Cherry, LOVE me again : chapter 2

Cerita sebelumnya…. Baca: [chap 1]

Sasuke mendapati Sakura yang diduga mencoba bunuh diri dengan terjun dari lantai 4 gedung pusat perbelanjaan. Tapi apa yang sebenarnya terjadi sebelum itu? Sementara Sasuke merasa bersalah dan berpikir dirinyalah penyebab dibalik tindakan Sakura.

@@@

Cherry, LOVE me [again]

 

Chapter: 2/?
Pair: Sasuke Uchiha x Sakura Haruno
Rate: T
Genre: Romance, Hurt
Disclaimer: NARUTO © MASASHI KISHIMOTO
Length: 2.479 words
WARNING: OOC, typo, alur GaJe cerita se-mau-gue. Maap kalo ceritanya jelek dan mengecewakan. Buat yang sengaja dan ga sengaja kebetulan nemu n baca Fic Abal-Abal ini, setidaknya setelah kalian membaca tolong beri komen ya (sangat diharapkan).

Story by

Me!! [FuRaha]

If you don’t LIKE? Read? Don’t Read?

 WHATEVER!!!

 ~Happy Reading~

 *

*

*


Pikiranku melayang. Potongan demi potongan kenangan sebelum hari itu pun kembali terbayang di hadapanku.

Beberapa hari ini siswa kelas tiga sudah tak ada lagi kegiatan di sekolah. Masa-masa ujian telah lama lewat, bahkan pengumuman kelulusan pun sudah berlalu. Tapi kami masih tetap diwajibkan datang ke sekolah. Kami punya banyak waktu bebas disamping mempersiapkan acara perpisahan yang rencananya akan dilaksanakan seminggu lagi.

Shikamaru, ketua kelas bersama beberapa pengurus OSIS lainnya sibuk mengadakan rapat. Sepanjang hari diisi diskusi yang membahas rencana acara perpisahan siswa kelas tiga. Aku yang tak terlalu tertarik dengan hal itu memilih tiduran di bangku belakang. Sementara telingaku asyik menikmati musik dari Ipod, sampai tiba-tiba….

“Eh, hei… Teme! Teme! Teme!” teriakan panggilan itu mengusik kesenanganku. Aku sudah tahu siapa pemilik suara berisik ini. Naruto Uzumaki.

Aku sedikit membuka mata, melirik ke arah cowok berambut kuning jingkrak yang baru datang menghampiriku. Wajahnya tampak kelelahan.

“Heh, diluar lagi ada yang seru tuh….” lanjutnya dengan nafas terengah-engah.

Aku mendelik, sama sekali tak berminat mengetahuinya.

“Woi, Sasuke Uchiha!!!” teriak Naruto, sambil menarik earphone dari telingaku, “Dengar dulu dong!”

“Apa Dobe?! Kau berisik sekali.” bentakku padanya.

“Anak cewek lagi berantem.”

Aku mengernyit. Sudah kuduga ini sesuatu yang tak penting. “Tch, apa urusanku, baka?!”

“Di kelas Bahasa lho…”

“Hn.”

“Karin juga ikutan.”

Baru ketika mendengar nama itu aku langsung bangkit dan menatap lekat-lekat wajah Naruto. Cowok itu tertawa geli, dia tahu aku begitu sensitif mendengar nama ‘Karin’.

“Aku juga tak tahu awal ceritanya, cuma pas kebetulan lewat kelas itu selintas aku lihat Karin sama Ino dan Temari.”

“Bohong….” desisku seraya berdiri dan berlari keluar.

“Tunggu bentar dong, Teme!” teriak Naruto sembari menyusulku.

Kami berdua sama-sama menuju kelas Bahasa. Dari jauh terlihat beberapa orang tampak mengintip ke dalam kelas. Aku sedikit berjinjit ikut mengintip. Selintas terlihat bayangan Karin diantara delapan sampai sepuluh orang dalam ruangan. Pintunya tertutup, dijaga oleh dua orang siswi yang tak kukenal.

“Heh, ada apa ini?” tanyaku.

“Ah, Sasuke?!” Mereka tampak terkejut dan saling berpandangan, enggan menjawab malah saling menuduh. “Eu, itu… itu sebenarnya….”

Aku yang tak suka berlama-lama langsung saja menerobos masuk. Jelas mengkhawatirkan Karin, takut terjadi sesuatu padanya. Dan begitu aku masuk, pandangan semua orang teralih padaku.

Tertengar suara Karin yang berteriak, “Tahu diri dikit dong!” lantas tangannya cepat berayun menampar pipi seorang gadis yang terduduk di lantai.

PLAAAK…..

Sejenak aku terdiam, masih tak mengerti dengan situasinya. Yang kukira Karin tengah terpojok, ternyata malah sebaliknya sedang memojokkan orang.

“Wow… wow… wow…” disampingku Naruto melotot tak percaya, kepalanya menggeleng pelan. Dia tertawa kecil, “Parah nih cewek-cewek….”

Karin  berbalik dan terkejut melihatku datang. “Sasuke?!” serunya lekas menghampiri.

“Ada apa ini?” tanyaku datar.

“Gak ada yang serius kok.”

Aku mengernyit. Tak ada yang serius dia bilang? Ramai-ramai memojokkan seseorang sampai main tampar segala dan dia bilang kalau ini bukan hal yang serius?

Aku menggeleng pelan, menghela nafas, dalam hati ingin sekali marah padanya. Terus terang aku tak suka dengan sikap Karin yang telah berlaku kasar.

“Dia yang mulai duluan!” tuduh Karin.

“Dia tampar kamu juga?” tanyaku.

“Yah, enggak sih.” Karin tampak malu-malu.

Aku menengok memandang gadis yang tengah terpojok itu.

Deg!

Jantungku berdebar saat melihatnya. Rambut soft-pink itu. Mustahil. Aku tak percaya kalau itu Sakura.

Sesaat kami berdua bertemu pandang. Sakura cepat menundukkan kepala, entah menyembunyikan wajahnya dariku atau menahan sakitnya bekas tamparan Karin. Aku juga langsung bersikap seperti tidak mengenalnya.

“Lihat nih, masa dia berbuat begini padamu?”

Karin menunjukkan sebuah agenda bersampul kain beludru merah marun padaku. Sekilas aku membuka isi agenda itu dan cukup terkejut melihat banyak namaku tertulis didalamnya. Ada juga  beberapa lembar fotoku yang diambil secara diam-diam. Aku tak percaya Sakura sering mencatat keseharianku dengan detail. Jam berapa aku datang ke sekolah, kapan aku pulang, mengobrol dengan siapa, main kemana, makan siang dengan apa, pakaian yang kukenakan, sampai hal-hal kecil yang bahkan aku sendiri tak memperhatikannya. Tapi gadis itu mencatat semuanya.

“Jijik banget kan isinya?” tanya Karin.

“Hn, tapi kau kan tak perlu sampai menamparnya.”

“Kenapa kau malah membelanya sih, Sasuke?!” Karin tampak kesal.

“Bukan membela. Aku hanya tak suka melihatmu berlaku kasar. Gimana kalau ada orang yang lapor sama guru?”

Karin menggembungkan pipinya, “Aku akan lapor balik saja sama polisi. Ada cewek gila yang selalu menguntit pacarku.”

“Gak apa-apa kan?” tiba-tiba Naruto menyela, “Gak masalah kalau ada cewek lain naksir Sasuke. Toh dia memang ganteng, keren, pintar. Fansgirl Sasuke ada banyak, mulai dari anak kelas satu sampai kelas tiga. Yang suka sama dia bukan cuma kamu. Kamu cuma cewek yang beruntung bisa pacaran dengannya saja. Haha…”

“Aah, diam kau Naruto berisik!” Karin cemberut, tak suka mendengarnya, “Iya, aku juga tahu. Tapi aku tak suka sama cewek itu. Apa-apaan dia seolah tahu segala sesuatu tentang Sasuke.  Baca deh, dia tulis semua hal yang Sasuke suka dan tak suka. Sampai-sampai dia tahu kemana rute jogging Sasuke tiap minggu. Tahu darimana gadis itu kalau gak menguntit Sasuke tiap hari. Atau semua yang dia tulis cuma bohong belaka. Dia cuma berkhayal tentang Sasuke.”

“Hah, sampai sejauh itu?”

“Iya, lihat juga koleksi foto-fotonya. Siapa yang tak muak lihat kelakuannya.”

“Wah, iya bener. Lihat nih lihat sampai aku juga ikut terpotret, hehehe…” Naruto jadi heboh sendiri.

“Gak tahu diri lagi, sudah tahu Sasuke itu pacarku, tapi masih berlaku begitu. Menjijikan!”

“Ini sih bukan lagi sekedar secret admirer, tapi stalker.” lanjut Naruto.

“Cukup….” Aku yang daritadi lebih banyak diam akhirnya buka suara. “Tak perlu dibesar-besarkan.”

“Tak perlu gimana, Sasu? Memangnya kau tak resah kalau dikuntit tiap hari?”

“Aku juga tak suka.” jawabku seraya membanting agenda milik Sakura. Membuat seisi ruangan terkejut dan hening seketika. Kutendang agenda itu hingga meluncur ke dekat gadis itu, dia lantas dengan cepat mengambil dan memeluk agendanya erat. Tubuhnya bergetar, sesegukan seperti menahan tangis. Penampilannya tampak kacau dan menyedihkan.

Sakura sedikit mengangkat wajah, mata hijau emerald-nya yang berkaca-kaca menatapku lurus. Tapi melihatnya seperti itu sama sekali tak membuat perasaanku berubah.

“Menyebalkan. Aku benci perbuatanmu.” ucapku padanya sambil memandang sinis.

Sakura kian tertunduk, dia mungkin shock saat mendengar ucapanku. Orang-orang dibelakang banyak yang berbisik-bisik menatap kami. Tak suka dijadikan tontonan, aku langsung melengos pergi. Menghiraukan Karin maupun Naruto yang berteriak memanggil dan menyusulku.

“Sasuke, maafkan aku.” kata Karin seraya merangkul lenganku dan berjalan beriringan. “Mungkin tadi aku kelewatan. Kau tak suka melihatku kasar padanya? Maaf, habisnya aku cemburu. Padahal aku ini kan pacarmu, tapi kenapa cewek itu bisa lebih tahu tentang dirimu daripada aku? Aku jadi kesal.”

Langkahku terhenti, terdiam menatap Karin. Tanganku terkepal, menahan kesal saat teringat sosok Sakura dan kejadian tadi. Gadis itu memang lebih banyak tahu tentang diriku dibandingkan pacarku sendiri.

“Kau tak membenciku kan?” tanya Karin.

Aku menggeleng pelan. “Tapi jangan lakukan lagi.”

Karin mengangguk dan tersenyum. Aku juga sedikit menyunggingkan bibir, sebisa mungkin tersenyum dengan baik. Dalam hati aku sedikit menyesal. Tentang Sakura, ada hal yang tidak bisa jujur kukatakan pada Karin.

.

.

.

Aku mengernyit saat melihat satu stel jas telah disiapkan diatas ranjang kamarku. Lengkap dengan dasi bercorak yang serasi dengan warna kemejanya. Menanti untuk dipakai. Semuanya tampak asing. Tak bisa dipercaya, Kaa-san bahkan telah menyiapkan pakaian baru untuk kupakai menghadiri acara makan malam bersama keluarga Haruno.

Aku sama sekali tak berminat untuk mengenakannya. Kuganti pakaianku dengan Polo Shirt warna krem dan celana denim Navy. Kalau Kaa-san begitu inginnya aku memakai jas, maka kupilih blezer cokelat bergaris yang biasa kupakai.

Lalu saat aku kembali muncul, Kaa-san melotot menunjukkan ketidaksukaannya akan penampilanku.

“Sasuke… apa-apaan pakaianmu itu?”

“Asal bisa tampil rapih dan sopan, tak masalah kan? Lagipula ini lebih nyaman dan cocok untukku. Kita kan tidak sedang menghadiri acara resmi kenegaraan.” kataku cuek. Tapi berhasil membungkam mulut Kaa-san agar tak mengomel.

Aku mengikuti Kaa-san menuruni tangga menuju ruang keluarga. Disana sudah ada Too-san, paman Jiraiya dan bibi Tsunade, juga seorang gadis yang cepat menyembunyikan wajahnya saat melihatku.

Sakura Haruno.

Aku sedikit menyunggingkan bibirku dan mendelik ke arahnya. Tak kukira kami akan bertemu secepat ini setelah apa yang terjadi tadi siang.

Dengan hangat mereka menyambut kedatanganku dan kubalas dengan sikap ramah seperti biasa. Termasuk memberikan senyum palsu pada Sakura. Sejujurnya aku tak suka bertemu dengannya. Lebih dari itu aku memang tak pernah suka pada dia.

Sejenak kami mengobrol santai. Sebenarnya hanya para orangtua saja yang asyik bicara, sementara aku dan Sakura lebih banyak jadi pendengar. Ini membosankan. Kami berada di luar area percakapan mereka. Basa-basi. Kadang mereka tertawa, saling memuji, bernostalgia, bicara bisnis, masalah keluarga. Siklus terus berulang. Dan dalam hati aku mulai mempertanyakan pentingnya kehadiranku disini.

Sesekali aku mendelik ke arah Sakura, dia juga tampak tak nyaman. Memilih menunduk menghindariku, menikmati cake dan secangkir teh hangat yang disajikan. Kuperhatikan sekilas pipi kirinya, pipi yang tadi siang terkena tamparan Karin. Entah harus merasa kasihan atau berpuas diri saat melihatnya. Aku benci mengingat kejadian itu.

‘Ini salahmu, Sakura.’ dalam hati aku menuduhnya. ‘Anggap saja tamparan itu sebagai bayaran dari kebodohanmu. Apa kau sengaja ingin orang lain tahu hubungan kita?’

Sewaktu kakek Madara meninggal, usiaku baru sepuluh tahun. Too-san sebagai satu-satunya anak lelaki kakek diserahkan tanggung jawab sebagai penerus Uchiha Corporation, sebuah perusahaan pengembang yang didirikan kakek dengan kerja kerasnya selama lebih dari 50 tahun. Bersama dengan itu, didalam wasiatnya pun tertulis tentang seorang bernama Hashirama Senju, yang diketahui sebagai sahabat lama kakek.

Entah ada masa lalu apa antara mereka berdua, tapi kakek yang merasa berhutang budi pada orang itu menjanjikan sebuah pernikahan untuk menjalin kembali ikatan yang telah lama putus diantara mereka. Tak dijelaskan siapa yang kelak harus menikah dengan siapa.

Too-san yang berkewajiban memenuhi wasiat terakhir kakek pergi mencari tahu keberadaan Hashirama dan keluarganya. Hingga akhirnya kami bertemu dengan bibi Tsunade, putri dari Hashirama Senju yang ternyata juga diamanahi hal yang sama oleh ayah beliau sebelum meninggal.

Singkat cerita, kedua keluarga sepakat untuk memenuhi wasiat orangtua mereka dan mulai membicarakan ‘siapa’ yang dimaksud. Anggota keluarga yang belum menikah mau tak mau harus rela untuk ‘dijodohkan’. Waktu itu yang mungkin diberi tanggung jawab dari keluarga Senju hanyalah seorang cucu perempuan, anak dari hasil pernikahan Tsunade dengan Jiraiya Haruno. Dia seumuran denganku. Dan karena hal itulah aku jadi yang terpilih untuk menanggung amanah kakek. Tiga tahun setelah itu, untuk pertama kali aku diperkenalkan dengan Sakura Haruno, calon tunanganku.

Memasuki jam-nya kami menikmati sajian makan malam. Aneka macam makanan tersaji di atas meja. Lezat dan menggugah selera. Tentu saja karena katanya kali ini dibuat spesial oleh Kaa-san dan bibi Tsunade untuk merayakan kelulusanku dan Sakura.

Yah, aku sendiri tak mengerti kenapa ini begitu penting. Tapi makan malam bersama dua keluarga ini memang rutin dilakukan beberapa bulan sekali. Mungkin niatnya agar hubunganku dengan Sakura semakin akrab. Tapi ini sama sekali tak berguna. Aku dan Sakura tak pernah benar-benar dekat. Bahkan tak ada perubahan berarti sejak awal pertama kali kami bertemu. Aku tak peduli padanya, meski selama tujuh tahun dia adalah calon tunanganku. Kami hidup di dunia masing-masing.

“Selamat untuk kalian berdua, Sasuke dan juga Sakura!”

“Lama kita menantikan hari dimana akhirnya mereka menyelesaikan juga bangku SMA.” ucap Too-san disertai anggukan setuju yang lainnya.

Tentu saja kecuali aku dan Sakura yang dari tadi hanya menunduk mengaduk-aduk sop dalam mangkuk.

“Di ujian masuk universitas nanti rencananya Sasuke akan masuk jurusan Arsitektur. Itu cita-cita dia sejak kecil, biar kelak bisa melanjutkan usaha ayahnya.” lanjut Kaa-san.

“Iya, Sasuke sih sudah jelas bisa. Tiket masuk universitas manapun sudah ada di tangan.” puji paman Jiraiya, “Dengar-dengar di sekolah juga prestasinya luar biasa. Ujian Nasional kemarin masuk rangking sepuluh besar se-sekolah kan?”

“Ah, betul. Kami juga tak menyangka. Padahal dia ini jarang sekali kelihatan belajar.”

“Mungkin itu sudah bakat dari keluarga Uchiha sendiri.”

“Ahaha~… bisa saja.”

“Kalau Sakura sendiri bagaimana?” tanya Kaa-san.

Gadis itu diam saja, sampai bibi Tsunade menyikutnya.

“Hah?!” Sakura terkejut, kelihatan sekali kalau dari tadi dia melamun. “Maaf, kenapa bibi Mikoto?”

“Eu, itu soal rencana masa depanmu.”

“Rencana masa depan?” Sekilas matanya melirik padaku, sebelum kembali tertunduk menatap mangkuk sop-nya. “Aku… aku masih belum tahu.”

“Oh, kalau ditanya minat, dia pernah bilang tertarik dengan kedokteran. Iya kan, Sakura?” bibi Tsunade mencoba menjawab, “Tapi masih belum tahu mau melanjutkan ke mana.”

“Masuk Universitas Akatsuki saja, sama dengan Sasuke.” seru Too-san, “Bagus kan kalau kalian juga bisa satu universitas, supaya tambah akrab.”

‘Huuh… siapa yang mau akrab dengan gadis itu.’ Aku mendelik, protes dalam hati. Tak suka dengan ucapan Too-san yang sok tahu.

Cukup sudah selama tiga tahun satu SMA dengannya dan aku merasa diikuti. Tak bisa kubayangkan aku harus selalu bersama dengan dia. Meski tahu ini semua berawal dari wasiat kakek, tapi aku membenci Sakura sejak pertama dia hadir dan merampas kebebasanku.

“Karena mereka juga sudah delapan belas tahun, bukankah ini sudah saatnya kita resmikan hubungan mereka.”

Aku melohok tak percaya. Tak adakah cara bagiku untuk menghentikannya? Kalau saja Sakura juga protes dan sama-sama menolak, maka pertunangan tolol ini tak akan ada. Tapi sialnya, gadis itu mencintaiku, jadi mustahil dia sendiri akan menolak rencana pertunangan ini.

“Too-san, buatku ini terlalu cepat. Aku….” Aku mencoba untuk bersikap jujur.

Tapi…

Praaang…. semua perhatian langsung teralih saat Sakura menjatuhkan gelas minumannya. Untung tak sampai pecah, hanya membuat taplak meja basah oleh orange juice.

“Ah, maaf… maaf… aku tak sengaja. Aku ceroboh sekali.” ucap gadis itu panik, langsung mengelap bekas tumpahannya.

“Kenapa kamu Sakura?” tanya bibi Tsunade.

“Sudah tak apa-apa. Ayame, cepat ambilkan minuman baru.” ucap Kaa-san, cepat memerintahkan maid kami untuk membereskannya.

“Tak perlu repot-repot. Biar aku ambil sendiri.” Sakura lekas berdiri dan pergi ke arah dapur, meninggalkan kami semua yang masih menatap heran melihat sikapnya.

“Apa Sakura baik-baik saja? Sepertinya dia kurang sehat.” tanya Too-san.

“Ah, dia tidak sedang sakit. Mungkin hanya gugup atau sedang memikirkan sesuatu.” jawab bibi Tsunade.

“Apa di sekolah tadi dia juga begitu, Sasuke, kau tahu?”

Ditanya begitu aku cuma menggeleng pelan. Teringat kembali kejadian tadi siang. Tapi tak ada yang bisa kukatakan pada mereka.

“Kamu harusnya bisa lebih perhatian pada Sakura.” Kaa-san kembali menasehatiku. Nasehat yang selalu kudengar namun tak pernah kulakukan.

Aku mengerling sekilas melihat kearah Sakura pergi.

Dan hingga makan malam usai, gadis itu tak juga kembali.

@@@

TBC… next to chapter 3

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Bachot session:

Wahaha~ jadinya sekalian publish chapter 2, biar ceritanya sedikit lebih jelas.

Ini Fic beneran ancur ya… T-T

Hmm, chapter berikutnya mungkin menunggu respon pembaca…

Sekarang saya fokus lagi ma si Senpai, hehe~ karena sepertinya udah dipelototi Sasuke pake Amaterasu *kapan giliran gue muncul Author baka!*

Fufufu~ iya iya…. (>,<)/ Segera publish… *padahal Fic ini juga SasuSaku dan Sasuke yang jadi tokoh utama*

Nah, akhir kata…

Sankyu~  udah baca …. m(_ _)m …. Comment please

32 Comments

Leave a Reply

14 Pings & Trackbacks

  1. Pingback:

  2. Pingback:

  3. Pingback:

  4. Pingback:

  5. Pingback:

  6. Pingback:

  7. Pingback:

  8. Pingback:

  9. Pingback:

  10. Pingback:

  11. Pingback:

  12. Pingback:

  13. Pingback:

  14. Pingback:

Leave a Reply to FuRaha Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *