Senpai~ Suki Deshita! : Chapter 6

Cerita sebelumnya….
Baca: [Chap 1] [Chap 2] [Chap 3][Chap 4] [Chap 5]

@@@

Kujalani hariku seperti biasa. Bangun pagi, berangkat ke sekolah, belajar, bermain dan bersenda gurau bersama teman. Pulang ke rumah, bercengkerama dengan keluarga, menonton acara TV yang membosankan atau mengerjakan PR dibantu kak Sasori, lalu pergi tidur. Mengharapkan mimpi indah dan hari esok akan lebih baik.

Hari ini pun begitu. Ini akan jadi hari bahagia untukku. Setidaknya itulah yang kupikir sejak semalam. Perasaan yang berbunga-bunga. Mendapat telepon dari Gaara. Menanti esok saat akhirnya ku bisa nyatakan perasaanku.

Dalam mimpi pun bahkan tak terlintas sesuatu yang buruk.

Indah.

Semuanya indah dan aku bahagia.

Itu cukup bagiku.

Tapi kemudian….

Apa ini?….

Tak sesuai harapanku.

Hancur.

Semuanya hancur.

Karena orang itu, hari bahagiaku berubah jadi buruk…

Aku benci padamu, Sasuke Uchiha!

@@@

 Senpai~ Suki Deshita! : Chapter 6

Chapter: 6/?
Pair: Sasuke Uchiha x Sakura Haruno
Rate: T
Genre: Romance, Friendship, Comfort 
Disclaimer: NARUTO © MASASHI KISHIMOTO
Length: 4.387 words
WARNING: OOC, AU, OC, typo, alur GaJe cerita se-mau-gue. Maap kalo ceritanya jelek dan mengecewakan. Buat yang sengaja dan ga sengaja kebetulan nemu n baca Fic Abal-Abal ini, setidaknya setelah kalian membaca tolong beri komen ya (sangat diharapkan).

Story by

Me!! [FuRaha] 

If you don’t LIKE?

Read?

Don’t Read?

 Up to You!!!

~Happy Reading~

*

*

*

“Sakura, benar kau tidak apa-apa?” tanya Ino untuk kesekian kali. Masih saja blue shappire itu menatapku cemas. Dia masih memikirkan kejadian siang tadi. Saat jam istirahat aku pergi begitu saja dari kantin setelah tak bisa lagi menahan emosi dan bertengkar dengan Sasuke.

Ya, si Sasuke itu. Aku memang tak mengharapkannya mengejarku, tapi dia sama sekali tak menyusul atau punya niat baik meminta maaf. Tentu saja karena sikap arogan atau harga dirinya yang selangit. Seorang Uchiha minta maaf? Apa kata dunia? Aku tahu itu.

“Maaf ya, aku tidak bisa menemanimu.”

“Tidak apa-apa, Ino, tenang. Aku baik-baik saja.Terima kasih sudah mencemaskanku.”

“Sungguh?”

Aku mengangguk kecil, “Sana pulang. Kak Sai menunggumu kan?”

Ino menggulum senyum. Wajahnya langsung merona merah. “Hmm, kau juga pasti pulang dengan Gaara kan? Hehe… Semangat ya Sakura!”

“Iya.”

“Sampai jumpa besok.” pamit Ino seraya melambaikan tangan dan berlari-lari kecil menuju gerbang sekolah, dimana seorang pemuda berkulit pucat sudah menunggunya dengan senyum dan mata menyipit seperti biasa.

Melihat mereka tampak bahagia, aku merasa senang. Aku juga pasti akan meraih kebahagianku. Tentu saja.

Ku putar langkahku, berjalan masuk kembali ke komplek sekolah. Barusan hanya mau mengantar Ino pulang sampai gerbang. Aku masih ada urusan. Ya, apalagi kalau mau menemui Gaara. Kurasa jam pelajaran dikelasnya pun sudah berakhir. Kuharap dia ingat janjinya untuk bertemu denganku dan masih menunggu.

“Hhh~…”

Sejenak aku menghela, menengadahkan kepala menantang langit. Warnanya kelabu dengan gulungan awan gelap yang berarak tertiup angin. Terlihat seperti kapan saja langit akan menangis. Sementara dibelahan lainnya kilatan cahaya sesekali tampak, menyusul suara gemuruh dikejauhan. Pantas saja suasana sekolah mulai tampak sepi. Banyak siswa memutuskan untuk secepatnya pulang. Udara berhembus dingin. Sampai aku harus merapatkan kancing blazerku. Mendekap kehangatan. Lalu setetes air tiba-tiba jatuh tepat mengenai keningku.

Hujan? … pikirku tatkala kusentuh keningku yang seperti basah.

Sedikit kecewa. Padahal kukira hari ini akan cerah, dimana matahari senja akan terlihat indah seperti hari itu. Cahaya jingga yang memantul, berpadu warna merah rambutnya yang bergoyang tertiup angin sepoi. Mata hijau pucat yang memandang lembut padaku, disertai senyum manis di wajahnya. Derit suara ayunan yang mengisi keheningan. Kuulang kembali kejadian sore di taman itu dalam pikiranku.

“Oh, betapa lebarnya jidatku….”

Aku tersentak mendengarnya, lamunanku buyar. Barusan bukan aku yang bicara. Langsung saja kualihkan pandanganku kesamping, melihat sesosok pria yang berdiri tak jauh dariku.

Sasuke Uchiha masang pose cool seperti biasa. Berdiri sambil memasukan sebelah tangannya kedalam saku celana, sementara tangan satunya lagi menenteng tas ransel dibahunya. Satu senyum tipis terlukis di wajah tampannya yang selalu terlihat datar. Tampak meremehkan seperti biasa. Onyx itu menatapku lurus. Dalam diam, angin sepoi memainkan anak-anak rambut ravennya yang ditata dengan model mencuat kebelakang seperti pantat ayam. Kehadirannya yang tiba-tiba, ditambah suasana dingin dan gelap, gelegar petir dikejauhan, semakin membuat atmosfer disekitarku jadi tak mengenakan.

Tch, si pantat ayam ini…

“Mau apa kau?” tanyaku ketus. Ayolah, aku masih muak melihatnya. Apalagi mendengar cibirannya barusan. Mengataiku ‘Jidat’. Kalau kali ini pun dia bermaksud menggodaku, apa aku masih bisa tahan?

Sasuke mulai buka mulut, berbisik pelan, nyaris tak terdengar. Tapi aku yang memperhatikan gerak bibirnya bisa jelas tahu apa yang diucapkannya. “Maaf…” bibirnya menggumamkan kata itu.

Eh, maaf?… Apa barusan aku salah lihat ya? Sasuke bilang ‘maaf’ padaku?

“Maaf.” Sasuke kembali bicara normal. “Cepat minta maaf padaku, Sakura!”

“Hah?” aku bengong sesaat, “Maaf? Itu maksudnya… kenapa harus aku yang ucapkan?”

“Kau sudah mempermalukanku di muka umum, juga buat rambutku basah dan bau lemon.” jawab Sasuke sembari mengangkat tangan kanannya yang sedari tadi masuk ke saku, beralih memegang ujung poni rambut ravennya.

“Hiih,…” aku bergidik. “Kau pikir siapa yang salah dan harus minta maaf? Kau sendiri lupa apa yang sudah kau lakukan padaku?!”

Sasuke mengerling. “Ayolah, itu cuma puding tak berharga. Jadi tak perlu sampai semarah itu padaku. Kau mau menganggap urusan kita ini impas?”

“Impas?” Tanganku terkepal, geram mendengarnya. “Dasar manusia tak berperasaan.” desisku.

“Kalau sekedar puding, biar nanti aku minta ibuku buatkan. Kau suka puding buatan ibuku, kan? Atau kau saking inginnya makan puding Konoha, besok aku belikan untukmu. Kalau itu maumu. Ck, dasar kau ini memangnya maniak puding?”

“Bukan itu mauku…” bantahku kesal. Orang ini sama sekali tak mengerti perasaanku.

“Hn.”

“Padahal Gaara berbaik hati memberikannya. Belum ku makan, sudah kau hancurkan. Kau tak berpikir betapa menyebalkannya dirimu bagiku? Maaf… Padahal seandainya tadi kau langsung bilang maaf, mungkin aku tak akan marah. Yah, tapi aku juga tak begitu ingin mendengar kata itu darimu. Kau menyebalkan, kak Sasuke. Apa maumu sebenarnya?”

“Hn. Mauku….”

Sasuke mencondongkan tubuhnya mendekatiku. Aku langsung bergerak mundur. Takut dia melakukan sesuatu. Seperti tiba-tiba menciumku atau hal semacam itu. Mengingat kejadian sebelumnya pun yang ada dalam otaknya hanya itu. “Jangan macam-macam kau…” bentakku.

Pletak… Sasuke menyentil keningku. Dia terkekeh. “Kau pikir aku mau apa? Lihat siapa disini yang mesum sebenarnya?”

“Itai~…” aku meringis menyeka bekas sentilannya yang lumayan keras. “Sakit tahu. Coba kau rasakan sendiri.”

“Haha, mengganggumu sungguh menyenangkan sekali, Sakura.”

“Ih, dasar kau! Memang aku mainan…”

“Bagiku, iya…”

“Apa?!”

“Sasuke-kun!!” teriak seseorang. Langsung menginterupsi pertengkaran kami.

Kami berdua menoleh menanggapi panggilan itu. Dari jauh tampak seorang gadis berambut cokelat berlari-lari kecil menghampiri. Dari pakaian yang dikenakannya, dengan blazer maroon dan rok kotak-kotak merah, terlihat mencolok dibanding siswa Konoha lain yang notabene berseragam dominan hijau.

“Sasu… Sasu… Ah, senangnya bisa ketemu kamu disini….” ujar gadis itu yang begitu mendekat langsung saja merangkul lengan Sasuke.

“Heh, kau, kenapa bisa ada disini?” tanya Sasuke, terkejut dengan kehadirannya.

“Hihi, Sasu, aku kangen…” jawab gadis itu dengan nada sedikit manja, “Kau juga kangen padaku tidak?”

Sasuke hanya mengerling dan berdecih kesal. Sambil berusaha mengendorkan rangkulan si gadis. Mereka berdua tampak akrab. Dan entah kenapa, melihat wajah gadis itu, aku juga merasa tak asing.

“Huh, jangan bersikap dingin padaku dong, Sasu…” Gadis itu merajuk. Sebentar dia menggulirkan matanya menatap kearahku. “Eeh, Sakura-chan?!” lanjutnya dengan heboh memanggil namaku.

“Hn.”

“Kau Sakura! Sakura yang tadi pagi, kan?” Gadis itu melepaskan rangkulannya pada Sasuke, berganti memegang kedua tanganku. Sambil tersenyum, matanya menatapku lekat-lekat. “Benar kan, ini pasti Sakura. Kau masih ingat padaku?”

Aku mengernyit, memperhatikan kembali wajahnya dengan seksama. “Ma, Matsuri?” tanyaku sedikit ragu.

“Senangnya kau masih ingat padaku. Ternyata benar. Sudah kuduga, rambut soft pink yang mencolok itu, pasti kau Sakura.”

Soft pink yang mencolok?… Dalam hati aku terkekeh, rambutku memang lain daripada yang lain. Pantas dia mudah mengenalinya.

“Yang tadi pagi, aku benar-benar berterimakasih.”

“Hei, sudah kubilang aku tak melakukan apapun.” kataku malu-malu, “Lalu kau sendiri, kenapa ada disini?” tanyaku.

“Um, aku mau bertemu pacarku.”

Oh, iya… aku baru ingat. Pacarnya itu siswa Konoha. Kelas dua. Jadi…

Aku menatap Sasuke dan Matsuri bergantian. Eh, jadi pacar Matsuri yang katanya anak Konoha itu Sasuke? Sasuke punya pacar? Selama ini dia punya pacar? Ha ha..

Ingin tertawa tapi entah kenapa tak ada suara yang keluar. Rasanya kaku. Aku hanya bisa menarik bibirku saja. Melihat mereka berdua, dadaku tiba-tiba terasa berat. Seperti ada sesuatu. Kenapa? Perasaan apa ini? Aku juga tak paham.

“Aku datang diam-diam. Tadinya mau memberi kejutan pada pacarku. Ini pertama kali aku datang ke Konoha. Tidak tahu apa-apa. Sekolahnya luas, aku sampai tersesat. Untung saja bisa langsung bertemu kalian disini. Tapi tak kusangka selain bertemu Sasuke, aku juga bertemu Sakura. Kalian juga sepertinya sudah saling kenal ya? Eh, bagaimana kalau setelah ini kita pergi makan bersama? Aku ingin traktir kamu, Sakura. Sebagai ucapan terima kasih untuk yang tadi pagi.”

“Ck~ aku tak mau pergi bersamamu.” kata Sasuke, entah pada siapa. Tapi aku merasa yang dia maksud itu pasti aku.

“Ih, kenapa? Padahal Sakura juga ikut. Kita bisa makan berempat, terus.…”

“Maaf Matsuri, aku tidak akan ikut, lain kali saja.” aku menyela, menolak ajakan itu. Ya, tentu saja. Mereka mungkin akan pergi kencan sepulang sekolah, lalu untuk apa mengajakku segala dan sekedar berbasa-basi.

“Oh, begitu ya. Sayang sekali…” Matsuri tampak kecewa.

“Hmm, aku harus pergi sekarang, masih ada urusan. Sampai nanti, Matsuri.” pamitku seraya melangkahkan kaki. Namun, saat berpapasan dengan Sasuke, lenganku lekas ditahannya. Aku melirik, memberikan deathglare padanya, minta dilepaskan.

“Jangan salah paham Sakura.” bisik Sasuke di telingaku.

“Tentu saja…” balasku sambil mengebaskan tangan, menjauh darinya. Aku berjalan. Tanpa mempedulikan mereka, terus berjalan. Tak perlu dibilang pun aku sudah tahu. Memang bukan urusanku. Dan tak ada alasan bagiku pula untuk salah paham terhadap hubungan mereka.

.

.

.

Sebagai siswa kelas satu, masuk ke Gedung Barat terkadang membuatku canggung. Isinya kebanyakan senior. Tapi sekarang kebetulan suasananya tampak sepi. Sudah banyak siswa yang pulang. Beberapa yang terlihat pun tampak sedang membereskan loker mereka dan bersiap pulang.

Langkahku terhenti saat menginjakkan kaki di anak tangga menuju lantai dua.  Sejenak teringat kejadian yang dulu pernah kualami disini. Bayangan Sasuke kembali terlintas. Waktu itu, disini, aku terjatuh, Sasuke menolongku. Lalu dia menciumku….

Kenapa dia melakukannya?

Buatku itu pertama kali. Makanya selalu teringat. Dan bagi Sasuke mungkin bukan apa-apa. Pasti hanya karena terbawa suasana. Semua yang dilakukannya padaku tak berarti apa-apa. Dia hanya senang mempermainkanku.

Deg!… Aku merengut, memegangi dadaku. Rasa sesak itu kembali terasa.

Ada apa denganku?

Sejak bertemu dengan Matsuri tadi, tahu Sasuke sudah punya pacar, rasanya aku jadi aneh. Aku tak bisa berhenti memikirkan mereka.  Padahal itu bukan urusanku. Sama sekali tak ada hubungannya denganku.

“Sakura…”

Aku mendongak melihat sosok yang berdiri di ujung tangga paling atas.

“Kak Gaara…”

“Aku baru mau mencarimu.” Gaara turun beberapa langkah, mendekatiku. “Kirain kamu lupa sama janji kita.”

Aku jadi malu sendiri mendengarnya, “Maaf sudah membuatmu lama menunggu.”

“Hehe, gak apa-apa kok.” jawab Gaara sambil tersenyum, “Jadi, apa yang mau kita bicarakan?”

“Ah, iya itu…” aku lekas merogoh saku blazerku, mengambil sesuatu yang telah lama kusiapkan. Kartu pelajarku. “Aku mau menunjukkan ini padamu.” kataku seraya menyerahkannya.

Kedua alis Gaara terangkat, sejenak memperhatikan kartu pelajarku. “Wah, ini bukti bahwa sekarang kau siswa Konoha. Bagus Sakura, kau sudah berusaha keras supaya bisa masuk sekolah ini.”

Aku mengangguk, “Kak Gaara juga masih ingat dengan janji itu?”

Gaara mengalihkan pandangannya kembali padaku, “Janji yang mana?” dia balik tanya.

“Yang waktu itu, di taman dekat sekolah. Hari pertamamu masuk SMA. Saat kubilang aku juga ingin masuk Konoha….”

Dahi Gaara sedikit berkerut, seperti sedang berpikir keras. Aku mulai merasa cemas. Apa dia sungguh tak ingat dengan janji itu?

“Aduh, maaf  Sakura, aku tak ingat. Janji apa ya?”

Perasaanku tegang. Jantungku kian berdegup kencang. Kalau Gaara tak ingat berarti memang harus kuingatkan kembali. Aku harus mengatakannya langsung. Sebentar aku putar pandanganku, memperhatikan keadaan sekitar. Sepi. Dipastikan tak ada orang lain yang mungkin kebetulan akan mendengar pembicaraan kami. Kutarik nafas dalam-dalam, menghembuskannya perlahan. Mencoba menahan rasa gugup yang menyelimutiku.

“Kak Gaara, aku menyukaimu.” ucapku padanya. Jelas. Tanpa jeda dan keraguan. “Apa kau juga suka padaku?” lanjutku. Menatapnya lekat-lekat. Meyakinkan keseriusan. Mata Gaara membulat tatkala mendengarnya. Dia juga terkejut.

Diam sejenak. Satu senyum tipis terlukis di wajah Gaara. “Aku juga suka padamu, Sakura.”

“Benarkah?” Senyumku mengembang. Kya~ hatiku berteriak gembira. Merasa senang mendengar kata ‘Suka’ terucap darinya. Aku tahu perasaanku akan terbalas. Gaara juga menyukaiku.

“Tak ada alasan untukku membencimu, Sakura.” lanjut Gaara. Sebelah tangannya terangkat, mengusap ubun-ubun kepalaku, sedikit mengacak-acak rambut soft-pink itu lembut. “Kau kan adik kelasku yang manis.”

“Eeh…” Sesaat aku terhenyak, “Adik?” kuulangi kata itu.

Gaara menghela, “Kau baik, cantik, lucu, selalu ceria dan bersemangat. Tentu saja suka. Bagaimana aku bisa membencimu? Senangnya kak Sasori bisa punya adik manis sepertimu…”

“Ta, tapi yang kumaksud bukan rasa suka seperti itu. Masa kau sama sekali tak mengerti, rasa sukaku itu….”

Samar-samar terdengar derap langkah kaki mendekat. Bergema dalam lorong kelas yang sepi. Gaara berpaling dariku, menoleh kearah sumber suara itu. Sesaat menunggu, menanti orang seperti apa yang akan muncul, berbelok menuju tangga tempat kami sekarang berada. Bagai adegan slow motion, mata Gaara membulat bersamaan dengan kedatangannya.

“Matsuri…” nama itu terucap dari bibirnya.

Aku ikut menoleh. Melihat gadis berambut cokelat itu dengan ekspresi cerianya berlari kearah kami.

“Yeah, akhirnya ketemu juga!” teriak Matsuri, langsung berhambur memeluk Gaara. “Surprise, my lovely honey. Chu~” satu kecupan singkat darinya mendarat diatas bibir Gaara.

Tepat dihadapanku.

Aku…

Terhenyak…

Merasa hancur…

Sakit…

Serasa ditikam benda tajam…

Menghujam langsung, begitu menusuk…

Sampai membuatmu merasa seperti akan mati…

“Hihi, kau terkejut tidak?” tanya Matsuri pada Gaara seusai melepaskan ciumannya.

Gaara menyunggingkan bibir, tersenyum. “Sangat. Apalagi melihatmu disini. Apa yang kau lakukan?”

“Um, aku datang untuk menemui pacar tercintaku, hehe.”

Seperti déjà vu. Aku merasa pernah ada dalam situasi serupa, tapi tak sama. Apa ini? Apa yang mereka lakukan? Nyatakah? Gaara-ku… Matsuri… Ciuman apa itu? Kenapa? Ada apa dengan mereka berdua? Pacar? Siapa yang pacarnya siapa?. Dalam pikiranku berkelebat, bermunculan banyak pertanyaan.

“Wah, malu… barusan pasti dilihat Sakura.” Wajah Matsuri bersemu merah. Begitu juga dengan Gaara yang berdiri disebelahnya. Menggulum senyum, tampak malu-malu.

“Kau sih, langsung nyosor gitu aja…” lanjut Gaara, menyenggol Matsuri dengan sikunya.

“Habis aku senang sekali bisa bertemu denganmu.” Matsuri tertawa kecil, “Lalu, sedang apa kalian berdua disini? Kalian berdua saling kenal?”

“Kami sudah lama berteman. Sakura itu adik kelasku di SMP.” kata Gaara. “Aku yang lebih tak menyangka lagi kau sudah kenal Sakura.”

“Iya, Sakura itu penyelamatku lho. Kalau tak ada dia, pagi tadi sudah terjadi sesuatu yang menjijikkan padaku.”

“Benarkah?”

Matsuri sedikit cemberut. “Iya, itu gara-gara kau Gaara-ku yang tumbennya tak mengantarku ke sekolah. Kau mau aku diserang orang mesum di kendaraan umum?”

“Waduh, maaf deh. Lain kali tak akan terjadi lagi.”

“Janji ya…” Matsuri semakin mempererat pelukannya pada Gaara.

Aku yang dari tadi cuma diam, makin bertanya-tanya. “Tunggu sebentar. Kalian berdua itu… Sasuke… Matsuri, bagaimana dengan Sasuke?”

“Oh, tadi sih Sasuke masih berjalan dibelakangku. Padahal sudah kusuruh cepat. Aku bahkan sampai harus menyeretnya supaya ikut menemaniku mencari Gaara. Kemana ya dia?”

“Bukannya Sasuke itu pacarmu?” tanyaku.

Matsuri terkekeh geli, “Bukan. Sasuke itu teman masa kecilku. Kami tinggal satu komplek. Pacarku ya Gaara.”

“Apa?!”

Pacarku ya Gaara. Pacarku ya Gaara. Pacarku ya Gaara. Pacarku ya Gaara. Pacarku ya Gaara. Pacarku ya Gaara. Pacarku ya Gaara. Pacarku ya Gaara. Pacarku ya Gaara. Pacarku ya Gaara. Pacarku ya Gaara. Pacarku ya Gaara. Pacarku ya Gaara. Pacarku ya Gaara. Pacarku ya Gaara. Pacarku ya Gaara…

Kalimat itu terus berulang dalam pikiranku.

Aku kembali menatap Gaara, “Kak Gaara sudah punya pacar?” tanyaku dengan suara tercekat.

“Hn.” Dia mengangguk kecil. “Baru mau aku ceritakan padamu, Sakura.”

What the…

“Ta, tapi kan… kau bilang… suka… aku… janji kita… waktu itu… di taman lho… aku… kau bilang… pacaran… kita… pacar… aku…” Aku bergumam sendiri. Perasaanku kacau. Jadi tak karuan mau berkata apa dengan bibirku yang bergetar. Melihat mereka berdua. Mengetahui kenyataan ini. Rasa sakit didada kian meradang. Pandanganku buram. Iris Emelard-ku semakin basah.

“Hei, Sakura. Kau tidak apa-apa?” tanya Matsuri seraya mendekat.

Aku menunduk, menutupi wajahku dengan sebelah tangan. Menyembunyikan ekspresi-ku yang menyedihkan.

“Kau sakit?” Gaara mulai khawatir. “Kau baik-baik saja, Sakura?”

Sakit… Sangat sakit… Aku tak baik-baik saja… Sungguh tak baik… Harusnya kau sadari itu…

‘Grep’…. Tiba-tiba sebelah tanganku tertarik. Seseorang menggenggamnya erat. Tanpa kusadari aku sudah diseretnya. Hal pertama yang terlihat dimataku yang kini menjadi basah adalah bayangan rambut ravennya yang mencuat kebelakang. Punggung tegapnya. Ekspresi wajah datarnya dari samping. Tak peduli baik Gaara ataupun Matsuri yang menatap kami dengan heran, orang itu terus membawaku pergi. Tanpa basa-basi. Menjauh dari mereka.

“Sa…su…ke…”

.

.

.

“Lepas! Lepaskan aku!” teriakku berkali-kali. Meronta. Mengebaskan tangan. Mencoba melepaskan diri dari genggaman tangan Sasuke. Langkah Sasuke tiba-tiba terhenti. Saking mendadaknya, membuatku tak sengaja menabrak punggungnya. Cowok itu menoleh. Onyx hitamnya berkilat, memandangku tajam. “Apa yang kau lakukan? Sakit tahu! Lepaskan aku!”

Bukannya dilepaskan, dia malah menarikku kedalam pelukannya. Aku makin berontak. Mencoba mendorong tubuh itu menjauh. Tapi sebelah tangannya yang lain cepat melingkar dipinggangku. Tangan satunya yang tadi menggenggamku kini beralih menahan bahuku. Aku melohok. Menyadari posisiku sekarang yang sudah terkunci dalam pelukannya.

“Mau apa kau?” desisku di dadanya yang bidang.

“Diam.” bisik Sasuke, “Ayo kita selesaikan ini.”

Aku tak mengerti maksudnya. Tapi belum sempat aku bertanya, langkah kaki-kaki kecil terdengar mendekat.

“Eeh, Sakura, Sasuke, kalian berdua…” kata Matsuri yang sepertinya berdiri tak jauh dariku.

Kalau ada Matsuri, berarti ada Gaara. Tidak. Aku tak mau Gaara melihatku seperti ini. Aku kian berusaha melepaskan diri. Tapi masih kalah kuat dibanding Sasuke yang justru makin mempererat dekapannya.

“Sebenarnya ada apa?” tanya Gaara. “Kenapa dengan Sakura?”

“Bukan apa-apa. Seperti yang kau lihat. Ini cuma salah paham.” kata Sasuke.

Ya, tentu saja, Sasuke baka! Yang kau lakukan sekarang bisa membuat orang lain salah paham.

“Ah, jangan-jangan karena aku.” kata Matsuri.

“Kenapa?” tanya Gaara, “Kau melakukan sesuatu pada Sakura?”

Sasuke berdecih. “Dasar gak peka…”

‘Hei, jangan mengatai Gaara seperti itu. Padahal sendirinya juga gak peka.’ bentakku dalam hati.

“Kalian berdua pacaran?” tanya Matsuri.

‘Tch, pertanyaan bodoh macam apa itu?’ kesalku dalam hati.

“Iya.” jawab Sasuke singkat. Langsung membuatku shock.

“Tidak. Bukan…” aku memutar kepalaku menghadap mereka. Kukira ekspresi seperti apa yang akan terlihat di wajah Gaara. Mungkin terkejut, kecewa atau merasa sedih. Sedikitnya itulah yang akan muncul kalau mendengar bahwa orang yang kau sukai ternyata sudah punya pacar. Sepertiku tadi, mengetahui Matsuri adalah pacarnya, membuatku hancur. Aku sendiri pun tak menganggap ucapan Sasuke serius. Karena memang hanya ada kebohongan disana. Tapi setidaknya, aku ingin melihat sedikit penyesalan di wajah Gaara setelah mendengar hal itu. Bukan. Bukan dengan wajah datar yang tampak biasa saja. Yang perlahan kemudian terukir satu senyuman tampak bahagia.

“Wah, selamat ya Sakura. Kenapa kau tak bilang apa-apa padaku? Yah, tapi aku sendiri juga belum mengatakan padamu kalau aku sudah berpacaran dengan Matsuri. Jadi ini yang sebenarnya ingin kau bicarakan denganku hari ini?”

‘Bukan. Bukan seperti itu…’ aku ingin menyangkal. Tapi tak ada kata yang keluar dari mulutku. Tertahan rasa kecewa.

“Maaf ya, Sakura. Kau pasti kesal padaku waktu melihatku tampak akrab dengan Sasuke. Kau jadi cemburu. Tapi sungguh tak ada maksud apa-apa. Jangan salah paham lagi. Aku cuma suka pada Gaara. Dia pacarku.” sambung Matsuri.

‘Dia pacarku.’ … Aku meringis. Haruskah kudengar sekali lagi penegasan itu darinya?

Gaara mendekat. Tangannya terangkat, hendak memegang kepalaku. Tapi Sasuke lekas  menepisnya. Gaara sedikit menyunggingkan bibir. Terkekeh. Meskipun mungkin dalam hati dia sedikit tersinggung. Beberapa menit lalu Gaara masih bebas bersikap akrab, tapi kini Sasuke jadi over protective terhadapku.

“Anak manja. Jangan menangis karena hal sepele seperti cemburu. Kelihatannya Sasuke juga sangat menyukaimu. Tak ada yang perlu kau cemaskan. Matsuri kan bersamaku. Oh iya, ini kartu pelajarmu.” kata Gaara seraya menyodorkan kartu itu padaku.

Kugigiti bibir bawahku menahan tangis. Dengan tanganku yang bergetar perlahan aku mengambil kartu itu dari Gaara.

“Nah, adik kelasku yang manis, semoga kau bahagia.” lanjut Gaara.

Hatiku berdesir mendengar perkataannya. Sungguh hanya seperti ini saja…

“Ayo Matsuri, kita pergi.” ajak Gaara.

“Ng, tapi, Sakura…”

“A, aku tak apa-apa.” gumamku pelan.

“Sudah sana pulang.” kata Sasuke, “Biar aku yang tangani.”

“Maaf ya, Sakura. Sampai ketemu lagi.” pamit Matsuri sambil melambaikan tangan.

Sambil tersenyum Gaara mengangguk kecil. Tangannya lekas merangkul bahu Matsuri. Matsuri juga menyusupkan sebelah tangannya pada pinggang Gaara.

Aku diam saja. Tersenyum samar, melihat kepergian mereka.

“Fiuh~” Sasuke menghela nafas. Diturunkannya kedua tangan yang tadi memelukku erat. Melepaskanku. Membuatku merosot jatuh ke lantai.

“Hoi,…” kaget Sasuke, lekas membantuku kembali berdiri. Tapi aku malah terduduk lemas. Sungguh. Aku benar-benar merasa lemah sekarang, sampai berdiri pun aku tak sanggup.

Berakhir. Gaara pergi. Cintaku sudah berakhir.

.

.

.

Lama kutatap wajahku di cermin. Jelek. Tampang macam apa ini, dengan mata bengkak, hidung yang memerah dan rambut sedikit berantakan. Sesekali masih segukan. Benar-benar terlihat kacau. Kuambil segenggam air dari kran wastafel, lantas membasuhkannya ke wajah. Lagi dan lagi. Kuseka mataku berulang kali. Berharap bisa sedikit menghilangkan sembab itu. Meski tetap saja, air mata terkadang mengalir tanpa kusadari setiap kali teringat kejadian tadi.

Gaara…

Aku menggelengkan kepala. Berusaha mengenyahkan pikiran itu. Sudah. Lupakan. Aku akan menghadapi ini dengan tegar. Meskipun ini sungguh sangat menyakitkan. Cinta pertamaku berakhir, tak berarti hidupku juga berakhir. Apalah arti dari sekedar patah hati.

Usai mencuci muka, kurapihkan rambutku. Menyisirnya dan memakaikan kembali bandana merah favoritku. Kutepuk-tepuk pelan beberapa kali pipiku. Melemaskan wajah. Menarik bibir, membuat satu senyuman. Kutatap dalam emerald itu di cermin.

“Semangat, Sakura!” kataku pada diri sendiri.

Aku menghela. Perasaanku sekarang sudah jauh lebih baik.

Begitu aku keluar dari kamar mandi, aku menoleh dan masih melihat Sasuke berdiri menyender ke tembok. Dia menungguku.

“Sudah selesai?” tanyanya seraya mendekat. Aku mengangguk kecil. “Ayo, kita pulang.” ajak Sasuke. Aku hanya menurut saja, berjalan berdampingan dengannya.

Keluar dari dalam gedung, udara dingin langsung menyerang. Lembab dan basah. Tanpa kusadari ternyata hujan telah datang dan pergi. Meninggalkan tetesannya di banyak tempat, kubangan kotor dan jalanan becek. Langit tampak pucat. Seakan lega setelah menumpahkan semua beban itu dalam jutaan tetes air. Rasanya seperti diriku. Setelah menangis, hati terasa lebih ringan.

Kulirik Sasuke yang berjalan disampingku. Merasa aneh. Untuk pertama kalinya aku tak benci dengan kehadirannya disisiku. Sepanjang tadi aku menangis setelah kepergian Gaara. Perlahan dia memelukku. Bukan pelukan paksa seperti yang tadi dilakukannya padaku dihadapan Gaara. Lebih terkesan melindungi. Dia memperlakukanku lembut, hati-hati, seolah kapan saja aku bisa hancur kalau disentuh dengan sedikit keras. Saat itu aku memang sudah merasa hancur. Tapi setiap belaiannya, dalam diam, mampu membuatku kembali utuh.

Kami berdua berpisah di depan gerbang Konoha. “Terima kasih.” ucapku padanya dengan tulus kusampaikan. Sasuke tak menjawab, hanya balas menatapku. “Sampai nanti, kak Sasuke.” lanjutku seraya pamit dan berjalan kearah yang berlawanan dengannya.

.

.

.

Taman di sore hari biasanya ramai dengan anak-anak yang asyik bermain. Tawa ceria mereka, berebut naik seluncuran, berlarian dengan gembira, kotor bermain dalam bak pasir, menangis karena berebut mainan, suasana menyenangkan, jauh dari sepi seperti sekarang.

Krit… krit… krit…

Yang terdengar kini hanya bunyi derit rantai besi ayunan di taman itu. Menemaniku yang termenung seorang diri.

Entah sudah berapa kali aku menghela nafas panjang. Padahal yang seperti ini tak baik dilakukan. Rasanya seperti sedang membuang kebahagiaan. Tapi tanpa kusadari air mata itu mengalir lagi. Jatuh membasahi pipi. Lekas kuseka dengan ujung lengan blazerku. Namun saat menahannya agar tak menangis, dadaku justru terasa berat.

Seandainya hari ini aku jadian dengan Gaara, aku berencana membawa dia kembali ke tempat ini. Menyelami saat-saat bahagia itu. Di tempat kami pernah membuat janji, akhirnya bisa kami penuhi. Aku terkekeh. Kalau kupikir buatku janji di masa lalu itu penting, tapi bagi Gaara ternyata tak berarti. Aku merasa bodoh sendiri. Konyol.

“Cengeng.” seru seseorang.

Aku pijakkan kakiku ke tanah. Mengerem laju ayunan yang lama membawaku dalam kesendirian. Aku menoleh dan terkejut dengan kehadirannya. Lagi-lagi orang itu.

“Kak Sasuke…”

“Tumben panggil aku dengan sopan gitu. Biasanya saat bertemu suka langsung nyolot, ngatain ‘mau apa kau?’… “ sindir Sasuke.

Kualihkan pandanganku darinya, kembali tertunduk. “Aku hanya sedang malas bertengkar denganmu.” Sasuke berjalan mendekat. Mengambil tempat di ayunan sebelahku. Bukannya diduduki, dia malah menginjak kursinya. Menghentakkan keras sebelah kakinya, mendorong ayunan itu dan mulai melambung tinggi.

“Mau apa kau? Bukannya pulang. Rumahmu kan jauh dari sini.” tanyaku, memecah keheningan yang sesaat ada diantara kami.

“Eh, baru juga dibilang udah keluar lagi tuh kata ‘Mau apa’-mu. Terserah aku setelah pulang sekolah mau pergi keluyuran kemana juga, memang kau ibuku, mesti lapor segala. Kau yang harusnya cepat pulang. Anak gadis jam segini, sendirian, di taman, gimana kalau nanti ada orang mesum godain kamu?”

Aku tertawa, “Haha, yang kau maksud itu dirimu? Sampai mengikutiku kemari. Kau ini penguntit ya?”

“Aku cemas. Pernah dengar ada orang yang bunuh diri gara-gara patah hati?”  tanya Sasuke. Tawaku hilang seketika mendengar kata ‘patah hati’ yang diucapkannya. “Aku orang terakhir yang bertemu denganmu, kalau itu terjadi bisa-bisa dianggap aku yang bertanggung jawab.” lanjut Sasuke. Menyadari aku terdiam, Sasuke langsung melompat turun dari ayunannya.

“Hari ini kau terlalu banyak bicara, kak Sasuke.” gumamku pelan. Dalam sudut mataku yang tertunduk, masuk bayangan mendekat. Aku mendongak dan melihat Sasuke sekarang sudah berdiri dihadapanku. Pandangannya teduh.

“Kau sendiri hari ini banyak menangis, Sakura.”

Deg!… Hatiku bergetar jadinya. “Heh, itu bukan urusanmu. Kau tak tahu perasaanku.”

“Sangat sedih?” tanya Sasuke.

“…”

“Kau sakit hati?”

Kupalingkan wajahku, menghindari tatapannya. Aku mengerjap dan itu justru mendorong air mataku kembali mengalir. Hendak kuseka, tapi dengan cepat wajahku direngkuhnya. Sasuke memaksaku kembali menghadapnya. Aku menatapnya nanar. Kugigiti bibirku yang bergetar. Sungguh aku tak mau menangis lagi dihadapannya.

“Sakura, kau sangat menyukai orang itu?” tanya Sasuke.

Aku menggangguk pelan. Teringat Gaara, air mataku makin mengalir.

Setetes. Dua tetes. Tiga tetes. Dengan kedua ibu jarinya, Sasuke perlahan menghapus air mataku.

“Kau tahu, wajahmu yang jelek jadi lebih jelek kalau menangis?”

“Aku tak peduli, hik…”

“Dia sudah membuatmu seperti ini apa kau masih menyukainya?”

“Mungkin iya…”

“Kalau aku sangat benci.”

“Kenapa? Bukan urusanmu kan?”

“Gadis yang kusukai sudah direbutnya.”

Aku memutar mataku. Berpikir. Bayangan Matsuri terlintas dibenakku. Aku menatap Sasuke.

“Begitu? Kau juga sakit hati.”

“Sangat. Tapi aku tak menangis.”

“Hebat.”

“Karena itu mulai sekarang, aku sudah putuskan….”

Wajah Sasuke semakin mendekat, sampai kusadari tak ada lagi jarak diantara kami. Mataku membulat sesaat, sementara Onyx-nya terpejam. Dia mengecup bibirku. Lembut. Menyisakan debaran jantung yang abnormal dan bibir yang jadi basah setelahnya.

“Sakura, ayo kita pacaran….” lanjut Sasuke.

@@@

TBC……… next to chapter 7

 ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Bachot Session from Author:

Akhirnya publish juga chapter 6… T-T… *Terharu*

Mengingat panjangnya (+4300 words) dan waktu malam-malam gue yang begadang menyelesaikannya (Malem jumat, sendirian, ditemani lampu 25 watt *hah*, modem lemot, loading lama, ck~)

Sudah ah, kali ini author ga bakal banyak bachot… (=__=)zzz *ngantuk berat*

Special for YaYaksv3p, Kazunarilady, kimsongeum, Yua-Yuki Bento Gobel dan kamu yang udah baca Fic ini tapi gak comment, sekarang harus WAJIB comment dunk ah~ (^-^)/

Author ucapkan terima kasih banyak buat yang udah baca fic GaJe ini dan juga kasih komen… m(_ _)m

Hmm, ada apa ya di Chap 7 (^-^)~

Tunggu kejutan lainnya. *emang kuis undian berhadiah*

Jaa~

18 Comments

Leave a Reply

One Ping

  1. Pingback:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *