Senpai~ Suki Deshita! : Chapter 9

Cerita sebelumnya….
Baca: [Chap 1] [Chap 2] [Chap 3][Chap 4] [Chap 5] [Chap 6] [Chap 7[Chap 8]

Aku pernah melihat adegan seperti ini. Saat lima orang gadis berkumpul dalam suasana menegangkan. Waktu itu aku hanya terdiam. Melihat si cantik berambut pirang panjang bernama Shion itu menangis. Merintih kesakitan. Menyaksikannya begitu memohon ampun dengan perasaan takut. Tak pernah terbayangkan olehku kelak akan ada saat dimana aku berada diposisinya. Tersudut dan dikeroyok seperti ini oleh mereka.

Semuanya karena Sasuke.

SFC….

“Kenapa harus dengan gadis sepertimu?! Kau pikir dirimu siapa? Seenaknya mendekati dia!”

“Hahaha, sakit? Sakit kan? Heuh, mau lagi?!”

“Inilah akibatnya bila kau coba-coba menantang kami.”

“Pacar? Heuh? Kau bilang kau pacarnya? Jangan harap ya!”

“Tch, dasar jelek! Sadar diri dikit dong. Tak tahu malu sampai berani jalan sama Sasuke kami.”

“Mati aja sana! Dasar jalang!”

“Rasakan!”

@@@
Senpai~ Suki Deshita! : Chapter 9

Chapter: 9/?
Pair: Sasuke Uchiha x Sakura Haruno
Rate: T
Genre: Romance, Friendship, Comfort
Disclaimer: NARUTO © MASASHI KISHIMOTO
Length:  words
WARNING: OOC, AU, typo, alur GaJe cerita se-mau-gue. *Warning inside!*

Story by
Me!! [FuRaha]

If you don’t LIKE?

Read?

Don’t Read?

Up to You!!!

~Itadakimasu~
*
*
*

Bruuk…

Dengan keras punggungku mengenai tembok dan perlahan merosot jatuh kembali ke lantai. Masih tergolek lemas, nafasku berburu cepat. Sementara rasa sakit itu kembali menjalar. Seluruh tubuhku penuh debu. Bermandikan peluh. Dengan beragam bekas luka yang berhasil mereka torehkan. Tanda berupa telapak tangan pun menghiasi kedua belah pipiku. Jejak sepatu membekas pada baju. Memar karena pukulan. Gurat akibat cakaran. Rambut acak-acakan. Pakaian berantakan.

Dan apa lagi sekarang? Sepertinya mereka masih belum puas walau sudah memperlakukanku sekejam ini.

“Ckckck, lihat penampilanmu sekarang. Sungguh menyedihkan.”

“…cut.” gumamku.

“Apa kau bilang?!”

“Pengecut!” kuulangi kata itu lebih keras dan tegas. “Bisanya keroyokan. Kalian lakukan ini padaku karena kalian tak berani hadapi aku sendirian, kan?”

“Sialan kau!” bentak Karin seraya mendekat dan menarik kembali kerah baju kemejaku. “Sudah babak belur begini masih berani menantang. Rupanya nyalimu besar juga ya. Baiklah, kalau begitu aku tak akan segan-segan!”

Plaakk…

Aku tersungkur. Meringis menerima tamparan yang entah sudah berapa kali ini kudapatkan darinya. Ada rasa aneh dalam mulutku. Sedikit saliva bercampur darah itu pun menetes. Saking kerasnya tamparan barusan sampai buat bibirku robek. Perlahan aku menyekanya dengan punggung tangan.

“Padahal cukup katakan ‘maaf’, kami akan sedikit lunak padamu.” lanjut Karin. “Ayo cepat bilang kalau kau tak akan pernah mendekati Sasuke lagi. Dengan begitu kami akan memperlakukanmu dengan baik, nona Haruno.”

“Heh, dengan cara apa kau goda Sasuke kami?!” bentak yang lainnya, “Kau pelet dia ya?”

Aku sedikit menyunggingkan bibir, terkekeh mendengar tuduhannya. “Menggoda? Aku ini dari awal benci dia, mana mungkin aku berusaha mendekati Sasuke.”

“Alah! Jangan belagu lu!”

Duak… Aku ditendangnya.

“Kau mau bilang Sasuke duluan yang naksir padamu, gitu? Iih, dasar munafik! Kalau tak suka kenapa kalian malah pacaran?”

“Kami gak pacaran.” bantahku, dan memang tak berbohong. Meski Sasuke pernah ngajak pacaran, tapi kami juga tak benar-benar jadian. “Dia hanya mencoba melindungiku. Dan karenanya-lah sekarang aku bisa menjadi kuat.”

“Ho~… kata-katamu bagus sekali. Jadi kuat? Itu sebabnya sekarang kau bisa tahan kami pukuli. Karena kau merasa Sasuke sudah jadi milikmu. Dasar belagu!”

“Kenapa salahkan aku, padahal Sasuke juga bukan milik kalian, kan?” balasku.

“Apa kau bilang?!”

Plaak… Aku digamparnya. Sampai kepalaku terbentur dan membuatku merasa sedikit pening.

“Jangan mengelak. Kau pikir kami bodoh. Kami tahu semuanya. Kalian benar pacaran, kan?”

“Tak hanya pelukan. Kalian juga sudah pergi berkencan dan ciuman. Tak bisa dimaafkan!”

“Apa?!” Aku dan Karin sama-sama terkejut. Bedanya aku kaget karena tak menyangka mereka juga bisa tahu tentang hal itu.

“Ci, ciuman… benarkah?” Karin menatap tak percaya. Sepertinya dia baru tahu tentang kabar ini. “Siapa yang bilang?”

“Aku dapat info ini dari anak Suna Gakuen.” Salah satu teman Gals-nya coba jelaskan. “Kau tahu Gaara kan? Pacarnya juga bilang. Tak mungkin bohong  kalau sebelumnya mereka pun  pernah sama-sama pergi double date.” gadis itu menunjukku.

‘Matsuri?!’ Dadaku bergejolak karenanya, ‘Jadi yang mengadukanku ke SFC adalah dia.’ Sungguh tak percaya. Tapi aku juga tak bisa marah dan menyalahkannya. Dihadapan GaaMatsu waktu itu kan aku dan Sasuke memang pacaran, walau cuma pura-pura. Tunggu. Kenapa bahkan mereka juga tahu soal Gaara?

“Tidak!! Ini tidak mungkin.” Karin menggelengkan kepalanya seolah tak terima. Dibalik kacamata bingkai putihnya dia menatap tajam. “Kau… bisa-bisanya gadis kotor sepertimu menodai Sasuke-ku!” raungnya dengan penuh kemarahan.

“Kyaa~…” Aku menjerit kesakitan saat Karin menjambak rambutku. “Lepas! Lepaskan aku!” teriakku seraya meronta dan berusaha melepaskan diri. Karin menyeretku keluar dari atap gedung sekolah. Di pintu kami berpapasan dengan Suigetsu dan Jugo.

“Mau kemana?” tanya Suigetsu yang daritadi disuruh jaga di luar.

“Bantu aku. Jangan sampai ketahuan.” pinta Karin pada kedua cowok itu. Langsung saja Jugo menggantikannya menahan tangan dan membekam mulutku.

“Hmmph… hmmph… hmmph…” aku terus berontak. Tapi percuma saja. Tenagaku kalah besar darinya. Dengan pasrah akhirnya kuikuti saja kemana mereka membawaku. Sambil berharap semoga ada orang lain yang melihat ini, melaporkannya pada guru dan menyelamatkanku.

Aku tak menyadari kapan lonceng itu berbunyi. Ternyata jam istirahat sudah lama berakhir. Yah, tentu saja mengingat rasanya aku pun sudah setengah mati disiksa oleh mereka daritadi. Waktu berjalan lambat sekali. Lorong-lorong kelas kini terlihat lengang. Karin juga ternyata tak membawaku jauh. Dia menyeretku langsung ke kamar mandi. Kamar mandi pojok di lantai tiga ini paling jarang dikunjungi siswa karena letaknya jauh dari kelas. Memang tempat yang pas untuk melakukan sesuatu tanpa takut diketahui orang lain. Apalagi setelah jam istirahat, orang cenderung tak pergi minta izin pergi ke toilet.

Tapi ini buruk. Akan sangat buruk tentunya bagiku. Apa yang hendak mereka lakukan?

Baru saja aku bertanya-tanya dalam hati, gadis itu langsung menyiramku dengan air.

“Aaaaagghhh~….” Aku mengerang saking terkejutnya. Seluruh badanku kini basah kuyup.

“Hihihi, karena kau kotor. Akan aku bersihkan.” kata Karin, menyeringai, seraya kembali mengisi gayung dengan air lalu tanpa basa basi kembali menyiramkannya padaku.

“Kyaaa~… Hentikan!” teriakku.

“Hahahaha~…” Karin hanya tertawa, terus saja melancarkan aksinya. Tak menghiraukan aku yang sudah menggigil kedinginan.

Aku baru sadar kalau ternyata Jugo dan Suigetsu juga masih ada disini. Mereka di kamar mandi cewek? Dasar tak tahu malu. Tidak. Mereka semua memang sudah gila. Aku mundur ke belakang, berdiri di sudut ruangan. Mendekap tubuhku. Tak hanya karena dingin. Tapi aku juga tak suka ditatap dua lelaki itu dengan senyum mencurigakan. Sudah pasti berpikiran kotor.

“Sekalian saja kita mandikan dia, Karin.” kata Suigetsu.

“Telanjangi.” lanjut Jugo.

“Khukhukhu~ ide bagus.” Gadis itu mengangguk setuju.

“Tidak!!” teriakku sambil menggeleng dan kian merapatkan badan. Sial. Aku terpojok, sementara Karin dan Suigetsu bergerak perlahan mendekatiku. “Jangan!” pintaku sambil menangis. “Aku mohon. Jangan lakukan itu padaku.” Aku benar-benar memohon.

Sret… Karin menarik blazerku, memaksa menanggalkannya. Selama itu aku meronta. “Tidak! Jangan! Jangan lakukan…” jeritku disela tangisan.

“Hahahaha…” Mereka tertawa-tawa.

Antara sulitnya menahan Karin dan terus disirami air oleh Jugo, bahkan untuk sekedar menghela nafas pun aku tak bisa. “Ohok…ohok…ohok…” Aku terbatuk-batuk saat air itu masuk ke mulut dan hidungku.

“Gkgkgkgk~ udah kaya kucing kecebur got.”

“Iya.  Dia memang kucing. Kucing pencuri. Jalang. Berani-beraninya mencuri Sasuke dariku.” geram Karin. Lalu dalam sekali tarikan akhirnya gadis itu berhasil melepaskan blazerku. Dan terpampanglah bentuk tubuh bagian atasku yang tercetak dalam kemeja putih seragam yang basah.

“Suit…suit…” Suigetsu dan Jugo bersiul melihatnya. Menyeringai. Membuatku merasa dilecehkan.

“Tidak!” Aku berjongkok disudut, melindungi tubuhku. Gemetaran. Merinding bukan hanya karena dingin, tapi memikirkan apa yang mungkin akan mereka lakukan padaku setelah ini. “Tidak. Jangan. Aku tidak mau. Tolong… Tolong aku…”

Braak…

Tiba-tiba saja pintu didobrak.  Kami semua menoleh melihat siapa yang datang. Dengan cepat sosok itu bergerak masuk. Menarik Suigetsu menjauh dariku dan langsung melancarkan pukulan keras padanya. Jugo berusaha membantu, menyerangnya dari belakang. Tapi orang itu berhasil menghindar, berbalik melawan dengan pukulan dan tendangan tanpa ampun.

“Kyaa~…” Karin menjerit, terhempas jatuh. Gadis itu pun tak luput dari kemarahan orang yang baru muncul itu.

“Awas kau!” Suigetsu bangkit. Dibantu Jugo bersiap membalasnya. Mengekang orang itu sementara dia berhasil menghajar wajahnya.

“Jangan!” teriak Karin, “Jangan wajahnya!” masih saja itu yang dia cemaskan.

Tapi tentu saja pukulan Suigetsu barusan tak berarti apa-apa bagi orang itu. Yang lekas membalasnya dengan tendangan. Menghantam rahang Jugo dengan kepalanya. Meski rasanya pasti sakit sekali, tapi dia berhasil melepaskan diri dan kembali menghajar mereka.

“Cukup, Teme!” teriak Naruto yang muncul kemudian. Menahan si empunya panggilan itu.

“Aaargh~…” Buk… Lelaki berambut raven dengan model unik itu melepaskan pukulan terakhirnya. “Jangan pernah lagi menyentuh pacarku, camkan itu baik-baik!” ancamnya pada mereka, “Atau kubunuh kalian!” Onyx itu berkilat tajam, menunjukkan kesungguhan. Ketiga orang itu pun menunduk lesu. Menahan malu dan rasa takut. Mereka kalah.

“Maaf, maafkan aku, aku…” Karin berlutut padanya, memegangi sebelah kakinya.

“Lepas!” titah orang itu dengan sinisnya, “Aku tak sudi disentuh olehmu.” balas lelaki itu seraya menghempaskan Karin. Terus berjalan menghampiriku.

Air mata ini masih mengalir. Aku menatap nanar sosoknya yang mendekat. Melihat dia disini ketakutan dalam diriku pun sirna. Merasa lega. Senang bertemu dengannya.

Seraya berjongkok, dia melepaskan blazer miliknya. Lekas menyelimutku. Perlahan kedua tangannya terulur, menarikku kedalam pelukan. “Maaf sudah membuatmu terluka.” bisiknya lembut ditelingaku.

“Sa…su…ke…” panggilku dengan suara serak dan bergetar. Kubenamkan diri didadanya, balas memeluk erat.

“Mulai sekarang aku akan lebih menjagamu.” lanjut lelaki itu. “Hal seperti ini tak akan pernah terulang lagi. Aku janji, Sakura.”

“Terima kasih. Sudah datang untukku.”

“Hn.”

Tak banyak bicara, Sasuke kemudian menaruh sebelah tanganku dibahunya. Kukira dia hanya akan membantuku berdiri, tapi tangannya yang lain malah menyusup kebawah kakiku. Setelah memposisikan diri, dia lekas mengangkatku ala Brindal Style.

“Sasu…” Aku kaget dengan perlakuannya yang tiba-tiba. Membuatku malu. Sasuke pun begitu. Seraya melangkahkan kaki dia palingkan wajahnya dariku. Tapi tetap saja semburat merah tipis dikedua belah pipinya tak bisa dia sembunyikan. Apalagi ternyata diluar sudah ada banyak siswa yang berkerumun. Dan mereka terkejut saat melihat kami keluar bersama. Tak ayal ini membuat kami makin blushing. Sekarang semua orang sudah tahu hubunganku dan Sasuke.

“Oi, Teme.” panggil Naruto kembali. “Mau kita apakan mereka?” tanyanya sambil menggiring ketiga orang tadi.

“Terserah.” kata Sasuke, sejenak menghentikan langkahnya. “Bunuh saja dan buang mayatnya ke sungai.” lanjut cowok itu, kejam.

“Hiii~…”

@@@

Sejenak Kaa-san terdiam, memperhatikan skala yang berhasil dicapai garis batas ujung cairan raksa dalam tabung kaca itu.

“Wah, hampir 38 derajat. Kau demam Sakura. Hari ini tidak usah sekolah saja.”

“Hah? Tapi aku mau sekolah.” protesku. Perlahan mencoba bangkit dari tempat tidur. “Lihat. Aku tidak apa-apa.” Namun tak lama aku terhuyun. Untung dengan cepat Kaa-san menahanku jatuh.

“Tuh, kan. Sebaiknya sekarang kau istirahat. Jangan banyak bergerak.” Kaa-san membantuku kembali berbaring. Menarik selimut itu hingga ke dada.

Terus terang badanku memang lemas dan merasa pusing. Demam. Gejala flu. Mungkin karena kemarin kedinginan. Gara-gara Karin menyiramku dengan air. Kupikir lemah sekali diriku ini, cuma karena gitu aja sampai sakit. Tapi perlakukan SFC kemarin memang sungguh keterlaluan.

“Lihat dirimu. Lihat wajah putri cantik ibu. Bisa-bisanya ada luka seperti ini.” lanjut Kaa-san seraya mengoleskan salep penghilang rasa sakit pada beberapa bekas memar di wajahku. “Belum lagi sampai membuatmu sakit begini. Mereka jahat sekali.” Terus saja ibuku itu mengomel. Melontarkan kata-kata yang sama, yang kudengar dari kemarin sejak aku pulang dalam keadaan tak biasa. “Apa perlu kita tuntut saja keluarga mereka…” Kaa-san kembali meracau.

“Tidak perlu. Sekolah juga pasti sudah mengurusnya.”

“Kalau begitu istirahatlah sehari, Sakura.” Kaa-san bangkit dari sisi tempat tidur, “Minum obat ini, lalu tidur. Jangan pikirkan apapun.”

“Haa~… iya.” dengusku pasrah. Menerima segelas air putih dan beberapa butir obat. “Padahal aku maunya sekolah.”

“Ah, kau bilang ingin sekolah itu maksudnya ingin bertemu Sasuke kan?” goda Sasori yang ternyata sudah berdiri di ambang pintu kamarku.

“Siapa bilang, nii-san jangan sok tahu!” sanggahku, lekas meminum obat itu.

Sasori berjalan masuk, meletakkan sebelah tangannya diatas kepalaku. “Hmm, adikku ini manis sekali ya kalau lagi jatuh cinta.” katanya sambil membelaiku lembut.

“Sasuke? Siapa itu Sasuke?” tanya Kaa-san.

“Bukan siapa-siapa!” / “Pacar Sakura.”

Aku dan Saori bicara bersamaan. Membuat Kaa-san mengernyit dan memandang kami berdua bergantian. Emerald serupa diriku itu pun menyipit. Satu senyuman tipis kemudian tertoreh di wajahnya yang cantik. “Wah, putri Ibu sudah besar rupanya. Sudah punya pacar. Siapa lelaki itu, ayo kenalkan!”

Aku blushing. Merasa wajahku memanas. Entah karena demam atau rasa malu. Yang jelas aneh kalau membicarakan masalah ini dengan orang tua. “Sudah kubilang bukan.”

“Hmp, pura-pura. Padahal kemarin sampai diantar pulang. Dan kau jadi begini juga gara-gara dia kan?” goda Sasori. “Resiko punya pacar yang fansgirl-nya segudang ya gini. Kau sudah jadi musuh masyarakat, Sakura.”

“Seperti apa memangnya Sasuke itu?” tanya Kaa-san makin tertarik. “Apa dia anak hebat dan berprestasi? Baik hati? Ramah? Apa dia selalu memperlakukanmu dengan lembut? Pria dengan tipe pangeran seperti dalam cerita dongeng?”

“Hahaha…” aku tertawa hambar. Gambaran Kaa-san tentang Sasuke itu terlalu jauh. “Sama sekali bukan. Tidak seperti itu. Orangnya jahat, dingin dan tidak berperasaan. Kalaupun dia pangeran, pasti pangeran kegelapan.”

“Dia adiknya Itachi.” sambung Sasori.

“Itachi? Itachi Uchiha temanmu itu?” tanya Kaa-san yang langsung dijawab dengan anggukan Sasori. Kaa-san kembali menoleh padaku, “Jadi pacarmu seorang Uchiha? Hebat sekali. Tangkapanmu bagus nak, pertahankan. Jangan sampai kau lepaskan bocah Uchiha itu.”

“Hah?” Omongan Kaa-san barusan bikin aku sweatdrop. Sebenarnya apa yang Kaa-san pikirkan tentang hubunganku dan Sasuke?

“Melihat Itachi setampan itu pasti adiknya juga tampan, kan?” tanya Kaa-san, “Bagaimana menurutmu Saso?”

Sasori mengacungkan jari telunjuk dan jempolnya. Menempatkannya dibawah dagu. Masang tampang so cool. “Masih lebih tampan putramu ini dong.” jawab kakakku itu dengan narsisnya.

Kaa-san tertawa, lantas mendepak bokong Sasori. “Tentu saja. Kau tertampan nomor dua setelah Too-san.”

“Yeeh. Apaan nomor dua. Gak penting.” protesnya sambil manyun.

“Hahaha~…” aku pun ikut tertawa kecil melihat kelakuan keluargaku ini. Sedikit membuatku terhibur.

“Nah, sekarang istirahatlah Sakura.” kata Kaa-san seraya mencium keningku. Membenarkan kembali letak selimutku.

“Hn.”

Crss… crss… crss…

Suara samar itu mengusik tidurku yang nyenyak. Perlahan aku membuka mata. Hal pertama yang kulihat adalah silaunya cahaya lampu di langit-langit kamarku yang tinggi. Aku mengerjap. Kesadaranku belum sepenuhnya pulih. Kugulirkan mataku melihat ke arah jendela yang separuhnya tertutup tirai. Diluar sana hujan mendera. Tetesannya menerpa kaca dan menimbulkan suara berisik yang tadi mengusik. Membangunkanku dari mimpi yang tak jelas kuingat.

Sekilas udara dingin berhembus. Kutarik selimutku lebih tinggi. Meringkuk didalamnya. Sembari menggeliat, sebentar aku benarkan posisi tidurku agar lebih nyaman. Membalikkan badan menghadap sisi lain. Aku menguap. Sedikit masih mengantuk, perlahan aku kembali menutup mata. Tapi cepat terbuka lagi saat kusadari ku melihat sesuatu yang tak biasa ada didalam kamarku.

“Ng?” Aku mengernyit. Berulang kali mengerjap, mengucek-ngucek mataku agar bisa melihatnya lebih jelas. Apa aku masih bermimpi? Pikirku saat kudapati bayangan seseorang ada didepan sana.

Dia duduk santai di kursi meja belajar. Tangannya asyik mengotak-atik benda kotak tipis yang biasa disebut Ipod. Menyambungkan kabel kecil ke earphone di telinganya. Sementara bibirnya bergumam pelan tampak menyenandungkan musik yang tengah dia dengar. Tak lama perhatiannya pun teralih padaku, “Eh, kau sudah bangun?” tanyanya kemudian.

Aku cepat mengenali suara bariton dan juga bentuk rambut raven unik miliknya. “Sasuke!” teriakku, lekas bangkit dari tidur. Mengambil posisi duduk. Heran dan terkejut melihatnya. “Se, sejak kapan kau…”

“Hn.” Onyx pemuda itu mengerling, melempar pandangan pada jam dinding yang terpasang di tembok kamar. “Setengah jam lalu. Sejak pulang sekolah.”

“Kenapa bisa ada disini? Apa yang kau lakukan?”

“Tentu saja menjengukmu.” Sasuke berdiri dan perlahan mendekat. “Kau masih sakit Sakura, sebaiknya jangan bangun dulu.”

“Ta, tapi kau disini… kau ada disini… disini…” Entah kenapa aku jadi gugup dan mengulangi perkataanku sendiri, “Kau disini, di kamarku…”

“Hn.” Sebelah alis Sasuke terangkat, “Lalu…”

Blush… Aku pegang kedua pipiku. Panas. Rasanya masih demam atau…

“Kau tidak suka melihatku?” tanya Sasuke.

“Tidak.” Aku menggeleng cepat. “Bukan begitu. Hanya saja rasanya aneh melihatmu disini. Kau bisa ada di kamarku. Aku senang melihatnya.”

“Benarkah?” Satu senyuman tipis pun terlukis diwajah tampan pemuda itu. Perlahan tangannya terulur dan membelai pipiku lembut. Tapi baru sebentar kunikmati sentuhannya, Sasuke lekas menarik kembali tangannya. Buru-buru dia duduk ditempatnya semula. Aku mengernyit heran melihat perubahan sikapnya yang tiba-tiba. Namun kemudian mengerti ketika tak lama pintu kamarku berderit dan terbuka.

Kepala Sasori menyembul muncul dari sela-sela pintu, “Lho, sudah bangun Sakura?” tanya kakakku itu yang lansung kujawab dengan anggukan. “Bagaimana sekarang, apa sudah baikan?” Lelaki baby face itu berangsur masuk kedalam kamar. Lekas menaruh sebelah tangannya diatas keningku. Sementara tangan satunya lagi dikeningnya. Membandingkan suhu tubuh kami. “Hmm, lumayan. Sepertinya sudah agak turun.”

“Iya.” kataku, “Ano~ nii-san…” kugulirkan pandanganku darinya, beralih melihat Sasuke.

“Oh, hehehe… kaget ya.” Sasori terkekeh, seolah tahu apa yang hendak kutanyakan. “Tadi dia datang. Aku suruh masuk. Walau sebenarnya aku lebih ingin mengusirnya dari sini.”

“Eh, kenapa?” tanyaku heran.

“Dia yang sudah membuatmu terluka seperti ini, jadi aku…”

“Bukan salah Sasuke kok.” bantahku cepat.

Sasori menghela, “Yah, aku tahu kau pasti akan membelanya. Jadi kuizinkan dia menjengukmu. Kau senang kan, tuan putri?” goda Sasori.

Aku menggulum senyum, menyembunyikan rasa malu.

“Dan kau…” Sasori menoleh pada Sasuke. “Tadi waktu kutinggalkan kalian sebentar, kau tak berbuat sesuatu padanya, kan?”

Dengan tampang innocent-nya Sasuke menggeleng pelan.

“Ingat pesanku!” lanjut Sasori yang langsung dijawab Sasuke dengan anggukan kecil.

“Baiklah. Kalau begitu aku pergi dulu. Ehm, maksudku aku keluar dulu. Aku biarkan kalian berdua. Tapi aku ada di bawah ya Sakura. Kalau ada apa-apa, teriak saja. Bilang padaku!” Sasori berpesan seraya keluar dari kamar dan membiarkan pintunya sedikit terbuka. “Ingat, bilang padaku!” sekali lagi dia tegaskan.

“Iya. Iya.” jawabku. Padahal sebenarnya aku tak terlalu mengerti apa yang kakakku itu cemaskan.

“Sasori-nii bilang apa padamu?” tanyaku pada Sasuke. Mulai kembali membuka pembicaraan.

Lelaki itu hanya mengangkat bahu. “Bukan apa-apa.”

“Dia memarahimu?”

“Hn.”

“Maaf…” lanjutku.

“Tidak.” Barulah sekarang wajah Sasuke terlihat serius, “Aku yang minta maaf. Kemarin memang aku yang salah. Harusnya tak kubiarkan hal itu terjadi. Tak kubiarkan mereka menyentuhmu….” Rahang lelaki itu mengeras. Kedua tangannya  terkepal. “Aku tak akan tinggal diam, Sakura. Aku pasti akan membalasnya. Orang-orang itu akan rasakan akibatnya…” Sejenak dia menghela, “Kalau saja waktu itu aku datang lebih cepat, mungkin kau tidak akan terluka seperti ini.” Raut wajahnya terlihat menyesal.

“Sasuke…” aku menatapnya lekat. “Tidak apa-apa. Aku juga sekarang baik-baik saja. Kau tidak terlambat. Terima kasih kemarin sudah menyelamatkanku.” kataku sambil tersenyum.

Sebentar aku pergi ke kamar mandi. Sekedar untuk cuci muka. Baru sadar kalau aku berantakan sekali sehabis bangun tidur tadi. Tampangku pasti kacau. Apa kesan Sasuke setelah melihatnya? Ugh~ kalau ingat hal itu rasanya aku jadi malu.

Setelah selesai mematut diri, aku turun ke lantai satu rumahku. Tepatnya menuju dapur dan langsung melihat isi kulkas. Sekilas aku mendengar suara TV di ruang keluarga menyala. Mungkin Sasori sedang asyik tiduran di sofa sambil makan camilan dan menonton acara favoritnya.

“Dasar nii-san tu, ada tamu tapi tak disuguhi apapun.” dengusku seraya mengambil dua kaleng soda.

Tidak ada jus tomat. Apa Sasuke akan suka? Ah, biarlah.

Kuambil pula sebungkus keripik kentang dan beberapa snack lainnya dari dalam lemari makanan.

Eh, aku berhenti sejenak

Blushing…

Rasanya kok mendadak aku jadi bersemangat begini setelah tahu dia datang dan ada di kamarku. Apa yang sedang kupikirkan sih? Padahal mungkin Sasuke juga tak akan lama menjenguk. Dia tertahan disini juga pasti karena hujan. Aku merutuk. Setelah berpikir seperti itu, kutaruh kembali camilannya dalam lemari. Bergegas kembali naik ke lantai dua.

“Maaf lama….” kataku begitu kembali ke kamar. Datang sambil membawa dua kaleng soda tadi. Kulihat Sasuke sekarang sedang berdiri di samping jendela. Menyender pada kusen dan sedikit menyibakkan tirai, memandang keluar. “Apa yang kau lihat?” tanyaku seraya menghampirinya.

“Sasori-nii pergi ya?” Sasuke malah balik tanya.

“Eh, masa?” Aku kaget mendengarnya.

“Aku lihat tadi ada orang yang keluar dari pintu depan.”

“Ah, haha, mana mungkin. Kau pasti salah liat. Itu tetangga kali atau tukang antar barang. Nii-san ada di bawah kok.” kataku menjelaskan.

“Oh, ya?”

Aku mengangguk, meskipun dalam hati sebenarnya tak merasa yakin. Aku tadi tak melihatnya sendiri. Tapi kalau memang benar pergi, Sasori pasti pamit padaku. Tak mungkin membiarkanku berdua dengan Sasuke disini.

Eh, berdua?

Deg, perasaan berdebar itu tiba-tiba muncul.

Sekilas aku memandang Sasuke. Makhluk berwajah rupawan itu kini tampak mempesona. Benar. Aku memang sudah tahu kalau dia tampan. Rambut ravennya mencuat kebelakang, menyisakan sejumput poni disisi kiri dan kanan, sesuai dengan garis wajahnya yang tegas. Lalu Onyx yang kelam itu pun seolah mampu menyedot diriku masuk kedalam genjutsu-nya. Membuatku semakin terpikat.

“Apa lihat-lihat?” tanya Sasuke.

“Tidak.” Aku menggeleng, mengenyahkan lamunanku. “Ini. Maaf tidak ada tomat.” kataku, menawarinya sekaleng soda.

“Lain kali sediakan.” balasnya seraya mengambil minuman itu dari tanganku.

“Haha, iya nanti kalau kau datang kemari lagi.”

“Hn.”

“…’

“Huachi…” mendadak aku bersin. Ah, rasanya malu sekali. Barusan aku tak kontrol diri.

“Sana kembali ke tempatmu. Dekat jendela begini malah tambah sakit kan.” kata Sasuke dan aku lekas menurutinya. Duduk di sisi tempat tidur sementara dia masih berdiri di tempat yang sama.

Sesaat suara hujan mengisi keheningan. Dalam diam, suasana disekitar kami mendadak terasa aneh. Aku memutar pandangan. Berdua bersamanya disini benar-benar membuatku salah tingkah. Sementara itu Sasuke mulai beranjak dari tempatnya. Berjalan berkeliling melihat-lihat isi kamarku.

“Rumahmu kecil ya, kamarmu juga sempit.” kata cowok itu.

“Ya jangan kau bandingkan dengan masion Uchiha milikmu dong.” balasku, “Kamarku mungkin cuma sepersekian luasnya kamarmu.”

“Setengahnya pun tidak.” kata Sasuke dengan belagunya mengoreksi.

“Tch, dasar sombong.” dengusku.

“Eh, ini cherry yang itu kan?” tanya Sasuke begitu sampai di meja rias dan menemukan lipgloss yang biasa kupakai. “Yang rasanya enak.” sambung lelaki itu.

Aku tertawa kecil, “Haha, kalau kau begitu suka rasanya, ambil saja. Coba kau pakai sendiri.”

“Hmm, tapi rasa cherry yang kusuka itu yang menempel dibibirmu.” balas Sasuke. Langsung membuatku blushing. “Sakura, kau lagi pake lipgloss ini gak?” tanyanya sambil berlagak polos.

“Te, tentu aja enggak. Aku kan lagi sakit.” balasku dengan gugup.

“Wah, sayang sekali. Padahal aku lagi ingin….”

“Apa maksudmu?” kugulirkan pandanganku lepas dari onyx-nya yang menggoda.

“Menurutmu apa?” Sasuke malah balik tanya.

“Sasu, jangan macam-macam kau ya.” kataku mulai khawatir melihat senyum itu berubah jadi seringai.

“Berarti kalau semacam, boleh dong.” kata Sasuke seraya mendekat.

“Eh, cukup! Berhenti disitu!” perintahku padanya. Tapi lelaki itu malah makin berani. Aku mundur dan naik ke atas tempat tidur. Melohok melihat Sasuke pun ikut merayap naik dan perlahan mendekat. “Ma, mau apa kau?” kataku takut-takut mencengkeram erat selimut, bersembunyi di baliknya. “Sana pergi! Atau aku akan teriak.” ancamku padanya.

“Hn. Coba saja teriak. Sasori-nii juga gak ada kan?” kata Sasuke.

Yah, memang. Dia tahu hal itu dengan pasti karena tadi dia melihatnya sendiri saat Sasori pergi.

“Nah, sekarang gimana dong Sakura, kita cuma berdua disini.” lanjut Sasuke.

“Memang kenapa? A, aku lagi sakit tahu. Kalau dekat-dekat nanti kau bisa tertular.”

“Hn. Biar saja. Kalau virus itu darimu, aku mau. Kau sakit juga itu salahku. Makanya aku akan ikut bertanggung jawab, Sakura.”

“Ta, tanggung jawab apa maksudmu?”

“Tularkan padaku.” kata Sasuke.

“Me, memangnya bisa?”

“Hn. Kau tahu kan ada cara cepat tularkan virus itu.” Sasuke kembali menyeringai, “Lewat mulut ke mulut.”

“Tidak. Jangan. Kubilang jangan mendekat!” teriakku, langsung menutup diriku dengan selimut. “Kyaaa~…” aku panik, saat Sasuke menyingkapkannya. Dia mendorongku jatuh. Sadar-sadar aku sudah ada dibawahnya. Sasuke menempatkan kedua tangannya di sisi kiri dan kananku. Menopang berat tubuhnya agar tak menindihku.

Glek… Aku menelan ludah. Berada dalam posisi ini membuatku tak nyaman. Merasa tegang. Jantungku kian berdegup kencang.

Perlahan Sasuke pun mulai mendekatkan wajahnya. Aku langsung merengut, merapatkan bibir dan menutup mata. Menghindarinya. Lalu…

Cup. Satu kecupan ringan mendarat diatas keningku.

“Eeh?” aku mengerjap, kembali membuka mata. Kaget juga barusan. Kirain dia bakal mengincar bibirku seperti biasa.

“Dasar kau! Memangnya barusan kau pikir aku mau apa?” Sasuke tertawa kecil. “Tenang saja. Aku tak akan memaksa. Tak akan lakukan itu kalau kau tak mau.”

“Fuih~…” aku sedikit bernafas lega. Tapi…

Kami berdua terdiam sesaat. Onyx dan Emerald bertemu. Hanya saling bertatapan, seolah sedang mencoba membaca isi hati masing-masing. Meyakinkan keinginan itu. Yang namanya manusia memang munafik. Kami pun begitu. Berapa persen kira-kira manusia tak akan benar-benar tergoda nafsu. Jarak ini sudah dekat. Tunggu apa lagi?

“Sasu…” bisikku menyebut namanya.

“Hn.”

Sasuke mulai mempersempit jarak. Membuat hidung kami bersentuhan. Dia masih menunggu. Jujur aku pun sekarang menginginkannya. Maka seiring ku menutup mata, bibir kami pun bersatu. Dari yang asalnya hanya menempel, berubah jadi saling melumat. Tak lama mulai membuka jalan supaya lidah itu pun ikut bertemu. Menginvasi isi mulut masing-masing. Sementara di seluruh tubuh, darah makin berdesir seiring degup jantung yang berdetak kencang.

Setelah cukup lama dan benar-benar kehabisan pasokan udara, kami sama-sama lepaskan pagutan itu. Sebentar menghela nafas, sebelum Sasuke kembali menggulum bibirku. Melakukan ciuman sedalam tadi. Sekali lagi.

“Sudah ah, Sasu…” kataku setelah berhasil melepaskan diri.

“Hmp, sebentar…” bisiknya ditelingaku. Kepala berhelaian raven itu pun menyusup diantara jenjang leherku. Membuatku tersentak. “Aku suka wangimu, Sakura.” Deru nafasnya menggelitik diatas kulitku. Aku bergidik geli. Sebentar Sasuke terkikik melihat reaksiku. Bukannya menjauh, dia malah sengaja melakukannya. Makin membenamkan diri, mencium leher jenjangku.

“Aaah~ Sasu…” aku tak sengaja mendesah karenanya. Sensasi yang dia berikan sungguh membuatku gila. Aku pikir kami harus berhenti sekarang, saat kesadaran dalam diri ini masih ada. Sebelum kami berdua benar-benar melakukan sesuatu yang masih tak boleh dilakukan. Tapi sialnya lebih dari setengah dalam diriku juga menginginkannya. Terbukti dari tanganku yang mulai mencengkeram kuat bahu Sasuke.

Sret… Tiba-tiba Sasuke bangkit. Aku menatapnya heran. Kenapa? Apa barusan aku melakukan sesuatu yang salah padanya?

“Rapihkan rambutmu Sakura.” katanya seraya menjauh dariku. Sasuke lekas turun dari tempat tidur. Walau masih tak mengerti, aku juga ikut bangun dan langsung menyisir rambutku dengan jari.

Tepat ketika itu…

“Sakura!!” teriak Sasori yang langsung masuk ke dalam kamar. Jantungku benar-benar nyaris copot saking kagetnya. Barusan hampir saja. Kalau Sasuke tak cepat peringatkan, kami pasti sudah ketahuan.

“Kenapa kaget gitu?” tanya Sasori, memperhatikan kejanggalan suasana.

“Haah? Ya ampun, nii-san. Memang siapa yang bikin kaget. Lain kali kalau masuk, ketuk pintu dulu kek.”

Sasori manyun. “Pintunya kan gak dikunci. Memang kalian sedang apa? Apa aku mengganggu?”

“Err, cuma ngobrol.” kataku sambil melirik Sasuke yang sudah kembali bersikap seolah tak terjadi apa-apa.

“Gitu?” Sasori manggut-manggut. “Hmm, apa kau demam lagi? Wajahmu memerah.”

“Hah?” Kusentuh kedua pipiku. Terasa panas. “Um, iya, mungkin saja, haha…”

“Terus apa itu di lehermu?” tanya Sasori lagi. Aku lekas menutupinya dengan sebelah tangan.  “Kalian tadi tidak sedang ‘itu’ kan?” Mata Sasori menyipit, berpandangan curiga.

“Te, tentu saja tidak. Memang nii-san pikir kami sedang apa? Ini karena gatal digigit nyamuk, makanya ku garuk sampai jadi merah.”

“Hmm, nyamuk apa nyamuk?” Sasori mendelik pada Sasuke. “Nyamuk gede?” sindirnya.

“Nii-san…” rengekku minta hentikan interogasi ini.

“Ya, baiklah. Aku percaya. Tapi…” Sasori menaruh sebelah tangannya di atas bahu Sasuke, “Kau masih ingat apa yang kukatakan sebelumnya, kan? Aku tak peduli meski kau ini seorang Uchiha, adiknya Itachi dan pacarnya Sakura. Berani berbuat yang tidak-tidak pada adikku, akan kubunuh kau!”

Haah??… aku cengo sesaat. Jadi itu yang Sasori bilang pada Sasuke.

Brother complex.” sindir Sasuke setelah Sasori pergi. “Kakakmu mengerikan.”

Aku tertawa kecil menanggapinya, “Dia hanya ingin melindungiku.”

“Hn. Memang aku mau berbuat apa padamu? Tak perlu secemas itu kan.”

“Hei, apa benar pikiranmu sedangkal itu? Kalau tadi nii-san tak datang, kita pasti…” wajahku kembali merona mengingatnya.

Sasuke hanya mendehem sambil garuk-garuk kepalanya yang mungkin tak gatal. Jelas dia mengerti apa maksudku.

“Sasu…” panggilku. Yang dipanggil hanya mengangkat sebelah alisnya. “Sebenarnya aku tak mengerti, kenapa kau selalu melakukan ini padaku, apa kau mencintaiku?” tanyaku langsung padanya.

“Hn.” Onyx itu hanya menatap.

“Kau mencintaiku?” kuulangi pertanyaan itu sambil berharap dalam hati.

“Kau sendiri?” Sasuke malah balik tanya.

“Aku…”

Drr… Drr… Nee ki koe masuka….

Ponsel yang kutaruh di meja samping tempat tidur itu bergetar sekaligus menghantarkan dering lagu Harumonia. Langsung menyela pembicaraan. Sejenak kualihkan perhatianku dari Sasuke, lekas mengambilnya.

“Moshi moshi…” sapaku begitu mengangkat telepon itu.

“Sakura-chan.” panggil seseorang diseberang sana.

Aku terdiam sesaat mendengar suara khas itu. Kenapa harus mendengarnya sekarang, di saat seperti ini? Suara yang dulu selalu membuatku berdebar. Gaara. Sementara dihadapanku sekarang Sasuke menatap lekat. Menunggu dan memperhatikan.

“Hmm, iya.” jawabku pada si penelepon.

“Kudengar kau sakit. Apa sudah baikan?”

“iya.” jawabku sambil mengangguk pelan.

“Syukurlah.” Sesaat terdengar Gaara menghela nafas lega, “Um, Sakura, boleh aku datang menjenguk?” tanya cowok itu.

“Hah?!”

“Aku jenguk ya?” Gaara kembali mengulangi.

“Um, tapi…” Aku menatap Sasuke, “Tidak usah, kak.”

“Eh, kenapa?”

“Sakitku juga tak parah. Lagipula…” Aku masih menatap dalam Onyx itu, “Aku sedang bersama Sasuke.”

“Oh, gitu~ Ada Sasuke ya…” Suara Gaara terdengar syok. “Aku mengerti.”

“Maaf.” kataku. “Terima kasih sudah mencemaskanku.”

Gaara terkekeh pelan, “Iya. Semoga cepat sembuh saja ya, Sakura.”

“Hn.”

“Sampai nanti.”

Tuut… tuut… Sambungan teleponnya terputus. Aku kembali menutup ponselku.

“Dari dia?” tanya Sasuke setelah semuanya selesai. Aku mengangguk pelan. “Hhh~…” Lelaki itu menghela nafas panjang. Melipat kedua tangannya didada. Duduk menyender dan memalingkan wajahnya dariku.

“Sasu…” Kupanggil namanya, tapi dia tetap mengacuhkanku. Lekas saja aku beranjak dari tempatku sekarang dan berjalan menghampirinya.

“Sa~su~ke~” panggilku lagi dengan nada terdengar manja sembari kuulurkan tanganku membingkai wajah tampannya. Memaksa dia kembali melihatku. Sekarang kami berhadapan. “Kau cemburu?” tanyaku kemudian.

“Hn.”

Aku tersenyum melihat ekspresi di wajahnya. Tampang kesal dengan kening sedikit berkerut.

“Kau benar-benar cemburu ya.”

“Hn. Begitulah.”

“Manisnya~…” kataku, semakin gereget melihat wajahnya.

“Bukan itu yang ingin kudengar, Sakura.” kata Sasuke.

“Kalau begitu apa? Kau ingin aku bilang apa?”

“Pikir aja sendiri.” jawabnya ketus.

“Aku juga ingin mendengarnya darimu.”

“Apa?”

“Hei, berhentilah main tebak-tebakan gini. Kita sudah sama-sama tahu kan. Kenapa tak langsung mengatakannya?”

“Kalau sudah sama-sama tahu ya tak perlu dikatakan, baka!” makinya padaku.

“Iih, tapi kau juga kesal karena aku tak mengatakannya, kan?”

“Hn.”

“Sasuke.” Aku panggil namanya, “Pokoknya ini salahmu. Kau benar-benar harus bertanggung jawab.”

“Hn. Aku tidak melakukan apa-apa padamu.”

“Kau sudah melakukannya.” Perlahan kudekatkan wajahku, “Karena aku sudah benar-benar jatuh cinta padamu.” kataku seraya mendaratkan bibirku diatas bibirnya.

Disela ciuman, Sasuke tersenyum, “Benarkah?”

Aku mengangguk. Menurunkan tanganku dari wajahnya, berganti mengalungkannya di leher pemuda tampan itu. Sementara tangan Sasuke pun melingkar dipinggangku.

“Aishiteru, Sasuke-senpai.”

“Aishiteru mo~ Sakura-chan.” bisiknya. “Arigatou.”

Sasuke kembali mengecupku lembut.

“Heh! Apa yang kalian lakukan?!” teriak Sasori.

Kemunculannya yang tiba membuat kami berdua gelagapan. Lekas menjauh melepaskan pelukan. Gawat. Pasti barusan Sasori lihat.

“Ano, Nii-san, ini, kami cuma…”

“Sasuke, beraninya kau…” Sasori mulai melemaskan jari-jari tangannya yang terkepal. “Sudah kubilang jangan…”

“Tunggu, nii-san…” Aku berusaha hentikan. Tapi…

Bletak!…. Sasuke kena jitak. “Aw…” ringisnya kesakitan.

Aah~ kakakku memang over protective.

Maaf Sasuke…

@@@
TBC……… next to last chapter 
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Bachot Session from Author:

Waa~ tepat waktu (^-^)/ Benaran jadi juga nih chapter.  Ya Ha~

Selama penulisan, Author sudah gila dengan ketawa dan senyum-senyum GaJe mencurigakan, mikirin ide laknat ini, fufufu~ Tapi untung saja tidak sampai jadi bikin rate-M, walau sudah mengarah *mungkin*… tapi tidak, kan??

Apa ini sudah cukup menjawab penasaran readers sejak spoiler 8?

Walaupun aneh?

Abal?

huff~ ya biarlah (=__=”)a

Cerita juga sudah mulai mendekati akhir 😀

Ada apa dengan Gaara? Rasanya sebel juga sekarang dia jadi ngejar-ngejar Sakura. *Mending Gaara kejar aku ajah* fufufu~ #plaakk

Spoiler???

Hmm, tidak ada spoiler.  Maaf… *Lom kepikiran* hehe~

Yang jelas akan ada konflik antara Sasuke dan Gaara.

Jadi tunggu saja chapter 10-nya…  *moga bisa cepet publish*

This chapter special for YaYak, sv3p, Kazunarilady, kimsongeum, Yua-Yuki Bento Gobel, AoLia Seiya, Saifful, Niken, Niemoe, nandhaa, Han Eun Sung, dan kamu yang udah baca Fic ini…

Terima kasih banyak….  m(_ _)m

Sekali lagi dengan tidak bosan-bosannya Author ingatkan bahwa Readers yang baik adalah yang komen, hehe~ Jadi jangan sampai lupa ya

Jaa~ (^-^)/

34 Comments

Leave a Reply

2 Pings & Trackbacks

  1. Pingback:

  2. Pingback:

Leave a Reply to Marshanti Lisbania Gratia Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *