Ini Beberapa Cerita Dongen Rakyat Anak-Anak Jepang
KintarO
Kintaro (金太郎, Kintarō?) adalah tokoh cerita rakyat Jepang berupa anak laki-laki bertenaga superkuat. Ia digambarkan sebagai anak laki-laki sehat yang memakai rompi merah bertuliskan aksara kanji 金 (emas). Di tangannya, Kintaro membawa kapak (masakari) yang disandarkan ke bahu. Ia juga kadang-kadang digambarkan sedang menunggang beruang.
Cerita Kintaro dikaitkan dengan perayaan hari anak laki-laki di Jepang. Kintaro dijadikan tema boneka bulan lima (gogatsu ningyō) yang dipajang untuk merayakan Hari Anak-anak. Orang tua yang memajang boneka Kintaro berharap anak laki-lakinya tumbuh sehat, kuat, dan berani seperti Kintaro. Selain itu, Kintaro sering digambarkan menunggang ikan koi pada koinobori.
Cerita Kintaro konon berasal dari kisah masa kecil seorang samurai bernama Sakata Kintoki (坂田公時 atau 坂田金時?) dari zaman Heian. Menurut legenda, ibunya adalah seorang Yama-uba (wanita dari gunung, atau yamamba) yang hamil akibat perbuatan dewa petir Raijin. Kisah lain mengatakan, ibunya melahirkan bayi Kintaro dari hasil hubungannya dengan seekor naga merah.
[sunting] Legenda
Kintaro bersama ibunya, lukisan karya Kitagawa Utamaro
Menurut catatan Kuil Kintaro di kota Oyama, Shizuoka, Kintaro konon lahir bulan 5 tahun 965. Ibunya bernama Yaegiri, putri dari ahli ukir bernama Jūbei yang bekerja di Kyoto. Kintaro adalah anaknya dengan pekerja istana bernama Sakata Kurando. Setelah mengandung, Yaegiri pulang ke kampung halaman untuk melahirkan Kintaro. Namun setelah itu, Yaegiri tidak lagi kembali ke Kyoto karena ayah Kintaro sudah meninggal dunia.
Kintaro dibesarkan ibunya di kampung halamannya di Gunung Ashigara. Kintaro tumbuh sebagai anak yang kuat, namun ramah dan berbakti kepada ibunya. Setelah besar, Kintaro bergulat sumo melawan beruang di Gunung Ashigara.
Kintaro bertemu dengan Minamoto no Yorimitsu di puncak Gunung Ashigara pada 28 April 976. Yorimitsu menjadikan Kintaro sebagai pengikutnya setelah mengetahui kekuatan fisik Kintaro yang luar biasa. Setelah namanya diganti menjadi Sakata Kintoki, ia bertugas di Kyoto, dan menjadi salah satu dari 4 pengawal Yorimitsu yang disebut kelompok Shitennō. Ketiga rekannya yang lain adalah Watanabe no Tsuna, Urabe no Suetake, dan Usui Sadamitsu. Kelompok Shitennō disebut dalam literatur klasik Konjaku Monogatari yang terbit sekitar 100 tahun setelah wafatnya Minamoto no Yorimitsu. Ketiga rekannya bisa dipastikan memang benar pernah ada, tapi Sakata Kintoki tidak pernah bisa dibuktikan keberadaannya.
Pada 28 April 990, Kintoki berhasil mengusir oni bernama Shuten Dōji yang tinggal di Gunung Ōe, Provinsi Tamba (sekarang kota Fukuchiyama, Prefektur Kyoto). Shuten Dōji perlu disingkirkan karena masuk ke kota membuat kekacauan. Sewaktu menghadapi Shuten Dōji, Yorimitsu bersama keempat pengawalnya (termasuk Kintoki) menyamar sebagai biksu Yamabushi. Shuten Dōji ditaklukkan dengan sake yang dicampur obat tidur.
Pada 11 Januari 1012, Sakata Kintoki, 55 tahun, meninggal dunia di Mimasaka (sekarang kota Shōō, Prefektur Okayama) akibat panas tinggi. Pada waktu itu, Kintoki sedang dalam perjalanan menuju Kyushu untuk menumpas pemberontak. Penduduk setempat menjadikannya panutan, dan mendirikan sebuah kuil untuknya (sekarang disebut Kuil Kurigara).
Gunung Kachi-Kachi ITachi
Gunung Kachi-kachi (かちかち山, Kachi-kachi yama?) adalah cerita rakyat Jepang tentang kelinci yang menghukum tanuki karena perbuatannya membunuh nenek teman kelinci.
Kata “kachi-kachi” merupakan onomatope dari bunyi beradunya batu api yang menurut pendengaran orang Jepang berbunyi “kachi-kachi”. Cerita versi aslinya dianggap terlalu kejam, sehingga beredar versi cerita yang lebih halus. Akhir cerita juga sering diganti dengan kelinci menolong tanuki yang hampir tenggelam dan hidup rukun bersama-sama.
Versi asli cerita ini awalnya hanya mengisahkan tanuki sebagai bulan-bulanan balas dendam kelinci. Perbuatan jahat tanuki baru ditambahkan sebagai bagian awal cerita di zaman Edo. Maksudnya sebagai pembenaran atas perbuatan balas dendam kelinci yang dipindahkan ke bagian tengah hingga akhir cerita. Orang di zaman Edo sangat menyukai cerita seperti ini karena mengandung ajaran moral mengenai kesetiaan dan pihak yang jahat pantas dihukum.
Di zaman dulu hidup sepasang kakek dan nenek. Setiap kali kakek bekerja di ladang, tanuki datang mengganggu dengan bernyanyi-nyanyi. Lirik lagu yang dinyanyikan tanuki berisi kutukan agar panen gagal. Bukan cuma itu, tanuki juga menggali dan memakan bibit ubi yang ditanam kakek di ladang. Kakek sangat marah dan memasang perangkap. Tanuki masuk perangkap, diikat, dan dibawa pulang. Setelah diletakkan di dapur, kakek kembali ke ladang. Nenek yang menjumpai tanuki di dapur setuju untuk melepasnya, karena sudah dibohongi tanuki yang berjanji membantu membereskan rumah. Setelah terlepas, tanuki malah memukuli nenek dan membunuhnya. Daging si nenek dimasak tanuki menjadi sup. Kepulangan kakek dari ladang disambut tanuki yang sudah berubah wujud menjadi si nenek. Kakek memakan sup yang disuguhkan “nenek” dengan enaknya. Setelah sup habis dimakan, “nenek” kembali berubah wujud menjadi tanuki dan menceritakan segalanya. Sambil tertawa-tawa, tanuki pulang ke gunung.
Kelinci sahabat si kakek mendengar peristiwa ini dan memutuskan untuk membalas dendam. Tanuki kebetulan kenal dengan kelinci dan percaya saja dengan ajakan kelinci untuk mengumpulkan kayu bakar dengan imbalan uang. Setelah ranting kering terkumpul, Tanuki berjalan di muka sambil memanggul ikatan ranting kering. Kelinci mengikuti dari belakang karena ia ingin membakar ranting kering di punggung tanuki. Tanuki bisa mendengar suara “crek-crek” dari dua buah batu api yang dibentur-benturkan kelinci, tapi pandangannya terhalang ranting kering yang sedang dipanggulnya. “Bunyi apa itu ‘crek-crek’?” tanya tanuki. Kelinci menjawab, “Oh, itu suara burung Crek-crek dari Gunung Crek-crek yang ada di sebelah sana.”
Setelah berhasil membakar punggung tanuki, kelinci menjenguk tanuki yang sedang sakit luka bakar. Tanuki diberi mustard yang menurut kelinci adalah salep obat luka bakar. Mustard yang dioleskan pada luka bakar di punggung tanuki makin membuat tanuki kesakitan.
Di akhir cerita, tanuki diajak kelinci pergi memancing di danau. Perahu yang dinaiki kelinci dibuat dari kayu, tapi tanuki diberi perahu yang dibuat dari lumpur. Terkena air, perahu lumpur menjadi lunak dan tenggelam. Tanuki berenang sekuat tenaga ke tepian, tapi dipukuli kelinci dengan dayung dan mati tenggelam.