ada urusan.” jawab Sasuke singkat.

“Apa?”

“Memangnya kenapa?” Sasuke malah balik bertanya.

Itachi tersenyum lebar lantas menoleh padaku sebelum kembali menoleh pada Sasuke. “Kalau begitu sambil keluar, kau bisa sekalian antar dia pulang, kan?”

“APA?!” Lagi-lagi aku terkejut. Kali ini aku benar-benar tercengang. “E-e-e-eh, tunggu dulu kak. Aku tidak mau. Lebih baik aku pulang sendiri saja,” tolakku cepat. Membayangkan aku pergi bersamanya membuatku merinding. “aku tidak mau diantar pulang olehnya.”

“Kenapa? Ini kan sudah malam, mana bisa kau pulang sendiri, lebih baik bila ada orang yang mengantarmu.” kata Itachi.

Lalu kenapa bukan kau saja?, gerutuku dalam hati. “Tidak apa-apa kok. Aku bisa sendiri. Jalanan juga sepertinya masih ramai, jadi pasti aman.”

Itachi menggeleng, “Tidak bisa. Aku mencemaskanmu. Lagipula…” dia beranjak menghampiri Sasuke dan merangkul akrab adik kesayangannya itu. “Sasuke juga tak keberatan, kan?” Itachi terkekeh pelan, “Kau jangan takut dengan sikap dinginnya, begini-begini juga dia adikku yang manis. Aku jamin Sasuke tak akan berbuat macam-macam padamu. Kau akan aman bersamanya.”

TIDAAAKKK!

Aku melotot, kukatupkan bibirku rapat-rapat, menahan agar tak bicara walau rasanya aku ingin menjerit sekarang. Aku tak terima dengan ucapannya. Aku akan aman bersama orang itu?! Sama sekali tidak! Dia sudah pernah berbuat macam-macam padaku, mana bisa aku percaya padanya! Dan sialnya aku tak bisa mengatakan hal ini pada Itachi sekarang. Dia tak tahu apa-apa.

“Jadi, kau mau kan?” tawar Itachi sekali lagi. “Pasti mau ya?”

“Hahaha, tapi aku tak mau merepotkan Sasuke-kun, dia punya urusan sendiri, kan?” Setidaknya aku masih berupaya menolak tawaran itu secara halus. Aku tak mau Itachi curiga akan sesuatu.

“Tak masalah,” jawab Sasuke tiba-tiba, aku sampai melohok mendengarnya, “aku bisa mengantarmu sekalian.” Dan satu seringai tampak sekilas tertoreh di wajahnya yang tampan.

“Tidak. Aku tidak mau, lebih baik aku…”

“Sakura-chan…” panggil Itachi. Baru saja aku hendak memberikan alasan lagi, dia sudah kembali menyela. “Sudah kubilang tidak apa-apa ya berarti kau tak perlu sungkan. Jangan membuatku jadi merasa tak enak hati nanti bila sampai aku membiarkanmu pulang sendiri.”

“Eh, maksudku bukan begitu…”

“Jadi kau mau kan diantar pulang oleh Sasuke?”

Aku sungguh telah kehabisan kata-kata. Rasanya percuma saja bila aku terus bicara sementara Itachi tetap akan memaksa. Akhirnya sambil menghela nafas berat aku pun menggangguk setuju, “Baiklah.”

“Sip, bagus. Masalah selesai.” ucap Itachi gembira bahkan sampai bertepuk tangan kecil segala. “Tolong jaga Sakura baik-baik ya, Sasuke?”

Sasuke menaikkan sebelah alisnya dan menatapku penuh arti, “Serahkan saja padaku.”

Aku merinding. Jantungku berdetak semakin kencang ketika lelaki itu mendekat dan menyambar sebelah tanganku seraya mengajakku pergi bersamanya.

“Kami pergi dulu.” pamit Sasuke.

“Per—mi—si.” ucapku pelan, merasa tak berdaya.

“Hati-hati di jalan,” Itachi melambai-lambaikan tangannya. “jangan ngebut, ya!”

BLAAM

“Lepaskan!” ketusku sambil menghempaskan tangan Sasuke dan menatap sinis padanya. “Kau sengaja kan tiba-tiba muncul barusan?” tebakku curiga.

Onyx itu mengerjap sekali. Aku menunggunya bicara tapi Sasuke malah balas mengacuhkanku sambil menyeringai. Aku merasa begitu kesal padanya. Dan karena sungguh tak ingin lama-lama bersamanya, langsung saja aku putuskan untuk pulang sendiri. Kabur, sementara dia masih mengeluarkan motor dari garasi rumahnya.

Sial! Sialan!, gerutuku dalam hati. Setengah diriku rasanya ingin menangis sekarang. Gagal bisa bersama Itachi dan malah harus berurusan dengan adiknya yang ‘sok’ mengenal diriku itu membuatku makin tak nyaman. Aku bertanya-tanya mengapa hal ini bisa terjadi, namun sejauh mana aku berpikir, aku tetap tak bisa menemukan jawabannya.

Masih tak jauh dari rumah kediaman Uchiha, langkahku tiba-tiba terhenti ketika sebuah motor menyela menghalangi jalanku. Aku sudah tahu itu Sasuke hanya dengan melihat sepasang onyx yang menatapku dari balik kaca helm fullface-nya yang terbuka.

“Naiklah.” perintahnya sambil menyodorkan sebuah helm lain padaku.

Aku merengut dan masang tampang cemberut menanggapinya. “Kubilang aku akan pulang sendiri, kan?!” tolakku dan mulai mengayunkan tungkaiku berjalan melewatinya. Tapi dengan cepat dia kembali menghalangi, “Ish, kau ini…” desisku kesal.

“Sudah tak ada lagi bis yang lewat di halte depan sana. Kau sungguh mau pulang jalan kaki?!” tanya Sasuke, sedikit menaikan nada bicaranya. “Aku tak akan berbuat macam-macam. Aku sudah berjanji untuk mengantarkanmu pulang, jadi ayo cepat naik! Mumpung aku lagi baik nih.”

Aku akui yang dikatakannya memang benar. Meski aku bersikeras jalan sampai halte, tapi tak ada jaminan masih ada bis tujuanku pulang yang beroperasi sampai jam segini. Bisa jadi nanti aku malah luntang-lantung tak jelas. Mau menyalahkan kecerobohanku sendiri juga percuma, mau tak mau hanya Sasuke seorang yang bisa mengantarku sekarang. Tapi entah kenapa harga diriku rasanya masih tak bisa terima dengan semua ini.

“Cepat!” sentaknya, “Mau, tidak?”

“Tch,” Dia bersikap seakan membuatku merasa seperti tidak ada pilihan lain. Maka pada akhirnya aku terima juga tawarannya, mengambil helm itu dan lekas duduk di boncengan. Sambil masih menggerutu kuperingatkan dia agar tak berbuat macam-macam padaku. Dan lelaki itu tampak terkekeh menertawakanku. Meski sebenarnya dia tak berbuat jahat padaku, tapi aku masih merasa Sasuke adalah orang yang berbahaya. Terlebih jati dirinya sebagai adik kandung Itachi benar-benar mengancam diriku. Karena aku merasa dia sengaja datang untuk mengacaukan hubunganku dan Itachi.

Lebih sedikit dari jam setengah sepuluh malam, akhirnya aku bisa sampai di rumah dengan selamat. Syukurlah tidak terjadi sesuatu dan kuakui kebolehan lelaki itu dalam berkendara. Meskipun tadi mengebut dan menyalip sana-sini tapi dia tetap membawaku dengan aman. Selain itu, kupikir sepanjang perjalanan tadi kami akan beradu mulut, tapi sepertinya Sasuke tipe orang yang jarang berbasa-basi dan sedikit berbeda dengan Itachi.

“Terima kasih,” ucapku seraya menyerahkan helm yang kupakai tadi kembali padanya, “sampaikan juga ucapanku itu pada kak Itachi.”

“Ternyata kau ini dianggap biasa saja ya…” gumam Sasuke.

Aku mengernyit mendengar ucapannya, “Apa maksudmu?”

“Tadinya kupikir kau itu cukup istimewa bagi Itachi-nii tapi ternyata tidak.”

Kata-katanya sungguh tepat mengenai hatiku. Aku sendiri tak mau mengakuinya. Memang benar apa yang Sasuke bilang, kalau Itachi lebih menganggapku penting, tentu dia tak akan memilih teman-temannya dan membiarkanku begini. “Ini bukan urusanmu, kan? Jangan ikut campur.” balasku pada Sasuke, sedikit jengkel.

Lagi-lagi senyuman samar dan tatapan penuh arti itu Sasuke tujukan padaku, “Ya, memang bukan urusanku. Tapi…” Onyx itu menatap intens, “sebaiknya kau menyerah saja sebelum sakit hati dibuatnya.”

“Kau…” teriakku kesal, “pergi sana!”

Sasuke pun cepat memacu kendaraannya. Aku masih berdiri di depan pintu gerbang rumahku dan memandang punggung itu menjauh. Kedua tanganku terkepal erat, menahan emosi yang bercampur dalam diri. Meskipun ada bagian dalam diriku yang setuju dengan ucapan Sasuke, tapi aku sungguh tak ingin mendengar hal itu darinya. Tidak dari dia yang tak tahu apa-apa. Orang yang seenaknya muncul dan mengacaukan perasaanku.

“Enyah sana!” gumamku, entah pada Sasuke atau kebimbanganku sendiri.

Tada—”

“Sakura.”

Aku merinding mendengar panggilan itu.

“—ima.”

Sampai di rumah aku harus bersiap kena sempot omelan ibuku, ketika begitu masuk dia sudah berdiri menyambutku dengan tampang seram, lengkap dengan kedua tangan terlipat di atas dada. Syukurlah centong sayur tak sedang dia genggam karena sekarang sudah terlalu larut untuknya bila masih dengan mode tampilan khas ibu-ibu memasak.

“Maaf, aku pulang terlambat. Aku…”

Dan seperti kejadian tempo hari, ketika aku bingung mencari-cari alasan ternyata aku sudah diselamatkan.

“Lain kali bilang dulu kalau mau pergi main,” ucap Nyonya Mebuki Haruno itu memperingatkan, “tapi pacarmu bertanggung jawab kembali mengantarmu pulang, kan?”

“Hah, pacar?” Aku jadi melohok mendengarnya. “Pacar siapa maksud ibu? Aku tidak pergi pacaran. Boro-boro pacaran, pacar saja aku tidak…”

“Cieeee…” Dengan tengilnya wanita berusia 40 tahunan itu malah menggodaku, “Ternyata putri ibu sudah besar ya sekarang, hihihi. Sudah tak perlu kau sembunyikan, ibu sudah tahu kok.”

“Hah?” Lagi-lagi aku melohok, “Tahu apa? Tunggu sebentar!” Aku rasa ada kesalahpahaman di sini. Mungkin ibuku sempat melihat Sasuke tadi mengantarku pulang, “Kalau yang ibu maksud orang yang tadi, dia sama sekali bukan…”

“Lalu apa orang yang mengantarmu dan yang menjawab teleponmu tadi itu memangnya orang yang berbeda?” tanya ibuku heran. Sama herannya denganku dan apakah sekali lagi aku harus melohok mendengar pernyataannya?

“Ck, karena sampai waktu makan malam tadi kau masih belum juga pulang, ibu mencoba menghubungi ponselmu dan heran kenapa ada suara lelaki yang mengangkatnya. Sewaktu ibu tanya siapa dia, apa dia pacarmu, dia bilang iya. Dia jelaskan apa yang sedang kalian lakukan. Ternyata ada juga Ino dan Hinata, ibu jadi lega. Ibu paham dan menyuruhnya menjagamu. Dia berjanji akan mengantarkanmu pulang tepat waktu.” lanjut ibuku.

Aku sudah berjanji untuk mengantarkanmu pulang, jadi ayo cepat naik!’

Aku teringat kembali kalimat yang Sasuke ucapkan tadi. Kupikir janji yang dia maksud itu pada Itachi, tapi kalau memang Sasuke yang mengangkat telepon ibuku, jangan-jangan… tunggu?! Aku jadi teringat hal lainnya. Aku pikir ini mustahil tapi bukankah ponselku tak hilang melainkan tertinggal di Love Hotel sewaktu aku terburu-buru kabur meninggalkannya. Jadi ponsel dan dompetku sekarang memang ada pada Sasuke. Tidak mungkin?! Berarti yang balas mengirim pesan waktu itu pun, yang membuatkan alibi untukku bahwa aku menginap di rumah Hinata juga dia?

“Hei, ada apa dengan tampang bingungmu itu, Sakura?” telisik ibuku, “Apa ada yang salah?”

“Eh, tidak…” Cepat-cepat aku singkirkan lamunanku sebelum ibuku curiga. “aku hanya sedikit terkejut saja.” Kuedarkan pandanganku, sambil menunduk kusentuh belakang leherku yang jadi terasa pegal sekarang. Jujur aku bingung sekarang, haruskah aku lanjutkan kebohongan ini lagi?

“Jadi benar kan dia itu pacarmu?” tanya ibuku kembali memastikan, “Atau kau mulai berani main-main dengan anak lelaki tak jelas sekarang?”

“Hah, tidak,” bantahku, “mana mungkin aku begitu…”

“Jadi?” Tatapan emerald itu seakan butuh ketegasan.

“I-i-iya begitulah…” desahku akhirnya sambil mengangguk pelan. Pandanganku masih menunduk, “Maafkan aku, aku janji hal seperti ini tak akan terulang kembali.” ucapku dengan penuh penyesalan. Aku sungguh menyesal masih tak bisa mengatakan hal yang sebenarnya.

“Asal kau menjaga dirimu baik-baik, tak masalah, Sakura.” Kedua bahuku ditepuknya, kulihat ada kelembutan dan kasih sayang dalam tatapan emerald miliknya. “Ibu tak marah dan tak melarangmu. Ibu ikut senang kalau kau pun sedang berbahagia.” Ucapannya benar-benar menenangkan. “Jadi kapan-kapan jangan lupa kenalkan orang itu pada ibu, ya?!”

“EH?!”

“Ibu juga ingin bertemu dengannya, ingin lihat lelaki seperti apa dia. Apa setampan ayahmu dulu waktu muda, kyaaaa…”

Aku sweatdrop melihat tingkah ibuku sekarang. Sepertinya dia mulai bernostalgia. Mungkin karena faktor ayah yang sedang dinas ke luar kota sekarang, dia pasti merindukannya. Sebaiknya aku menyingkir sebelum ibu cerita tentang masa muda mereka yang membuatku selalu ikut tersipu. Syukurlah ayahku sedang tak ada, kalau tidak posisiku akan semakin sulit dan jadi bertambah pula orang yang harus kubohongi.

Aku tahu ini buruk, tapi mau bagaimana lagi? Aku sudah terperosok jatuh ke dalam lubang pasir. Semakin aku berusaha keras mengais untuk mendakinya, aku semakin terkubur. Aku hanya berharap aku tak sampai mati terjebak di dalamnya.

“Lalu siapa namanya?” tanya ibuku, sebentar menghentikan langkahku yang hendak masuk ke kamar. Aku menoleh dan bisa menduga kemana arah pertanyaan ini, “Siapa nama pacarmu itu?”

Sejenak aku menghela nafas berat sebelum aku menyebutkan satu nama itu, “Uchiha.”

“Itu marganya?”

Bibirku bergetar, aku sungguh tak bisa meneruskannya. “Hmm, sudah ya bu, lain kali saja ceritanya. Oyasumi.” pamitku dan lekas menutup pintu kamar. Terdengar teriakan protes dari luar sana.

Aku bersender di balik pintu, merosot, menunduk dan duduk sambil memeluk lutut. Aku menyesal mengucapkan kebohongan itu.

Uchiha? Uchiha siapa? Itachi-kah? Orang yang sungguh kuharapkan jadi kekasihku. Atau Sasuke? Siapa dia? Bukan siapa-siapa. Hanya seseorang yang tiba-tiba muncul mengusik perasaanku.

Sesuatu yang lembut terasa tengah menyentuhku. Aku perlahan terbangun dan hal pertama yang samar kulihat masuk dalam pandanganku adalah bulu lentik di atas kelopak milik sepasang mata yang perlahan terbuka dan balas menatapku. Tatapannya tampak tak asing. Aku merasa pernah melihat kelembutan yang dia pancarkan. Jarak kami begitu dekat sehingga aku pun bisa menyentuhnya, menangkup wajah itu dengan sebelah tanganku.

Maaf.”

Samar seperti bibirnya berucap begitu. Dia hendak menyingkir tapi aku merasa sungguh tak rela dan kembali menahannya pergi. Digenggamnya pula tanganku yang masih menyentuh wajahnya. Tatapan mata itu berubah sedih ketika dia berkata sesuatu. Aku menggeleng dan tampak membalas perkataannya. Senyuman tipis pun kemudian tergores di wajahnya, sepertinya dia jadi bahagia karena apa yang kukatakan. Dan entah kenapa pula aku pun senang melihatnya. Terlebih ketika dia kembali membelai wajahku dan mendekat, memberikan kecupan lembut di atas pipi. Rasanya aku jadi tersipu dan berdebar-bedar. Aku rentangkan tanganku, menariknya masuk ke dalam dekapan. Aku merasa ingin selalu bersama-sama dengannya. Karena dialah orang yang kucari dan kuinginkan selama ini.

Kuberitahu satu hal, aku ingin kau tak melupakanku lagi, Sakura.” Deru nafas hangatnya terasa menggelitik jenjang leherku. “Ingat baik-baik. Namaku, Uchiha Sasuke.” bisiknya di telingaku.

“HATCHIIIII…”

“Wah, kau kena flu?” tanya Ino.

Sambil menggosok-gosok bawah hidungku yang gatal aku hanya mendelik ke arah gadis pirang berkuncir ekor kuda yang berjalan di sampingku ini. Kami bertemu tadi di jalan dekat sekolah dan akhirnya pergi berangkat bersama-sama.

“Entahlah.” jawabku. Ya, habis aku juga tak tahu apa aku benar-benar sakit sekarang? Aku memang merasa sedikit tak enak badan. Pagi tadi juga aku tak nafsu makan. Ini pasti gara-gara terkena angin malam. Ditambah mimpi sialan yang mengusik tidurku semalam, membuatku tak bisa beristirahat dengan tenang. Aku langsung merinding kala mengingatnya. Mengerikan. Bisa-bisanya aku memimpikan hal mesum seperti itu bersamanya. “TIDAAAAAKKKKK!” teriakku frustasi. “Enyah kau dari pikiranku!” ucapku sambil mengacak-acak rambutku.

Dan seketika aku terhenti, sadar bahwa aku diperhatikan oleh Ino yang menatapku dengan safir-nya yang tak berkedip, “Sepertinya kau memang sakit, Jidat.” ucap gadis itu tampak khawatir.

“HE?!”

Ohayou,” sapa Hinata yang sudah lebih dulu sampai di kelas, “kalian berangkat sama-sama?”

Ohayou!” balas kami seraya berjalan menuju bangku dan meletakkan tas di sisi meja.

“Ketemu di jalan tadi…” kataku.

“Oh begitu…”

“Eh, eh, Hinata, kau tahu tidak, kemarin aku dan Sai, kyaaaa…” sela Ino.

Pagi ini tak jauh berbeda dengan pagi biasanya. Menunggu bel berbunyi, Ino langsung mengajak kami mengobrol sebentar. Dari yang asalnya basa-basi bicara tentang pelajaran dan PR hari ini, hingga curhat soal hubungan asmaranya dengan Sai yang sebenarnya sebagian sudah kudengar saat kami berdua jalan bersama tadi. Wajar saja, namanya juga gadis kasmaran. Tapi aku lega nampaknya hari-hariku masih normal seperti biasa. Tentu itu sebelum aku sadari bahwa selama ini mungkin dari sudut yang sama seseorang selalu memerhatikanku.

Aku letakkan sebelah tanganku yang asalnya menopang wajah jatuh kembali ke atas meja. Terkejut mendapati sosok yang kali ini bisa kukenali tengah berdiri di balkon gedung seberang. Meski berjauhan, tapi aku yakin dia menatapku. Dan wajah yang sekilas tersenyum miring itu seperti membalas ketidakpercayaanku.

“Sakura…” Hinata memanggilku. Sebentar aku menoleh pada gadis itu, “Apa yang sedang kau lihat? Serius amat.” tanya Hinata kemudian menelisik melihat juga keluar jendela.

Disusul Ino yang sama-sama jadi penasaran, “Eh, ada apa sih?”

“I-itu…” Aku jadi bingung sendiri. Tak mungkin jujur kukatakan aku sedang melihat Sasuke di sana, kan?, “Itu, aku lihat dia!” teriakku tepat ketika seorang bocah pirang yang hobi memakai jaket berwarna jingga itu datang menghampiri dan merangkulkan tangannya menggiring si raven pantat ayam. “Naruto kesayanganmu, Hinata, hehehe.” ucapku lekas mengelak sambil berlagak menggoda sahabatku sendiri, “bosan dengar cerita Ino terus, perkembanganmu dengan Naruto sendiri bagaimana, Hinata? Kencan kemarin sukses tidak?” tanyaku basa-basi.

“Ah, iya benar. Aku sampai lupa. Ayo ceritakan juga.” sambung Ino. Syukurlah sobatku satu ini pun mudah terbawa suasana.

“Aduh kalian ini, aku kan jadi malu,” ucap Hinata sambil menaruh kedua tangannya di pipi menutupi wajahnya yang merona, “tidak banyak yang terjadi kok.”

Sementara mendengarnya bercerita, dalam hati aku menghela nafas lega. Akhirnya aku selamat dari kecurigaan mereka berdua. Bagaimana pun juga aku tak mau kalau sampai mereka tahu ada sesuatu yang terjadi antara aku dan Sasuke. Aku harus menyelesaikan masalah ini secepatnya sebelum aku terlibat lebih jauh dengan lelaki itu. Dan yang jadi tujuanku sekarang, aku harus dapatkan kembali ponsel dan dompetku darinya.

Dengan meminjam ponsel Ino, aku coba mengirim pesan pada Sasuke melalui nomor ponselku. Aku jamin dia pasti akan membacanya bila benar ponselku ada padanya. Dan ternyata dugaanku itu benar ketika kulihat dia datang ke dekat gudang sekolah tempatku menyuruhnya menemuiku saat jam istirahat.

“Pencuri.” desisku.

Tungkai panjang milik si bungsu Uchiha itu berhenti melangkah. Dia hanya menolehkan sedikit kepala pantat ayamnya, melihat ke arahku yang sedang bersender di balik tembok. Aku coba untuk bersembunyi karena aku tak mau kalau sampai ada yang melihatku bersamanya.

“Cepat kembalikan ponsel dan dompetku sekarang juga, dasar pencuri!” ketusku to the point.

“Hn?” Sasuke hanya menaikan sebelah alisnya menanggapiku. Sikapnya santai sekali, padahal aku di sini sedang kesal padanya.

“Aku tahu kau menyimpannya, jadi cepat kembalikan!” pintaku sekali lagi. Aku sudah siapkan beragam argumen yang kubutuhkan untuk menyerangnya bila dia masih coba mengelak tuduhanku tak menyimpan barang-barangku. “Jangan bilang kau sama sekali tak tahu.”

“Kau tahu aku menyimpannya, tapi kenapa kau tuduh aku pencuri?” balas Sasuke akhirnya bicara.

“Kau memang mencurinya, kan?” tuduhku.

Sudut bibir lelaki itu terangkat, “Aku tak mencurinya. Aku hanya memungut barang yang sudah kau tinggalkan, baka.”

“Eh?!” Sesaat aku jadi kikuk. Baru menyadarinya sekarang. Yang dia bilang memang ada benarnya juga sih. Sebenarnya kalau kuingat kembali yang ceroboh itu aku, kan? Waktu itu saking paniknya aku pergi dari hotel begitu saja tanpa mengecek barang bawaanku. “Terserah. Yang jelas ponsel dan dompetku ada padamu, jadi kembalikan!”

“Tch, kalau begitu kembalikan juga uangku.” kata Sasuke sambil menengadahkan sebelah tangannya.

“Uang?” aku mengernyit tak mengerti, “Uang apa maksudmu?”

“Biaya menginap semalam di hotel itu kau pikir murah? Gara-gara kau pergi begitu saja, aku jadi yang menanggung semuanya.”

“Hah, itu bukan salahku. Lagipula kenapa kita berdua ada di tempat seperti itu? Kau sudah berbuat seenaknya padaku.”

Sasuke tiba-tiba tertawa cukup keras, baru pertama kali ini aku mendengarnya. “Salahku? Hahahaha. Kau bilang ini salahku? Kau ini benar-benar pelupa ya, Haruno Sakura?!” Sekejap saja tanpa kusadari dia sudah mendekatiku, membuatku mundur hingga merapat ke tembok. “Mau kuingatkan?”

“Ma-mau apa kau? Jangan dekat-dekat!” Aku mendorong tubuhnya menjauh, tapi Sasuke malah balas menahan tanganku. Rasanya sama seperti saat kemarin dia menggangguku waktu pertama kali kami bertemu di rumah Uchiha. Tak menghiraukan ucapanku, dia bergerak kian mendekat. Aku jadi panik sekarang. Cengkeraman tangannya semakin erat. Ujung kening kami hampir bersinggungan. Jangan-jangan dia… “Ugh,” aku lekas palingkan wajahku dan mengatupkan bibirku rapat-rapat. Sesaat aku menunggu dengan perasaan takut. Tapi ketika kurasa tak ada apapun yang terjadi, aku pun kembali membuka mataku. Perlahan melirik lelaki yang sudah menarik wajahnya dariku.

Sebelum aku sempat bicara, Sasuke sudah menyela. Dia membuka telapak tanganku dan menaruh sesuatu yang dia rogoh dari saku celana seragamnya. Itu adalah ponselku. “Aku tak membawa dompetmu, jadi lain kali saja kukembalikan.” ucapnya sambil melepaskanku.

Aku merasa telah kehabisan kata-kata saat itu. Aku terdiam dan hanya menatapnya yang lekas pergi begitu saja. Tanganku yang kini menggenggam ponselku rasanya masih gemetaran. Entah apa aku masih terkejut karena kejadian sebelumnya, atau aku tak menyangka bahwa Sasuke mungkin tak seburuk yang kupikirkan? Dan kurasa tak hanya itu. Sesuatu dalam diriku pun ikut bergetar. Jantungku barusan berdebar-debar kencang.

“Kupikir dia mau menciumku…” gumamku. Kurasakan seperti ada sedikit hawa panas yang menyebar di wajahku. “Tidak mungkin. Tidak. Tidak. Tidak.” ucapku berulang kali menyingkirkan pikiran bodoh yang sempat terlintas di benakku.

Aku merasa aku berubah. Meskipun aku tak tahu persisnya apa yang terjadi pada diriku sendiri, tapi aku tahu ada yang berbeda denganku belakangan ini. Hari-hari telah berlalu, mungkin tak ada hal istimewa yang terjadi. Aku lega dan senang mendapatkan kembali ponselku. Sejak aku berpikir aku tak mau lagi berurusan dengan Sasuke, aku putuskan untuk merelakan dompetku. Kuanggap benda itu hilang di jalan dan aku bisa ganti beli yang baru. Untung saja seingatku uang di dalamnya tak terlalu besar. Walau merasa sayang juga dengan beberapa kartu identitas dan juga koleksi foto-foto box aku bersama Ino dan Hinata tapi itu semua masih bisa tergantikan. Memang kalau soal ponsel itu lain. Karena keberadaannya lebih penting bagi anak remaja yang sudah ketergantungan update sepertiku.

Hal yang lebih penting lainnya, aku bisa kembali berhubungan dengan kak Itachi. Sewaktu aku cerita, dia sempat bertanya bagaimana aku bisa mendapatkan kembali ponselku yang hilang, tapi tentu saja tak kukatakan bahwa Sasuke yang menyimpannya.

“Hmm, begitu ya…” Sementara mendengarkan ceritaku, Itachi tampak tertegun memerhatikan ponsel di tanganku. “Jadi tiba-tiba ketemu ya…” gumamnya menanggapiku. “Syukurlah kalau begitu,” ucap Itachi sambil tersenyum. “sebenarnya setelah kau bilang hilang, aku sempat beberapa kali menghubungi ponselmu untuk memastikan dan ternyata masih nyambung. Kupikir kalau memang dicuri pasti nomormu sudah tak aktif lagi. Kau memang beruntung, Sakura.”

“Hehe, iya kak.” Aku mengangguk dan balas tersenyum padanya. Kuharap Itachi tak curiga. Mustahil kan dia pernah melihat Sasuke membawanya? Semoga saja.

Hari ini sepulang sekolah kami jalan bersama lagi. Sewaktu kutawari apa dia mau menemaniku mencari dompet baru ternyata Itachi mau. Dan alun-alun kota saat ini jadi tempat kami berkeliling. Berdua saja bersama dengannya tentu membuatku bahagia. Rasanya seperti kami sedang pergi berkencan. Aku juga sudah berencana, kalau hari ini berjalan lancar aku akan menyatakan perasaanku lagi pada Itachi dan meminta jawaban darinya. Apa aku sungguh dianggap gadis special buatnya yang pantas dijadikan seorang pacar? Dan mengingat kebaikannya padaku selama ini, kurasa tak mustahil hal itu kan terwujud.

Tapi sepertinya yang selalu berpikir begitu mungkin hanya aku seorang.

“Hai, Sakura, apa kabar?” sapa orang-orang itu menyambutku.

Karena aku tak menyangka jadinya begini. Usai belanja dan jalan-jalan tadi Itachi mengajakku pergi ke karaoke. Kukira hanya akan ada kami berdua. Tapi lagi-lagi gerombolan Akatsuki ini datang mengganggu. “Hai, juga…” balasku kaku dengan hati yang dongkol.

“Haha, maaf ya, mungkin kau terkejut. Habis mendadak juga tadi pas aku beritahu mau pergi karaoke denganmu, tiba-tiba mereka bilang mau ikut. Tapi rame-rame begini lebih asyik, kan?” kata Itachi, bicara dengan wajah tampannya yang tak bersalah.

“Iya, tentu saja. Tak masalah kok.” balasku sambil tersenyum, walau dalam hati rasanya kecewa berat. Tapi mau bagaimana lagi.

“Yup, ayo semuanya, hari ini kita bersenang-senang lagi!” seru Itachi.

“Yeah!” sambut yang lainnya.

“Mainkan musiknya! Siapa yang mau nyanyi duluan?”

Ah, aku ingin pulang saja, dengusku dalam hati.

Tak jauh berbeda dengan pesta sebelumnya. Aku banyak diam, duduk saja menikmati minuman dan camilan menyaksikan gerombolan itu bersenang-senang. Tapi setidaknya kali ini aku bisa sedikit membunuh rasa bosanku dengan memainkan ponselku. Setelah menulis status di beberapa akun jejaring sosialku dan membalas komentar-komentarnya, aku merasa tak kesepian lagi sekarang. Aku bisa melupakan dimana keberadaanku yang dilupakan oleh Itachi sampai-sampai aku tak menyadari apa yang terjadi.

“Terima kasih sudah mau datang. Begitu dong kapan-kapan ikut main bersama kami.” kata Itachi.

Aku menengadahkan kepalaku yang lama tertunduk menatap ponsel, melihat Itachi bicara dengan seseorang. Kuputar manik emerald itu ke sisi lain dan terbelalak jadinya mendapati ada Sasuke di sini.

Kapan dia datang? Untuk apa kemari?!, jeritku dalam hati.

“Yakin aku tak mengganggu?” tanya Sasuke.

“Tentu saja,” Itachi tertawa, “mana mungkin kau mengganggu. Justru aku mengharapkanmu datang, haha. Ayo ikut bersenang-senang! Kau mau nyanyi?” ajaknya.

“Tch,” Onyx kelam itu berputar bosan dan Sasuke memilih duduk saja di sebelahku.

Itachi kerucutkan bibirnya tapi tak lama dia kembali tersenyum, “Ya, sudah kalau tak mau, yang penting kau datang.” Dan kemudian dia duduk kembali di samping kiriku. “Kau juga jangan diam saja, Sakura. Nyanyikan satu-dua lagu untukku sana.” pinta Itachi sambil menyodorkan sebuah mikropon padaku.

“Ah, yaa…” Aku mendadak kikuk. Situasi konyol macam apa ini?! Ketika aku harus berada di antara dua Uchiha bersaudara ini sekarang. Aku benar-benar bingung. Terlebih ketika aku hendak berdiri, berniat pindah tempat duduk, tiba-tiba saja aku tertahan karena tangan kananku digenggam oleh Sasuke. “Aa—aku nanti saja, kak.” Aku menolak tawaran Itachi dan kembali duduk. Aku tak bisa melepaskan genggaman tangan Sasuke dan menyembunyikannya di sela tempat duduk kami yang berdekatan.

Bagaimana ini? Apa yang si bodoh itu lakukan? Bagaimana kalau Itachi melihatnya?, dalam hati aku jadi panik sendiri.

“Oke.” kata Itachi tampaknya tak curiga. Dia lekas berpaling dariku dan mengembalikan mickropon itu pada Kisame yang giliran berikutnya nyanyi.

Aku menatap tajam lelaki di samping kananku, rasanya ingin memakinya kencang-kencang, tapi sayang tak bisa. Dan seolah sengaja, sekilas Sasuke balas menatapku sambil menyeringai samar sebelum dia menegak minuman kaleng sodanya.

Tanganku masih tergenggam. Dia masih menahanku. Aku jadi berdebar-debar sekarang. Entah karena apa.

“Aku mau ke toilet.” ucapku kencang, sambil lekas berdiri dan menarik paksa tanganku dari genggaman Sasuke. Tanpa menunggu izin dari yang lain aku buru-buru keluar dari ruangan itu. Aku sudah tak tahan lagi. Rasanya pengap. Dan setelah keluar akhirnya aku bisa sedikit menghirup nafas lega. Sebentar aku bisa menenangkan diri.

Tak lama Sasuke juga keluar dari ruangan itu. Apa dia sengaja menyusulku? Melihat wajahnya saja sekarang sudah membuatku muak. Aku lekas melangkah pergi menghindarinya. Tapi sejenak kuhentikan langkahku dan kembali menoleh. “Kenapa kau lakukan itu?” Aku bertanya pada Sasuke. Kupikir aku tak bisa selamanya lari. Aku penasaran apa alasan dia yang sebenarnya. “Kau tahu kan aku suka pada Itachi?”

“Hn,” Masih terdiam, Sasuke hanya menatap lurus padaku. “Kenapa kau menyukai kakakku?” Dia malah balik bertanya. “Itachi-nii itu baik. Dia juga pintar, keren, tinggi, tampan. Dia populer dan sungguh tipe lelaki ideal. Pasti wajar kalau semua orang menyukainya. Apa itu pula alasanmu? Coba pikir baik-baik kenapa kau menyukainya?”

Ugh, apa-apaan dia? Kenapa seperti hendak menyudutkanku?, heranku dalam hati. “Itu bukan urusanmu, kan? Alasanku menyukainya tak ada hubungannya denganmu!” balasku kesal.

“Kau pikir kakakku menyukaimu?” ucap Sasuke, “Kau semudah itu terlena kebaikannya? Kau tahu kan kalau kau itu sama sekali tak dianggapnya istimewa olehnya?”

“Hentikan omong kosongmu.” desisku.

“Kau kira juga hari ini pasti kalian pergi berkencan, tapi ternyata lagi-lagi dengan santainya dia mengajak anak-anak Akatsuki itu. Bahkan sampai mengajakku ikut segala, hahaha. Kau tak menyangkanya, kan?” Sasuke perlahan berjalan mendekatiku.

Rahangku mengeras, bibirku terkatup rapat. Yang dikatakannya memang benar. Aku tak mengerti kenapa dia seakan bisa melihat kegelisahanku. “Jangan seenaknya bicara. Kau tak tahu apa-apa!” bantahku seraya berbalik dan hendak pergi darinya. Tapi…

“Aku tahu!” Sasuke tiba-tiba saja menahan langkahku. Dia melingkarkan sebelah tangannya di bahuku, nyaris mendekapku dari belakang. “Aku tahu, Sakura.” bisiknya pelan di telingaku.

Tanpa bisa kukendalikan tiba-tiba saja air mataku jatuh. Aku tak mengerti kenapa aku merasa semakin sesak seperti ini. “Hentikan Sasuke…” ucapku dengan suara bergetar. Perlahan aku berbalik menghadapnya. “Aku tak mengerti dengan semua ini…” Sungguh aku jadi ingin menangis sekarang.

Onyx yang menatapku itu tampak merasa bersalah. “Bodoh, jangan tunjukkan wajah seperti itu padaku sekarang,” gumam Sasuke, “aku terlihat seperti sudah menyakitimu.”

“Habisnya kau…”

Dengan jarinya Sasuke menyeka kedua sudut mataku. Biasanya aku akan enggan diperlakukan seperti ini, terutama olehnya. Tapi kenapa sekarang aku hanya terdiam merasakan setiap sentuhannya di wajahku. Tangan kekar yang gemetar itu. Tatapan matanya yang teduh. Aku merasa tak asing dengan semua ini.

Sasuke menyusupkan jemarinya di sela helaian rambut merah mudaku, perlahan mengangkat wajahku agar menengadah menghadapnya. Dia mengecup keningku dan seketika itu terasa ada yang menyambar jantungku.

“Sa-suke—”

Disentuhnya bibirku yang bicara terbata barusan dengan sebelah ibu jarinya. Ketika perlahan jarak kami semakin dekat, aku tak bisa berpaling dari tatapannya yang seperti pernah kuingat. Perlakuan ini, saat akhirnya dia mengecup bibirku dengan lembut, aku merasa ini bukan yang pertama kalinya bagiku.

Apa mungkin semua yang dikatakannya selama ini benar? Apa yang sudah pernah kami lakukan sebelumnya?

“Hen—tikan…” desahku disela pagutan. Tapi dia mengabaikanku.

Sasuke terus mencumbuku. Aku berusaha melawannya tapi dalam setiap kecupan yang dia berikan padaku terasa aneh. Lembut seperti penuh kasih sayang, kasar seperti ada kemarahan, pedih seperti tengah terluka, semua tercampur di dalamnya. Seakan dia hendak mengisi seluruh diriku dengan dirinya.

Ceklek

Kami berhenti ketika terdengar suara pintu ruang karaoke itu terbuka. Sasuke lekas melepaskanku dan sedikit menjauh. Aku masih gemetaran dibuatnya. Bibirku saja masih terasa basah dan seperti masih digulumnya. Aku ketakutan setengah mati dan inginnya jatuh lunglai sekarang kalau saja aku tak kuatkan diriku menutupi apa yang telah terjadi barusan ketika kulihat kepala berhelaian raven berkuncir itu melongok melihat ke arah kami.

“Hoi, sudah ke toiletnya? Ayo, masuk lagi!” ujar Itachi.

Tenggorokanku rasanya tercekik, aku tak bisa bersuara sedikit pun untuk sekedar membalasnya.

“Aku pulang duluan ya, kak.” kata Sasuke, dia masih menghadapku walau tak lagi menatapku.

“Lho, kok pulang. Baru juga datang,” Itachi keluar dari ruangan itu dan berjalan mendekati kami. “kau bahkan belum nyanyi satu lagu pun, Sasuke.” dengusnya kecewa.

“Lain kali saja, jya~…” hanya mengangkat sebelah tangannya, tanpa berbalik pada Itachi, Sasuke melangkah pergi begitu saja.

“Hei, dasar kau ini, tunggu dulu Sasuke!” panggil Itachi, berlari kecil hingga sampai ke tempatku. “Kenapa dengannya? Kau tahu sesuatu, Sakura? Kalian sempat mengobrol barusan?” Itachi bertanya padaku.

Aku menggeleng lemah, “Ti-dak,” kataku parau. Sambil menyeka bibirku dengan punggung tangan, sebentar aku mendehem menetralisir tenggorokanku, “Ehm, aku… aku juga mau pulang sekarang.”

“Eh, kau kenapa lagi?” heran Itachi, menelisik memerhatikanku. Aku cukup terkejut ketika tiba-tiba Itachi menempelkan sebelah tangannya di keningku. “Apa kau sakit?” tanyanya sambil membandingkan suhu tubuhku dengannya, “Kau kelihatannya demam.”

Begitukah? Separah itu yang terlihat? Wajahku memang terasa panas sekarang, pasti merona hebat.

“Ya sudah, sebaiknya kau pulang saja.”

“He’em.” Sambil tersenyum lirih aku mengangguk.

“Tunggu sebentar, aku akan mengantarmu.” kata Itachi.

Dan ini di luar perkiraanku, kupikir dia akan kembali mengabaikanku seperti sebelumnya. Melihatnya cepat berlari ke dalam ruang karaoke dan membawakan tasku, “Ayo!” lalu mengajakku pergi bersamanya, entah kenapa malah membuatku merasa bersalah.

.

.

.

TBC… Next to Chapter 5

.

.

.


Author Note:

Sampai sini aja ya, hahahaha. Akhirnya setelah sekian lama hiatus, terus di update, eh bersambung lagi. Maaf, maaf nih buat yang protes (^-^)a Tapi sebagai gantinya saya bikin chapter kali ini lebih panjang daripada sebelumnya, ya semoga kalian puas, hehe. Tunggu lagi lanjutannya ya~ mudah-mudahan kali ini gak lama-lama, coz saya juga lagi repot dan banyak PR lain yang mau dikerjain. Jadi pengen bikin fanfic ini tamat mungkin 2-3 chapter lagi lah ya. Oke deh klo gitu…

Pada bagian Side story kali ini ada sedikit cerita tentang pertemuan Sasuke dan Sakura pertama kali, hihihi. Simak juga ya.

Makasih banyak buat yang udah baca, silakan klo ada yang ingin disampaikan komen saja 😀


Special Thanks to Reviewers:

Ayra Uzumaki, Ria AgustinaHatake Winda, Fitria aisyah, hanifah24, pipiey ao, Putri yuliani, Yutaka Ratna, Yaumil kawaii, risacemel, handa, Erika, Nanda_Nabila, Eva, minato nkh, Rona_, Tifanny Melinda, mutia, Anon, cyncyn, uzumaki safitri, K. Widiasmara, narutolover_07, Mar’atush Sholihah, Tarent, Nabila Zulfika, Rismaya Elly Safitri, haruna, Fujo or Fujo(?), ” L “, ima, ayu dwie, Ainun, Uchiha Rien, Avini, Mel……….yaww :3, salma fw, layla, dilla,  Sakura Kirameki, amanda uchiha, Grace_sica, rury, nisnis, 27uchiha sister, niskonis

*huaaa… banyak reader yang tinggalin jejak bahkan mpe berkali-kali untuk sekedar mengingatkan (menangih) ini fanfic supaya cepet di update. Makasih ya. Maaf klo ada yang terlewat. Terutama yang komen juga lewat BBM, FP, FB dan LINE, sorry ga bisa disebutkan satu-satu. Yang pasti kalian baik sekali mau berbagi kesan untuk fanfic gaje satu ini, hihihi… 

And

All of You Silent Readers


.

.

DAREKAGA

(Side Story)

.

.

Ada seseorang yang selalu berdiri di hadapannya. Seseorang yang dikaguminya. Seseorang yang jadi panutannya. Seseorang yang ingin dilampauinya. Seseorang yang selalu menyita perhatiannya. Tak hanya dirinya, melainkan juga oleh orang-orang di sekitarnya. Sosok sempurna yang dianggapnya memiliki segalanya. Segala hal yang dia inginkan, seseorang itu selalu mendapatkannya.

“Ayah, hari ini aku dapat nilai 90 lho.” kata Sasuke yang berumur 9 tahun itu berlari menghampiri Fugaku yang baru saja pulang kerja sambil membawa-bawa kertas ulangannya.

“Bagus. Anak ayah memang hebat.” puji Fugaku.

“Selamat datang, ayah.” sapa Itachi. Putra sulungnya itu pun ikut menyambut kedatangan sang Papa.

“Ulangan semestermu bagaimana?” tanya Fugaku.

“Biasa saja.” jawab Itachi sambil tersenyum.

“Itachi dapat nilai sempurna untuk semua mata pelajaran, sayang.” Mikoto menambahkan.

“Oh ya?” Fugaku terlihat sangat terkesan. Dibelainya lembut pucuk kepala anak kesayangannya itu, “Hebat kau nak, luar biasa. Ayah bangga padamu.” ucapnya sumringah.

“Iya, kakak memang hebat. Dia keren.” puji Sasuke juga.

“Nah, Sasuke…” Fugaku memicingkan matanya menatap si bungsu, “kau juga jangan banyak main, rajinlah belajar dan raih prestasi seperti kakakmu. Sewaktu seusiamu dulu, Itachi bahkan selalu

mendapat nilai sempurna.”

“Ah, iya…” Sasuke menunduk.

“Ayah, jangan bandingkan mereka. Sasuke juga sudah berusaha. Nilainya juga tak ada yang jelek.” kata Mikoto dan sama-sama menemani Fugaku mereka pun berjalan menuju ke dalam rumah.

“Tapi dari dulu Itachi selalu bisa lebih baik dari Sasuke, dia memang pantas menjadi penerus keluarga Uchiha…”

Hati kecil Sasuke merasa sedih sekilas mendengar pembicaraan itu. Dia sadari dirinya tak cukup membanggakan.

Tuk

Itachi tiba-tiba mengetuk kening Sasuke. “Tidak apa-apa,” ucapnya lekas menghibur si adik kecil, “kau juga hebat. Semangat, Sasuke! Kalahkan aku.”

“Hn.” Sasuke mengangguk dan tak lagi bersedih.

Selanjutnya setiap kali Sasuke pun selalu bertekad untuk bisa melampaui Itachi atau mampu sebanding dengannya. Menarik perhatian, menunjukan diri dan kemampuannya, namun hal itu tak mudah. Entah kenapa Sasuke tak bisa menjangkaunya. Terkadang itu menyakitkan, karena di saat hatinya merasa iri, Itachi justru bersikap baik dan menyemangatinya. Bila sudah begitu biasanya Sasuke akan mulai menjaga jarak dengan Itachi. Dia lakukan karena tak ingin jadi membenci kakak yang dicintainya. Lalu sejak dia sadari segala hal yang diinginkannya selama ini selalu Itachi dapatkan lebih dulu, pada akhirnya Sasuke putuskan untuk memilih tak menginginkan apapun.

Tidak, sebelum dia bertemu gadis itu.

“Hei, kau. Kau juga anak baru di sekolah ini, kan? Apa kau tak ikut upacara penyambutan siswa baru? Kau juga tersesat sepertiku?”

Tahun pertamanya menginjak bangku SMA, saat Sasuke hendak pergi membolos, dia malah bertemu dengan gadis itu. Si gadis musim semi yang tiba-tiba muncul di tengah hujan kelopak bunga sakura yang berguguran.

“Persetan dengan upacara penyambutan, sekolah itu membosankan.” ucap Sasuke dingin sambil lalu. Dia sama sekali tak peduli.

“Bodoh. Kau pasti orang menyedihkan yang menyia-nyiakan bakatmu,” balas si gadis, “kau pasti sering menyesal karena selalu menyerah, kan?”

Langkah kaki Sasuke terhenti sejenak mendengarnya. Dia sedikit menoleh pada gadis itu. Gadis yang terdengar ketus tadi sekarang malah tersenyum padanya.

“Kalau kau inginkan, harusnya kau dapatkan. Tak peduli meski dibenci sekalipun, kalau kau suka ya kau lakukan saja.” lanjut si gadis sebelum berbalik mengambil langkahnya sendiri mencari jalan menuju tempat upacara penyambutan siswa baru diadakan.

Tanpa berkata apapun Sasuke juga kembali melangkah. Walau yang diucapkan gadis itu nampaknya sedikit berbekas di hati. Dia jadi teringat pada sosok ayah yang ingin mengakuinya dan pada kakak yang selalu dikejarnya. Tapi Sasuke cepat-cepat singkirkan perasaan itu, dia tak ingin terlalu terbawa suasana. Kalimat semangat ‘jangan menyerah’ semacam itu masih dianggapnya hanya sebatas basa-basi belaka. Pada akhirnya dia tahu dia akan selalu tertinggal lebih dulu dari sosok orang itu.

Ya, pada akhirnya…

“Hei, kau tidak apa-apa?”

Samar terdengar suara yang tak asing ditelinganya. Dari sela goden pembatas ruang kesehatan tempatnya berbaring, Sasuke melihat Itachi tengah menemui seseorang. Seseorang yang dengan susah payah ditolongnya sebelum ini.

“Jadi kau yang sudah menolongku? Terima kasih.”

Dan sejak Sasuke melihat senyum gadis itu tertuju pada Itachi, dia tahu perhatian atas upayanya kembali tercuri. Ini mungkin menyakitkan seperti biasa, tapi…

Tak peduli meski dibenci sekalipun, kalau kau suka ya kau lakukan saja.”

Mungkin sudah saatnya Sasuke berhenti melarikan diri, memutuskan untuk kembali memilih menginginkan sesuatu dari Itachi, mengejar hal yang harus dia dapatkan.

“Akan kubuat kau lebih ingat padaku, Sakura.”

.

.

.

Sign,

FuRaHEART

[201215]

Mind to Review?

70 Comments

Leave a Reply

Leave a Reply to FuRaha Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *