Cherry, LOVE me [again] : Chapter 12

Cerita Sebelumnya…. Baca [Chap 1] [Chap 2] [Chap 3] [Chap 4][Chap 5] [Chap 6][Chap 7][Chap 8][Chap 9][Chap 10][Chap 11]

=0=0=0=

Kembali kubuka ponsel plip biru metalikku. Belum ada lima menit sejak terakhir aku menghubungi nomor yang sama berulang kali dalam satu jam ini, pastinya…

Telepon yang anda hubungi sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Silahkan… bla…bla…bla…”

Ck~… Gerutuku kesal.

Lekas kuhubungi nomor lain pun…

Tuuut… tuuut… tuuut….” Hanya bunyi nada sambung yang tak terangkat berlanjut pesan kotak suara.

“Argh, kenapa sih mereka berdua?”

Gak Sakura yang teleponnya gak aktif, gak Itachi yang enggan angkat ponselnya daritadi, kelakuan mereka bikin aku berpikiran curiga dan merasa gelisah. Bagaimana tidak, kalau tadi siang pun Naruto bicara begitu padaku.

“… mesra sekali lho…”

Ya, kegelisahanku ini bermula dari pembicaraan kami siang tadi di kampus.


Cherry, LOVE me [again] : Chapter 12

Chapter: 12/13
Pair: Sasuke Uchiha x Sakura Haruno 
Rate: T
Genre: Romance, Hurt/Comfort
Disclaimer: NARUTO © MASASHI KISHIMOTO
Length:  6.920 words
WARNING: OOC, typo, alur GaJe cerita se-mau-gue. WARNING INSIDE! *adegan blushing*

Story by

Me!! [FuRaha]

If you don’t LIKE? Read? Don’t Read?

WHATEVER!!!

~Itadakimasu~



“Yo, teme…” Bletak… Sapa Naruto dengan ceria dan sok akrab lelaki itu datang dan menggampar punggungku lumayan keras. Membuatku tersentak, sesaat terkejut melihat kehadirannya.

“Sakit, Dobe!” ringisku seraya mendeathglare-nya. Lalu balas kutinju bahu pemuda berkulit tan itu agak keras juga. “Gak usah sampai pukul aku segala dong!” protesku, sebal dengan kelakuan sahabat baikku itu barusan.

“Hehe, sorry deh sorry…” cowok berambut kuning itu nyengir sambil garuk-garuk belakang kepala. “Habisnya aku terlalu bersemangat, haha~…”

Hn. Sejenak aku menghela nafas sebelum kembali duduk di bangku pojok kelas sisi jendela. “Apa?!” tanyaku kemudian. Karena tak biasanya Naruto sampai datang menemuiku padahal kami beda jurusan walau masih dalam satu gedung fakultas.

“Kau tak datang ke kantin istirahat siang tadi, padahal aku mau kasih tahu kabar menarik.” Naruto lekas mengambil satu bangku kosong dan duduk didekatku.

‘Jiah~ gosip lagi.’ dengusku dalam hati sambil mengerling malas menanggapinya. ‘Apa peduliku dengan kabar yang dibawa olehnya, paling tak ada hubungannya denganku.’

“Soal apa, si Hyuga?” tanyaku, mencoba menebak. Pastinya begitu. Pembicaraan soal gadis bernama Hinata Hyuga yang lagi dikeceng Naruto belakangan ini seolah jadi tema wajib dalam setiap pertemuan kami. Ada saja yang dibicarakannya. Mentang-mentang baru kali ini Naruto naksir berat sama seorang gadis.

“Eeh, itu, eu, iya sih. Aku sudah dapat nomor ponselnya Hinata lho. Terus kemarin malam kami sms-an dan telepon-teleponan, hehe… Aduh, bisa cepat jadian gak ya?”

Aku angkat sebelah alisku. Langsung sweatdrop. Tuh kan gak penting. Malas aku mendengarnya. Lekas saja kupasang earphone di telingaku. Mending dengar musik daripada dengar curhatan cowok yang lagi kasmaran. Aku juga sedang jatuh cinta tapi tak sampai seheboh dirinya.

“Hoi, Teme! Dengar dulu dong. Aku belum selesai bicara.” protes Naruto, langsung mencabut earphone di telingaku. Kalau tak cepat kuamankan Ipod-ku, lelaki itu sudah bersiap menyitanya.

“Aku tak mau dengar soal Hinata-mu itu…” kataku, bicara terus terang. “Sana cerita saja sama orang lain.”

“Aah~ sebenarnya bukan itu yang mau kubicarakan tadi. Kau sih malah pancing aku bahas soal Hinata, padahal maksudku mau cerita hal lain yang lebih berguna dan ada hubungannya denganmu.”

“Memangnya apa?”

Naruto mengangguk-angguk dan melipat kedua tangannya di dada. “Pilih kabar baik atau kabar buruk dulu?” tawarnya.

Aku hanya gendikkan bahuku, memberi tanda ‘terserah’. Tepatnya aku tak peduli. Karena pasti sama sekali tak penting.

“Ok, kalau gitu kabar buruk dulu. Karena orang cenderung suka Happy Ending bukan? Jadi kabar baiknya kusimpan belakangan. Sekarang dengar baik-baik dan silahkan terkejut, marah atau kesal juga boleh…” Sejenak Naruto terdiam. Aku balik menatapnya penasaran. “Kau tahu Hozuki Suigetsu? Sekarang dia pacaran sama Karin…”

Eeeh?!…

“Gimana, kaget kan?”

“Bukannya Karin pacaran sama Kimimarou?”

“Sudah putus. Dan berarti dengan ini Karin total sudah pacaran dengan empat cowok dalam enam bulan terakhir sejak dia putus darimu. Gila. Padahal sebelumnya sudah sama Kabuto dan Jugo. Lalu Kimimarou kan sobatnya Jugo tapi malah diembat juga sama tuh cewek. Jangan dihitung dengan lelaki lain yang dia dekati tapi gak dia pacari. Entah apa maksudnya, mungkin gadis itu frustasi atau ingin perlihatkan diri kalau dia bisa dapat yang lebih baik darimu. Maksudnya dalam hal status sosial, yang diincarnya cowok borju semua lho. Meski tetap kupikir Uchiha lebih unggul. Yah sebanding-lah dengan Uzumaki, hehe~…” Naruto jadi narsis sendiri, “Aku juga jadi takut nih, gimana kalau nanti Karin incar aku…”

“Hah? Ha ha ha…” Aku cuma tertawa hambar. Kayaknya gak mungkin deh.

“Gitu Teme, Karin sudah punya empat sedang kau sampai sekarang masih saja jomblo. Kasihan, ckckck~…”

“Hn.” Aku tersenyum kecut dengar pernyataan Naruto yang terakhir, ‘Jomblo’ katanya. Dasar tak tahu apa-apa. Aku memang tak pernah cerita. Benar aku tak punya pacar sekarang, tapi aku punya seorang tunangan. Kupandang cincin di jari manisku sambil mengingatnya. Aah~ Sakura…

“Sabar ya…” lanjut Naruto sambil menepuk-nepuk sebelah bahuku, sok simpati. Padahal itu sama sekali tak perlu dia lakukan.

“Heh, Dobe. Aku tak peduli soal Karin. Asal kau tahu saja, aku ini…” kalimatku mengambang. Aku kembali ragu untuk beritahukan hal yang sebenarnya. Bukannya aku berniat sembunyikan statusku dan Sakura, tapi memang bukan sifatku menceritakan masalah pribadi kepada orang lain.

Selama ini Naruto tahunya aku berhubungan dengan Karin. Lalu mengingat pernah ada kejadian saat Sakura dilabrak dihadapanku, sedang waktu itu aku cuma diam saja menyaksikannya, pasti memancing rasa penasaran Naruto. Selanjutnya pasti aku disuruh cerita lebih detail. Soal sikap cuekku selama ini, pura-pura tak saling kenal, malah pacaran dengan gadis lain dan juga soal percobaan bunuh diri Sakura. Ya, Naruto pun bersamaku saat melihat Sakura terjatuh waktu itu. Esok harinya dia merasa heran dan tanya banyak hal kenapa aku sepanik itu di tempat kejadian bahkan sampai sengaja mengantar dan menemani Sakura di Rumah Sakit. Meninggalkan Naruto dan teman-teman lain serta merusak rencana hang-out kami yang hendak pergi main merayakan kelulusan sekolah waktu itu. Akhirnya, aku cuma jelaskan pada mereka kalau aku cukup kenal dan dekat dengan keluarga Haruno, walau tetap tak kuceritakan soal hubungan kami dan kejadian sebenarnya sampai sekarang.

“Nah, kalau soal kabar baiknya…” Naruto tak merasa curiga dengan sikapku dan kembali melanjutkan cerita. “Aku melihat sesuatu yang mengejutkan. Aku tak menyangka bisa melihat orang itu. Coba tebak siapa?” Belum sempat kujawab, lelaki berambut kuning itu sudah heboh duluan menjawabnya. “Itachi Uchiha! Aku lihat kakakmu lho, Teme. Itachi Uchiha kan namanya, kalau gak salah?”

“Hn.”

“Heeh?! Kok reaksimu malah biasa saja?” heran Naruto, “Aku lihat kakakmu. Sumpah, aku gak bohong. Beneran lihat dia, face to face…”

“Terus kenapa?” tanyaku datar. Ayolah, kukira kabar baik apa yang tadi ingin dia sampaikan.

“Yaah~ harusnya kau terkejut. Senang mendengarnya terus tanya-tanya aku, kapan, dimana, gimana tampangnya Itachi sekarang. Ini soal Itachi lho, I-ta-chi… ” Naruto tampak tak puas dengan reaksiku yang dingin. Lain dari biasanya. Mungkin selama ini yang dia tahu, sedikit saja menyinggung nama ‘Itachi’ pasti jadi hal sensitif buatku. “Eeh, atau jangan-jangan kau memang sudah bertemu dengannya?” tebak Naruto. “Kakakmu sudah pulang ya?”

“Hn.” Aku mengangguk kecil.

“Yaah~ telat info dong aku. Kenapa hal sepenting itu tak kau ceritakan padaku?!”

“Baru juga beberapa hari. Lagipula untuk apa kuceritakan, toh kau juga pasti tahu dengan sendirinya, seperti sekarang.”

“Iya, aku kaget banget. Setengah tak percaya pas lihat kakakmu tadi. Yang kuingat soal Itachi, kakakmu itu kan kabur atau diusir dari rumah sih? Pastinya karena kejadian itulah dulu kau jadi suka bersikap dingin dan sinis sama orang lain kan?”

Aku sedikit sunggingkan bibirku, tersenyum samar. Naruto cukup tahu soal Itachi karena lama berteman denganku.

“Tak kusangka bisa lihat dia di Akatsuki…” lanjut Naruto.

“Tch, kau datangi butler café itu?” cibirku tak percaya.

Butler café?” Naruto mengernyit heran.

“Akatsuki-shitsuji…” kataku, mengingat kembali nama tempat kerja sambilan kakak yang mencurigakan itu.

“Aku tak tahu tempat semacam itu.” Naruto kembali garuk-garuk belakang kepalanya. Menatapku dengan polos. “Bukan kok. Maksudku Akatsuki itu ya disini, kampus Akatsuki. Aku melihat kakakmu di parkiran tadi. Jalan sama pacarnya…”

Haah?!… Aku naikan sebelah alisku, lumayan terkejut mendengar Itachi datang ke kampus padahal dia sudah lulus dan apa yang Naruto bilang barusan?… “Pacar?” Memangnya Itachi punya pacar?

“Iya, pasti pacarnya kan kalau Itachi jalan berdua sambil menuntun seorang gadis. Apalagi mereka boncengan naik motor, mesra banget lho Teme.”

Menuntun?… Artinya bergandengan tangan.

Boncengan?… Artinya si gadis mendekap kakakku itu dari belakang.

Mesra banget?… Artinya memang Itachi jalan sama pacarnya?

“Dan yang tak kalah mengejutkan, kau tahu siapa gadis itu? Hmm, yah, pastinya kau sudah tahu. Ah, gak asyik lagi deh ceritanya…”

“Hoi, siapa memangnya gadis itu?” Kali ini aku benar-benar penasaran karena aku sungguh tak tahu apa-apa. “Jangan-jangan…” aku agak merindng memikirkannya, “Gadis itu… Ka-rin?” kataku dengan suara tercekat.

Tidak! Kalau itu kenyataannya, pasti akan sangat buruk buat Itachi. Walau Karin cantik, sexy dan sepertinya cocok dengan kakak, tapi jangan sampai, meskipun se-menyebalkannya dia, aku tetap tak rela kalau Itachi malah dapat gadis binal itu. Hn, yah, diluar alasan karena Karin adalah mantanku sih.

“Hahahaha…” Naruto malah tertawa renyah, “Beneran nih kau tak tahu siapa gadis itu? Bukan kok, bukan Karin, hehe…”

“Lalu siapa?”

“Hahahaha… Siapa ya?” Naruto memutar kedua manik safirnya.

“Heh, jangan bercanda…” Aku lekas berdiri dan menarik kerah jaket black-orange Naruto. “Cepat katakan!” pintaku dengan paksa. Fakta Itachi punya pacar tentu mengejutkan buatku.

“Ah, iya, iya…” Naruto cepat singkirkan cengkeraman tanganku. “Kau juga kenal gadis itu kok. Kau tahu, awalnya aku pun dulu sempat mengincar dia pas jaman SMA. Yah, walau dia bukan gadis populer, tapi dia cukup cantik, baik dan ramah dengan orang lain. Anaknya mungkin terlihat pendiam dan gak gaul, tapi kudengar banyak juga cowok yang tertarik padanya. Sampai ada yang nembak dan ngajak pacaran…”

Iih, si Dobe cerita apa sih? Aku sama sekali tak mengerti. “Maksudmu dia teman satu angkatan kita di Konoha?”

Naruto mengangguk, “Aku dengar gosipnya, tiap kali ada yang nembak dan ngajak pacaran sama dia, pasti bakal ditolak dengan alasan yang sama. Selalu bilang kalau dia sudah punya tunangan, haha~… Tunangan? Konyol banget kan alasannya. Hari gini anak seusia kita masih musim dijodoh-jodohin ortu segala? Gak masuk akal.”

Mendengar cerita Naruto itu pikiranku lekas tertuju pada seseorang. Jangan-jangan…

“Kukira waktu itu dia naksir berat sama kamu, Teme. Sampai suka menguntitmu dan dilabrak Karin. Aku juga terkejut melihatnya masih hidup. Seingatku dulu ada kabar kondisinya sekarat sampai tak bisa datang di upacara kelulusan. Kukira gadis itu tak akan selamat setelah kulihat dengan mata kepalaku sendiri dia terjun bunuh diri di Mall waktu itu. Kau masih ingat dia?”

Deg!… Jantungku jadi berdebar lebih kencang lain dari biasanya. Sudah pasti orang yang dimaksud Naruto adalah…

“Sakura Haruno. Kau pasti sudah bisa menebaknya, kan? Gadis itulah, Sakura yang kulihat jalan sama kakakmu itu tadi.”

Onyx-ku seketika membulat, “Sakura sama Itachi…”

Sekali lagi Naruto mengangguk, “Jadi apa Sakura itu sebenarnya pacar kakakmu? Atau jangan-jangan mereka bertunangan seperti apa yang Sakura selalu bilang? Hubungan dekat Uchiha dan Haruno yang dulu kau bilang itu apa karena kelak kalian akan jadi satu keluarga? Itu yang sebenarnya terjadi ya, Teme?”

Tidak!…

Dalam diam, aku cuma menggeleng pelan. Sementara aku kembali terduduk di kursi dengan perasaan tegang menyelimuti. Aku jadi ingin ungkapkan kenyataan. Bukan Itachi, tapi aku, Sasuke Uchiha-lah sebenarnya tunangan Sakura Haruno. Namun dibanding itu semua, perasaan apa ini yang kini lebih mengisi hatiku. Kenapa bisa sampai ada dugaan mengerikan mengenai Sakura dan Itachi? Cuma karena mereka jalan bersama. Tapi mereka lakukan itu tanpa sepengetahuanku. Sampai disangka pacaran segala. Apa ini? Kok rasanya aku jadi…

Cemburu?!…

.

.

Bbrrrmmm…

Deru suara motor terdengar memasuki halaman rumah. CBR merah itu melambatkan lajunya sebelum benar-benar berhenti tepat di depan pintu. Seorang gadis yang duduk diboncengan lekas kendurkan dekapannya pada pinggang sang pengendara seraya berangsur turun dan melepas helm yang menutupi helaian rambut sewarna permen karet miliknya. Demikian pula dengan orang satunya lagi, usai memarkirkan kendaraan, lelaki raven berkuncir itu pun ikut turun dan menyusul si gadis masuk ke dalam rumah.

Keduanya masih tertawa dan masang tampang ceria, menyertai entah obrolan apa yang sepertinya asyik mereka lakukan. Barulah setibanya di ruang tamu dan kami saling bertemu pandang, tawa itu seketika lenyap berganti senyuman kaku dan ekspresi keterkejutan. Mendapati aku datang ke kediaman Haruno tanpa kasih kabar. Tepatnya, tanpa tak bisa kasih kabar lebih dulu.

“Eeh, ada Sasuke… kapan kau datang?” tanya Sakura.

“Hn.” Aku hanya angkat sebelah alisku seraya mendelik kedua orang itu.

“Kenapa tak bilang mau mampir? Kau pulang cepat ya,…”

“Entahlah, siapa yang tak bilang dan ponsel siapa yang justru malah gak aktif…” sindirku. “Nii-san juga, kenapa tak angkat telepon dariku?”

Merasa dibicarakan, Sakura cepat merogoh isi tas selempangnya. “Wah, iya, pantas saja, low batt…” gadis itu menundukan pandangan. Tampak tak enak hati karena tahu aku (sedikit) marah padanya. “Maaf~…”

“28 missed calls, hee~…? Ponselnya ku silent ternyata.” Itachi nyengir sambil menunjukkan ponselnya kehadapanku. “Maaf ya Sasu, hehe~…”

Kulipat kedua tanganku di dada. “Dari mana kalian, kenapa pergi tanpa memberitahuku?” tanyaku lagi, dengan gaya menginterogasi.

“Ah, hahaha~…” Suasana lagi tegang, tapi tiba-tiba saja Itachi malah tertawa. “Fufufu~… lagakmu sudah seperti istri yang cemas menunggu suaminya pulang malam, Sa~su~ke~… Ini masih sore dan Sakura juga pergi bersamaku. Kau tak perlu secemas itu.”

“Nii-saaannn…” geramku, sembari mendeathglare-nya. Terus terang aku sedikit tersinggung dengan ucapannya barusan. “Tetap saja, aku khawatir karena kalian sama sekali tak bisa kuhubungi.”

“Iya, maaf…” kata Sakura, gadis itu mendekat dan merangkul lenganku. “Jangan marah. Kami tak pergi jauh, hanya mampir ke beberapa tempat. Itu juga karena aku ada sedikit urusan mendadak.”

“Kau sibuk, makanya aku yang temani…” sela Itachi, ikut berikan penjelasan. “Kami pergi ke Akatsuki, kampusmu, untuk lihat pengumuman pendaftaran mahasiswa tahun depan. Lalu ke tempat kerjaku, untuk makan siang sebentar. Tenang saja, hari ini bukan jadwal kerja Sasori kok. Dijamin tak ada yang ganggu Sakura. Setelah itu ke toko buku dan langsung pulang.” Sejenak Itachi menghela nafas, “Ok, karena urusan juga sudah selesai, aku antar Sakura pulang dan kau juga ada disini, sebaiknya aku pergi. Supaya aku tak mengganggu kalian, iya kan?”

“Hn.” Cukup pengertian juga kakakku itu kali ini.

“Makasih, Itachi-nii… hati-hati di jalan.” kata Sakura sambil melambaikan tangan.

“Yo, sampai jumpa Sakura-chan. Dan kau Sasuke, jangan pulang terlalu malam. Nanti Too-chan marah lho, hihihi… Jaa~…” balasnya jahil sebelum melesat pergi.

Bbrrrmmm….

“Tch, memangnya aku anak kecil.” dengusku, “Dasar sok atur!”

Berdiri disampingku, Sakura malah ikut terkekeh. “Senang ya kalau punya kakak.”

“Hn. Yaah, senang sih, walau kadang menyebalkan.” Kurangkul Sakura dan cepat mengajaknya masuk kembali ke dalam rumah. “Itachi pergi bukan berarti urusan diantara kita selesai, Sa~ku~ra… Kau harus kuhukum!” kataku sambil menyeringai.

“Hee?!”

“Pertama, aku marah karena ponselmu tak aktif.”

“Iya, maaf…” cup… Sakura berikan satu kecupan lembut di pipiku.

“Kedua, kau tak bilang mau pergi.”

“Eh, apa itu dihitung sebagai kesalahan?” cengang Sakura. “Kan sudah kubilang, aku mendadak pergi. Tadi pagi aku iseng buka website Akatsuki, sudah ada pengumuman Ujian. Sekalian saja aku pergi lihat-lihat kampusnya. Keren ya, pantas jadi kampus favorit. Aku jadi makin tertarik masuk sana…”

“Heh,…” selaku sambil menunjuk pipi kiriku. “Jangan coba alihkan pembicaraan. Kau masih di hukum.”

“Huff~… iya.” dengus Sakura, lantas kembali mencium pipiku. “Sudah?”

“Ketiga,…” lanjutku, “Kau malah pergi dengan Itachi-nii.”

“Iih, itu kan karena kau sibuk. Aku tak ingin mengganggu aktivitasmu. Nanti malah kau sebut aku manja. Cuma antar ke beberapa tempat saja misalnya kau tiba-tiba harus bolos kuliah. Tak mungkin kan?”

“Iya, tapi kau ini pergi ke kampusku, setidaknya apa tak sekalian kau temui aku?” balasku. “Aku kan masih sempat kalau sekedar temani kau lihat-lihat sekitar kampus. Kau tahu, ini jadi kesalahan keempat. Kau malah bermesraan dengan Itachi lagi, apa maksudmu, heuh?!”

“Haah?! Bermesraan apanya?”

“Jangan pura-pura. Ada yang melihatnya, Sakura. Pegangan tangan, boncengan erat, malah kau disangka pacar kakakku lagi, tch, menyebalkan!”

“Sasuke, kecemburuanmu terlalu berlebihan…” protes Sakura, “Aku tak percaya kau permasalahkan hal sepele seperti itu. Aku jalan juga bukan dengan orang lain. Dia kakakmu. Jangan menuduhku, kami tak mungkin berbuat macam-macam. Aku juga tahu batasan.”

Aku masih picingkan mataku, tak mau kalah.

“Aah, iya, baik. Aku minta maaf.” Akhirnya Sakura memilih menyerah. “Dasar posesif!” gerutunya sebelum kembali berikan dua kecupan hukuman di pipiku.

“Kelima…”

“Eeh, masih ada?”

“Ehm,…” Sial. Gara-gara pertengkaran kecil kami barusan aku jadi lupa mau bilang apa.

“Lima… empat… tiga… dua… satu… yup, gugur!” kata Sakura cepat menghitung mundur. “Yeah~ aku bebas. Hukumannya batal, Sasuke, hehe~…”

Ck~… aku mendengus kecewa. Padahal masih ingin dicium. “Hmm, yaah, yang kelima itu sebenarnya… hukuman karena sudah membuatku menunggu dan…”

Cup~… Belum selesai aku bicara, Sakura sudah mengunci bibirku dengan bibirnya.

“Maaf sudah membuatmu khawatir. Hapus segala prasangka dan perasaan cemas dihatimu itu. Aku tak akan melakukannya lagi, Sasuke. Aku janji.”

“Hn.” Sambil mengangguk kecil aku tersenyum mendengar ucapannya. Inilah yang kusuka dari Sakura. Dia selalu mampu buatku bahagia.


Sakura sudah putuskan untuk mengikuti Ujian Masuk fakultas kedokteran Akatsuki. Selain karena aku yang memintanya masuk satu kampus, ini sudah jadi minat dan cita-cita gadis itu sejak lama. Karena aku pun tak akan rela kalau biarkan Sakura pergi ke Suna misalnya, untuk kuliah kedokteran di tempat lain selain Akatsuki. Sebenarnya ini terlalu mendadak dan tanpa persiapan. Ujian akan diselenggarakan beberapa minggu lagi. Dan sudah jelas Sakura yang telah kehilangan waktu karena sempat sakit jadi harus mengejar banyak ketertinggalan. Walau kemungkinan kesempatan itu kecil, tapi Sakura berusaha keras melakukannya.

“Kau yang memintanya Sasuke. Kau ingin aku kelak jadi dokter pribadimu, kan~ karenanya, bantu aku belajar dan mengejar ketertinggalanku.” pinta Sakura.

Selain dia sibuk ikuti kelas ujian persiapan, terkadang aku juga menemaninya belajar. Yah, terpaksa sementara ini sebagian besar, malah seluruhnya, waktu kencan kami habiskan untuk Sakura belajar. Tapi setidaknya masih lumayan, ada juga kesempatan buat kami berduaan disela waktu bertigaan (?)

“Yo, aku seorang guru privat sekarang!” kata Itachi dengan belagunya memperkenalkan diri sambil berlagak sok pintar sampai pakai kacamata segala.

Yup, Itachi Uchiha… dialah orang ketiga.

Kakakku itu jadi guru privat Sakura. Itachi memang pintar, ahli di bidang eksak maupun bahasa. Lalu berbekal koneksi teman-teman kuliahnya dulu, dia bisa dapatkan berbagai macam tipe soal bayangan ujian masuk. Itu jadi semakin memudahkan cara belajar Sakura.

Terkadang aku agak cemburu. Kalau melihat Sakura dan Itachi lebih serius belajar dan mengacuhkanku. Seperti saat keduanya lagi konsentrasi belajar sampai tak ada celah buatku masuk diantara mereka.

“Jadi untuk soal semacam ini, lebih mudah pakai rumus ini. Coba hitung lagi…”

“Oh, gitu ya… Eh, tunggu, gimana tadi? Ulangi lagi kak. Buat dapetin jawaban ini pakai rumus A dulu gitu baru rumus B…”

“Bukan. Gak usah pakai A, langsung pakai B tapi caranya… bla… bla… bla…” Itachi kembali berikan penjelasan. Dia menggeser posisi duduknya lebih merapat pada Sakura. Aku tahu alasannya supaya lebih mudah menjelaskan bahasan soal pada gadis itu. Tapi…

“Ehem, rasanya agak bikin gerah juga nih.” gerutuku sambil mengibas-ibaskan tangan berlagak kepanasan.

Ironis sekali, padahal AC rumah juga dinyalakan dan udara berhembus dingin.

Namun ada juga saat menyenangkan ketika Sakura tetap buatku nyaman didekatnya.

“Hmm, Sasu, hentikan, geli. Minggir bentar.” pinta Sakura lekas memintaku menyingkir padahal lagi asyik tiduran diatas pahanya.

“Heh, baka otoutou, jangan ganggu napa?” Itachi ikut-ikutan menegurku. “Kau ini memangnya anak kucing, sebentar saja bisa gak sih gak manja sama Sakura? Merusak konsentrasi belajar aja nih.”

‘Huff~… Iya, aku anak kucing yang butuh dibelai.’ dengusku dalam hati.

Sakura tertawa kecil. “Haha~… Sabar ya, bentar lagi.” Menyadari aku lagi bad-mood, sebentar dia acak-acak pucuk kepalaku, benaran memperlakukanku layaknya anak kucing. “Delapan, eu, sepuluh deh ya, sepuluh soal lagi. Ok?!” tawar Sakura. “Sini, sini…” Dia tepuk-tepuk pahanya. Minta aku tiduran lagi disana. “Tapi awas lho, jangan gelitiki aku kayak tadi. Atau aku bakal selesai setelah kerjakan tiga puluh soal.” ancamnya.

“Hn.” Aku nyengir dan tanpa pikir panjang lagi kembali bermanja pada Sakura.

“Ckckck~… Dasar kalian ini…” Itachi geleng-geleng kepala, “Yang gak bisa konsentrasi itu aku tahu!” protesnya, “Aku kan juga pingin manja gitu…”

“Hahahaha~…”

Wuek… Kujulurkan sedikit lidahku pada Itachi. “Baka,…”

Aah~… Ayo cepat selesaikan ujianmu, Sakura! Dan manjakan aku lebih dari ini.


“Tadaima.” ucapku begitu sampai di rumah.

Hening.

Tak ada jawaban atau derap langkah kaki mendekat seperti hari-hari biasa terakhir ini. Biasanya jam segini Sakura sudah ada di rumah dan lekas menyambutku. Apa hari ini dia tak datang untuk belajar bersama Itachi? Tapi sewaktu kutaruh sepatuku di rak, kulihat sepatu gadis itu juga ada. Berarti dia sudah ada di rumah, kan?

Kulewati ruang keluarga dan mendapati buku-buku dan alat tulis berserakan diatas meja. Ternyata benar, Sakura datang. Tapi dua makhluk itu tak ada. Di teras belakang rumah juga tidak. Kemana mereka?

Aneh.

Rasa haus dan lelah membawa langkahku menuju dapur. Segelas air dingin sepertinya akan menyegarkan disamping aku sekalian mencari keberadaan Sakura dan Itachi dalam rumah. Aku yakin mereka tak pergi keluar. Dan benar saja, gelak tawa kakakku terdengar dari arah dapur ketika kususuri lorong menuju kesana.

…………

“Wahahaha~… Kau hebat, Sakura. Selain rasanya enak, teknikmu juga mantap. Aku sampai kewalahan. Belajar darimana cara seperti itu? Kau sudah banyak pengalaman ya?”

“Ah, tidak. Biasa saja. Sesekali aku coba-coba dan lihat orang lain melakukannya.”

“Eeh, hanya itu? Kau ini tipe orang yang langsung bisa hanya dalam sekali praktek ya?”

“Err, iya, mungkin begitu. Sasuke juga pernah mengatakan hal yang sama.”

“Wow, berarti kau sering melakukannya dengan Sasuke?”

“Tidak. Kalau dengan dia… tidak pernah.”

“Hee? Kenapa?”

“Hmm, belum ada kesempatannya. Dia terlalu sibuk sih belakangan ini.”

“Uuh, kasian. Tapi untung saja selalu ada aku yang menemanimu, kan? Hehe~…”

“Ahahahaha, iya, terima kasih.”

“Sakura, sungguh kau gadis yang luar biasa. Kalau kau sudah semahir ini, kelak pasti bisa puaskan Sasuke setelah kalian menikah…”

“Haah, menikah? Hahaha… benarkah? Kak Itachi gombal ah. Berhentilah menggodaku, aku kan jadi malu. Lagipula kalau dengan Sasuke, aku tak yakin, dia kan orangnya agak… hmm, pemilih, mungkin…”

………….

Ng?

Sejenak langkahku terhenti. Mengernyit heran mendengar pembicaraan mereka. Sedang apa dua orang itu di dapur?

………….

“Gadis pintar. Sekali lagi dong. Ajari aku cara yang tadi… yang diputar-putar…”

“Eeh, tunggu sebentar kak. Jangan dipegang dulu. Aku belum siap…”

“Ayolah, cepat lakukan sekarang. Aku sudah tidak sabar…”

“Jangan telalu cepat dan jangan kasar…”

“Iya, aku tahu. Akan kulakukan dengan lembut…”

………….

Aku makin mengernyit heran. Apa? Pembicaraan macam apa itu? Apa yang sebenarnya sedang mereka lakukan? Mendengarnya bikin telingaku panas. Dalam dadaku serasa ada yang bergejolak. Hatiku tak tenang. Pikiranku melayang jauh, mengkhayalkan sebuah adegan yang mungkin menggambarkan percakapan mereka.

………….

“Auch, aaah~…”

“Eeh, maaf-maaf. Kau tidak apa-apa? Sakit?”

………….

Walau aku tak ingin berburuk sangka, tapi ketika aku sampai di depan pintu dapur yang terbuka, kupergoki Itachi tengah menyentuh pipi Sakura dengan jarak keduanya yang saling berdekatan. Wajah Sakura memerah, sementara Itachi usai diturunkannya tangan itu, berganti sengaja mengelap ujung bibirnya. Bagaimana aku tak curiga. Apa yang mereka berdua lakukan dibelakangku?

….

“Eeh, Sasu…”

Menyadari keberadaanku, barulah emelard itu bergulir menatapku, diikuti oleh onyx Itachi. Keduanya tampak terkejut. Tentu saja, sepertinya aku jadi merusak suasana tiba-tiba muncul disaat mereka lagi asyik berduaan.

“Ka, kau sudah pulang?” tanya Sakura gugup. Dia sedikit melirik Itachi. Bukannya menjauh dari lelaki itu, tunanganku itu malah bergeser makin merapat pada Itachi. Apa maksudnya? Apa mereka sungguh ingin memperlihatkan kedekatan mereka terang-terangan padaku atau ingin sembunyikan sesuatu dariku?

“Hn.” Aku sedikit angkat sudut bibirku. Lalu tanpa banyak bicara langsung melengos pergi meninggalkan mereka.

Menyebalkan.

Tok… tok… tok… Pintu kamarku diketuk.

“Sasu…” Sakura menyembulkan kepalanya dari balik pintu. Sekilas aku hanya mengerling melihatnya dan kembali membuang pandangan ke luar jendela balkon kamarku di lantai dua. Menerawang jauh.

Perlahan kurasakan dua tangan kecil mulai menyusup dan melingkar di pinggangku. “Kau kenapa, tak biasanya begitu pulang langsung masuk kamar? Apa kau sakit? Tak enak badan? Ada masalah di kampus? Atau marah padaku?” Sakura bicara dibalik punggungku yang dipeluknya erat dari belakang. “Jangan bilang kau jadi begini karena salah paham lagi melihatku dan kak Itachi tadi…”

‘Jangan bilang salah paham?’… Rahangku mengeras. Tanganku terkepal menahan rasa kesal kalau kuingat kembali apa yang tadi kulihat. Mungkin memang tak ada apa-apa diantara mereka. Dan seperti biasa, ini hanya pikiranku yang terlalu berlebihan berprasangka buruk terhadap tingkah Sakura dan Itachi dibelakangku. Tapi tetap saja rasanya,…

“Hn. Begitulah…” gumamku.

“Sasuke~…” Sakura lepaskan dekapannya. Dia balikkan badanku sehingga sekarang kami berdua saling berhadapan. “Tolong jangan mulai mencurigaiku lagi. Mana mungkin kan aku dan kak Itachi. Jangan berpikiran macam-macam…” Gadis itu sedikit berjinjit dan menengadahkan kepalanya. Memberiku sekilas kecupan di bibir. “Aku kan mencintaimu.” ucapnya sambil tersenyum. “Sekarang kita turun yuk, aku punya kejutan untukmu…” ajak Sakura, lekas menarik lenganku.

Tapi aku tetap tak bergeming. Masih menatapnya tajam. “Begitukah? Cinta?” kataku, bertanya penuh keraguan. Mengingat apa tadi yang kulihat, kecupan dan ungkapan perasaan Sakura barusan rasanya seperti hanya untuk mengelabuiku. “Kau bilang cinta bukan untuk mempermainkanku, kan?”

Sakura balas menatapku heran. “Apa maksudmu?”

“Kau serius mengatakannya? Sungguh kau mencintaiku? Seberapa besar?” Aku kembali bertanya. Kuletakkan kedua tanganku diatas bahu gadis itu. Makin menatapnya lekat. “Atau sebenarnya kau masih menyimpan dendam dan kebencian, lalu diam-diam ingin menusukku dari belakang?”

“Hah? Ha ha…” Sakura tertawa hambar, dia gendikkan bahunya seakan tak nyaman dengan perlakuanku. “Tuduhan macam apa itu. Pikiranmu berlebihan. Iya, tentu saja aku mencintaimu, Sasuke…”

‘Benarkah?’… Lagi-lagi keraguan itu menyelimutiku. Meskipun Sakura bilang cinta, tapi entah kenapa aku tak merasa puas mendengarnya. Apalagi ketika kulihat emerald itu daritadi enggan menatapku langsung. Sebal. Perasaan itu kini memenuhi hatiku. Menyebalkan. Aku tak puas. Benar-benar tak puas. Aku tak percaya. Kalau dia benar cinta, aku inginkan lebih dari sekedar ucapannya yang terdengar seakan terpaksa itu. Aku ingin lebih…

“Ehm, Sasuke, sakit. Tolong lepaskan aku…” Sakura menepis tanganku dari bahunya. Tapi selang detik berikutnya aku malah balik memeluk gadis itu. Menguncinya dalam dekapan erat. “Aah, Sasu…” Sakura melenguh di dadaku, seperti merasa sesak. Dia coba melepaskan diri dan mendorongku.

Kukendurkan sedikit dekapanku dan menatap dalam emeraldnya. Tersirat ada ketakutan pada manik hijau muda itu saat balas melihatku. “Buktikan…” desisku, bikin si gadis mengerutkan keningnya. “Sakura, buktikan kalau kau benar mencintaiku dan tak coba berkhianat padaku…”

Hmmpphh…

Tanpa basa-basi lagi langsung kulumat bibir kecilnya. Sakura bergeming. Sebelum onyx-ku terpejam, sekilas kulihat emerald itu membulat sesaat menerima perlakuanku. Aku tak peduli, malah makin kueratkan pelukanku agar dapat memperdalam ciumannya. Aku hanya ingin lebih… Ya, aku ingin Sakura lebih menunjukannya.

‘Kalau kau mencintaiku, buktikan!’

Apa itu bukti cinta? Seperti aku yang mencintaimu. Sangat mencintaimu. Sampai rela kuberikan apa saja untukmu. Segalanya. Milikku untukmu. Kau pun harusnya sama. Kalau kau mencintaiku. Jadilah milikku seorang. Hanya aku seorang.

“Kyaaa~ mau apa kau?!” pekik Sakura saat aku menjatuhkannya ke atas tempat tidur. Gadis itu tak sempat menghindar karena aku berhasil menahan kaki dan tangannya, lalu kembali menciuminya.

“Hmm, hh, tungguhh, hh… ja…ngan… hhh, Sasukeeh…hhh” erangnya disela pagutan panas sampai tak kuizinkan dia membalas atau sekedar menarik nafas panjang-panjang. Terus kutekan bibirnya, memainkan lidah dan penuh hasrat menjelajahi isi mulutnya dengan liar.

Lumat. Gulum. Jilat. Isap.

Sakura menggelengkan kepalanya sementara kakinya meronta-ronta dan berusaha mengangkat tubuhnya atau mendorong tubuhku menjauh. Tapi tidak bisa. Kekuatan lelaki memang lebih besar dari wanita, bukan?

“Agh…hhh…” Sakura kembali melenguh tertahan, sementara campuran saliva kami mulai mengalir dari sudut bibirnya. Cepat kujilat bagian itu dan sedikit berikan kecupan-kecupan ringan sebelum kulanjutkan aksiku menjelajahi tempat lain. Turun ke leher jenjangnya.

“Jangan! Lepaskan! Hentikan, Sasuke! Aku mohon!” panik Sakura. Sekali lagi tak kuhiraukan. “Aaahh… hh…”

Sekilas teringat apa yang kulihat antara Itachi dan Sakura tadi kembali membangkitkan amarahku. Lalu bercampur dengan hasratku sebagai lelaki, kian menuntunku untuk terus berbuat lebih sekarang. Sakura mendesah. Dan aku tak tahu. Aku tak mengerti kenapa suara itu kemudian makin terdengar begitu menggairahkan buatku. Kuhirup dalam-dalam wangi cherry khas menggoda yang menyeruak dari tubuhnya sementara kuciumi jenjang leher itu sampai menorehkan tanda kemerahan disana.

Kiss mark.

Lagi. Dan lagi.

Itu bukti Sakura. Kau milikku. Satu-satunya milikku. Selamanya milikku. Akan kujadikan kau milikku. Aku ingin memilikimu. Jangan ada orang lain ikut campur. Tidak boleh ada yang menyentuhmu. Selain aku, tidak boleh!

Dengan kasar segera kutarik kerah kemeja gadis itu…

“Jangaaann…!”

Brrrkkk… / PLAKK…

Bersamaan dengan robeknya kain baju Sakura, satu tamparan keras mendarat di pipiku. Sontak menghentikan gerakanku. Membuatku terdiam sesaat dan memandang lurus wajah menyedihkan yang terlihat menderita dihadapanku kini.

“Jangan Sasuke! Hen…ti…kan!… hiks…hiks… Aku…mohon…hentikan… hiks… hiks…”

Seketika itu aku merasa terpukul. Serasa ditampar lebih hebat dari tamparan asli yang kudapat barusan. Kulihat Sakura terisak, gadis itu menangis, bicara dengan suara yang bergetar, tampak sangat ketakutan.

“A, ap…a…yang coba kau lakukan padaku?… hiks…hiks…hiks… hentikan… aku mohon…”

Dalam diam, aku gulirkan onyx-ku. Kuperhatikan keadaannya sekarang, mendapati helaian rambut merah muda itu acak-acakan. Wajah cantiknya berubah pucat dengan keringat dingin membasahi pelipis. Kontras dengan bagian bibir dan pipinya yang bersemu merah akibat cumbuanku tadi. Jangan tanya matanya yang sudah jelas basah oleh cairan bening yang terus saja mengalir tiada henti. Beralih dari wajah, kini tatapanku turun ke bajunya yang terkoyak sampai dua kancing kemejanya terlepas. Memperlihatkan sedikit belahan dadanya yang masih berbalut bra hitam. Sakura cepat mencengkeram erat kembali bajunya, menutupi bagian itu sebelum sempat kuperhatikan dengan lebih seksama. Mendekap erat tubuhnya sendiri yang gemetaran. Melihatnya sekarang, barulah kusadari apa yang sudah kuperbuat padanya.

“Ma, maaf, Sakura, aku, aku kalap…” kuulurkan tanganku hendak menyentuhnya. Ingin menghapus air mata itu. Ingin kembali mendekapnya. Menghentikan tangisnya. Tapi…

“Tidak!” bentak gadis itu seraya menepisku, “Jangan sentuh aku! Jangan pernah menyentuhku!”

“Maaf…” sekali lagi aku ucapkan dengan penuh penyesalan. “Sakura, aku tahu aku salah karena sudah tiba-tiba melakukannya. Ta, tapi, tapi aku tak bermaksud melukaimu. Kau tahu, aku sangat mencintaimu. Aku hanya ingin menyentuhmu lebih banyak. Aku hanya kita lebih…”

“Tidak!” Sakura menggelengkan kepalanya. “Tapi tidak dengan cara ini, Sasuke…hiks… Aku… aku sama sekali tak merasakan adanya cinta darimu… hiks…hiks… Kau tak memikirkanku… Yang seperti ini bukan cinta…”

“Sakura…”

Gadis itu segera menyingkir. Tenaganya tak seberapa, tapi aku sendiri seakan merasa terhempas saat dia akhirnya berhasil mendorongku jauh. Sakura balas menatapku. Tak sekedar death-glare penuh kebencian, tapi bercampur perasaan sedih dan takut yang juga tersirat dalam manik emerald-nya. “Hiks…hiks…hiks… Aku membencimu, Sasuke.” ucapnya sambil berurai air mata, gadis itu lekas beringsut turun dari ranjang.

Glek!

Aku menelan ludah, yang bahkan rasanya seperti masih tersangkut ditenggorokanku. Syok. Aku sadari apa yang sudah kuperbuat. Kurutuki kebodohanku. Kusesali kelakuanku yang tadi sempat terbawa nafsu sampai bisa berbuat seperti itu pada gadis yang kucintai. Aku sudah berpikir ingin melakukan ‘itu’ dengannya. Tolol. Aku sudah lupa diri. Harusnya meskipun aku sangat mencintainya, ingin memilikinya, tapi tak berarti aku harus menidurinya sebelum kami menikah. Aku hampir melukainya. Tidak. Aku bahkan mungkin sudah melukainya.

“Maaf…” ucapku kembali, menatap punggung gadis yang berjalan dengan tergesa-gesa keluar dari kamarku.

Perlu beberapa detik bagiku untuk ikut bangkit dan memutuskan mengejarnya. Aku tahu dia pasti akan menolakku. Sakura sangat marah sekarang. Tapi aku juga tak bisa tetap diam saja. Kulihat gadis itu sudah menuruni tangga hendak keluar dari rumah. Itachi yang baru nongol dari lorong dapur cuma melohok tak mengerti. Sepertinya dia pun dihiraukan Sakura yang lekas keluar dengan langkah terburu-buru.

“Ada apa ini?” tanya Aniki-ku itu. Dia memandangku heran lalu menatap Sakura cemas.

Brrrmmm…

Terlambat. Ketika aku keluar, Sakura sudah pergi duluan diantar mobil pribadi keluarga Haruno.

“Aarrgh, s*ck!” dengusku kesal. Kujambak rambut ravenku, disamping menekan kepalaku kuat-kuat. Kuharap pecah saja sekalian kalau ini bisa hancurkan juga rasa pusing yang membuatku sakit.

.

.

.

.

“Yo, baka otouto~…” sapa Itachi yang menyembulkan kepalanya dari balik pintu kamarku.

Aku hanya mengerling, sekilas memandangnya, enggan menanggapi. Kembali kubenamkan kepalaku dalam lipatan tangan yang mendekap kedua lututku.

“Hei, ada apa sih?” Itachi menghampiriku dan duduk di sisi ranjang tempat aku merutuk sendirian dalam perasaan tak karuan. “Ehm, apa yang terjadi tadi?” tanyanya sedikit ragu.

“…”

“Soal Sakura? Kenapa? Ada apa?”

“…”

“Dia pergi begitu saja. Kalian bertengkar?”

“…”

“Kau,… Apa kau sudah berbuat sesuatu padanya?”

“Hn… Hhh~…” Aku hanya mendesah, lantas menjatuhkan diri dan berbaring. Menutupi wajah dengan bantal. Tak ingin tunjukan ekspresi menyedihkan yang sepertinya kini terpahat di wajahku. Aku tak mau Itachi melihatku seperti ini, pasti dia akan habis-habisan meledek kalau tahu keadaanku sekarang.

Sialnya, wangi cherry itu tercium. Ya, dari bantalku samar kuhirup ada wangi Sakura. Seketika membangkitkan kenangan ‘indah sesaat namun fatal kemudian’ yang terjadi tadi di tempat ini. Kebodohanku. Kekurang-ajaranku. Sikap brengsek-ku yang pastinya bikin gadis itu terluka. Dengan geram kucengkeram kuat-kuat sprei ranjangku. Sungguh. Rasanya ingin kulepaskan satu pukulan pada seseorang. Yaitu aku. Aku yang brengsek ini.

“Sasuke…” panggilan Itachi kembali membuyarkan lamunanku. “Ehm, maaf, aku sebenarnya tak mau ikut campur urusan kalian berdua, tapi…”

“YA, INI SALAH NII-SAN!” teriakku seraya bangkit dan membentaknya. Bikin Itachi terbelalak kaget. “Kenapa harus kau dan Sakura…” lanjutku frustasi. “Sial! Aku tak bisa cemburu padamu…”

“Sasu…”

“Aargh,…” Aku kembali mengerang, menjambak rambutku. Menyebalkan. Aku tak bisa sepenuhnya keluarkan emosiku. Sejujurnya aku pun tahu ini bukan salah Itachi. Tapi rasanya kesal juga kalau tak bisa salahkan seseorang selain diriku sendiri. Salahku. Salah sakura. Salah Itachi. Salah siapa?

“Heh, Sasuke!” Itachi lekas menahan kedua bahuku, “Kau ini kenapa sih? Ada apa sebenarnya? Cepat ceritakan padaku, bicara yang jelas!”

“Tch,…” Aku hanya berdecih dan buang muka.

“Kau jangan-jangan… Dasar bodoh!” Itachi langsung menarik tanganku. Memaksaku untuk bangkit dari tempat tidur dan menyeretku keluar dari kamar.

“Heh, apa sih, baka Aniki, lepas! Aku mau dibawa kemana? Jangan seret aku, aku bisa jalan sendiri…” erangku kesal.

Sampai di dapur, Itachi baru lepaskan cengkeramannya. Kubalas menatap tajam orang itu sambil mengebaskan pergelangan tanganku yang jadi pegal karenanya.

“Apa?!” tanyaku, “Untuk apa kau bawa aku kemari?!”

“Kau bertengkar dengan Sakura karena melihat kami berduaan disini?” Itachi malah balik bertanya.

Makin ku deathglare dia. Sebal. Untuk apa dia ingatkan aku pada hal itu. “Begitulah. Aku cukup dengar semua pembicaraan erotis kalian disini. Dan melihat kau coba menciumnya atau memang kalian sudah berciuman disini, heuh? Menjijikan!”

Klontang…

Tiba-tiba saja Itachi acungkan sebuah wajan ke hadapanku. Apa dia bermaksud menantangku berkelahi dan kami sungguh akan saling pukul dengan peralatan dapur sebagai senjata?

“Pembicaraan erotis apa maksudmu? Siapa yang ciuman? Sasuke, bodoh! Apa aku sungguh punya adik sebodoh dirimu?!” teriak Itachi.

Sraaaang… taang… tang… tang… sroook… srook…

Itachi angkat wajan dan spatulanya. Sedikit melakukan atraksi menggoreng ala koki profesional.

“Aku dan Sakura sedang masak. Dia ajari aku teknik ini…”

Eeeehh?!… Yang sebenarnya terjadi siang tadi disini adalah…

.


.

=== Normal POV ===

.

Wajan serta spatula di tangan. Putaran pergelangan yang lentur dan teratur. Akselerasi paduan menyerok dan menggoyang penggorengan. Semua dilakukan Sakura dalam satu gerakan lihai. Mencampurkan semua bahan dan bumbu menjadi satu dalam menciptakan sebuah masakan lezat siang itu. Special untuk seseorang. Menyela kegiatan rutin belajarnya, gadis manis ini punya niatan ingin berikan kejutan untuk sang tunangan tercinta. Masak makan siang, nasi goreng tomat.

“Wahahaha~… Kau hebat, Sakura.” puji Itachi untuk kesekian kalinya saat melihat Sakura memasak dengan begitu telaten. Lelaki Uchiha itu menjilat ujung-ujung jarinya yang habis dia pakai untuk mencomot sedikit telur dadar yang sudah tersaji di piring. “Selain rasanya enak, teknikmu juga mantap. Aku sampai kewalahan. Belajar darimana cara seperti itu? Kau sudah banyak pengalaman ya?”

Sakura sedikit menggulum senyum malu. “Ah, tidak. Biasa saja. Sesekali aku coba-coba dan lihat orang lain melakukannya.”

Gadis ini memang tak pernah ikut kursus memasak secara khusus. Terkadang dia hanya lihat acara memasak di TV atau membaca buku-buku resep. Sesekali juga sering melakukannya di rumah. Membuat bento waktu masih jaman sekolah. Yang sebenarnya ingin dia berikan untuk seseorang. Tapi tak pernah bisa dia sampaikan. Karena dulu, saking bencinya, boro-boro Sasuke mau makan masakannya, bertemu dengannya saja pun sudah buang muka. Mungkin cowok itu akan muntah duluan seenak apapun rasa makanannya kalau tahu itu buatan Sakura. Tapi sekarang pasti lain. Sambil berharap dan memasak dengan penuh cinta, Sakura yakin Sasuke akan suka.

“Eeh, hanya itu? Kau ini tipe orang yang langsung bisa hanya dalam sekali praktek ya?” lanjut Itachi.

“Err, iya, mungkin begitu.” Rasanya Sakura jadi teringat sesuatu, “Sasuke juga pernah mengatakan hal yang sama.” Yah, soal ‘Sakura tipe orang yang langsung bisa hanya dalam sekali praktek’ itu pas dia diajari ciuman oleh Sasuke.

“Wow, berarti kau sering melakukannya dengan Sasuke?” Itachi mengira Sakura sudah sering memasak bersama Sasuke seperi ini.

“Tidak. Kalau dengan dia… tidak pernah.” jawab Sakura terus terang.

“Hee? Kenapa?” heran Itachi.

“Hmm, belum ada kesempatannya. Dia terlalu sibuk sih belakangan ini.” Sakura sedikit kecewa. Padahal dia pun berharap bisa masak bersama Sasuke. Buat bekal lalu pergi piknik ke taman. Pasti sangat romantis.

“Uuh, kasian. Tapi untung saja selalu ada aku yang menemanimu, kan? Hehe~…” goda Itachi.

“Ahahahaha, iya, terima kasih.” balas Sakura. Dia benar-benar bersyukur guru privatnya ini mau sedikit kurangi waktu belajar mereka untuk memasak. Walau sebagai gantinya Itachi minta jatah satu porsi.

“Sakura, sungguh kau gadis yang luar biasa. Kalau kau sudah semahir ini, kelak pasti bisa puaskan Sasuke setelah kalian menikah…”

Tentu saja punya istri yang pintar masak akan buat suami senang, bukan?

“Haah, menikah?” Sakura blushing memikirkan rencana menikah dengan Sasuke. “Hahaha… benarkah? Kak Itachi gombal ah. Berhentilah menggodaku, aku kan jadi malu. Lagipula kalau dengan Sasuke, aku tak yakin, dia kan orangnya agak… hmm, pemilih, mungkin…”

Ya, soal makanan. Si Uchiha bungsu itu kan pemilih. Tak suka yang manis, tapi paling suka sama tomat.

“Gadis pintar. Sekali lagi dong.” Itachi benar-benar kagum melihat teknik memasak Sakura. “Ajari aku cara yang tadi… yang diputar-putar…” Lelaki itu sudah siap dengan wajan dan spatula lain ditangan. Langsung dia letakan di kompor satunya lagi yang tak Sakura pakai.

“Eeh, tunggu sebentar kak.” cegah Sakura. Belum juga dia bersiap dan masih sibuk mengaduk masakan di wajannya, Itachi sudah mulai duluan. “Jangan dipegang dulu. Aku belum siap…”

“Ayolah, cepat lakukan sekarang. Aku sudah tidak sabar…” Lelaki Uchiha yang satu ini beneran ingin coba cara membalikan telur dadar dengan melemparkannya di atas wajan seperti yang dilakukan Sakura. Baginya itu terlihat keren.

“Jangan telalu cepat dan jangan kasar…” Sakura memperingatkan.

“Iya, aku tahu. Akan kulakukan dengan lembut…” Itachi tahu, kalau terburu-buru, telurnya akan rusak.

Sraaakk…

“Auch, aaah~…” Sakura sedikit terkena cipratan minyak. Buru-buru dia lepaskan kedua tangannya dari alat masak dan berganti menelisik wajahnya. Sedikit terasa perih di bagian pipi.

“Eeh, maaf-maaf. Kau tidak apa-apa? Sakit?” cemas Itachi. Lekas melihat luka Sakura.

Masak dan lama berhadapan dekat penggorengan dan kompor bikin wajah Sakura agak memerah dan berkeringat. Itachi juga, takut ada minyak yang menempel di wajahnya, dia seka pipinya dan sedikit menyapu bibir. Dan saat itulah Sasuke muncul, melihat mereka seolah mau atau sudah berciuman.

“Eeh, Sasu… kau sudah pulang?”

Sakura terkejut melihat kehadirannya. Dia cemas. Masakannya belum jadi dan masih berantakan. Khawatir ketahuan dan tak jadi kejutan buat Sasuke, Sakura cepat bergeser menutupi masakannya. Tapi itu malah bikin tunangannya salah paham dan memilih pergi dengan membawa amarah dan kecemburuan.

=== Normal POV : END ===


“Nah, jadi apa kau sudah makan siang, Sasuke?” tanya Itachi seraya meletakkan sepiring nasi goreng tomat diatas meja. “Sakura bermaksud berikan kejutan ini saat kau pulang.”

A-pa?!

Kusandarkan tubuhku yang mendadak lemas ke tembok. Syok. Usai mendengar cerita Itachi dan melihat makanan yang tersaji, aku makin merutuki kebodohanku. Harusnya sejak awal aku jangan salah paham tehadap mereka. Sampai menuduh Sakura mengkhianatiku. Sebenarnya tak ada alasan untukku meragukan perasaan Sakura. Padahal akulah yang harusnya lebih tahu sebesar apa dia mencintaiku selama ini. Tak perlu minta pembuktian segala.

“Baka otouto, kau sendiri yang rusak kebahagianmu…” Itachi mendekat. Ditaruhnya sebelah tangan itu diatas bahuku. “Padahal aku sudah bilang, kau hanya harus percaya…”

“Nii-san… apa aku, aku… aku salah hanya karena aku begitu ingin memilikinya? Aku hanya ingin dia lebih mencintaiku. Aku tak mau sampai kehilangan dirinya…”

“Apa yang kau takutkan? Dia milikmu. Kalau kau begitu tak ingin kehilangan dirinya, masih ada cara lain yang lebih baik dan benar kan?” sejenak Itachi terdiam. Onyx-nya menatap teduh. “Kalau aku jadi kau, tidak usah ada pertunangan, aku akan langsung menikahinya…”

Eeh?! Menikah?

Aku tertunduk lesu memikirkannya. Kalau hubunganku dan Sakura seperti ini. Kembali dia membenciku. Enggan disentuh olehku. Jangankan untuk menikah, mungkin pertunangan pun tak akan ada. Padahal tinggal seminggu lagi. Harusnya kami sambut hari bahagia itu baik-baik. Bukan malah menghancurkannya seperti yang sudah kulakukan sekarang.

Bodoh, tinggal seminggu lagi…

Apa sakura masih mau bersamaku?

=0=0=0=0=

TBC… Next to Last Chapter

=0=0=0=0=


Bachot Session from Author:

A-yeah! Publish juga (^-^)/…

Niat updet kilat ternyata malah molor mpe seminggu, hehe~… Maklum waktu itu karena persiapan Lebaran, boro-boro ada waktu buat kutak-ketik yang ada saya sibuk bikin kue, ini-itu, dll, dsb, etc… *alasan gak mutu*

Tapi sebagai gantinya, saya buat panjang chapter kali ini walau penuh ke-GJ-an dan OOC, maaf ya maaf… Dan sekalian mau mengucapkan Selamat Hari Raya Idul fitri 1433 H Minal Aidzin wal Faidzin 😀

Maaf kalau ada yang gak suka dengan ke-OOC-an Sasuke dan tokoh lainnya disini, hehe~ =_= … Tapi saya harap cerita kali ini dapat memuaskan Readers disamping dengan banyaknya adegan blushing yang bertebaran, jiahahaha~… #plakk *itu sih Authornya aja yang bikin mesum*

Akhirnya tinggal satu chapter lagi tamat. Bagaimana nasib hubungan Sasuke dan Sakura? Intip dikit spoilernya…

===*Yang gak suka dikasih bocoran, silahkan lewati bagian ini*===


Tok… tok… Cklek… Braakk… Sakura langsung membanting pintu kamarnya begitu melihatku datang. Saking enggannya gadis itu bertemu denganku. Dia masih marah.

“Hoi, jangan cuek dong. Ini acaramu, masa malah aku yang sibuk mempersiapkannya…”

“Cepat selesaikan pertengkaran kalian, atau hari itu akan jadi berantakan…”

“Jadi begini sikapmu. Selalu cari alasan buat batalkan janji dengan ibuku, tapi bisa luangkan waktu buat bertemu Itachi…”

“Aku tak tahu harus bagaimana. Aku sendiri bingung dengan perasaanku…”

“Ini yang terakhir. Aku tak akan memaksa…”

“Maaf… maaf… Sasuke… Mungkin aku tak akan bisa…”

“Bodoh, jangan perlihatkan air matamu…”

Dengan nafas masih terengah, kuputar pandanganku ke sekeliling. Dimana? Sakura… Apa aku terlambat? Kucari kemanapun aku tak menemukannya.

Masih adakah rasa dihatimu?

Sakura, cintai aku lagi…

===* All in the Last Chapter, coming soon… *===


WTH, spoiler apa ini? Dikit banget… (=_=)a Cuma 1/3 bagiannya kok, haha~ #dihajar reader

This chapter special for…

YaYaK, kazunarilady, Dwi Kharisma, asdf, Marshanti Lisbania Gratia, Lailan slalu mencintai ghalma, Sarah Zakila, sv3p, Jile Tamariska Sing, Decha, chii, Sslove, Itha, Rahma, nathaya, Amaterasu Uchiha, zoggakyu, gee, sohwarizkia, ayu sasusaku, Eviech, Uchiha Nanda, qori, Judy Maxwell, Tyara Hinamori, Dika Rahmat, LoLaa Uchiwara, KazuhaRyu, Nur Ida ‘Claudya’ Mahmudah, Fiiedy, ichi, yamanakas flower, Linda Boniarti, ateko riri,  dan kamu yang udah baca FF ini tapi gak meninggalkan jejak komen.

Terima kasih sudah baca (^-^)/ Ditunggu komennya lagi ya, hehe~… 

See u next week… Jaa~ -(^o^)/ 

47 Comments

Leave a Reply

One Ping

  1. Pingback:

Leave a Reply to ichi Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *