Cherry, LOVE me [again] : Chapter 10

Cerita Sebelumya…. Baca [Chap 1] [Chap 2] [Chap 3] [Chap 4][Chap 5] [Chap 6][Chap 7][Chap 8][Chap 9]

“Itachi-nii….”

Aku terpaku menatap orang yang sudah lebih dari enam tahun tak pernah kutemui itu kini muncul dihadapanku. Dia masih sama. Orang itu tetap sama. Gambaran sosoknya yang tampak terlihat sekarang masih sama seperti apa yang ada dalam ingatanku.

Garis wajahnya…. Paras tampannya…. Senyumannya…. Bahkan kelembutan dalam kelamnya onyx yang balas menatapku itu….

“Lho, kenapa sih kalian berdua? Gak Ayame, gak kau, reaksi kalian begitu melihatku seperti sedang melihat hantu…” gerutu pemuda berambut raven berkuncir itu, “Sasuke, kau tak rindu padaku?”

Deg-deg… deg-deg… deg-deg…

Jantungku masih berdebar kencang. Rasanya seperti terhempas saat mendengar suaranya.

“Nii-san, apa itu benar kau?” tanyaku ragu.

Itachi sedikit mengerling sambil garuk-garuk belakang kepalanya, “Ah, ya tentu saja ini aku. Memang siapa lagi…”

“Whaaaa~…” sontak aku berlari kearahnya dan langsung memeluk orang itu. “Ahahahaha~… sungguhan ya?” kataku, masih tak percaya. Tapi memang nyata kurasakan dalam dekapanku, sosok itu bukanlah bayangan. “Ini benar-benar kau… Itachi-nii… Kau kembali… Kau pulang…”

“Hehehe~… iya, iya, Sasuke…” Itachi kendurkan dekapanku, sebelah tangannya terangkat lantas mengacak-acak helaian rambut ravenku. Aku rindu sentuhan ini. Kebiasaan lama kakakku saat menunjukkan sikap sayangnya padaku. “Wah, sekarang kau sudah mau setinggiku ya…” lanjut Itachi sambil tersenyum.

“Hahahaha~… iya.” Aku mengangguk-angguk dan tertawa kecil. Dalam diriku perasaan senang begitu meluap. Orang yang lama kurindukan kini benar hadir disini. Dia kembali. Dia pulang.

“Okaeri~…” sambutku dengan gembira, “Itachii-ni…”


Cherry, LOVE me [again] : Chapter 10

Chapter: 10/?
Pair: Sasuke Uchiha x Sakura Haruno
Disclaimer: NARUTO © MASASHI KISHIMOTO
WARNING: OOC, typo, alur GaJe cerita se-mau-gue.

Story by

Me!![FuRaha]

If you don’t LIKE? Read? Don’t Read?

WHATEVER!

~Itadakimasu~


“Benarkah Sasuke? Kau tidak sedang bercanda, kan?” tanya Kaa-san. Suaranya dari seberang telepon sana terdengar bergetar. Pasti dia terkejut mendapat kabar Itachi sudah pulang.

“Iya, Kaa-san bicara saja langsung dengannya…” cepat kuserahkan ponselku pada Itachi.

“Moshi moshi,” kata Itachi, “Kaa-san, hmm, ini aku…”

“Whuaaaa~ sayaaang…” meski tak di load speaker, teriakan Kaa-san dan tangisnya yang tumpah sampai terdengar olehku dari luar. “Itachi? Itachi? Kau benar-benar pulang, nak?”

“Hahaha~ iya…” setelah itu Itachi bercakap-cakap sejenak dengan Kaa-san sebelum ponselnya dia kembalikan padaku.

“Sasuke, ibu akan pulang sekarang. Sampai ibu datang, jangan biarkan kakakmu pergi ya?”

“Hn.” Sambil menutup ponselku, aku menoleh pada Itachi. “Nii-san sungguh pulang ke rumah kan? Kalau gitu jangan pergi lagi. Tidak boleh pergi sebelum bertemu Kaa-san.”

Itachi terkekeh, “Wah, sepertinya aku malah jadi tahanan rumah nih sekarang.”

“Oh iya,…” Onyx pemuda berkuncir itu bergulir melirik ke arah Sakura. “Sebenarnya daritadi aku penasaran, dia itu siapa Sasuke?” tanyanya. Tapi belum sempat kujawab, dia sudah berinisiatif duluan menghampiri Sakura.

“Nii-san, dia…”

“Kau maid baru?” tanya Itachi, pandangannya menelisik memperhatikan Sakura dari atas hingga bawah. “Atau pacar adikku?”

Sakura sedikit tersenyum, “Bukan keduanya.” jawab gadis itu.

“Hooo~…” Itachi manggut-manggut sambil mencubit ujung dagunya. “Hmm, kalau gitu siapa?” Lelaki itu lantas mengulurkan sebelah tangannya. “Perkenalkan, aku Itachi Uchiha, kakak Sasuke yang hilang, hehehe~… Sedangkan kau cantik, siapa namamu?”

Sakura agak salting ketika sebelah tangannya Itachi raih. Mungkin mau ngajak salaman. “A, aku Sakura Haruno.”

“Hmm, namamu cantik secantik rupamu nona Haruno…”

Aku melohok tak percaya melihat tingkah kakakku yang ganjen sampai hendak mencium punggung tangan Sakura. Tapi kemudian aksinya terhenti,

“Haruno?” Itachi angkat kembali wajahnya, lalu menelisik Sakura lebih dalam sekali lagi. Pandangannya lantas beralih padaku. Begitulah, sesaat kakakku itu bolak-balik menatap Sakura, aku, cincin di tangan Sakura dan tanganku. “Haruno itu jangan-jangan Haruno yang ‘itu’ ya? Sasuke dia…”

“Dia tunanganku.” kataku tegas, bikin Itachi terbelalak.

“Benarkah? Jadi meskipun aku pergi, Too-san masih menjalankan rencananya? Dan kau Sasuke, kau yang jadi korban, kau jadi pengganti…”

“Nii-san!” selaku cepat sebelum Itachi selesaikan kalimatnya, “Jangan bicarakan masalah itu sekarang, aku mohon!” pintaku. Kulirik Sakura tampak kebingungan, Itachi mengernyit heran dan aku sendiri tak tahu harus bicara apa. Pokoknya alihkan perhatian, jangan sampai Sakura tahu soal itu. “Err, lain kali saja kita bicaranya. Sakura sudah mau pulang.” kataku lekas mengambil sebelah tangan gadis itu. “Ini sudah sore, ibumu pasti mencemaskanmu. Aku akan mengantarmu pulang sekarang, ayo!” ajakku.

“Hmm, tapi…” Sakura masih kebingungan.

“Nii-san, aku pergi dulu sebentar ya. Kau jangan kemana-mana. Kalau kau pergi kau akan mengecewakan Kaa-san lagi.” kataku memperingatkannya. “Ayame!” aku panggil maid yang tengah membersihkan pecahan kaca di lantai, “Jaga tuan muda Itachi, jangan biarkan dia lepas dari pandanganmu sedikit saja. Kalau perlu suruh satpam depan rumah memborgolnya.”

“Hush, sembarangan.” protes Itachi, “Kalau aku mau ke toilet gimana? Apa Ayame harus ikut bersamaku? Kau ini, memangnya aku penjahat sampai harus diborgol segala. Iya baik, aku tak akan pergi. Kau tenang saja. Antar sana tu-na-ngan-mu itu.”

“Hn.”

Masih menggenggam tangan Sakura, aku lekas mengambil kunci mobil dan melangkah dengan terburu-buru. Sakura sempat tersenyum dan sedikit membungkukkan badannya pamit pada Itachi yang langsung dibalas pemuda itu dengan lambaian tangan.

“Sampai jumpa lagi, Sakura-chan.”


“Itachi itu kakakmu?”

“…”

“Hei, apa benar orang itu kakakmu?”

“…”

“Kenapa selama ini aku tak tahu kalau kau punya seorang kakak?”

“…”

“Keluarga kalian menyembunyikannya?”

“…”

“Memang selama ini dia pergi kemana?”

“…”

“Sasuke…”

“Hn.”

Dalam perjalanan, Sakura terus saja bertanya tapi aku cuma diam tak menjawab. Masalahnya aku bingung harus bicara apa. Haruskah kuceritakan kebenaran tentang Itachi pada Sakura sekarang?

“Sasuke, heh, kau dengar tidak sih aku bicara? Jangan cuekin aku dong. Iih, dasar…”

“Diam, Sakura! Tak lihat apa kalau aku sedang menyetir?” kesalku.

“Iya, tapi kau kan cukup jawab saja pertanyaanku. Itachi itu siapa?”

“Itachi! Itachi! Itachi saja dari tadi. Kenapa? Penasaran? Kau suka padanya?” bentakku.

“Heh, aku kan cuma tanya. Jangan asal menuduhku. Sikapmu kekanak-kanakan sekali. Kau lain dengan kakakmu. Dasar gak dewasa…”

“Ya, aku kekanakan dan kau memang lebih suka tipe cowok dewasa seperti kakakku kan? Dia terlihat lebih baik dan pengertian daripada aku, kau pasti suka. Sejak bertemu dengannya kau jadi suka padanya, kan?” tuduhku.

“Huuh, kau…” Sakura men-deathglare-ku. Tak mau kalah. “Iya, sepertinya begitu, aku suka kakakmu…”

Sial!… Mendengar perkataannya itu makin buatku kesal dan emosi.

Ckiiiiittt… Aku langsung banting stir.

“Kyaaaaa~….” Sakura menjerit panik. Tahu Viper biru metalik ini meluncur nyaris menabrak pagar pembatas jalan. Tapi untung saja refleksku dan rem mobilnya masih bekerja dengan baik sehingga bisa tepat berhenti sebelum benar terjadi kecelakaan. Safety belt pun ada gunanya, menahan kami agar tak sampai terhuyun dan membentur dashboard.

“Kau gila!” teriak Sakura kemudian, “Kau ingin kita mati? Bisa nyetir gak sih?” marahnya.

Perasaanku masih kacau. Berpikir tentang Itachi, melihat Sakura kini, aku…

Cklek…

Kulepaskan sabuk pengamanku, lepas dari kekangan agar bisa lebih mendekatinya. Cepat kurengkuh wajah itu dan tanpa basa-basi langsung melumat bibir mungilnya sebelum kata-kata penolakan terlontar dari mulutnya.

“Sasu… hmmp… mph… hentikan… mphh… hh… jangan… hmmph…”

Sakura berontak. Dia memukul dan mendorong-dorongku jauh, berusaha lepas. Tapi aku terus menahannya. Malah makin kuperdalam ciuman kami, terus menjelajahi isi mulutnya sampai kami benar-benar kehabisan pasokan udara.

“Hhh… hhh… kau… beraninya…” protes Sakura seraya dia seka ujung bibirnya yang basah oleh saliva seusai pagutan terlepas.

Tak berhenti disitu, selang sedetik aku menciumnya, aku segera bergegas memeluk erat.

“Sasu…” Sakura beringsut, tampak tak nyaman, “Lepaskan aku!” pintanya.

“Tidak bisa…” makin kudekap erat tubuh itu. “Aku tidak mau melepaskanmu. Tak akan kulepaskan. Tetaplah jadi milikku, Sakura. Jangan pedulikan Itachi. Jangan memikirkannya. Jangan pilih dirinya…” Kalimatku kian mengambang, aku tak sanggup mengatakan segala kemungkinan terburuk itu.

“Sasuke…”

Diam sejenak, yang terdengar dalam keheningan diantara kami hanya deru nafasku yang masih berburu serta degup jantungku yang tak tenang. Tak lama, merasa kini kami bisa kembali bicara baik-baik, Sakura perlahan kendurkan dekapanku.

“Ada apa sebenarnya?” tanya Sakura, bicara lebih lembut. Emerald itu menatapku cemas. “Kau tampak ketakutan, Sasuke. Katakan padaku, ada apa? Kenapa bersikap seperti ini?”

Rahangku mengeras. Gigiku gemerutuk dalam mulut yang terkunci rapat. Kukepalkan tanganku yang masih kutaruh di atas bahu kecil gadis berhelaian merah muda itu. Sakura menyadari kegelisahanku. Perlahan dia ambil sebelah tanganku, mengelusnya, melemaskannya dan membuatku merasa lebih nyaman.

“Hmm, sudah bisa bicara?” tanyanya, sembari tersenyum. “Katakanlah kalau itu bisa membuatmu lebih tenang.”

“Fiuh~…” Sejenak kuhela nafas panjang, “Baiklah, akan aku katakan. Ini soal kakakku.”

“Itachi?”

Aku mengangguk kecil, “Ada sesuatu yang selama ini kusembunyikan darimu, Sakura. Tolong dengarkan ceritaku sebentar…”

Sakura mengangguk kecil, memperhatikan. Sementara aku mulai selami pikiranku jauh kedalam, menggali kembali kenangan yang telah lama tersimpan.


Itachi Uchiha, kakak lelakiku satu-satunya. Usia kami beda 5 tahun. Dimataku dia selalu tampil hebat dan menjadi sosok yang mengagumkan. Dia pintar, berbakat, jago olahraga, penyayang, selalu bersikap baik dan lembut terhadap siapapun. Kepribadiannya hangat serta miliki karisma tersendiri yang membuat siapa saja mudah tertarik dan menyukainya. Selain itu, Itachi juga seorang anak yang penurut. Dan sepanjang yang kutahu, dia sangat menjunjung tinggi aturan dan martabat keluarga kami.

Itachi selalu menuruti apapun perintah Too-san padanya. Mulai dari sikap, pemikiran, urusan sekolah, berteman dan sebagainya. Karena bagaimanapun sebagai putra sulung, sejak dini dia disiapkan untuk menjadi pewaris Uchiha Corp di masa depan. Meski terkadang aku dapati dia merasa tertekan dengan segala beban dan tanggung jawab yang Too-san berikan, tapi dia tetap menerima dan menjalani semua itu tanpa pernah sekalipun mengeluh apalagi menolaknya. Itachi benar-benar hidup sebagai sosok seorang anak yang bisa diandalkan dan dibanggakan. Itu sebabnya aku sangat mengagumi dan menjadikan Itachi sebagai panutanku.

Sampai suatu ketika, peristiwa itu terjadi…

Suatu malam, saat aku tak bisa tidur karena mendengar suara samar keributan diluar sana, aku terbangun dan mengendap-endap keluar kamarku untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Langkahku terhenti sampai di ruang keluarga, dimana dari celah pintu yang sedikit terbuka kulihat kedua orangtuaku dan kakakku tampak tengah berbincang dengan serius.

“…”

“TIDAK! AKU TIDAK MAU!”

Kata itu baru pertama kali ini kudengar terlontar dari mulut kakak. Kalimat penolakan pertama yang dia ucapkan pada Too-san.

“Aku tak setuju. Rencana ini konyol.” lanjut Itachi, “Hanya karena wasiat kakek kenapa aku yang harus dikorbankan? Serahkan saja masalah ini pada yang lain. Keluarga paman Obito atau paman Shisui, kenapa bukan mereka?”

“Shisui tak punya anak lelaki. Dan kau tahu sendiri, sepupumu Kakashi, satu-satunya anak lelaki Obito baru menikah kemarin. Tinggal keluarga kita Itachi, kau atau Sasuke. Pilihannya antara kalian berdua.” jelas Too-san.

“Tapi masih banyak Uchiha lain juga diluar sana kan?”

“Tidak. Mereka bukan keturunan langsung Madara, mana bisa diserahi amanat seperti ini.”

“Benar sayang,” Kaa-san mulai bicara, “Ini permintaan terakhir kakekmu. Mengertilah…”

“Tch, permintaan terakhir kakek?” Itachi menggeleng, “Berhentilah berpura-pura. Aku juga tahu semuanya. Too-san lakukan ini hanya karena warisan kakek, kan?” tuduhnya.

“Apa yang kau bicarakan?”

“Aku tahu isi wasiatnya. Disana disebutkan, yang bisa memenuhi janji kakek terhadap Senju akan mendapatkan bagian warisan lebih banyak. Itulah sebabnya Too-san berusaha mati-matian mencari keluarga mereka selama dua tahun ini. Bersyukur karena dari pihak mereka ada anak perempuan yang bisa dinikahkan dengan anakmu. Tapi tidak. Aku tak mau melakukannya. Aku tak mau dijodohkan apalagi menikahi gadis tak jelas hanya karena ambisi dan keegoisanmu!”

“Itachi! Bagaimana bisa kau bicara seperti itu terhadap ayahmu?” Kaa-san menatap tak percaya, “Kami lakukan semua ini juga untukmu. Demi masa depan keluarga kita…”

“Hentikan! Jangan coba bujuk aku dengan kalimat yang sama.” Itachi mulai berontak, “Aku muak. Aku benci. Aku bosan. Aku sudah lelah dengan segala beban yang selama ini kalian tuntut dariku. Ini membuatku frustasi. Terkadang aku merasa aku tak miliki hidupku sendiri sepanjang kalian terus mengaturku. Aku tahu, semua yang kalian lakukan memang demi diriku, tapi aku merasa itu bukan yang terbaik untukku.”

“Itachi, bukan begitu nak,” Kaa-san sudah bercucuran air mata, “Orangtua mana yang akan tega menjerumuskan anaknya…”

Seketika itu kakak berlutut. Remaja berusia 17 tahun itu menundukkan kepala, “Kaa-san… Too-san…”

“Apa yang kau lakukan? Bangunlah. Jangan berbuat yang tidak-tidak.” bujuk Kaa-san, memaksa Itachi berdiri. Tapi lelaki itu tetap tidak bergeming.

“Aku mohon… Aku tahu aku tak pantas bicara seperti ini. Aku anak yang tak berguna. Aku mungkin durhaka tak bisa penuhi keinginan kalian. Tapi aku tetap tidak bisa melakukannya. Aku menolah rencana itu. Bagaimanapun juga aku tak bisa membohongi nuraniku. Aku tak bisa menerimanya. Jadi aku mohon, sekali ini saja, tolong kabulkan permintaanku. Biarkan aku hidup dengan memilih jalanku sendiri.”

PLAKK…

Deg!

“Aaa~…” Aku lekas tutup mulutku dengan kedua tangan agar tak teriak. Onyx-ku seketika membulat. Syok. Ketika kulihat tangan Too-san melayang keras mengenai pipi Itachi. Baru kulihat Too-san sampai semurka ini. Wajahnya datar. Ekspresinya dingin. Dengan onyx kelam yang menatap tajam seolah bisa langsung melahapmu hidup-hidup. Menyeramkan.

Sebenarnya sekarang aku pun ingin lari, tapi tak bisa. Aku seperti membeku. Takut, sampai gemetaran. Aku hanya bisa terdiam menatap kakakku disana dengan perasaan cemas dan kasihan.

‘Nii-san, turuti saja-lah apa kata Too-san, daripada kau kena marah.’ pintaku dalam hati.

“Kurang ajar! Memangnya kau sudah hidup di dunia ini berapa lama, kau tahu apa soal kehidupan?” bentak Too-san, mulai naik darah. “Sok bicara ingin mengatur hidupmu sendiri. Kau tahu Itachi, tanpa keluarga, tanpa namamu, tanpa Uchiha, kau tak akan pernah bisa hidup sebagai manusia!”

Itu kata-kata tersadis yang pastinya begitu menusuk hati Itachi.

“Sayang, kau terlalu berlebihan…” protes Kaa-san pada Too-san. “Sudah, hentikan.” bujuknya, tapi tak Too-san hiraukan.

“Pikir baik-baik kalau kau bicara. Apa aku punya anak setolol dirimu? Kau hidup di dunia ini sebagai apa dan untuk siapa? Harusnya kau tahu diri, Itachi!” lanjut Too-san, tajam.

“Begitukah…” gumam lelaki muda Uchiha itu. Kedua tangannya yang terkepal diatas lutut tampak gemetaran. Begitupun dengan tubuhnya yang tertunduk namun menegang. Itachi seolah sedang berusaha menahan segala gejolak dalam dirinya. “Baiklah… Aku paham sekarang…” kata Itachi, suaranya terdengar berat.

“Aah, iya, sudah, cukup, hentikan. Kita sudahi saja pembicaraan ini.” pinta Kaa-san sambil mengurut dadanya seakan ingin membuang segala beban yang menyesakan tersimpan disana.

“Hn.” Amarah Too-san pun tampak reda. Meski onyx-nya tetap menelisik Itachi dengan tatapan sinis bercampur kecewa.

“Sekarang sudah larut. Pergilah tidur, Itachi…” suruh Kaa-san. “Tenangkan dirimu.”

Pemuda itu lekas bangkit, lalu bergegas berjalan meninggalkan ruang keluarga.

Saking tegangnya aku menyaksikan kejadian tadi, aku tak sadar masih berdiri mengintip dari ambang pintu sampai Itachi memergokiku.

“Sasuke?” kaget Itachi, “Apa yang kau lakukan disini?”

“Aa, ano~ aku… Nii-san, aku…”

“Ada apa?” tanya Kaa-san ikut mendekat dan sama terkejutnya saat melihatku. “Sasuke?”

“Err,…” Aku makin gelagapan. Kalau ketahuan menguping pembicaraan ini, aku pasti dimarahi. Apalagi kulihat Too-san pun memandangku dengan tatapan menyeramkan. “Eu, itu, aku, aku mau pergi ke toilet kok…” Seperti orang bego, hanya alasan tak bermutu itulah yang meluncur dari mulutku. “Di lantai dua lampunya mati, jadi aku…” Aku sedikit menundukkan pandangan dan mengerucutkan bibirku.

“Ah, hahahaha~… dasar penakut.” Itachi tertawa kecil. Dia elus-elus helaian rambut ravenku. “Ayo, kuantar!” ajaknya sambil tersenyum, seolah barusan tak terjadi apa-apa. Dia cepat sembunyikan wajah tegangnya seusai dimarahi tadi.

“Hn.” Aku mengangguk. Sebentar menoleh pada Kaa-san dan Too-san, “Oyasumi~…” kataku sebelum pergi.

“Oyasumi, Sasuke…” balas Kaa-san sambil tersenyum.

“Nii-san…”

“…”

“Nii-san…”

“…”

“Itachi-nii~…” panggilku, setengah berteriak. Bikin pemuda yang bersandar di tembok lorong depan kamar mandi itu tersentak, seolah barusan aku sudah membuyarkan lamunannya.

“Ah, iya, ada apa Sasuke?” tanya Itachi.

“Aku sudah selesai.” kataku, “Kau juga mau kembali ke kamar?”

“He’eh…” Itachi mengangguk pelan sambil tersenyum tipis, kembali berjalan beriringan denganku.

Sesekali aku melirik padanya. Kulihat dia tampak tak biasa, masih terdiam dan melamun. Bahkan sampai kami berpisah di depan pintu kamar masing-masing pun dia tak membalas ucapan selamat tidur yang kusampaikan.

Lalu malam itu, samar-samar dari balik tembok kamar kami yang bersebelahan, aku mendengar suara tangisnya yang terisak.

“Nii-san, sebenarnya apa yang terjadi?” cemasku yang masih belum tahu apa-apa.

Hari-hari terus berlanjut dengan pertengkaran yang sama. Meskipun mereka coba sembunyikan kenyataan itu dariku, tapi aku tahu kakak selalu menolak entah apa itu satu perintah Too-san yang tak mau dia lakukan.

Hebatnya kakak, dihadapanku dia selalu saja tersenyum dan menyembunyikan perasaannya. Dia tutupi segala masalah yang tengah dihadapinya. Meski disela saat kami tengah bermain bersama, saat dia menemaniku belajar, pun saat berada disampingku, kulihat onyx miliknya tetap pancarkan kegelisahan. Meski kakak tak bilang, tak ceritakan sedikitpun padaku, tapi aku tahu hatinya seperti tengah tersiksa.

Aku memang masih bocah 12 tahun yang tak tahu apa-apa, tapi dalam hati aku selalu ingin membantunya. Andai aku bisa sedikit saja menanggung beban yang tengah dipikulnya.

CTAAR!

Sontak aku terbangun oleh suara gelegar petir yang terdengar mengejutkan. Tengah malam ini di luar hujan mendera. Jutaan tetes air menerjang dan membuat suara berisik membentur kaca jendela. Hujan deras dengan kilat petir menyambar.

Semilir angin dingin berhembus melalui celah ventilasi kamar, membuatku makin meringkuk dalam balutan selimut bulu lembut yang hangat. Aku kembali terbuai, disamping karena lelahnya tubuh dan pikiranku.

Mengerjap… erjap… erjap…

Tinggal sedikit lagi sampai aku benar-benar tertidur. Tapi bawaan alam memang tak bisa terus ditahan. Dingin-dingin begini buatku bergidik dan malah jadi ingin pergi ke toilet. Meski sebenarnya malas, tapi akhinya aku bangkit juga dari ranjang dan keluar dari kamar.

Krosak… Krosak…

“Hn?”

Aku mengernyit heran tatkala kudengar bunyi mencurigakan. Rasa penasaran ternyata mampu mengalahkan perasaan takut dalam diriku, sehingga dengan berani aku memilih melangkahkan kakiku untuk mencari tahu asal suara itu.

Sampai di garasi, aku nyaris berteriak saat kudapati sesosok pria berpakaian serba hitam tampak bersiap mengeluarkan sepeda motor. Menyadari keberadaanku, dengan cepat pria itu membungkamku.

“Sstt…” desisnya, “Diam Sasuke!” Perlahan dia buka kembali helm full face yang tengah dikenakannya. “Ini Aku.”

“Itachi-nii?” cengangku tak percaya, “Apa yang kau lakukan?” Kutelusuri pakaiannya dari atas hingga ke bawah. Barulah kukenali sosok berjaket hitam motif awan merah itu memang benar kakakku. Tapi pakaiannya, sepatu yang dikenakannya, lalu tas ransel besar yang digendongnya, tampak mencurigakan. “Mau kemana malam-malam gini?” tanyaku polos. Tak mungkin dia mau pergi touring di tengah malam hujan badai begini, kan?

“Sstt, aku mau pergi. Kau jangan bilang-bilang yah!” bisiknya.

Seketika perasaan takut menyelimutiku, “Kemana? Kau mau pergi kemana? Aku ikut.”

“Tidak bisa. Aku tak bisa membawamu. Kau tetaplah disini.”

“Kenapa kau mau pergi? Jangan pergi, Nii-san~…” rengekku. Kucengkeram ujung jaketnya. “Jangan tinggalkan aku. Aku tak mau kau pergi. Tetaplah disini bersamaku, Kaa-san dan Too-san… hik..hik..hik…” Aku mulai menangis, sungguh tak mau kehilangan dirinya.

“Sasuke~…” Itachi menatapku teduh. Kuharap dia terbujuk ucapanku.

“Aku mohon Nii-san, kalau kau pergi karena Too-san terus memarahimu, aku akan membujuknya. Aku berjanji aku akan bersikap baik. Aku tidak akan memintamu menemaniku main saat kau sibuk. Aku juga tidak akan bersikap manja lagi padamu. Jadi aku mohon…”

“Heh baka Otoutou, sudah jangan menangis. Masa anak cowok cengeng begini sih…” Itachi lekas menghapus air mata di pipiku.

“Makanya~… jangan tinggalkan aku, hik…hik..hik…” kataku, masih sesegukan.

Itachi tersenyum, “Tidak. Aku tidak meninggalkanmu. Aku hanya pergi sebentar.”

“Uso!” teriakku sambil cemberut.

“Sstt,…” Itachi kembali berdesis. Onyx-nya tampak awas memperhatikan keadaan sekitar. “Dengar Sasuke, aku tak punya banyak waktu. Aku harus pergi sekarang.”

“Jangan!…” cegahku.

Grep… Itachi sebentar memelukku, membuatku makin terisak di dadanya.

“Maaf, Sasuke…” bisiknya ditelingaku. “Jujur aku pun tak ingin meninggalkanmu. Tapi aku tak punya pilihan. Keadaan ini memaksaku. Aku tak ingin terus terperangkap dalam hidup yang menyesakkan. Aku ingin bebas.” Itachi kendurkan dekapannya, aku bisa melihat kesedihan yang sama pun ada di matanya. “Aku harus pergi, mengertilah…”

“Lalu Kaa-san? Too-san? Apa kau akan kembali?”

Itachi mengangguk pelan. “Iya. Sampai saatnya tiba, tolong jaga mereka dan semuanya untukku. Kau bisa melakukannya kan, Sasuke? Kau anak yang pintar, kuat dan hebat. Aku yakin kau bisa hadapi hidupmu disini lebih baik daripada aku.”

“Itachi-nii…” panggilku.

Pemuda itu kembali kenakan helm-nya dan bersiap menunggang CBR merahnya.

“Itachi-nii~…” panggilku lagi.

Brrmm… Brrmm…

Itachi tak mengubris, malah mulai men-starter motornya.

“Nii-saan~…” masih kucoba membujuknya. “Jangan pergiiii~…”

Sekilas Itachi kembali menoleh. Onyx dan onyx saling bertatapan. Kedua manik yang miliki warna serupa kelamnya malam itu pun sama basahnya dengan langit yang sedang menangis sekarang.

“Nii-san, aku mohon…” pintaku.

Sebelah tangan itu pun terulur. Dia letakkan diatas kepalaku dan sebentar mengacak-acak helaian ravenku. “Maaf Sasuke, ini yang terakhir.” ucapnya. Kulihat kedua mata itu menyipit, pasti membuat satu senyuman dibalik wajahnya yang tertutup helm. “Selamat tinggal.”

Brrrmmmm….

Aku langsung melengos mendengar ucapan perpisahan darinya. Motor sport itu melaju kencang. Menerjang tirai-tirai air yang deras mengguyur kota. Yang kulihat dalam onyx-ku yang buram terhalang cairan bening milikku sendiri hanyalah punggung dan sosoknya yang kian menjauh.

“Wuaaaaa~… Nii-saaaan!” teriakku, sambil menangis kencang. “Jangan pergiiiii~…”

Kepergian Itachi memberikan pengaruh besar bagi keluarga kami.

“Itachi… Itachi… tidak… ini tidak mungkin…”

Gubrak… Saking syok-nya Kaa-san bahkan sampai pingsan.

Too-san terang saja marah dan kecewa, “Dasar anak tak berguna…” Tapi meskipun begitu, aku tahu dia pun perintahkan banyak orang untuk mencari keberadaan kakak diluar sana.

Setelah itu barulah aku tahu masalah sebenarnya, kenapa Itachi sampai putuskan pergi. Ketika kudapati kamar yang ditinggalinya kosong, sosoknya hilang tak lagi bisa kutemui. Padahal dulu setiap kali aku datang ke kamar itu, dengan riang sambil tersenyum kakak akan menyambutku.

Kupungut secarik sobekan lembar foto yang berserakan di lantai. Sengaja kususuk kembali potongan-potongan itu untuk melihat apa yang terpampang disana. Ternyata wajah seorang anak perempuan manis berambut sewarna permen karet. Aku masih tak mengerti, kenapa Itachi merobeknya?

“Sasuke…” panggil Kaa-san.

Aku menoleh dan kudapati ibuku itu berdiri di pintu kamar Itachi. Perlahan dia melenggang masuk mendekatiku yang terduduk di sisi ranjang.

“Kau merindukan kakakmu?” tanyanya.

“Hn.” Aku mengangguk. Perasaan sedih kembali memenuhi hatiku. Kenapa Itachi pergi? pertanyaan itu terus terngiang dalam pikiranku.

“Ibu juga. Tapi dia mungkin tak akan kembali dalam waktu dekat ini.”

“Tidak. Dia pasti pulang.” kataku penuh harapan.

“Iya, ibu harap juga begitu.” Kaa-san mengangguk-angguk kecil. Bibirnya gemetar, mencoba menahan tangis. “Tapi sekarang ada hal yang lebih penting Sasu…”

Aku mengernyit tak mengerti. Terlebih lagi ketika Kaa-san berlutut dihadapanku untuk menyamakan tingginya denganku.

“Kau tahu keadaan ayahmu sekarang sedang tak baik? Perusahaan juga sedang dalam krisis…”

Ya, aku tahu. Meski dari luar Too-san tampak kuat, tapi dia sedang banyak pikiran memikirkan nasib perusahaan yang tengah berada di ujung tanduk krisis ekonomi.

“Tanggung jawab seorang Uchiha itu besar. Nasib ratusan ribu karyawan tergantung pada keputusannya. Mereka pun menanggung beban keluarganya masing-masing, secara tak langsung ayahmu pun memikulnya. Kalau sampai terjadi PHK besar-besaran, kau tahu itu akan sangat merugikan banyak pihak? Apa kau mengerti Sasuke?”

Aku mengangguk, “Too-san bilang, hidupmu bukan hanya untuk dirimu seorang.”

“Iya, kau benar. Tapi sayang kakakmu Itachi tak pahami itu. Meski yang terlihat mungkin hanya ada keegoisan kami yang mengekangnya, tapi pahamilah itu tugasnya sebagai seorang Uchiha kelak.”

“Hn.”

“Nah, Sasuke…” Kaa-san menatapku lekat, “Sekarang hanya tinggal kau satu-satunya yang bisa kami andalkan…”

Deg!

Dikatai seperti itu malah buatku tegang. Apa maksudnya?

“Kau sayang pada Ibu?”

Aku mengangguk.

“Kau tak akan mengecewakan Too-san-mu seperti yang dilakukan kakakmu kan?”

“Hn.”

“Maukah kau berjanji satu hal padaku, kalau kau akan lakukan yang terbaik untuk membantu kami?”

“Aku berjanji.”

“Bagus,” senyum Kaa-san mengembang. Sebelah tangannya dia tempatkan diatas pipi kiriku, “Mulai sekarang kau gantikan posisi Itachi. Hanya kau yang bisa melakukannya. Sasuke, ibu mohon, bantulah kami penuhi wasiat terakhir kakekmu.”

Eeh?… Onyx-ku seketika membulat. Maksudnya menggantikan posisi kakak, penuhi wasiat kakek, itu artinya…

“Kelak jika saatnya tiba, kau menikahlah dengan gadis Haruno itu.” lanjut Kaa-san.

JDEEERR!

Bagai disambar gledek. Anak usia 12 tahun dikatai untuk menikah? Masa depan seperti apa yang akan kuhadapi nanti? Kupikir pantas saja kakak sampai kabur dari rumah kalau alasannya seperti itu. Karena detik saat Kaa-san menyuruhku melakukannya, otomatis segala kebebasan atas kehidupan cintaku pun terengut. Aku disuruh menikah dengan orang yang sudah ditentukan.


“Hallo, perkenalkan. Namaku Sakura, Sakura Haruno. Senang bertemu denganmu, Sasuke-kun.” sapa ramah gadis manis berhelaian soft-pink yang tampangnya persis dengan wajah di foto yang Itachi robek.


“Itulah yang sebenarnya terjadi, Sakura. Di pertemuan pertama kita, saat aku melihatmu, kebencianku pun seketika tumbuh. Gara-gara kau, kehadiranmu, keberadaanmu, kakakku jadi pergi dari rumah. Lalu hidupku sendiri mulai terkekang. “

“…”

Aku kian tertunduk, bicara dengan samar. “Karena sejak awal aku merasa hanya sebagai pengganti, aku tak seharusnya ada di posisi ini, aku jadi tak bisa mencintaimu atau berpikir kau memang seharusnya jadi milikku. Makanya dulu aku hanya bisa membencimu. Karena berpikir suatu hari kakak akan pulang dan mengambil tempatnya kembali. Seperti sekarang. Bagaimana kalau kakak inginkan lagi tempat itu? Padahal aku tak ingin melepaskanmu, Sakura. Aku ingin tetap pada posisiku sebagai tunanganmu. Berada disisimu. Karena aku sekarang benar-benar mencintaimu. Tapi…”

Diam sejenak. Kuusap wajahku sebentar, menyeka sedikit bulir bening di sudut mata yang tak biasanya lekas berkumpul pada onyx-ku. Kegelisahan ini serasa perlahan-lahan membunuhku.

“Pastinya setelah kau bertemu Itachi dan mengetahui kebenaran ini, mungkin kau akan memilihnya daripada aku…”

“Sasuke…” panggil Sakura.

Sontak aku mendongak dan betapa terkejutnya aku ketika kali ini tanpa basa basi giliran Sakura yang langsung mendaratkan bibirnya di atas bibirku. Onyx-ku seketika membulat, menatap kedua matanya yang terpejam. Hawa panas seketika menyebar di seluruh tubuh, terutama wajahku. Yang perlahan membuatku merona semerah dan sehangat matahari senja sore ini. Sakura menciumku? Lain dengan ciumanku tadi yang penuh nafsu dan emosi, aku rasakan ini begitu lembut dan penuh perasaan.

Usai pagutan, masih dengan perasaan berdebar kusentuh bibirku sendiri. “Sakura, ini maksudnya…”

“Baka, tentu saja aku memilihmu. Kenapa aku tiba-tiba harus memilih Itachi?” tanya Sakura, tampak polos.

“Tapi kan,…”

“Sasuke, inilah yang ingin aku dengar dari dulu. Apa alasan sebenarnya kau selalu membenciku. Terimakasih kau sudah menceritakannya. Dan kupikir ternyata selama kau membenciku, kau pun memendam penderitaan dan rasa sakitmu sendiri. Rasakan tuh! Hehehe… Sepertinya sekarang aku cukup merasa puas.” Gadis itu tersenyum tipis.

“Yaah, ini memang agak menyebalkan. Aku sebenarnya sedikit tersinggung, aku sampai ditolak dua Uchiha sekaligus. Yang satu bahkan kabur sebelum sempat kami bertemu, sedang yang satu lagi malah membenciku karena besar cintanya pada sang kakak. Tapi sejak awal aku memang sudah jatuh cinta padamu, Sasuke. Entah kalau misalnya waktu itu orang yang pertama kali kutemui adalah Itachi, apa aku justru akan mencintainya ya?” lanjut Sakura sambil tertawa kecil.

“…”

“Lho, kenapa wajahmu masih tegang begitu?” tanya Sakura kemudian, melihatku masih terdiam.

Aku sedikit kerutkan keningku, menatapnya penuh selidik. “Ehm, apa yang kau katakan itu sungguhan? Kau tidak sedang bercanda?”

Sakura menggeleng, “Tidak. Aku serius. Dan aku pun sebenarnya ingin ceritakan satu rahasiaku padamu. Dengar baik-baik,” Seraya mendekat, dia kalungkan kedua lengannya di leherku. “Sasuke, aku mencintaimu.”

Perasaan senang luar biasa memenuhi hatiku saat mendengarnya. Sakura bilang mencintaiku. Dia mencintaiku. Perasaanku terbalas. Perasaan kami akhirnya bersatu. Menjadi sepasang manusia yang saling mencintai.

Balas kudekap erat tubuhnya, sampai rasanya tak ingin lepas. “Benarkah yang kau katakan? Aku tidak salah dengar kan? Kau bilang kau mencintaiku?”

“Iya, aku mencintaimu.” kata Sakura sekali lagi, mengangguk di dadaku. Dia juga eratkan dekapannya.

Aku tak bisa tahan wajahku untuk tak tersenyum, “Terimakasih. Aku juga sangat, sangat, sangat mencintaimu, Sakura.” balasku padanya, dengan perasaan gembira.

.

.


.

.

Aku rasa ini mungkin salah satu hari terbaik dalam hidupku. Kakak pulang. Masalahku dan Sakura terselesaikan. Dan saat aku kembali ke rumah, kulihat keluargaku telah berkumpul. Suasana haru menyelimuti tatkala Kaa-san menangis memeluk Itachi dan berkata betapa bersyukurnya dia kakak telah kembali. Meski tak menunjukkan emosi berlebih, tapi Too-san pun tampaknya bisa menerima Itachi, walau mungkin setelah ini kakak pasti dituntut pertanggung jawabannya oleh Too-san.

“Anakku sayang, apa selama di luar sana kau hidup dengan baik?” tanya Kaa-san, tangannya membelai lembut helaian raven berkuncir itu.

“Hmm, ya, aku tetap sekolah sambil kerja paruh waktu. Aku bahkan sampai selesaikan jenjang kuliahku. Awalnya memang sangat berat dan selama aku jalani hidupku, aku sadari perkataan Too-san dulu memang benar. Aku bukan apa-apa tanpa keluarga dan namaku.”

“Kenapa tak secepatnya pulang nak? Kau tahu kami berusaha keras mencarimu dan sangat merindukanmu.”

“Iya, terkadang aku pun ingin pulang. Aku merindukanmu. Kaa-san, khawatir akan kesehatanmu. Tapi aku pikir saat itu belum waktunya. Aku masih jadi anak egois dengan harga diri tinggi yang enggan mengakui kesalahanku.” Itachi duduk bersimpuh, “Kaa-san… Too-san… Maafkan kesalahan anakmu yang bodoh ini. Mulai sekarang aku akan hidup lebih baik dengan tidak membangkang perintah kalian lagi. Maaf. Maafkan aku.” tegasnya sambil membungkuk dalam-dalam.

Pemandangan haru kembali terlihat kala Kaa-san tersedu dan memeluk Itachi. Too-san juga, seraya merangkul Itachi dan Kaa-san, dia ajak aku masuk dalam pelukan.

“Syukurlah kita bisa kembali berkumpul seperti dulu lagi.”

“Waah, kamarku!” Bruuugh… Itachi langsung menghempaskan dirinya jatuh ke atas ranjang. “Hmm, kangen. Senangnya bisa kembali. Sepertinya tak ada yang berubah di sini.”

“Iya, Kaa-san tetap menyuruh pelayan membersihkan kamar ini setiap hari karena yakin suatu hari kau akan kembali.”

“Hn. Aku sendiri tak menyangka mereka akan menerimaku. Kukira tadi begitu bertemu Too-san dia akan langsung mengusirku. Yaah, walau aku pun tahu setelah ini dia pasti tak akan membiarkanku. Duh, aku bakal dihukum apa ya Sasuke?” cemas Itachi.

“Entahlah,” jawabku sambil terkekeh, “Tapi apapun itu, kau pasti bisa menghadapinya Nii-san.”

“Ah, iya…” Itachi bangkit dari tidurnya, mengambil posisi duduk masih diatas ranjang. “Gadis yang tadi itu, Sakura Haruno… Dia cantik ya.” kata Itachi sambil nyengir. Lain dengan tampangku yang langsung pasang wajah datar.

Untuk apa dia bahas soal Sakura sampai berkata seperti itu?

“Kalau tahu anak itu akan tumbuh jadi gadis cantik dan semanis itu sih seharusnya dulu aku tak menolak pertunangannya ya. Haaah~… agak menyesal juga nih.” lanjut Itachi sambil garuk-garuk belakang kepalanya.

Kegelisahan yang sedari tadi ada dalam diriku pun kembali muncul. “Nii-san, jangan-jangan sekarang kau ingin menjadikan Sakura…”

“Hihihihi~… bercanda,” sela Itachi sambil tertawa kecil, “Jangan anggap serius gitu Sasuke. Aku tak akan merebut tunanganmu kok. Dia kan calon adik iparku.”

“Hn.”

Sedikit aku angkat sudut bibirku, hendak tersenyum, tapi rasanya malah kaku. Meski sekarang Sakura sudah bilang dia mencintaiku, meski kakak bilang barusan dia cuma bercanda, tapi entah kenapa jauh didalam hatiku kegelisahan dan perasaan takut itu masih ada.

‘Sakura, kau serius mencintaiku kan?’

‘Itachi-nii, kau serius tak akan mengambil Sakura dariku, kan?’

=0=0=0=0=0=

TBC… Next to Chapter 11

=0=0=0=0=0=


Bachot session from Author:

Akhirnya publish juga (^-^)/ Maaf lama~

Hmm, sebenarnya saya agak galau klo buat bikin FF romance pas puasa gini. Rasanya gimana gitu kalau bikin yang terlalu HOT *halah* tapi SasuSaku tanpa scene seperti itu rasanya cerita jadi hambar #plakk *dasar Author mesum!

Apalagi chapter depan sepertinya akan lebih blushing (>///<)7 … gkgkgk~

Simak Spoilernya…

===*Yang gak suka dikasih bocoran, silahkan lewati bagian ini*===

“Hei, untuk merayakan kepulanganku, bagaimana kalau kita pergi main bertiga? Aku ajak kalian ke satu tempat menarik…”

“Butler Café? Nii-san, apa selama ini kau kerja sambilan jadi host?”

“Wah~ Sakura-chan! Kita bertemu lagi…”

“Kalau Uchiha yang kau maksud tunanganmu itu adalah Itachi, baru aku percaya.”

Baby face sial! Apa dia ingin kuhajar lagi?”

“Dari mana kalian, kenapa pergi tanpa memberitahuku?’

“Kau sibuk, makanya aku yang temani…”

“Sasuke, kecemburuanmu terlalu berlebihan…”

Wajah Sakura memerah, sementara Itachi sengaja mengelap ujung bibirnya. Bagaimana aku tak curiga. Apa yang mereka berdua lakukan dibelakangku?

“Saat kau bilang cinta, itu bukan untuk mempermainkanku, kan?”

“Sakura, buktikan kalau kau benar mencintaiku dan tak coba berkhianat padaku…”

“Kyaaa~ mau apa kau? Jangan! Jangan Sasuke! Lepaskan! Hentikan! Aku mohon!”

“Kau milikku. Selamanya milikku. Akan kujadikan kau milikku…”

PLAKK…

“Maaf, aku kalap…”

“Hik… hik… hik… Aku membencimu, Sasuke.” ucapnya sambil berurai air mata, gadis itu lekas beringsut turun dari ranjang.

“Baka otoutou, kau sendiri yang rusak kebahagianmu…”

“Tidak usah ada pertunangan, aku akan langsung menikahinya…”


Kyaaaaa~ apa yang terjadi?

Meraih kebahagian itu gak gampang, Sasuke. Cintamu masih akan diuji, fufufufu~… Penasaran? Tunggu saja lanjutannya, OK? 😀

This chapter special for…

YaYaK, kazunarilady, Dwi Kharisma, asdf, Marshanti Lisbania Gratia, Lailan slalu mencintai ghalma, Sarah Zakila, sv3p, Jile Tamariska Sing, Decha, chii, Sslove, Itha, Rahma, nathaya, Amaterasu Uchiha, zoggakyu, gee, sohwarizkia, ayu sasusaku, Eviech, Uchiha Nanda, qori, Judy Maxwell, Tyara Hinamori, Dika Rahmat, LoLaa Uchiwara, KazuhaRyu, Nur Ida ‘Claudya’ Mahmudah,  Fiiedy, ichi dan kamu yang udah baca FF ini tapi gak meninggalkan jejak komen.

Terima kasih sudah baca (^-^)/ Ditunggu komennya lagi ya, hehe~… 😀

Jaa~ -(^o^)/

51 Comments

Leave a Reply

3 Pings & Trackbacks

  1. Pingback:

  2. Pingback:

  3. Pingback:

Leave a Reply to FuRaha Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *