SAKUSASU Fic: HOLD MY HAND ~ Chapter 2

Cerita Sebelumnya….

Klinik Haruno akan diwariskan kepada Sasori. Sakura kecewa harus melepaskan impiannya untuk menjadi dokter dan menikah dengan pria yang dijodohkan dengannya. Ditengah keputusasaan itu Sakura bertemu dengan seseorang yang membuat semangatnya kembali bangkit. Seorang pria bernama Sasuke.

Chapter: 2/6
Pairing: Sakura Haruno x Sasuke Uchiha
Rate: T
Genre: Romance, Friendship, Hurt/Comfort
Disclaimer: NARUTO resmi adalah milik MASASHI KISHIMOTO
Length: 2.113 word

If you don’t LIKE, don’t READ!!!

Itadakimasu~

*
*
*

Aku terkejut mendapati sebuah mobil BMW hitam terparkir di depan gerbang sekolah.

“Onee-chan…” seru seorang anak kecil berambut merah yang langsung berlari memelukku.

“Sasori, kenapa ada disini?” tanyaku seraya melepaskan pelukannya.

“Kita kan mau pergi jalan-jalan, nee-chan.” Jawab Sasori.

Aku mengernyit heran, tak pernah ada yang memberitahuku tentang rencana seperti itu hari ini. Apalagi sampai dijemput ke sekolah segala.

“Sakura… tumben, hari ini kau dijemput ya?” tanya Inoue.

“I, iya…” Aku hanya mengangguk pelan dan tersenyum samar.

Sementara Inoue pergi untuk memberi salam pada kedua orang tuaku. Terus terang aku juga bingung. Pakaian Kaa-san dan Too-san tampak rapih dan resmi. Sasori juga bahkan mengenakan setelan jas merah maroon dan kemeja pastel lengkap dengan dasi kupu-kupu yang didapatkannya sebagai hadiah ulang tahun bulan lalu. Pakaian mereka sama sekali tak cocok untuk pergi jalan-jalan sore hari di waktu yang bukan sedang liburan ini. Justru tampak seperti akan menghadiri acara jamuan resmi di hotel mewah. Entah kenapa perasaanku jadi tak enak.

“Sampai besok Sakura, Jaa~…” pamit Inoue sembari melambaikan tangannya.

“Jaa~…” aku juga melambaikan tangan. Menatap kepergian Inoue. Aku juga ingin berjalan pulang ke arah sana. Bercengkrama dengan teman-teman sambil menunggu bis datang seperti biasanya.

“Ayo, nee-chan, cepetan kita pergi…” seru Sasori, menarikku menuju mobil.

“Iya… iya…” kataku sambil mengikutinya.

Setelah aku masuk, Too-san yang sudah bersiap di bangku kemudi mulai tancap gas. Kaa-san sedikit berbasa-basi, memulai pembicaraan dengan menanyakan kegiatanku di sekolah. Kami mengobrol. Tapi yang paling antusias adalah Sasori. Mulut kecilnya terus bercerita tentang banyak kejadian seru yang dialaminya di TK hari ini. Awal perjalanan terasa nyaman. Sampai-sampai aku melupakan kecurigaanku di awal tadi.

“Nee-chan, mainanku jatuh. Ambilin.” Kata Sasori dengan manja sambil nunjuk-nunjuk kolong bangku Kaa-san di depannya.

Aku segera membungkuk, mengulurkan tanganku mencari-cari mainan Sasori. Saat kurasa aku menemukannya, aku langsung memungutnya dan tak sengaja ikut menarik tali sebuah kantong kertas. Aku mengernyit heran kenapa ada barang seperti itu disini. Karena penasaran, aku pun mengintip isi didalamnya. Ada sebuah gaun berwarna pink lembut berbahan sutra yang tampak asing bagiku. Sepertinya masih baru.

“Ini punya siapa, Kaa-san?” tanyaku sembari menunjukkan gaun itu.

Kaa-san dan Too-san saling melirik.

“Ya, tentu aja itu punyamu. Masa punya Sasori?” Jawab Too-san.

“Memangnya untuk apa?”

“Ya, untuk kamu pakai. Masa buat dijadikan kain lap.” lanjut Kaa-san.

Hah? Gaun cantik ini untukku?… Aku sedikit terperangah mendengarnya. Bibirku refleks tertarik, menorehkan sebuah senyuman ceria di wajah. Tak bisa kusembunyikan rasa senangku saat menerima sebuah hadiah. Aku teringat pakaian Kaa-san, Too-san dan Sasori kenakan. Kalau hanya aku sendiri saja yang masih berpakaian seragam sekolah, rasanya memang tak pantas. Meskipun aku juga masih tak tahu kemana tujuan kami.

“Nanti kita cari tempat untukmu berganti pakaian.” kata Kaa-san.

“Ano… memangnya kita mau pergi kemana?” tanyaku.

“Eu, itu… nanti kamu juga tahu.” Jawab Too-san. Mulai tercium aroma mencurigakan disini.

“Seorang kawan lama ayahmu mengundang makan malam di rumahnya. Itu saja.” Kaa-san menambahkan.

“Siapa?” tanyaku lagi, “Sebenarnya kita mau kemana?”

“Ke Uchiwa… Uchiwa… Uchiwa…” Sasori berkata dengan polosnya, terus menggumamkan kata itu.

Uchiwa?… Kata itu tampak tak asing ditelingaku. Dimana ya aku pernah mendengarnya? Bukan Uchiwa, tapi sesuatu yang lain, yang terdengar sama. Ku gali kembali ingatanku, berusaha menemukan kata yang tepat.

Uchiwa?…

Uchima?…

Uchiya?…

Chihuahua?…

Uchiha?…

Iya, benar, Uchiha… Yang dimaksud Sasori pasti Uchiha.

“Sasori, yang benar itu Uchiha, kan?” tanyaku.

Anak itu langsung berhenti bergumam. Dahinya berkerut, memandangku bingung. Tak lama Sasori mengangguk mantap, “Oh, iya ya… U~Chi~Ha~…”

“Sasori! Sstt…” seru Kaa-san, “Ingat apa yang Kaa-san bilang tentang hal ini tadi di rumah?”

“Ups,…” Sasori dengan cepat menutup mulut dengan kedua tangan kecilnya.

Melihat gelagat mereka, kecurigaanku semakin menjadi, “Apa-apaan ini? Katakan padaku yang sebenarnya. Kaa-san? Too-san? Sasori? Jangan-jangan tempat tujuan kita itu…”

“Sakura,… Seperti yang sebelumnya kita bicarakan, tunanganmu sudah ditentukan secara resmi. Yang akan mewarisi klinik adalah Sasori. Sekarang curahkan saja seluruh perhatianmu untuk acara pertunangan nanti. Hari ini kita akan mengunjungi keluarga Uchiha. Kau akan bertemu dengan tunanganmu.”

Sesaat rasanya jantungku berhenti berdetak. Mataku membelalak tak percaya. Tanganku terkepal, meremas ujung rok seragam berempel yang kukenakan. Pandanganku terasa buram, terhalang linangan air mata yang tiba-tiba saja sudah terkumpul di atas Emerald hijauku. Bibirku bergetar menahan tangis.

Aku tahu hari seperti ini akan tiba. Saat masa depanku akhirnya diputuskan oleh mereka. Tapi tak sekarang. Bertemu dengan tunanganku? Aku bahkan belum menyetujui hal ini. Apa selama ini pendapatku tak didengar mereka? Masih saja mengabaikanku. Masih dengan keegoisannya. Memaksaku. Tak apa bila Sasori yang menjadi penerus klinik. Asalkan aku masih diperbolehkan menjadi dokter. Lalu bagaimana dengan impianku kini? Rasanya bayangan itu kian menjauh.

“Keluarga Uchiha itu sudah lama membina hubungan baik dengan keluarga kita. Uchiha Corporation bergerak di berbagai usaha perdagangan dan merupakan perusahaan yang maju. Dulu semasa kakek buyutmu Shirama Haruno mulai membuka sebuah klinik kecil, yang banyak membantu saat masa-masa sulit itu adalah keluarga Uchiha. Lalu untuk semakin mempererat hubungan baik ini, kakek Shirama berjanji pada Madara Uchiha untuk menyatukan putra-putri dari kedua belah pihak dalam ikatan pernikahan. Selama tiga generasi, baik di pihak keluarga kita maupun Uchiha selalu saja terlahir anak lelaki. Baik itu ayah maupun Fugaku.”

“Di zaman seperti ini, yang namanya perjodohan mungkin terdengar menggelikan. Karena sudah lama berlalu, kami pun tak pernah berpikir untuk memenuhi janji itu sekarang. Bagaimanapun juga ini wasiat nenek Chiyo.”

“Tunggu sebentar,…” gumamku mencoba menyela. “Tidak bisa… Aku… ada hal yang ku ingin lakukan….”

“Sakura, kau tahu keinginan terakhir Chiyo-baa sebelum meninggal, kan?”

Diam sesaat.

Ingatanku melayang ke peristiwa tiga tahun lalu. Dengan tangan keriputnya yang lemah, nenek Chiyo masih berusaha menggenggam tanganku erat. Tatapan lembutnya membuatku sedih karena teringat dari hari ke hari kesehatannya makin memburuk.

“Sakura, cucu ku sayang. Syukurlah, nenek memiliki cucu yang cantik sepertimu. Dengan begini, nenek dan leluhurmu pun bisa beristirahat dengan tenang.”

“Nenek, jangan bicara seperti itu. Nenek pasti akan sembuh.”

Chiyo-baa tersenyum, mengelus-elus rambutku lembut. “Tentu saja, nenek ingin cepat sembuh. Nenek ingin melihatmu menikah nanti. Kau pasti cantik sekali dan kau akan bahagia, Sakura.”

Tapi akhirnya, nenek Chiyo meninggal sebelum sempat melihatku menikah. Wajar saja waktu itu aku masih 15 tahun.

“Lalu apa hubungannya?” timpalku, “Memangnya itu bisa dijadikan alasan untuk menerima pertunangan ini? Kalau pun menikah, aku ingin itu dengan orang yang benar-benar kucintai dan mencintaiku. Tapi sekarang, si Uchiha itu… bahkan aku tak tahu tampangnya seperti apa. Tiba-tiba harus mengikat hubungan resmi dengan seseorang yang tak kukenal. Konyol.”

“Tak ada orang tua yang akan menjerumuskan anaknya, Sakura. Kami tahu mana yang terbaik untuk putri kami. Calon tunanganmu itu memenuhi semua syarat sebagai lelaki idaman. Kau pasti akan menyukainya.”

“Apa?!”

“Jadi, Sakura… kau jangan berpikir kami mengorbankan kebahagiaanmu.”

“Jadi aku hanya harus menurut, begitu…” dengusku pasrah.

Menyebalkan. Situasi ini begitu menyesakan. Aku benar-benar sudah terpojok dan tak bisa berbuat apa-apa. Pendapatku sama sekali tak didengar. Tak ada yang bisa kulakukan…

Kuseka air mata di wajahku. Sambil memalingkan muka, menerawang menatap keluar jendela mobil. Pemandangan di jalan berubah silih berganti. Kulihat di luar sana, kami melewati toko buku tempat aku bertemu Sasuke.

Sasuke…

Sasuke…

Sosok itu kini memenuhi pikiranku. Aku teringat padanya.

“…Ucapkan sendiri dengan tegas. Orang tak akan tahu kalau kamu hanya diam….”

Kata-kata Sasuke tempo hari terngiang di kepalaku. Katakan dengan tegas? Hatiku semakin sedih karena tak bisa melakukannya dengan baik.

Disampingku, Sasori sedang asik bermain dengan boneka kayunya. Aku cemburu melihat kepolosannya. Dia tak memikirkan masalah yang tengah bergejolak dalam keluarga ini. Anak itu yang sekarang menjadi penerus klinik Haruno. Sasori akan menjadi dokter. Lalu aku akan menikah karena harus memenuhi janji di masa lalu. Aku melirik Too-san lewat kaca spion di tengah, masih konsentrasi menyetir. Sementara Kaa-san tampak sibuk berbicara di telepon dengan seseorang bernama Mikoto, mengatakan bahwa kami sedang dalam perjalanan dan akan segera sampai.

Satu ide gila terlintas dalam pikiranku. Diam-diam aku membuka kunci pintu disampingku. Lalu menunggu situasi yang tepat. Saat mobil kami terhenti di lampu merah, aku mengambil kesempatan. Cepat membuka pintu dan bergegas turun.

“Sakura!!..” teriak mereka.

Aku tak berpaling, mengabaikan panggilan itu. Termasuk teriakan Sasori, “Sakura-nee!” dibelakang sana. Aku sedikit merasa bersalah, mengingat Sasori pasti menangis melihat kepergianku. Maaf…

Kulewati mobil demi mobil hingga sampai ke seberang. Berlari dan terus berlari ke arah berlawanan. Sesekali sampai tak sengaja menubruk orang lain. Mereka mengumpat kesal karena aku tak minta maaf. Aku tak peduli. Seperti apa orang-orang memperhatikanku kini. Melihatku seperti yang sedang lari dikejar setan. Atau penjahat yang kabur dari penjara. Ya, aku memang kabur. Kabur dari kenyataan. Meski hanya sesaat, aku ingin melarikan diri.

Jantungku serasa mau meledak. Lelah. Nafasku sudah tak kuat. Kakiku sakit. Entah sejauh mana aku sudah berlari. Mungkin Kaa-san dan Too-san tak mengejarku lagi, tapi tetap saja aku tak bisa berhenti. Di ujung jalan sana ku lihat halte bis tempatku pernah bersama Sasuke. Sasuke. Sosok itu kembali memenuhi pikiranku. Aku berlari mendekat. Mataku membelalak tak percaya saat melihat punggung seseorang yang siluetnya tampak seperti Sasuke. Ditambah dengan rambut pantat ayamnya. Orang itu bergegas hendak naik ke atas bis.

“Tunggu!…” teriakku sembari mempercepat kecepatan lariku. Bisnya sudah akan berangkat. “Tunggu aku, Sasuke!”

Dia menoleh. Dan benar saja, orang itu memang Sasuke.

“Sakura!” teriaknya, terkejut melihatku.

Aku cepat mengulurkan tanganku padanya dan Sasuke langsung meraihnya. Menggenggam erat dan menarik diriku masuk ke dalam bis sesaat sebelum pintu bis tertutup. Aku terjatuh dalam pelukannya. Orang-orang memperhatikan kami. Tapi sekali lagi, aku tak peduli.

“Apa yang kau lakukan? Bahaya tahu!!” bentak Sasuke, menatap wajahku.

Ada banyak hal dalam pikiranku hingga aku tak tahu apa yang harus kukatakan terlebih dahulu. Nafasku masih terengah-engah. Lelah. Benar-benar lelah. Dalam diam, saat ini aku cuma bisa menangis.

Sejenak Sasuke menghela nafas, “Hei, Sudahlah, tenangkan dulu dirimu…” gumamnya lembut, lantas menarikku masuk mencari tempat duduk.

Sepanjang perjalanan kami hanya terdiam. Sasuke tak bertanya apapun. Dia membiarkanku tenang. Dan tanganku masih tetap dalam genggamannya.


“Jadi, kau kabur?” tanya Sasuke.

Aku mengangguk pelan, “Aku tak mau menikah dengan orang yang tak kusukai.”

Setelah turun dari bis, kami berjalan sebentar sampai ke taman. Karena aku pergi tanpa membawa apapun, Sasuke mengongkosi perjalananku dan membelikan sekaleng soft drink. Juga plester untuk kakiku yang lecet karena berlari jauh dengan memakai pantofel tadi. Hari sudah sore. Langit senja berwarna jingga tampak indah dari tempat kami duduk sekarang. Perlahan aku menceritakan apa yang sebenarnya terjadi kepada Sasuke secara garis besar.

“Tapi kau kan tidak harus melarikan diri seperti ini, Sakura.”

“Lalu aku harus bagaimana? Apa aku harus menerima semuanya? Aku tidak bisa seperti itu. Aku juga ingin mengejar impianku sendiri.”

“Kau itu memang keras kepala ya.”

“Kalau kau ada diposisiku, memangnya apa yang akan kau lakukan?” tanyaku.

“Hmm, entahlah. Mungkin aku akan menurut.”

“Apa?!” cengangku tak percaya Sasuke akan menjawab seperti itu, “Menuruti kemauan mereka?”

Sasuke menghela nafas, pandangannya menerawang jauh menatap matahari senja, ”Karena tak ada hal yang benar-benar ingin kulakukan sepertimu, mungkin aku akan menuruti kemauan orangtuaku. Dan lagi aku melihat hal yang sama pun dilakukan kakak. Keluarga kami sangat keras mengenai aturan. Kami dididik untuk patuh. Sebagai anak pertama mungkin punya beban tersendiri. Ayah sangat mengandalkannya dan menaruh harapan besar pada kakak. Meski terkadang kulihat kakak tampak tertekan. Tapi dia selalu melakukan segalanya dengan baik dan bisa dibanggakan.”

“Dari ceritamu, tampaknya kakakmu itu orang yang sangat hebat.” Kataku menanggapi.

Sasuke hanya tersenyum, terlihat sekali kalau dia begitu mengagumi sosok kakaknya. Aku memang tak mengerti hubungan persaudaraan yang seperti itu. Satu-satunya saudaraku adalah Sasori. Dan karena usia kami terpaut jauh, mungkin perasaan seperti yang dimiliki Sasuke dan kakaknya tak akan tumbuh diantara kami.

“Nah, sebaiknya sekarang kau pulang, Sakura.” kata Sasuke seraya bangkit.

“Eeh?? Kenapa?”

“Memangnya kau mau kabur sampai kapan dengan tanpa persiapan begitu? Mau tinggal di jalanan?”

“Aa.. itu…” aku menggaruk-garuk kepalaku yang tak gatal. Perkataan sasuke memang benar. “Tapi aku tetap tidak mau pulang.”

“Heh, anak cewek malam-malam masih berkeliaran itu gak baik. Orangtuamu juga pasti khawatir.”

Aku merengut, mengembungkan pipiku, “Aku tidak mau pulang ke tempat orangtua yang tidak mendengarkan pendapatku.”

“Hhh, kau itu benar-benar keras kepala. Ayo cepat pulang atau mau ku tinggal nih?!” Sasuke bergegas pergi.

“Aah, iya, iya, aku pulang. Tunggu aku Sasuke!” kataku seraya mengikutinya.

Kami sudah sampai di halte bis…

“Tuh, bis mu sudah datang. Maaf ya, aku cuma antar sampai sini.”

“Ano, Sasuke… Terima kasih banyak.” kataku sembari membungkukkan badan, “Maaf sudah merepotkan.”

“Ya, kau itu sangat merepotkan. Jangan lakukan lagi.” jawab Sasuke, masang tampang sinis.

“Huff… maaf~…” kataku penuh penyesalan.

“khekhekhe~… Aku hanya bercanda. Wajahmu jangan serius begitu.” balas Sasuke sambil tertawa. “Sudah ya Sakura, hati-hati di jalan. Jaa~…”

Aku mengangguk.

Kami berpamitan dan mengambil jalan yang berlawanan.

Sesaat langkahku terhenti di depan pintu bis. Aku kembali menoleh, menatap sosok Sasuke yang masih belum pergi jauh. Dalam hati, keraguan untuk pulang itu kembali muncul. Aku masih ingin bersamanya. Entah darimana perasaan seperti ini muncul. Sosok lelaki itu begitu mempengaruhiku. Hingga membuatku membalikkan langkah dan memutuskan untuk turun dari bis. Aku mengejarnya. Langkah kakiku kian cepat menuju ke arah Sasuke pergi.

*
*
*
TBC… Next to Chapter 3

Bachot Sesion from Author:

Cerita Narutonya sama sekali gak kerasa ==a
Namanya juga Canon. OCC pula. Terutama Sasuke. Gak keliatan cowok dingin dan cuek.

Gue ga habis pikir bikin Sasori jadi adik Sakura dan berusia lima tahun. Cocoknya jadi peran kakak yang babyface. Abisnya tu anak emang imut-imut banget sih.

Maap klo Fic-nya jelek ==a

Comment pliss….

6 Comments

Leave a Reply

2 Pings & Trackbacks

  1. Pingback:

  2. Pingback:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *