Senpai~ Suki Deshita! : Chapter 5

Cerita sebelumnya…. Baca: [Chap 1] [Chap 2] [Chap 3][Chap 4]

Setelah berhasil mendapatkan kartu pelajarnya dari Sasuke, Sakura memutuskan untuk menyatakan perasaannya terhadap Gaara. Menagih janji yang pernah mereka buat setahun lalu. Hanya saja ditengah kebahagiaan itu, Sakura merasa ada sesuatu yang disembunyikan Sasori mengenai Gaara.

@@@

 Senpai~ Suki Deshita! : Chapter 5

Chapter: 5/?
Pair: Sasuke Uchiha x Sakura Haruno
Rate: T
Genre: Romance, Friendship, Comfort 
Disclaimer: NARUTO © MASASHI KISHIMOTO
Length: 3.772 words
WARNING: OOC, OC, AU, typo, alur GaJe cerita se-mau-gue. Maap kalo ceritanya jelek dan mengecewakan. Buat yang sengaja dan ga sengaja kebetulan nemu n baca Fic Abal-Abal ini, setidaknya setelah kalian membaca tolong beri komen ya^^ (sangat diharapkan).

Story by

Me!! [FuRaha] 

If you don’t LIKE?

Read?

Don’t Read?

 Up to You!!!

~Happy Reading~

*

*

*


Ditengah hiruk pikuk suasana dalam bis di pagi hari, pandanganku tertuju pada seorang gadis berambut cokelat sebahu yang berdiri tak jauh dariku. Sepintas kulihat parasnya yang cantik, memakai rok seragam kotak-kotak merah dan blazer maroon berbahan beludru dengan dasi kupu-kupu hijau tua tersemat dilehernya. Sebelah tangannya memegang erat tas jinjing hitam berbahan kulit sementara tangan lainnya berpegangan erat pada tiang bis, berusaha menahan keseimbangan agar dirinya tak terjatuh.

Dibelakang gadis itu, berdiri seorang pria yang terlihat seperti pegawai kantoran. Tampak rapih dengan stelan jas biru dongker, tas kerja dan sepatu mahal yang disemir mengkilat. Wajahnya biasa saja, terlihat seperti bapak-bapak usia 40 tahunan. Tapi satu hal yang membuatku tak suka dari pria itu adalah tatapan matanya. Mencurigakan. Seolah menyembunyikan sesuatu.

Lama kuperhatikan mereka berdua. Dan benar saja, firasatku tak salah. Ketika si pria kantoran itu dengan tampang mesumnya sudah menyiapkan tangan, siap grepe-grepe anak gadis didepannya.

“Heh, Pak!” kataku sambil menepuk bahu orang itu. “Bapak tahu hukuman bagi pelaku tindak pelecehan di tempat umum?”

Sontak pria itu melotot menatapku. Dia hendak berkelit, tapi tatapan semua orang dalam bis kini tertuju padanya. Sambil berdecih, orang itu langsung menerobos kerumunan penumpang, memilih berdiri dekat pintu keluar.

Fiuh~… sejenak aku menghela nafas lega. Senyumku mengembang. Tak kupercaya barusan aku benar-benar berani menegurnya. Hebat!, pujiku pada diri sendiri.

“Ano~ Terima kasih sudah menolongku.” kata gadis berambut cokelat itu.

“Sama-sama. Aku hanya merasa risih melihat kelakuannya.”

“Sebenarnya ini pertama kali aku pergi naik bis ke sekolah.”

“Wah, benarkah? Lain kali hati-hati. Terutama saat berdiri didepan laki-laki yang tidak kau kenal. Jangan lihat penampilannya.”

“Iya.” jawabnya sambil tersenyum. “Oh iya, namaku Matsuri. Salam kenal. Siapa namamu?” kata gadis itu seraya mengulurkan tangan.

Tanpa ragu aku pun meraih tangan itu. “Salam kenal juga, aku Sakura.”

“Sakura kau penyelamatku. Aku berhutang padamu.” kata Matsuri.

“Hihi~ tak perlu sampai seperti itu. Aku tak melakukan apapun kok.”

“Eh, kau ini siswa Konoha Academy ya?” Mata gadis itu memperhatikan badge di atas saku blazerku.

Aku mengangguk, “He’eh. Seragam itu… kau pasti murid sekolah putri Suna Gakuen.”

“Iya. Kau kelas berapa? Aku kenal beberapa siswa Konoha. Ehm… sebenarnya pacarku juga sekolah disitu.”

“Oh ya? Aku anak kelas satu. Pacarmu?”

“Kelas dua.”  jawab Matsuri.

“Siapa namanya? / Kau turun disini kan?” tanyaku dan Matsuri berbarengan.

Ckiit… Mendadak bis berhenti. Kulayangkan pandanganku melihat sekeliling. Ternyata ini sudah sampai di halte tujuanku.

“Iya aku turun disini.” kataku, “Kalau gitu aku duluan ya, Matsuri.”

“Sampai jumpa, Sakura.” ucap Matsuri sambil melambaikan tangannya.

Sekilas aku tersenyum melihat kearahnya.

‘Sampai jumpa’ … kata itu seolah mengisyaratkan kami akan bertemu kembali.

.

.

.

Lima orang siswi berpenampilan gals datang menyeret paksa seorang gadis biasa masuk ke dalam toilet. Mendorongnya dengan kasar hingga menabrak tembok. Sebentar dia meringis kesakitan memegangi kepalanya yang tadi sempat terbentur.

Salah satu dari gals itu, seorang gadis berambut merah sepunggung yang dandanannya paling mencolok. Memakai aksesoris funky, rok seragam sekolah pendek dan blazer ketat yang dilinting sesiku. Memandang sinis padaku dari balik kacamata bingkai putihnya ketika kami tak sengaja berpapasan. Aku yang baru saja keluar dari pintu toilet nomor satu lekas menghindari tatapannya sebelum dia salah paham. Cepat berjalan menuju wastafel dan berpura-pura tak tahu apa-apa. Meski sesekali aku sedikit mencuri pandang dari dalam cermin sementara aku mencuci tangan. Penasaran dengan apa yang akan mereka lakukan.

“Ma, mau apa kalian?” tanya si gadis lugu itu dengan suara bergetar. Sama seperti tubuhnya yang gemetaran, tampak ketakutan tatkala kelima gals itu mengelilinginya tanpa celah.

Si gadis berambut merah tadi, yang sepertinya pemimpin para gals itu, mulai maju mendekat. Sebelah tangannya terangkat. Baik aku maupun si gadis lugu sesaat terhenyak, sempat merasa takut. Mengira dia akan menamparnya, tapi ternyata hanya menepuk-nepuk pipi gadis itu pelan.

“Kau masih tak tahu apa salahmu?!” tanyanya dengan suara rendah namun tetap terdengar menusuk.

Gadis lugu itu menggeleng pelan, menutup bibirnya rapat-rapat. Tampak bola matanya menatap nanar.

“Dasar tak tahu diri!” bentak si gadis berambut merah kemudian, seraya membingkai wajah si gadis lugu dengan sebelah tangannya. Mengangkat dagu gadis itu. “Kau… orang sepertimu masih berani-beraninya mencoba mendekati Dia.”

“Aaa, aku tidak tahu apa maksud kalian. Lepaskan aku.” pintanya sambil meronta, mencoba melepaskan diri. Tapi dua gals lain dengan sigap memegangi lengan si gadis lugu itu hingga benar-benar terkekang.

Suasana semakin tegang. Melihatnya begitu, aku baru sadar. Jangan-jangan ini ya, yang namanya “bully”…

“Harusnya kau menurut dari awal peringatanku yang pertama. Setelah ini tak akan ada lagi peringatan ketiga, Shion. Sekali lagi kau berani berkeliaran dengan menjijikannya disekitar Dia, aku akan benar-benar membuatmu menyesal.”

“Iya. Iya aku mengerti, Karin. Maafkan aku…” kata Shion, si gadis lugu itu benar-benar memohon. Cairan bening yang sedari tadi menumpuk dipelupuknya  mulai mengalir membasahi pipi. “Jadi tolong lepaskan aku.”

Si gadis berambut merah, yang sepertinya bernama Karin itu berdecih, “Kau pikir kali ini akan semudah itu?” Dia kemudian menjentikkan jarinya seolah itu perintah pada anak buahnya untuk melakukan sesuatu. “Shion sayang, karena ingatanmu buruk, bagaimana kalau aku torehkan sedikit tanda tak terlupakan yang akan selalu membuatmu ingat dengan apa yang kau katakan barusan…” Karin lekas diberi gunting oleh salah satu anak buahnya, sementara tangannya mulai menjambak rambut kecokelatan Shion.

“Hiii… Tidak! Jangan, jangan lakukan itu padaku. Aku mohon, Karin….” jerit Shion histeris. Semakin meronta minta dilepaskan.

Entah kenapa dadaku jadi terasa panas. Melihat mereka memperlakukan Shion seperti itu, emosiku memuncak. Aku tidak bisa terus diam dan menonton saja. Aku ingin menolongnya. Kupikir aku harus melakukan sesuatu.

“Hei…” kata itu keluar begitu saja dari bibirku, terdengar seolah memanggil. Kelima gals itu sontak berbalik memandang kearahku.

Glek… aku menelan ludah. Jantungku berdebar kencang. Sesaat merasa ragu. Kemana perginya keberanian yang tadi sempat ada dalam diriku. Para gals itu tampak kesal karena sepertinya aku sudah menginterupsi bagian klimaks dalam kegiatan mereka.

“Ada apa?” tanya salah satu dari mereka, berbicara dengan sinis.

“Um…” aku memutar mataku. Berpikir. Telapak tanganku yang terkepal terasa berkeringat. “Ano~ aku…”

Brakk…

“Aku sudah selesai!” teriak seorang gadis berambut pirang pucat yang dikuncir ekor kuda begitu dia keluar dari dalam toilet nomor dua. “Duh, perutku sakit. Sepertinya tadi pagi aku salah makan.”

“I, Ino…” panggilku sambil melirik kearahnya dan para gals disana yang juga sama-sama terkejut melihat cewek itu tiba-tiba muncul.

Seolah mengerti tatapanku, Ino ikut menengok. “Eeh, ternyata ada banyak orang yang mengantri. Aduh, maafkan aku sudah membuat para senpai menunggu. Silahkan pakai toiletnya. Kami sudah selesai. Ayo cepat kita pergi, Sakura.” Tanpa banyak basa-basi Ino langsung menarik tanganku.

“I, iya…” kataku sambil sedikit mengangguk dan tersenyum samar, pamit pada mereka yang masih terbengong-bengong melihat kami pergi terburu-buru. Aku cepat berjalan mengikuti langkah Ino keluar dari toilet.

“Fiuh~ hampir saja.” dengus Ino seraya menghela nafas panjang. Setelah kami berada cukup jauh dari toilet itu.

“Ng, kenapa?” tanyaku masih tak mengerti.

“Kau gila ya Sakura. Barusan apa yang mau kau lakukan? Menantang mereka? Harusnya begitu lihat mereka, kau langsung pergi. Untung aku masih didalam, masih bisa menyelamatkanmu. Kukira kau sudah pergi daritadi makanya aku lama menunggu sampai semuanya selesai.”

“Memangnya apa yang terjadi? Siapa mereka itu?”

“SFC.” jawab Ino singkat, sambil celingak-celinguk memastikan tak ada orang lain yang mendengar pembicaraan ini. “Sasuke Fans Club.”

“Hah?” aku cengo sesaat, “Sa, Sasuke… Fans Club.” kembali ku ulangi kalimat itu.

Ino mengangguk, “Sebenarnya daripada disebut Fans, mereka lebih pantas disebut Fanatik. Terkenal begitu menggilai Sasuke. Mereka tak akan membiarkan siapapun mendekati Sasuke selain anggota mereka. Lalu bila ada yang punya maksud lain terhadap cowok itu, yah, seperti ingin jadi pacarnya gitu, atau seenaknya PDKT. Akibatnya bisa seperti tadi. Pokoknya buat mereka, cowok tampan itu milik bersama. Terutama Sasuke, orang seperti dia kalau sampai dimonopoli satu cewek bisa jadi kecemburuan sosial.”

“Sasuke itu, maksudmu Sasuke Uchiha?”

“Ya iyalah, memang ada yang lain?” Ino tampak kesal karena aku tak juga mengerti, “Terutama Karin-senpai. Yang tadi, cewek cantik berambut merah itu, dia ketuanya.”

Aku sedikit menyunggingkan bibirku, menahan tawa, sungguh merasa geli. “Ha..Ha… Cuma buat seorang cowok menyebalkan seperti dia, sampai ada SFC segala?”

“Kenapa? Hebat kan?”

“Ck~…” aku masang tampang tak berminat. “Yang ada malah menjijikan.” kataku sambil pura-pura bergidik. “Tapi ngomong-ngomong darimana kau dapat informasi sampai sedetail itu? Jangan-jangan kau…” Aku memandang Ino penuh selidik. Gadis itu tampak malu-malu dan jadi salah tingkah. “Huh, payah, kau juga sama saja dengan mereka.” kataku sambil lalu.

“Oi, Sakura, tunggu!” panggil Ino, lekas merangkul lenganku. “Yah, aku kan fans kak Sasuke juga. Cuma iseng kok. Lagian boleh siapa saja masuk club itu. Kau juga bisa kalau mau…”

‘Tch, yang benar saja. Jangan harap.” kataku sambil mendelik, “Malah kalau bisa, akan kubuat Anti Fans Sasuke, biarpun anggotanya kelak cuma aku seorang.”

“Hahaha~…” Ino tertawa, “Leluconmu lucu Sakura.”

“Aku tidak bercanda.” kataku penuh percaya diri. Ya, memang benar. Dengan banyak alasan aku benci cowok itu, si Uchiha Sasuke.

“Awas lho, dari benci entar jadi suka.” balas Ino sambil terkekeh.

“Hei, sudah kubilang kan, bagiku cuma ada…”

“Ya, ya, ya… Gaara seorang.” Ino langsung menyela perkataanku. Tapi yang diucapkannya memang benar. “Hanya karena dia cinta pertamamu kan? Aku tahu itu Sakura. Sudahlah, lain kali kita bicarakan lagi. Aku sudah lapar. Ayo cepat kita ke kantin.” ajak Ino dengan penuh semangat.

“Hh~.” Lagi-lagi aku hanya mendegus pasrah, membiarkannya menyeretku pergi.

.

.

.

Jam istirahat siang itu kantin dipenuhi banyak siswa Konoha. Mulai dari kelas satu sampai kelas tiga berbaur dalam satu ruangan seluas aula ini. Berbagai macam stand penjual makanan berjejer rapih dan tak ada yang sepi pengunjung. Semuanya langsung diserbu belasan siswa yang kelaparan sedari pagi sudah bergelut dengan pelajaran. Mulai dari jajanan tradisional, fast food, snack, ramen, pastry and bakery, dan lainnya. Suasana ramai seperti di festival. Dan tentu saja ini jadi tempat nongkrong paling favorit selain gedung olahraga, sekitar lorong kelas, toilet dan taman sekolah saat jam istirahat.

“Spageti, Cola regular, dan Biskuat Bolu rasa coklatnya tiga.”

Aku terkikik geli mendengar menu pesanan Ino. “Kau masih suka makan kendaraan tahan banting itu?”

Tahu yang kumaksud adalah Biskuat Bolu, Ino juga ikut tertawa. “Jadi inget pas orientasi kemarin ya? Kupikir apa kendaraan tahan banting, tahunya itu Biskuat Bolu.”

“Memangnya enak?”

“Enak kok, author yang bikin fic ini aja suka.”

“Hah?” aku cengo sesaat.

“Ah, sudahlah. Daripada itu, kau sendiri sudah selesai pesan?”

“Hmm,…”

Aku masih berdiri memandangi kaca etalase dessert dan sedikit kecewa mendapati puding strawberry favoritku sudah terjual habis. Tahu begini, harusnya tadi aku lebih cepat datang ke kantin. Puding Strawberry Konoha memang terkenal enak, lembut dan rasanya yang istimewa. Karenanya dijual terbatas hanya 50 cup sehari. Dan itu pun untuk mendapatkannya harus berebut dengan ratusan siswa Konoha yang juga menyukai puding ini.

“Pilih salad buah saja.” usul Ino yang langsung meletakkan salad itu diatas nampan makan siangku yang sudah ada seporsi chicken-katsu dan segelas lemon tea. “Ayo cepat, kalau sudah kita cari tempat.”

“Iya, kau duluan saja.” kataku padanya yang tanpa disuruh pun Ino sudah melengos pergi cari meja kosong. Sebentar aku menghela, memandang kembali menu makan siang yang kupilih hari ini. “Huh, padahal aku ingin makan puding itu.” dengusku lagi.

“Nih, untukmu…” satu tangan putih terulur, menyerahkan satu cup puding strawberry kesukaanku.

Aku mendongak, melihat pemilik tangan itu. Rambut merahnya yang mencolok, tatapan lembut hijau zambrud itu disertai senyum manis wajahnya. “Kak Gaara…”

“Kau suka puding ini kan?” tanyanya.

“Hn.” Aku menggangguk mantap, “Tapi pudingnya…”

“Aku beli dua.” kata Gaara sambil menunjukkan sebuah puding lainnya padaku, “Itu sengaja ku beli untukmu.”

“Wah, benarkah?” aku tak percaya. Aku senang sekali. “Terima kasih.”

Sambil tersenyum, Gaara mengangguk pelan. “Sudah ya Sakura. Sampai nanti.”

“Ano~ kak Gaara!” panggilku kembali. Gaara menoleh sebentar padaku, “Nanti pulang sekolah, kita jadi bertemu kan?”

“Iya. Aku ingat kok.” katanya seraya melangkahkan kaki, pergi menyusul teman-temannya.

Sejenak kupandangi sosok itu. Jantungku kembali berdebar mengingatnya. Sebentar lagi aku akan bisa bersamanya. Aku tak sabar menanti saat jam pulang sekolah tiba.

“Sakura, sini!” panggil Ino setengah berteriak.

Aku langsung datang ke tempat gadis itu melambaikan tangan. “Wah, kau  berhasil dapat tempat…” kataku riang seraya meletakkan nampan berisi makan siangku diatas meja dan duduk di sebuah bangku kosong sebelah kiri Ino.

“Eh, puding strawberry itu bukannya udah habis?” tanya Ino.

“Oh, ini, tadi Gaara yang kasih.” jawabku.

“Aih, so sweet. Jadi juga nih kalian.” goda Ino sambil mencolek-colek pinggangku geli.

Aku hanya tertawa kecil. Menggulum senyum, malu menunjukkan rasa bahagiaku. “Pulang sekolah nanti, aku baru akan menyatakan perasaanku.”

“Wah, benarkah? Akhirnya… Selamat ya Sakura.”

“Heh, masih terlalu cepat bilang selamat kan.”

“Iih, gak apa-apa dong. Ucapan selamat itu ibarat doa. Lagian udah jelas Gaara pasti terima kamu. Tanpa ragu.” kata Ino penuh semangat.

“Hehe~ gitu ya…” aku jadi malu sendiri.

“Kalau nanti udah jadian, jangan lupa traktir aku.”

“Traktir apaan? Kayak ulang tahun aja.”

“Yah, kan buat perayaan jadinya pasangan baru. Adeuh~” goda Ino lagi. “Aku juga mau cepat dapat pacar. Trus nanti kita double date ya Sakura.”

“Hn.” Aku mengangguk setuju. Ah~ senangnya kalau ada teman yang menyemangati seperti ini.

“Ada kan Ino, cowok yang suka sama kamu? Shino Aburame, hehe~ terima aja dia.”

“Haah~ masa sama si maniak serangga itu?” Ino menggelengkan kepalanya, “Ogah. Aku juga mau pacaran sama kakak kelas yang lebih dewasa, hihi~”

Tak menunggu lama, Ino mulai menikmati Spageti-nya. Menyeruput pasta panjang itu hingga sausnya menempel berantakan di ujung bibir.

Aku juga langsung mematahkan sumpit sekali pakai dalam genggamanku jadi dua bagian. “Itadakimasu~” kataku, lalu dengan lahap menyantap chicken-katsu dihadapanku.

Enak sekali, pikirku saat menikmatinya. Terus menjejalkan makanan itu ke dalam mulut. Jujur aku benar-benar lapar. Pelajaran matematika guru Iruka, disusul Kimia guru Kurenai dan Biologi Orochimaru pagi tadi sungguh menguras energiku. Aku butuh pasokan tenaga lebih untuk menghadapi Bahasa Inggris Anko-sensei hingga jam pelajaran terakhir nanti.

“Makanmu rakus sekali, Jidat!” seru seseorang, yang langsung menghentikan acara mengunyahku.

Jidat? Aku tahu panggilan itu. Tapi masa sih sampai harus dia lagi…

Perlahan kuangkat wajahku yang sedari tadi hanya memperhatikan piring makan siang. Mataku menyusuri sepasang tangan putih yang memangku wajah seorang pria diatas meja. Satu seringai licik khasnya terpampang jelas disana. Orang itu…

Sasuke Uchiha?!

“Uhuk…Uhuk..Uhuk…” aku terbatuk-batuk. Makananku nyangkut ditenggorokan. Benar-benar kaget mendapati orang ini duduk didepanku, sampai buatku tersedak.

“Pelan-pelan dong, Sakura.”  Ino lekas menepuk-nepuk punggungku seraya menyodorkan segelas lemon tea, “Nih, minum dulu.”

Langsung saja aku menegaknya sambil tak melepaskan pandanganku dari Sasuke yang terkekeh geli melihatku gelagapan.

“Iya, Sakura-chan. Tenang saja. Jam istirahat kan masih 20 menit lagi.”

Aku menggulirkan pupilku, menatap sosok lain yang duduk disebelah Sasuke. Cowok berambut kuning itu nyengir sambil meletakkan kedua tangannya dibelakang kepala. Barusan dia yang bicara. NarutoUzumaki.

Bergulir lagi kesebelahnya, dan kulihat kak Sai juga duduk dengan tenang sambil tersenyum seperti biasa dengan matanya yang menyipit. “Makannya jangan buru-buru. Itu juga tak baik untuk pencernaanmu.” lanjut cowok berkulit albino itu.

Aku kembali menatap mereka satu persatu. “Ino, apa-apaan ini?” bisikku pelan sambil menyeka ujung bibirku yang sedikit basah sehabis minum tadi.

Ino mengernyit heran, “Apa maksudmu Sakura?”

“Kenapa kita, atau mereka bisa duduk disini? ” Kusapu pandanganku pada ketiga senpai yang duduk didepan kami sekarang.

“Hihi, kau lucu Sakura. Tentu saja karena mejanya kosong. Lalu kita atau mereka mau duduk dimana lagi kalau tak disini?”

Aku memutar pandanganku. Melihat kesekeliling. Suasana kantin memang ramai sampai tak kulihat ada meja kosong lain disekitar kami yang cukup menampung tiga orang.

“Sakura tidak suka kami duduk disini?” tanya Naruto.

“Ah, bukan begitu senpai.” sanggahku jadi tak enak hati, “Silahkan saja.”

Aku menghela, menatap sebal kearah Sasuke. Buatku sih makan satu meja dengan siapapun tak masalah. Hanya saja kenapa harus dengan dia juga? Bikin nafsu makanku hilang seketika.

“Untuk apa kau tanyakan, Dobe. Mana bisa junior mengusir senior. Cari mati dia.” kata Sasuke disertai senyum meremehkannya.

“Jangan ketus gitu, Teme. Orientasi kan udah lewat, gak perlu lagi kita formal antara senior-junior. Kalian biasa aja, gak perlu sungkan sama kami. Iya kan, Sakura? Ayo lanjutkan makannya.” kata Naruto yang mulai menyantap ramen dihadapannya.

“Stt,…” Ino menyenggol pinggulku, “Mereka tahu namamu? Sejak kapan kalian jadi akrab?” bisik Ino.

“Aku tidak akrab dengan mereka.” bantahku cepat. “Cuma pernah sekali ngobrol pas aku minta tanda tangan…”

“Ah, iya benar. Tanda tangan… eh maksudku stempel Uchiha.” Naruto menyela perkataanku, “Sakura, kudengar hari itu kau malah meninggalkan buku catatanmu pada Sasuke. Harusnya bagian penukaran kartu kan langsung saja temui Shikamaru.” Sebentar dia melirik pada Sasuke, “Tapi kartunya sudah kau berikan padanya kan Teme? Aku titipkan itu padamu lho.”

“Hn. Tentu saja. Dia sudah dapatkan kartu pelajarnya.” kata Sasuke sambil menatap tajam padaku. Terlihat masih marah gara-gara kejadian kemarin. “Hanya saja urusan diantara kami belum selesai.”

“Urusan apa?” tanyaku sebal, “Kalau aku sudah dapatkan kartu pelajarku ya sudah. Ini bukan masa orientasi lagi, kak Sasuke. Urusan diantara kita sudah selesai. Jangan berbuat seenaknya padaku. Kau sudah tak berhak memerintahku lagi, iya kan kak Naruto?”

“Ng, aku tidak mengerti urusan apa yang kalian bicarakan. Tapi setelah masa orientasi aku harap hubungan senior-junior bisa lebih akrab.” jawab Naruto.

“Ooh, tentu saja, Dobe. Kami jadi akrab. Dan dia masih berhutang padaku. Give and Take, Sakura. Jangan bilang kau lupa.”

Aku meringis. Melemparkan deathglare padanya. Masih juga bahas give and take itu… Sialan!

“Heh, Sakura….” bisik Ino lagi, “Kau sudah dapatkan kartu pelajarmu, kenapa tak cerita padaku?”

“Belum sempat. Lagipula ini tak penting.” balasku dengan suara pelan.

“Ah, tapi kulihat terjadi sesuatu antara kau dan kak Sasuke. Ceritakan padaku….” goda Ino.

“Jangan bisik-bisik gitu dong Ino Yamanaka. Kita ngobrol santai saja.” sela Naruto.

“Eh, senpai juga tahu namaku?”  heran Ino.

“Tentu saja aku tahu, hihi. Soalnya kau juga salah satu junior yang lumayan sering kami bicarakan.”

“Sering bicarakan apa mengenaiku?”

“Katanya kau Ratu Gosip kelas satu, haha…” jawab Naruto sambil tertawa. Dan langsung bikin Ino sweatdrop.

“Apaan sih gak penting gitu.” dengus Ino masang muka cemberut.

“Hehe, maaf ya. Atau sekalian saja aku bilang kalau ada temanku juga yang naksir sama kamu.”

“Eeeh??” Ino kembali mengangkat wajah, “Benarkah? Si, Siapa?” tanya Ino penasaran. Lebih tepatnya antusias.

“Orang itu….”

Duaak…. Terdengar bunyi berisik dibawah meja.

Naruto meringis. Dia menoleh kearah Sai yang masih makan dengan santainya. “Apa yang kau lakukan? Sakit tahu….”

Ujung mata Sai berkilat, memandang tajam Naruto, “Kalau makan jangan berisik.” desisnya sambil tersenyum seperti biasa.

“Bodoh kau Dobe, dasar mulut ember.” gumam Sasuke.

“Ah, iya. Hahaha~…” Naruto cengar-cengir GaJe. “Ramenku mengembang. Harus cepat ku makan.”

Aku dan Ino cuma saling pandang. Cukup merasa aneh dengan sikap mereka bertiga. Tapi akhirnya tak ada diantara kami yang mulai lagi membicarakan hal itu dan kembali menikmati makan siang masing-masing. Terutama aku pribadi yang ingin secepatnya pergi dari sini sebelum terjadi sesuatu yang tak mengenakan. Firasat jelekku timbul saat bersama Sasuke. Rasanya orang itu bisa kapan saja mengerjaiku. Mengingat kejadian kemarin, dia pasti mencoba balas dendam.

“… Kau itu menarik. Tiap kali melihatmu, aku jadi ingin mengganggumu.”  Aku teringat kata-katanya.

.

.

.

“Ano~ kak Sai, bekalmu kelihatan enak, pacarmu pintar buatnya ya?” tanya Ino.

“Oh, bukan pacar kok. Sai masih single.” jawab  Naruto. Eh, kenapa malah Naruto yang jawab?

Sai tersenyum seperti biasa, “Ini buatan kakakku. Mau coba?” tawarnya.

“Boleh?” Ino tampak senang.

Tapi karena tadi dia makan pasta, jadi tak punya sumpit. Baru saja mau mengambil garpunya, Sai sudah sodorkan telur dadar itu kehadapan Ino. “Buka mulutmu?” pinta Sai, yang langsung bikin Ino blushing berat.

Wah, ada cinta nih… geregetku dalam hati, melihat mereka suap-suapan.

Baru sebentar kualihkan perhatianku,  seolah ingin mengganggu, Sasuke sengaja mencomot satu fillet ayam-ku dengan sumpitnya.

“Hih, apa yang kau lakukan?!” bentakku padanya.

“Aku minta.” balasnya santai. “Kutukar dengan ini.” Sasuke meletakkan acarnya diatas acar milikku.

“What…” Udah gila nih orang, cengangku tak percaya. Daging ditukar acar? Dasar kepala pantat ayam!

“Gak mau. Balikin!” aku senggol sumpitnya dengan sumpitku, menjatuhkan kembali fillet ayam itu ke tempatnya.

Onyx dan Emerald saling berkilat. Kami kembali beradu sumpit. Tak ada yang mau mengalah. Aku sih sudah biasa berebut makanan seperti ini dengan Sasori, tapi tak kusangka Sasuke juga jago. Aku mencoba mengibaskan tangan Sasuke menjauh, tapi dia lekas menghindar dan tangannya menyenggol cup pudding strawberry-ku. Cup itu bergulir dari atas meja dan detik berikutnya…

Prang…

Aku terdiam sesaat, menyaksikan puding yang sudah jatuh berantakan diatas lantai itu. “Pu…ding…ku…” gumamku dengan perasaan terhenyak.

Itu puding kan pemberian Gaara. Belum sempat ku makan. Bahkan aku berniat tak akan memakannya sekarang. Tapi malah hancur. Sia-sia.

“Eh, sorry, gak sengaja. Aku ganti deh…” kata Sasuke.

Bagiku waktu seolah terhenti. Yang terasa hanya debaran jantung yang berpacu cepat. Dadaku terasa panas. Emosiku meluap. Lalu tanpa sadar tanganku…

Byuur….

Tanganku bergerak sendiri meraih gelas lemon tea didekatku, lalu menumpahkannya tepat di wajah Sasuke.

“Wah?!”

“Sakura…”

“Sasuke…”

Semua orang terkejut. Kurasakan tatapan mereka tertuju pada kami.

“Kau, beraninya…”  desis Sasuke seraya menyeka wajahnya yang basah, memandang penuh amarah.

“Hei, hei, udah cukup. Hentikan! Masa berantem cuma karena berebut ayam.” Naruto coba melerai. “Teme, kamu yang salah. Sana minta maaf sama Sakura.”

“Enak aja.” kelit Sasuke.

Pandanganku mulai kabur, terhalang cairan bening yang mendadak berkumpul diatas iris emerald-ku. Kugigit bibir bawahku yang mulai bergetar. Melihat wajahnya. Melihat Sasuke, aku sudah benar-benar muak. Aku benci dia.

Tanpa basa-basi kulangkahkan kakiku pergi dari tempat itu. Menghiraukan Ino yang berteriak memanggilku.

“Sakura!”

.

.

.

 @@@

TBC……… next to chapter 6

 ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Bachot Session from Author:

Pertama-tama saya ucapkan terima kasih kepada yang udah baca Fic abal-abal, GaJe, n ga penting ini… m(_ _)m *bungkuk dalam dalam*

Senangnya chap 5 bisa publish juga (T-T)

Duh, tadinya bagian ini mau dibuat full sampe Sakura nembak Gaara, tapi ternyata kepanjangan (udah +3.700 words) , terpaksa saya bikin jadi 2 chapter. Makanya akhir chap ini tanggung banget…

Warning *spoiler chap 6*

…………………………………………………………………………..

Karena orang itu, hari bahagiaku berubah jadi buruk…

“Eh, Sakura… kau Sakura yang tadi pagi, kan?”

“Janji yang mana, Sakura? Aku tak ingat.”

“Kak Gaara, aku menyukaimu!”

“Aku juga menyukaimu…”

“Bagaimana rasanya? Bahkan yang manis pun kadang terasa pahit dan kau jadi enggan memakannya…”

Tak kupercaya aku menangis dipelukannya. Tangannya yang membelai lembut begitu menenangkan. Ini untuk pertama kali aku merasa tak benci dengan kehadirannya….

“…Sakura, ayo kita pacaran!”

……………………………………………………………………….

What the… spoiler macam apaan, GaJe gitu (=__=”)a

Hahaha~ ya begitulah kira-kira sedikit bocoran chap 6.

Kebayang apa yang terjadi?

Hihi~ tak sabar jadinya. Moga bisa cepat saya publish (^-^)/

Special for YaYaksv3p, Kazunarilady, kimsongeum, dan kamu yang udan baca Fic ini tapi gak comment, comment dunk ah~

Nah, klo gitu mpe ketemu di chap 6

Jaa~

12 Comments

Leave a Reply

One Ping

  1. Pingback:

Leave a Reply to Putri Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *