Cerita sebelumnya…. Baca [Chap 1] [Chap 2] [Chap 3] [Chap 4][Chap 5]
Terkadang aku merasa seperti aku berdiri di depan cermin. Bayangan yang terpantul di hadapanku adalah cerminan diriku.
Ekspresi dingin itu… sorot mata tajam, pandangan sinis… bibir yang tersungging, senyum meremehkan… kata-kata ketus, sikap kasarnya…
“Pergi! Aku muak melihatmu. Kau menyebalkan! Aku membencimu, Sasuke Uchiha!”
Persis…
Semua yang Sakura lakukan padaku sekarang tampak sama seperti aku yang dulu.
Memang menyebalkan, rasanya sakit dan kecewa. Tapi terkadang kupikir ini juga menggelikan. Kehidupan kami berdua benar-benar berubah. Seolah aku dan dia kini berganti peran. Saat aku membencinya, dia mencintaiku. Saat aku mencintainya, dia membenciku. Apa ini yang namanya karma?
=0=0=0=
Cherry, LOVE me [again] : Chapter 6
Chapter: 6/?
Pair: Sasuke Uchiha x Sakura Haruno
Rate: T
Genre: Romance, Hurt
Disclaimer: NARUTO © MASASHI KISHIMOTO
Length: 3.462 words
WARNING: OOC, Canon, typo, alur GaJe cerita se-mau-gue.
Story by
Me!! [FuRaha]
If you don’t LIKE? Read? Don’t Read?
WHATEVER!!!
~Itadakimasu~
*
*
*
Tap…
Maju selangkah, aku terdiam.
Tap… Tap…
Maju selangkah lagi, aku tetap terdiam.
Tap… Tap… Tap…
Tak kulepaskan sedikitpun pandanganku darinya. Terus memperhatikan gerak gadis berhelaian merah muda itu yang dengan susah payah mencoba berjalan selangkah demi selangkah.
Tap… Tap… Tap… Sret…
Gawat!
Aku langsung menghampirinya, cepat menahan tubuh itu seketika kulihat dia hampir terjatuh.
“Berhati-hatilah. Jangan terburu-buru.” kataku.
Sakura mendelik seraya menepis tanganku, “Diam. Bukan urusanmu.” desisnya.
“Iya, memang bukan urusanku. Tapi aku tak bisa biarkan kalau kau sampai jatuh dan keadaanmu jadi lebih buruk lagi. Sudah, jangan dipaksakan. Ayo kita kembali ke kamar sekarang.” bujukku.
Sudah berminggu-minggu ini Sakura mulai menjalani terapi guna melancarkan kembali sistem gerak yang kurang berfungsi akibat luka kejadian itu dan lama terbaring koma. Meskipun aku senang melihatnya begitu berusaha dan bersemangat, tapi terkadang dia sampai lupa waktu dan kelelahan akibat terlalu memaksakan diri.
“Huh~…” Sakura bergumam pelan, entah apa yang dia bicarakan tapi itu seperti sedang mencibirku. Cuma sekilas terdengar dia bicara, “… pikir ini semua salah siapa…” gerutunya.
“Heh, apa kau masih menyalahkan aku?” tanyaku, seusai membopong gadis itu kembali duduk di kursi roda. “Apa kau lupa kalau kau jadi begini juga karena kebodohanmu sendiri? Harusnya dulu sebelum kau nekat melakukannya, kau pikir akibatnya. Sekarang rasakan. Masih mending kau tak sampai ma…”
Aku berhenti bicara ketika kulihat Sakura terdiam. Gadis itu tampak tak suka mendengar perkataanku. Ekspresinya langsung bikin aku jadi tak enak hati. Tanpa sadar sifat asliku keluar. Aku yang tak mau dipersalahkan jadi terlalu berterus terang dan itu mungkin menyinggungnya.
“Hmm, ya, apapun keadaanmu sekarang, bersyukurlah kau masih bisa selamat.” lanjutku.
“Hahahaha~…” Sakura tiba-tiba tertawa kecil, emerald-nya sekilas menatapku sebelum kembali bergulir memandang ke arah lain. “Bersyukur katamu? Padahal aku berpikir lebih baik kalau aku ini mati saja. Kau tak tahu kesakitan seperti apa yang sekarang aku alami. Hidup seperti orang cacat. Memulai kembali segalanya dari awal. Belajar merangkak, selangkah demi selangkah seperti bayi yang baru mulai berjalan.”
“Aku mengerti maksudmu. Tapi meskipun aku tak tahu bagaimana rasa sakit itu, kupikir kau tak pantas bicara soal kematian. Kalau kau benar mati, orang tuamu pasti akan sedih, lalu aku…”
“Apa?” tanya Sakura dengan sinisnya, “Apa kau akan menyesal?”
“Hn.”
“Tch, mustahil. Bukankah kau bilang kau akan bahagia kalau aku mati? Itu harapanmu kan? Iya, pastinya begitu. Tak ada lagi orang yang mengganggumu. Rasanya pasti menyenangkan. Daripada sekarang kau berpura-pura baik dan mengurusku. Tapi kau aneh Sasuke, ini tak seperti dirimu. Aku bilang aku melepaskanmu, tapi kenapa kau malah kembali padaku? Jangan pura-pura menunjukkan penyesalan. Aku tak butuh. Karena itu berhentilah bersikap sok baik padaku!”
“Kau yang sebaiknya berhenti Sakura, jangan menuduhku. Aku tak sedang berpura-pura atau merasa terpaksa melakukan semua ini. Memang benar seperti yang kau lihat, aku sangat menyesal. Tapi yang kusesali bukan hanya karena aku yang membuatmu jadi seperti ini, melainkan karena aku terlambat menyadari perasaanku.”
“Perasaan? Tch,…” Sakura berdecih, lantas menorehkan satu senyum meremehkan. “Perasaan benci maksudmu….”
Aku hentikan dia sesaat Sakura mulai menggerakkan kursi rodanya, hendak pergi dariku.
“Cinta.” kataku, kembali menatap lekat emeraldnya, “Yang kumaksud, aku mencintaimu.”
“Benarkah?” tanya Sakura, “Kau sungguh mencintaiku, Sasuke?”
Tanpa ragu aku pun mengangguk. Sakura tersenyum, membuatku merasa senang melihatnya. Terlebih lagi ketika perlahan dia letakkan sebelah tangannya di pipiku. Seraya jarak kami semakin dekat, dengan lembut Sakura terus membelaiku.
“Sasuke~…” bisiknya, berbicara dengan nada manja yang menggoda. Aku jadi berdebar. Berpikir akhirnya perasaanku terbalas. Tinggal sedikit lagi sampai bibir kami bersentuhan, tapi Sakura cepat menyingkir dan berbisik di telingaku. “Benci.” desisnya, “Sayangnya aku sekarang membencimu, tuan Uchiha. Menyedihkan sekali cintamu itu cuma sepihak.”
Deg!…
Jantungku makin berdegup kencang. Hanya bedanya tadi, debaran ini lebih terasa sakit. Jiwaku seakan terhempas ketika mendengar perkataannya.
Sakura kembali menurunkan tangannya dan menjauh. “Aku yakin kau cukup pintar untuk mengerti apa yang tadi kukatakan. Jadi pergilah, jangan ganggu aku lagi, Sasuke.” ucap Sakura dengan ekspresi dingin.
Gadis itu lekas berlalu pergi. Meskipun kelihatannya sulit, dengan susah payah dia gerakkan kursi rodanya sendiri. Sementara aku hanya terdiam memperhatikannya dari belakang.
Masih memikirkan pernyataan Sakura tadi, aku jadi teringat masa lalu. Aku pun pernah, tidak, tepatnya selalu berkata seperti itu setiap kali gadis itu nyatakan cinta.
‘Benci. Aku membencimu, Sakura.’
‘Benci. Aku membencimu, Sasuke.’
Sekarang dia membalasnya, membuatku menyadari sakitnya penolakan.
“Hahaha~…” aku tertawa kecil. Miris rasanya. “Oh, seperti ini rasanya mencintai? Seperti ini rasanya dibenci?” gumamku.
Sesuatu dalam dadaku bergejolak. Hatiku kesal. Namun, entah kenapa meski aku kecewa, perasaanku tetap tak berubah. Apa karena sekarang aku sungguh mencintainya?
=0=0=0=0=
…
=0=0=0=0=
“Kau ini bodoh? Atau tuli?” tanya Sakura.
“Hn.”
“Kau tak dengar apa yang kukatakan kemarin? Bukankah sudah kubilang jangan temui aku lagi. Untuk apa kau datang kemari dan menggangguku!” teriaknya kemudian.
Aku mengerling. Menunjukkan sikap tak peduli apapun ocehannya. “Terserah aku mau datang atau tidak. Kau tak berhak melarangku, Sakura.”
“Apa?!” Sakura menggigiti bibirnya, emeraldnya berkilat dan tangannya terkepal. Kalau saja dia bisa dengan mudah bangun dari tempat tidur. Pasti gadis itu akan langsung berlari menghampiri dan menghajarku, saking kesalnya.
“Diam. Tenangkan pikiranmu.” kataku seraya mengambil kursi dan lekas duduk di sisi ranjangnya. “Kau tahu, dokter bilang kau bisa terkena stress kalau terus marah-marah tak jelas.”
“Memangnya ini salah siapa, heh, kau sendiri yang membuatku marah.”
“Apa salahku?”
“Kau memuakan. Aku benci melihatmu.” jawab Sakura.
“Kalau gitu kau jangan lihat. Pura-pura saja aku tak ada disini.”
“Mana bisa begitu, kan? Ughh~…” Sakura tampak makin kesal.
“Hn. Bagaimana rasanya Sakura, kalau kau terus dikejar, dikuntit orang keras kepala yang meski ribuan kali kau katai dan perlakukan dia dengan kasar tetap saja tak mau menurut. Menyebalkan bukan? Aku juga dulu seperti itu.”
“Hah?”
“Sadarilah. Posisi kita sekarang jadi terbalik. Aku yang dulu membencimu sekarang jadi mencintaimu dan kau yang dulu mencintaiku sekarang malah membenciku. Lalu kau mulai bersikap seperti aku yang dulu. Aku sendiri mulai merasakan rasanya jadi dirimu yang ditolak terus menerus. Tapi…”
“Tapi apa?” tanya Sakura.
“Kau bukan aku dan aku bukan kau.” jawabku.
“Tch, tentu saja, kan.” Sakura melipat kedua tangannya di dada, matanya masih memandangku sebal.
Aku tersenyum, senang melihatnya. Walau sedang marah, Sakura tetap telihat cantik. “Hmm, mau makan apel?” tawarku, mulai mengalihkan pembicaraan. Memang tak akan ada habisnya kalau terus berdebat dengan Sakura. Tak seperti dulu, Sakura yang sekarang sama keras keras kepalanya denganku. Gadis itu bukan lagi gadis lugu penurut yang mengikuti apapun keinginanku.
Sakura tak menjawab tawaranku. Aku berinisiatif sendiri mengambil sebuah apel dari keranjang buah dan mulai mengupas kulitnya.
“Kenapa kau selalu datang? Memangnya kau tak punya kerjaan lain lagi apa selain menjengukku?” tanya Sakura. Aku senang dia duluan yang bertanya dan mulai membuka pembicaraan baru, memecah suasana hening yang ada.
“Hn.” Aku menggeleng pelan. “Tak ada.” jawabku singkat.
“Kuliahmu?” tanya Sakura lagi.
“Lancar-lancar saja. Kau tahu kan aku pintar, jadi mudah bagiku mengikuti semua pelajarannya.” Sedikit aku melirik kearah Sakura, kukira dia akan balas mengataiku ‘belagu’ dan semacamnya setelah mendengar jawabanku. Tapi gadis itu malah tampak terlihat sedih. Ya, aku mengerti perasaannya. Sakura pasti kecewa, setelah lulus harusnya dia juga sama. Menjalani kehidupan normal, melanjutkan studinya. Bukannya malah terbaring sakit seperti sekarang.
“Uhm, tahun depan kau mau ikut ujian masuk universitas, kan? Kalau kau mau, aku bisa mengajarimu.” tawarku sambil sedikit menggodanya.
“Hah?!” Sakura cepat-cepat menggeleng. “Tidak, terima kasih. Kau pikir dirimu cukup bisa diandalkan? Aku bisa belajar sendiri atau dari orang lain, yang jelas bukan darimu.” balas Sakura.
Aku terkekeh pelan, “Hehehe~… perasaan dulu siapa ya yang dengan gigihnya membujukku supaya mau belajar bersama menghadapi ujian kelulusan? Seorang gadis manis yang setengah merengek minta aku ajari.” sindirku, mengenang masa lalu.
“Oh, iya, si gadis bodoh itu.” kata Sakura. “Yang dulu kau katai, ‘urus saja urusanmu sendiri’, dan langsung kau tolak bujukannya mentah-mentah, Sasuke.”
Ugh~… Sakura berhasil membalasku. Yang dia katakan memang benar, waktu itu aku menolaknya. Dan kalau kuingat lagi, aku tak pernah sekali pun menuruti apa maunya. Sebaiknya jangan bahas lagi masa lalu, karena pasti aku yang akan kalah.
“Kalau Karin?” tanya Sakura.
Aku diam sesaat. Bisa kutebak apa yang sebenarnya ingin dia tanyakan.
“Daripada mengurusku bukankah lebih baik kau pergi kencan dengan pacarmu itu?” lanjut Sakura.
“Hn.” Aku sedikit menyunggingkan bibirku, tersenyum samar. “Sudah putus.” kataku seraya memotong lembar kulit apel terakhir. Masih bersikap tenang kini kupotong apel-apel itu.
Sakura mengernyit, menatapku heran. “Kau putus dengan Karin?” tanyanya masih tak percaya. “Bohong kan? Tak mungkin kau…”
“Itu sudah lama.” selaku cepat, “Sudah sejak perpisahan kelas tiga lalu. Aku mengakhiri semuanya. Dan kau tahu apa alasannya?” tanyaku.
Sakura diam tak menjawab. Dia ingin aku sendiri yang jelaskan.
“Itu karenamu…” lanjutku.
…
=== flashback: ON ===
Sejak aku membaca diary milik Sakura, aku makin tak bisa berhenti memikirkannya. Bukan karena rasa kasihan teringat kondisi gadis itu sekarang. Terbaring sakit dan belum sadarkan diri. Bukan pula karena aku takut menghadapi rasa bersalahku. Tidak. Bukan itu. Bahkan setelah Kaa-san mengetahui hubunganku dengan Sakura tak sebahagia kelihatannya, terlebih lagi dengan adanya Karin, Kaa-san menuntutku untuk menyelesaikan semuanya. Tapi aku lakukan semua itu bukan karena aku terpaksa.
Aku bisa saja tetap pada pendirianku dulu. Sekali aku benci Sakura, aku akan selalu benci. Tapi ternyata ungkapan perasaan gadis itu yang tertuang dalam diary-nya yang kubaca berhasil menyentuh hatiku. Aku sadari kalau aku begitu dicintainya. Dan entah kenapa kali ini aku tak bisa mengabaikan perasaan itu. Perasaanku sendiri terhadap Sakura pun perlahan mulai tumbuh.
…
…
…
“Haruno?” Karin menatapku tak percaya, “Maksudmu Sakura Haruno si gadis penguntit sialan yang dulu aku labrak?”
“Hn.”
“Kau bohong kan, Sasu?” gadis berhelaian merah dan berkacamata itu mencengkeram kemeja seragamku. “Katakan kalau itu tidak benar. Bagaimana mungkin dia itu tunanganmu? Aku tak percaya. Hahaha~…” Karin berulang kali menggelengkan kepalanya, “Kau pasti bercanda. Cari alasan lain yang lebih logis Sasuke kalau kau ingin putus dariku.”
“Terserah kau mau terima atau tidak. Yang jelas aku tetap tak bisa pacaran lagi denganmu.”
“Kenapa?” tanya Karin, “Abaikan lagi saja gadis itu. Aku tak peduli dia tunanganmu atau apa. Kau tak mungkin bisa bersamanya. Bukankah dia juga sudah sekarat dan hampir mati.”
“Jaga ucapanmu!” bentakku. “Tak ada yang mati. Sakura pasti sembuh.” Belakangan ini aku jadi sensitif mendengar kata ‘mati’, apalagi kalau itu ada hubungannya dengan Sakura.
“Sasu, apa semua ini hanya karena rasa bersalahmu?” tanya Karin, “Kau tahu, mungkin gadis itu hanya menggertakmu. Dia lakukan hal nekat itu untuk mengikatmu dengan rasa bersalah. Jadi saat dia sadar nanti, kau terpaksa harus bersamanya. Aku juga bisa lakukan hal yang sama lho, kalau kau terus bersikeras minta putus, aku akan bunuh diri!” ancam Karin.
“Apa yang akan kau lakukan?” tanyaku, “Apa kau berani terjun dari gedung lantai atas? Menabrakkan diri ke depan kereta? Mengiris nadimu? Atau Harakiri?”
Wajah Karin berubah pucat mendengar aku balas menantangnya. Dia pikir ancamannya itu bisa mempengaruhiku. Karin bukan gadis bodoh seperti Sakura yang rela korbankan dirinya sendiri untuk sekedar menarik perhatianku. Meski sebenarnya hal inilah yang paling kusesali. Kenapa Sakura begitu bodoh menuruti kata-kataku dulu.
“Terserah apapun yang kau lakukan, aku tak peduli.” kataku seraya melangkah pergi darinya.
…
=== flashback: OFF ===
…
…
…
“Jadi begitu…” Sakura tersenyum samar, “Kau pasti menyesal sudah putus dengan gadis secantik Karin dan malah terjebak bersamaku sekarang. Harusnya kau…”
“Tidak.” bantahku cepat menyela perkataan Sakura, “Aku tidak menyesal. Harusnya aku lakukan itu dari dulu. Dan kau Sakura,…” Sambil tersenyum aku dekati dia, “Kau jutaan kali lebih cantik dari Karin.” godaku.
“Hah?!” Sakura tampak sweatdrop, “Hentikan gombalanmu yang gak bermutu itu. Berisik!” Sakura lekas palingkan wajahnya dariku. Menyembunyikan semburat garis merah yang muncul di kedua belah pipinya.
Manisnya~… pikirku. Aku paling suka kalau sudah menggodanya seperti ini.
“Nah, sekarang buka mulutmu, aaaa~…” kataku sambil menyodorkan sepotong apel kehadapannya.
Bukannya menurut, Sakura malah balas men-death glare-ku.
“Ayolah Sakura-chan sayang, atau kau mau kusuapi pakai mulutku seperti kemarin, hmm…”
Sakura makin melotot, “Heh, jangan membual. Mana pernah kau lakukan itu.” desisnya.
“Hn. Makanya mau coba sekarang?” Aku terus goda dia. Dan ketika ujung potongan apel itu nyaris aku gigit, Sakura cepat menyambar garpunya dari tanganku.
“Aku bisa sendiri. Hup…” gadis itu langsung memakan apelnya. “Jangan lakukan hal menjijikan seperti itu lagi, Sasuke.”
Hmmpp… aku tahan tawaku. Melihat Sakura sekarang tampak begitu menarik. Andai dulu cepat kusadari dan menjalin hubungan kami lebih akrab. Kurasa akan lebih menyenangkan. Aku tak perlu berputar jauh, kembali lagi dari awal, mengejar cintanya.
…
Kulirik jam tanganku. Waktu istirahat makan siang hampir habis. Walaupun sebenarnya masih ingin lebih lama menghabiskan waktu berdua dengan Sakura, tapi sekarang aku harus secepatnya pergi kalau tak ingin terlambat masuk kelas berikutnya.
“Aku pulang dulu ya Sakura.” pamitku, seraya mengambil tas ranselku.
Seperti biasa Sakura hanya menatapku tajam seolah berkata, ‘terserah mau pergi kek, sana pergi!…’
“Sampai besok.” kataku.
Sakura masih terdiam, padahal biasanya dia berteriak, ‘Jangan datang lagi!’
Ada apa dengannya? Aku jadi heran sendiri.
“Sasuke!” panggil Sakura sesaat sebelum aku melangkah keluar. Aku lekas menoleh menanggapi panggilannya. “Uhm, terima kasih.” gumamnya pelan tapi masih jelas terdengar olehku.
Aku balas tersenyum padanya. Kata ‘terima kasih’ itu entah dia tujukan untuk apel yang kupotong atau penjelasanku tadi soal Karin, yang pasti aku senang mendengarnya.
“Tapi, percuma saja Sasuke, kau sebaik ini padaku juga aku tak akan jatuh cinta lagi padamu!” kata Sakura kemudian, kembali berkata ketus.
Aku terkekeh pelan, “Haha~ iya. Aku tahu ini tak mudah. Tapi jangan sebut aku seorang Uchiha kalau aku tak bisa melakukannya.”
Sekali lagi onyx dan emerald bertemu.
‘Aku pasti akan membuatmu jatuh cinta lagi padaku, Sakura.’ tekadku dalam hati.
=0=0=0=0=
…
=0=0=0=0=
Aku benci melewati hari rabu. Jadwalku padat, nyaris tak bisa luangkan waktu untuk menjenguk Sakura. Membuatku rindu, ingin bertemu. Aku gelisah melewati hari yang panjang. Berharap malam cepat berlalu. Siangnya aku sampai terburu-buru datang ke Rumah Sakit. Tapi apa yang kudapat?
Kosong.
Saat aku membuka pintu kamarnya, Sakura tak ada. Suster yang menjaganya bilang Sakura pergi keluar. Sejak dia mulai lancar berjalan sendiri, walau masih belum sepenuhnya pulih, gadis itu jadi sering keluyuran. Mungkin karena bosan terus diam di kamar. Tapi setidaknya tak bisakah dia menungguku dulu. Aku juga kan bisa mengajaknya jalan-jalan.
“Ck~ keluyuran kemana sih, Sakura?!!” kesalku, ketika kutelusuri tempat-tempat di Rumah Sakit yang mungkin didatanginya. “Jangan-jangan…” Setengah hatiku mulai resah saat terlintas satu tempat terakhir yang belum kuperiksa.
Dan benar saja dugaanku. Ketika sampai di taman, kulihat dari jauh helaian soft-pink khasnya yang terurai, sudah jelas itu milik Sakura. Seraya menghampirinya, baru saja hendak kupanggil, langkahku sesaat terhenti. Aku terhenyak menyaksikan pemandangan yang begitu menyakitkan mata dan hatiku. Saat kulihat Sakura dengan mesranya berjalan sambil merangkul lengan seorang pria.
‘Tch, dia lagi. Mau apa si kepala merah itu, beraninya mendekati tunanganku. Awas kau ya!’ gerutuku dalam hati.
“Sakura!” panggilku.
Sang pemilik nama itu lekas menoleh, termasuk si pria berhelaian merah dengan tampang baby face-nya ikut-ikutan melihat ke arahku.
“Kembali ke kamar sekarang!” perintahku. Lekas kutarik tangan Sakura yang masih berpegangan dengan pria itu.
“Apa sih?! Jangan sembarangan ya Sasu, aku masih ingin di sini.” balas Sakura.
“Heh kau! Jangan main kasar sama cewek ya.” ucap si rambut merah itu ikut-ikutan.
“Kau…”
“Sudah cukup Sasu!” Sakura cepat menyela sebelum aku sempat membalas perkataan si rambut merah sialan itu. Ehm, siapa ya namaya, aku lupa.
“Maaf kak Sasori….” kata Sakura.
Ah, iya benar. Si rambut merah itu namanya Sasori Akasuna. Pertama kali bertemu Sakura sepertinya di ruang terapi. Dia cedera tulang kaki setelah mengalami kecelakaan mobil. Sakura yang kesepian seolah mendapat teman. Lalu entah sejak kapan keduanya mulai akrab. Sebenarnya aku tak keberatan dia mau berteman dengan siapapun, hanya saja jangan dengan orang ini. Iih~ aku tak suka dengan sikapnya yang ganjen, caper di hadapan Sakura.
“Ayo kita kembali kak.” ajak Sakura yang bukannya memilih jalan bersamaku malah kembali merangkul Sasori.
Duuh~ kalau tak ingat dia pasien sudah kuhajar orang itu, atau dengan paksa menyeret Sakura pergi. Huff~ akhirnya dengan sabar aku tahan emosiku. Walaupun masih kesal aku cuma bisa berjalan dibelakang mereka.
“Sebenarnya dari dulu aku heran. Dia itu siapa sih Sakura, sok mengaturmu.” tanya Sasori sembari mendelik padaku. “Pacarmu?”
“Hahaha~ bukan.” jawab Sakura sambil tertawa, “Dia itu apa ya? Hmm, mungkin cuma sekedar pengurusku, hihihi~…”
WHAT THE….
Aku benar-benar tersinggung mendengarnya.
“Aku tunangannya.” kataku dengan tegas seraya menghadang Sasori. “Jadi kau jangan macam-macam.”
Sasori mengangkat sebelah alisnya, mengernyit meragukanku. “Benarkah?”
Sakura nyengir, lalu berjinjit berbisik pada Sasori. Entah apa yang dia bicarakan, tapi Sasori tampak menahan tawa sambil melirikku. Rasanya mereka berdua seperti sedang mengejekku.
Sampai di depan kamar, “Sudah cukup. Sakura, cepat masuk!” kataku sembari menarik tangannya dari Sasori. Setengah memaksa aku seret dia.
“Sampai nanti ya kak.” Sebentar Sakura berpamitan. “Terima kasih untuk hari ini. Aku senang sekali.” Lalu…
Cup~…
Onyx-ku membulat seketika kulihat dia mencium pipi Sasori di depanku.
“Hahaha~… iya. Sampai nanti. Bye…” ucap Sasori seraya pergi.
Sasori jelas kegirangan diperlakukan seperti itu oleh Sakura. Sedangkan aku malah tambah ingin menghajarnya. Kesal. Geram. Aku hanya bisa mengepalkan tanganku. Dan sebaiknya dia bersyukur aku masih cukup mampu menghalau kemarahanku itu, tidak sampai mengamuk saking tak terimanya.
Kulirik Sakura yang dengan tampang tak bersalahnya kembali ke kamar dan segera naik ke tempat tidur.
“Kenapa kau sembarangan cium dia?” tanyaku. Makin kuingat kejadian tadi, rasanya makin kesal. Tapi aku tak tahan kalau terus diam saja. “Kau sengaja?”
“Iya.” jawab Sakura. “Aku mau cium siapa juga bukan urusanmu, kan?”
“Jelas urusanku. Aku tak suka perbuatanmu.” kataku, lekas kuhampiri Sakura. Gadis itu berontak saat aku tahan kedua bahunya. “Jangan lakukan ini lagi padaku, Sakura. Atau aku akan benar-benar marah. Jangan buat aku cemburu!”
“Tch,…” Sakura mengerling. Dengan paksa dia mendorongku. “Cemburu? Haha~ kau cemburu? Bagaimana rasanya?” tanya Sakura. Bibirnya tersungging, menunjukkan senyum meremehkan. “Cemburu itu tak menyenangkan. Rasanya sakit kan, Sasuke? Kau tahu aku simpan penderitaan itu selama bertahun-tahun…” balas Sakura lagi.
Dan itu benar-benar membuatku diam. Perkataannya langsung menusuk hati. Menyinggung masa lalu. Teringat aku pun sering memanasinya seperti itu dengan Karin dihadapan Sakura. Meski dia tak pernah bilang, meski aku sadari hatinya terluka, tapi dulu aku sama sekali tak peduli dengan penderitaannya.
“Apa hakmu sekarang melarangku?” kata Sakura.
Aku ingin bilang, ‘aku ini tunanganmu’ tapi lidahku kelu, tak bisa mengatakannya. Seolah kini aku tak punya kekuatan apapun untuk membalasnya.
“Menyerahlah Sasuke, usahamu sia-sia. Jangan berpikir aku akan mencintaimu lagi. Rasa itu sudah hilang. Kecuali kalau kau mau menderita seperti aku dulu. Terserah. Yang pasti aku bisa lebih kejam darimu.”
“…”
=0=0=0=0=
TBC… Next to chapter 7
=0=0=0=0=
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Bachot session from Author:
A~Ye~… (^-^)/ “Akhirnya publish juga. Maaf lama~…” <– kayaknya ini udah jadi kalimat wajib Author tiap ng-bacot deh, hehe~ (=___=)a
Wkwkwk~… bahkan tulisan itu pun saya copas dari chapter sebelumnya, heu~… *saking malesnya*
Hmm, langsung saja ah tidak usah banyak bachot.
This chapter special for YaYaK, kazunarilady, Dwi Kharisma, asdf, Marshanti Lisbania Gratia, Lailan slalu mencintai ghalma, Sarah Zakila, sv3p, Jile Tamariska Sing, Decha, chii, Sslove, Itha, dan kamu yang udah baca Fic ini tapi gak meninggalkan jejak komen. Terima kasih sudah baca (^-^)/
Syukur klo ceritanya suka dan maaf klo masih jauh dari yang diharapkan. Karena itulah Komen/Review sangat diharapkan… m(_ _)m
Apa?! Spoiler chapter 7 – 8 ????
—- *Yang gak suka dikasih bocoran, silahkan lewati bagian ini*—–
…
“Selamat datang kembali, Sakura!” sambut kami semua.
…
“Sembarangan, kurang ajar sekali kau berani baca diary orang!”
…
“Hmm, terus saja pura-pura menolak Sakura, padahal kau juga suka kan? Dasar cewek munafik.”
…
“Keterlaluan. Jahat. Tega sekali kau berbuat ini padaku. Aku makin muak padamu. Benci. Benci. Benci. Aku membencimu, Sasuke!”
…
“Akan kuadukan hal ini pada orangtuaku dan minta pertunangan kita dibatalkan.”
…
“Huh~ percuma. Dulu aku saja tak bisa, apalagi kau.”
…
“Sungguh kau bisa tega hancurkan kebahagian mereka?”
…
“Terserah apapun yang kau lakukan. Tapi aku tak akan tinggal diam kalau itu menyangkut kebahagiaan ibuku.”
…
“Bagaimanapun juga ada janji yang harus kutepati. Aku tak akan seperti orang itu. Aku tak ingin seperti dia.”
…
“Uchiha? Kau Sasuke Uchiha? Hah, pantas saja wajahmu rasanya tak asing. Kau mirip dengan temanku.”
…
“Itachi? Kau kenal Itachi? Apa kau pernah bertemu dengannya? Dimana dia? Apa kau tahu dimana orang itu sekarang?”
…
“Memangnya Itachi itu siapa?”
…
“Kakakku dan…” Sejenak aku terdiam, haruskah kukatakan rahasia itu padanya. Kalau sebenarnya Itachi itu….
…
—————————————————————————————
Whoaa~ apa yang sebenarnya terjadi????? (*o*)/ sepertinya akan banyak konflik, hehe~…
Sabar tunggu lanjutannya ya…
(^-^)/ Jaa~
38 Comments
Leave a Reply7 Pings & Trackbacks
Pingback:Cherry, LOVE me [again] : Chapter 7 « furahasekai
Pingback:Cherry, LOVE me [again] : Chapter 8 « furahasekai
Pingback:Cherry, LOVE me [again] : Chapter 9 « furahasekai
Pingback:Cherry, LOVE me [again] : Chapter 10 « furahasekai
Pingback:Cherry, LOVE me [again] : Chapter 11 « furahasekai
Pingback:Cherry, LOVE me [again] : Chapter 12 « furahasekai
Pingback:Cherry, LOVE me [again] : Chapter 5 - furahasekai furahasekai