Jodoh
Benang merah
Orang yang ditakdirkan
Minato Namikaze tak percaya semua itu. Lain halnya dengan Kushina Uzumaki yang sangat percaya bahwa mereka berdua terikat takdir yang tak terelakan. Mengira Kushina hanya seorang gadis aneh yang senang berkhayal, Minato selalu mengabaikannya. Apakah Kushina berhasil meyakinkan Minato dan apakah Minato menyadari perasaannya? Sebelum semua terlambat, benarkah takdir bisa menyatukan mereka selamanya?
…
=0=0=0=0=
UNMEI NO HITO
=0=0=0=0=
Chapter: ½ |You are My Destiny
Pair: Minato Namikaze x Kushina Uzumaki
Rate: T
Genre: Romance, Hurt/Comfort, Angst (?)
Disclaimer: NARUTO © MASASHI KISHIMOTO
Length: 3.783 words
WARNING: OOC, AU, typo, alur GaJe cerita se-mau-gue.
Story by
FuRaHa
If you don’t LIKE? Read? Don’t Read?
WHATEVER!
~Itadakimasu~
.
.
.
“Minato~-kuuuun!”
Brrrr…. Bulu kudukku langsung berdiri, merinding begitu mendengar suara khas yang memanggilku itu.
“Hei, Minato~-kuuuun!
Diam. Jangan pedulikan, batinku dalam hati. Pura-pura saja tak mendengar.
“Minato~! Minato~!” panggilnya berulang kali. “Minatooo~ kuuuun!”
Ugh, lagi-lagi, teriakan itu…
“Minatooooo~-kuuuuuuunn!”
Makin dia berteriak, orang-orang di sekitarku yang mengenal diriku makin menatapku heran. Dipanggil berulang kali dari tadi tapi tak kutanggapi. Lama-lama aku bisa dikira tuli. Yaah, kalau sudah seperti ini rasanya aku tak bisa lagi menghindar. Akhirnya dengan sangat terpaksa kuhentikan langkahku dan menoleh kearah seorang siswi berseragam SMA yang sudah lama berdiri di depan gerbang kampus.
“Aah, Minato-kun! Hei, sini! Sini! Aku di sini!” Gadis itu tampak senang melihatku menanggapi panggilannya. Dia berhenti berteriak, tapi masih dengan gayanya yang norak, dia melambai-lambaikan tangan menyuruhku untuk secepatnya datang menghampiri.
Huff~… Ya, ampun, dengusku kesal. Tak bisa kupercaya, gadis itu datang lagi. Ini sudah berlalu lima hari sejak pertama kali kami bertemu. Kalau dibilang cuma kebetulan, pasti ini kebetulan yang mengerikan. Dan yang lebih tak ku percaya, aku yang biasanya menghindar, pura-pura tak melihat atau langsung kabur, kali ini malah mengikuti apa maunya. Aku menghampiri gadis itu.
“Kau lagi?” ucapku ketus, begitu sampai di dekatnya.
Si gadis berambut merah itu nyengir, “Hehe, senangnya. Kukira tadi kau pura-pura tak mendengar dan mau menghindariku seperti biasa.”
“Ya, memang itu mauku. Sudah kubilang jangan temui aku di sini dan berhentilah bersikap sok akrab padaku. Kau tak punya kerjaan lagi apa selain membuntutiku tiap hari? Apa maumu sebenarnya, heh?”
“Ng, aku… aku cuma mau bertemu dan menyapamu,” jawabnya polos. Lalu dengan wajah manis, gadis itu tersenyum, sebelum kemudian… Cup~… ―sembarang dia langsung mengecup sebelah pipiku tiba-tiba. “Itu saja.” lanjutnya seraya melenggangkan kakinya dan cepat pergi dariku, “Sampai nanti siang, Minatooo-kuuun~…!” pamitnya, lengkap dengan lambaian tangan dan wajah ceria.
“Hah?!” Aku melohok, masih terkejut dengan apa yang barusan terjadi.
“Cie cie… ehem…” goda Fugaku, Chouza dan Shikaku. Teman-temanku yang tanpa kusadari ternyata mereka melihat adegan memalukan itu.
“Wah, wah, pagi-pagi sudah mesra.” kata Chouza.
“Siapa gadis itu?” tanya Fugaku.
“Hahaha~ diam-diam ternyata kau sudah punya pacar ya, Minato?” sambung Shikaku.
“Bukan,” gumamku seraya perlahan menyentuh kembali sebelah pipiku yang kini terasa panas dan sedikit basah. Kuperhatikan sosok gadis berhelaian merah itu lekas menghilang di ujung jalan. “Dia bukan pacarku. Dia cuma seorang cewek aneh.”
Ya, dia aneh.
.
.
Namanya Kushina Uzumaki. Cuma itu yang ku tahu. Dan gadis berambut merah mencolok itu terus saja mengatakan kalau pertemuan kami adalah takdir. Cih, apanya yang takdir bila semua ini berawal hanya dari sepotong roti.
Hmm, kalau kukenang kembali pertemuan pertamaku dengannya lima hari lalu…
Hari itu aku benar-benar lapar. Karena semalaman begadang sibuk mempersiapkan bahan presentasi kuliah, belum lagi padatnya jadwal latihan klub atletikku, aku sampai tak sempat untuk sekedar sarapan. Dan buat anak kos yang hidup sendiri di Konoha, boro-boro sempat masak, untuk bikin mie instant saja rasanya tak akan keburu. Jadi seperti biasa, sarapanku adalah nasi kotak yang dijual di kios dekat halte bis langgananku. Menunya lengkap dan enak, tak heran bila dari pagi sudah banyak orang rela antri membelinya.
Karena datang terlambat, ternyata nasi kotak Ichiraku sudah terjual habis. Tapi untung saja, masih tersisa beberapa potong roti isi daging yang masih dijual. Setidaknya itu mungkin cukup untuk mengganjal perut laparku sampai jam istirahat makan siang nanti. Dan saat aku hendak mengambil roti itu dengan penjepit kue, tiba-tiba…
“Heh, enggak sopan. Sembarangan ambil punya orang!” teriak seorang gadis di sampingku, marah-marah. Penjepit kue di tangannya juga ikut pegang tuh roti isi. “Aku duluan tau!”
Apa-apaan nih cewek? Nyebelin banget, batinku dalam hati. Seingatku dia duluan tuh yang datang langsung serobot punya orang. Tentu saja aku juga tak mau kalah. Tak kulepaskan jepitan kueku pada roti itu.
“Itu roti terakhir…” ujar Teuchi, sang pemilik toko.
Wah, jelas tambah tak bisa nyerah kan?
Aquamarine dan amethyst berkilat. Kami berdua saling pelotot seolah yang kalah adalah dialah yang pertama kali mengedipkan mata. Namun tiba-tiba saja ekspresi gadis itu berubah. Dia seolah terkejut akan sesuatu. Pegangannya pada roti pun melunak dan itu jelas menguntungkan buatku yang cepat sambar roti isi terakhir itu tanpa memedulikan tingkah anehnya. Yang penting aku yang menang. Jadi tanpa pikir panjang lagi langsung saja cepat aku bayar dan pergi sebelum dia protes dan berubah pikiran.
“Eh, hei! Tunggu!” panggil gadis itu dari belakang. Aku hanya sekilas menoleh dan tak kuhentikan langkahku meski kulihat dia berlari-lari mengejarku. Gerakannya cukup cepat dan tahu-tahu dia sudah berdiri di hadapanku, menghalangi jalan dengan merentangkan kedua tangannya. “Aku bilang tunggu, kan?!” bentaknya, “Kau tuli? Tch, ganteng-ganteng budeg…”
Hee?! Kurang ajar banget nih cewek, kesalku dalam hati. “Apa? Mau apa lagi? Mau protes soal roti? Enggak bisa dong. Toh roti ini sudah kubeli. Lagipula…” HUP―langsung saja kugigit ujung roti itu sebagai tanda bukti kepemilikan. “Sudah kumakan…”
“Ini aku…” GREP―tak kuduga gadis itu justru langsung berhambur memelukku. “Kyaaa~ aku tak percaya kau sungguh-sungguh muncul. Akhirnya kita bisa bertemu…” ucapnya, terdengar riang.
“Hoi! A―pa-apaan sih?!” lekas saja kusingkirkan gadis itu. Melepaskan dekapannya. “Kau gila? Apa yang kau katakan?”
“Ini aku, aku, Kushina. Kushina Uzumaki. Kau kenal aku, kan? Hei, jangan pura-pura. Harusnya kau pun sadar begitu kita bertemu pertama kali tadi.”
HAH?!… Aku mengernyit heran, tak mengerti apa maksud perkataannya.
“Aku juga muncul dalam mimpimu, kan? Yeah, beneran ketemu!” Gadis aneh itu berteriak kegirangan, lantas merangkul lenganku sok akrab, “Aku tak percaya, takdir sungguh mempertemukan kita. Kau, aku, kita bisa bertemu secepat ini. Senangnya~…”
“Lepas!” Aku lekas menepis tangannya, “Apa yang kau bicarakan? Aku sama sekali tak mengerti?” ucapku terus terang. Gila. Gadis ini gila. Pastinya. Cuma itu yang terlintas dalam pikiran logisku sekarang.
“Kok gak ngerti sih…” Gadis itupun mengerucutkan bibirnya, memandangku kecewa. “Benar kau tak kenal aku? Kau tak tahu apa-apa?”
“TIDAK!” jawabku tegas sambil berlalu, terus melangkah sampai―
JDUG… Tiba-tiba aku terjerembab. Seseorang mendorongku dari belakang hingga nyaris terjatuh. Bokongku diraba, sontak aku menoleh dan kulihat helaian rambut merah terurai sedikit menyapu wajahku saat tersibak. Akhirnya kudapati gadis aneh tadi dengan cepat telah mengambil dompet dari saku belakang celana jins-ku.
“Hoi, pencuri!” teriakku. “Ternyata kau ini copet ya?!”
“Hihihihi~…” Gadis itu malah nyengir dan tersenyum jahil seraya melemparkan kembali dompetku tepat mengenai muka, “Mana ada copet yang balikin lagi barang curiannya, baka!” ucapnya. “Makanya dengarkan dulu aku bicara. Kita ini berjodoh. Kau dan aku ditakdirkan bersama. Pasti sekarang kau cuma belum sadar saja.”
Jodoh? Omongan gila macam apa itu. Gak waras.
“Kalaupun ada satu hal yang kucuri…” GREP―dia tarik kerah kemejaku, “Paling cuma ini…”
CUP~ Tak terduga dengan kurang ajarnya dia sembarangan daratkan sekilas bibirnya diatas bibirku.
“Anggap sebagai salam pertama dariku. Sampai ketemu lagi, Minato-kun~…” *wink* ucapnya kemudian, sambil melambai dan berlari-lari kecil mengejar bis yang hendak dinaikinya.
Aku masih terdiam. Melohok. Seolah 30% kemampuan respon otakku menurun. Kejadiannya begitu cepat dan terlalu tiba-tiba. Sampai rasanya kupikir aku sedang bermimpi. Tapi setelah kucermati, tentu saja tidak. Ini nyata kualami. Sadarlah, Minato!
Ketemu lagi? Huh, gak banget kalau sampai berurusan lagi sama cewek aneh bin gila itu, pikirku seketika merinding. “Eh, tapi tadi…” Aku baru menyadari satu hal. Minato? Tadi dia panggil namaku, tahu darimana? Jangan-jangan…
Lekas saja kuperiksa isi dompetku. Jadi ini yang dia maksud, kami pasti bertemu lagi? Saat kusadari ternyata kartu-kartu identitasku, meliputi KTP, Kartu Mahasiswa, ATM, telah raib dibawanya.
HEEEEE?!
Awal takdir yang tak terduga.
.
.
.
.
“Balikin gak?! Atau kau lebih suka kulaporkan polisi?” tanyaku ketus, setengah mengancam gadis berambut merah lurus sepunggung yang pasang tampang manis dan sok polos.
“Enggak,” Kushina menggeleng, dia kembungkan sebelah pipinya. “Temani aku dulu baru kukembalikan. Kesepakatannya kan gitu.”
Tch, si gadis rubah ini seenaknya buat perjanjian. Satu kartu, satu permintaan. Sejak peristiwa itu dia yang sudah mengenalku, mengetahui alamat apartemenku, tahu dimana kampusku jadi sering datang mengunjungiku. Terkadang dia datang saat jam istirahat makan siang atau di sore hari sepulang kuliah. Biasanya dia akan langsung menyeretku pergi makan atau sekedar mengobrol. Meski sebenarnya dia yang lebih banyak bicara dan mentraktirku. Aku tak mengerti dengan jalan pikiran gadis aneh satu ini. Dia lakukan semua ini, sampai mau bersusah payah demi meyakinkan sebuah kata ‘TAKDIR’ padaku.
“Minato-kun masih belum percaya juga kalau kita ditakdirkan untuk bersama?” tanya Kushina, entah dia sudah mengulangi pertanyaan ini berapa puluh-ratus kali.
Aku menggeleng, “Berhenti bertingkah konyol. Tahu darimana sampai kau seyakin itu?” tanyaku meremehkan.
“Mimpi.” jawabnya polos, “Aku juga pasti muncul dalam mimpi-mimpimu, kan?”
“Tch,” Aku mendelik malas seraya melipat kedua tanganku diatas dada, sedikit menyunggingkan bibir. Lagi-lagi dia bahas mengenai mimpi, jodoh dan takdir. “Kenapa sih anak perempuan suka sama hal konyol kayak gitu? Dengar ya, sebaiknya kau berhenti bermain-main denganku. Aku tak berminat sama ceritamu itu. Tipu saja orang lain, ok?!”
“Aku tak pernah main-main denganmu. Aku serius.” balas Kushina, dia tatap lurus mataku. “Ini bukan hal konyol. Aku sungguhan. Sudah kubilang kan, aku dan kau sebelum ini pernah bertemu…”
“Di mimpi?!” potongku cepat, “Pastinya begitu. Karena aku yakin kalau aku dulu pernah bertemu denganmu sebelumnya, mana mungkin aku lupa sama cewek aneh sepertimu!”
“Tapi aku benar, kau muncul dalam mimpiku. Setiap malam. Sebelum kita bertemu. Aku selalu memimpikanmu. Mimpi yang tersembunyi di balik kabut. Diantara bayang-bayang orang yang berlalu lalang di sekitarku, seseorang berdiri terpaku menatapku…” Tangan Kushina bergerak menangkup kedua sisi wajahku, “Aku melihatmu, Minato. Wajah yang sama seperti yang kulihat sekarang.”
DEG!
Satu hal lain yang tak kusukai dari Kushina. Entah dia punya karisma apa, tapi terkadang aku merasa terganggu dengan sesuatu yang lain yang tiba-tiba kurasakan saat aku bersamanya. Aku tak mengerti. Tapi aku juga tak mau repot-repot memikirkannya.
“Jangan bercanda,” kataku seraya menjauh, “Kau hanya gadis yang senang berkhayal.”
“Bukan. Ini bukan khayalan.” bantah Kushina, “Ini terjadi karena aku yakin dalam memoriku sudah tergores ingatan dari dunia sebelumnya…”
Hah? Apa lagi sekarang? Dia mau singgung soal perjalanan antar waktu?
“Kau Minato, dalam mimpi selalu tersenyum padaku. Memperlakukanku dengan lembut. Pernah sekali aku bermimpi kau pun menyelamatkanku dari kawanan penjahat, hahaha~ adegannya seperti dalam film cerita action lho. Tapi lebih sering aku memimpikan kita jalan bersama dan berkencan. Hmm, sungguh romantis. Lalu yang paling kusuka dari semuanya…” Kushina menggulum senyum malu, sedikit menundukkan pandangan kala semburat garis kemerahan merona di pipinya, “Kita ditakdirkan menikah dan punya anak…”
DOENG
Kupijit-pijit keningku. Merasa pening memikirkannya. “Baka~…” dengusku, “Khayalanmu berlebihan. Kalau kau selalu bertingkah aneh seperti ini, aku yakin kau orang yang selalu dibenci oleh orang lain. Sadar dikit dong! Logis! Meski kita―kau masih remaja, tapi gadis seusiamu sudah tak pantas bersikap kekanak-kanak seperti ini. Sudah besar tapi masih berkhayal, namanya gila, tahu?! Apa sih yang kau pikirkan?!”
Ekspresi Kushina berubah. Dia tampak tegang dengan wajah kian memerah. Gadis itu terdiam dan tak membalas perkataanku barusan. Apa ucapanku kelewatan?
“Aku tahu,” Tak lama Kushina mengangkat pandangannya, kembali menatapku sambil tertawa kecil dengan wajah ceria khasnya, “Tapi asal Minato seorang mau mengerti, aku tak keberatan. Bagiku sudah cukup, aku tak perlu yang lainnya. Selama ini aku selalu berharap, seandainya aku punya sebuah kekuatan untuk mewujudkan sebuah harapan. Aku ingin bertemu dengan orang itu. Orang dalam mimpiku. Kau. Minato Namikaze. Dan rasanya sungguh hebat. Saat sekarang itu semua bukanlah lagi harapan. Aku percaya, aku yakin ini takdir dan kita sungguh-sungguh terikat. Kau hadir di hadapanku, maka kelak akan ada masa depan sesungguhnya untukku. Karenanya aku sangat bersemangat. Arigatou~…”
Untuk apa kata ‘terima kasih’ itu dia ucapkan? Melihat wajah seriusnya barusan saat dia bicara, bagiku Kushina justru tampak seperti tengah meyakinkan dirinya sendiri dibandingkan tengah meyakinkanku. Entahlah. Sedikit demi sedikit aku mulai sadari, memang, gadis ini punya sesuatu.
.
.
.
.
Pertemuan dengan Kushina terus berlanjut dan aku masih harus bersabar menanggapi ocehan khayalan anehnya sampai seluruh kartu identitasku yang disita paksa dikembalikan. Obrolan diantara kami tak banyak berkembang diluar tiga hal konyol yang Kushina yakini.
Jodoh.
Benang merah.
Takdir.
Huff, dan terkadang aku merasa terganggu. Terutama dengan kehadirannya muncul secara tiba-tiba dan tak terduga. Seperti hari ini, aku benar-benar terkejut mendapati Kushina berdiri di hadapanku.
“Minato-kuuun~…” sapanya ceria.
“Apa yang kau lakukan disini?” Ya ampun, gadis keras kepala itu bahkan sampai nekat masuk ke ruang kelasku.
“Kok tanya kenapa, tentu saja untuk bertemu denganmu, hehe~…”
“Heh, kau tak bisa masuk lingkungan kampus sembarangan. Ketahuan satpam, mereka bisa melemparmu keluar.” kataku.
Kushina malah nyengir, “Tak apa-apa kok. Aku masuk secara legal. Kebetulan hari ini sekolahku ikut acara open house kampusmu, makanya bisa kemari. Keren banget ya universitas itu, beda dengan SMA. Dulu aku tak pernah punya keinginan untuk melanjutkan sekolah setelah lulus nanti. Tapi sejak bertemu denganmu, aku jadi punya banyak impian. Aku mau kuliah disini juga ah~ biar selalu bersama Minato.” Kushina nyengir dan sedikit menjulurkan lidahnya, “Ehm, masalahnya aku harus pintar. Ujian masuk universitas itu kan sulit. Tapi tenang saja, demi Minato aku akan berusaha. Dengan begitu, kalau satu kampus kita kan jadi bisa lebih sering bertemu. Senangnyaaa~…”
“Hhh~…” Aku hanya menghela nafas panjang. No comment deh soal impiannya itu.
“Cie cie cie, Minato…” seru beberapa orang. Aku menoleh dan mendapati teman-temanku datang menghampiri.
“Ehem, jadi beneran nih soal gossip kalau katanya kau sering kencan bareng sama anak SMA?” tanya Fugaku, mulai tanya macam-macam.
“Kalian berdua pacaran?” sambung Shikaku.
“Tidak.” / “Iya,” ―jawabku dan Kushina bersamaan.
“Lebih dari itu Minato adalah orang yang ditakdirkan untukku, hihihi~…” lanjut Kushina seenaknya.
“Hoi!” protesku.
“Wah~ ada apa nih pada kumpul-kumpul segala?” Genk cewek-cewek modis dan populer, Mebuki Haruno cs, sampai Mikoto Uchiha pun ikutan nimbrung.
“Aih~ ketahuan nih sekarang. Minato diluar dugaan seleramu ternyata sukanya sama ABG.”
“Kalau kayak gitu kita kalah kece dong, saingannya sama anak SMA yang masih polos, hihihi~…”
“Eeh, bukan. Bukan seperti itu… ini―” Aku terus mengelak dan mulai panik. Berada dalam situasi seperti ini membuatku merasa tak nyaman. “Maaf, uhm, permisi sebentar…” Langsung saja kutarik tangan Kushina dan membawanya pergi keluar kelas.
“Cieeee…” sorak-sorak masih menggema. “Kabur takut diganggu…”
“Minato, ceweknya jangan diapa-apain ya!” celetuk entah siapa.
“Kalau mau mojok, pergi ke atap gedung saja.”
Bodoh, apa sih yang ada dalam pikiran mereka, dengusku.
“Sampai nanti, senpai.” Dalam situasi seperti itu, Kushina malah masih sempat-sempatnya pamit pada mereka. Dasar cewek.
Sampai di luar, agak jauh dari gedung kelas, kuhentikan langkahku dan melepaskan cengkeraman tanganku pada pergelangan tangan Kushina berganti menjambak rambut blonde jabrikku.
“Aarrgh, sial. Orang-orang jadi salah paham begini…”
“Kenapa memangnya?” tanya Kushina, masih dengan tampang polosnya menatapku. Iih, melihatnya sekarang aku jadi makin gemas, bukan karena dia lucu. Tapi kesal. “Tak ada yang salah kan? Ah~ atau jangan-jangan diantara orang-orang tadi, ada gadis yang kau suka? Makanya kau malu?”
Aku sedikit terkejut mendengar tuduhannya, “Kenapa kau berpikir begitu?” tanyaku.
“Naluri,” jawab Kushina sambil tersenyum, “Hanya perasaanku saja. Gadis cantik berambut hitam tadi cukup cantik, anggun dan terlihat dewasa. Pasti dia tipe gadis kesukaanmu, kan?”
Eh, darimana dia tahu? Bahkan sampai bisa menebak tentang Mikoto.
“Uhm, aku sih tak keberatan, tak melarangmu menyukai orang lain…” lanjut Kushina.
“Tidak. Jangan salah paham.” selaku, “Lagipula Mikoto itu tunangannya Fugaku.”
“Aah, benarkah?” Kushina tampak terkejut, “Kasihan. Ternyata cintamu cuma sepihak. Kalah saing sama sahabatmu sendiri. Pasti berat yah ditolak sama gadis secantik dia. Tapi tenang saja, kan sudah ada aku. Anggap itu pengalaman cinta menyakitkan sebelum kau bertemu denganku, cinta sejatimu ini.” ucapnya bangga.
Huff, lagi-lagi… cinta sejati?, dengusku dalam hati. Rasanya aku sudah tak bisa menahan diri. “Cukup.” kataku tegas, “Hentikan semua ini. Apanya yang cinta sejati? Jangan sembarangan bicara. Sudah kubilang aku tak percaya ucapanmu!”
“Kenapa? Bukankah sudah terbukti. Aku. Buktinya aku sekarang hadir disini. Aku bertemu dengan orang yang selama ini muncul dalam mimpiku…”
“Itu cuma kebetulan,” selaku, “Bahkan tak ada bukti kalau aku sungguh orang yang ada dalam mimpimu. Kenyataan yang dipaksakan sama saja tak ada artinya. Mimpi cuma mimpi, kenapa kau menganggapnya penting, sampai percaya jodoh benang merah segala? Konyol…”
“Ugh,”
Kushina menatapku tajam. Dibanding dengan ekspresi marah, wajahnya lebih menunjukkan kekecewaan. Biar begitu, aku tak bergeming. Aku tak merasa bersalah. Tak ada yang salah dalam ucapanku. Aku kan tak perlu menanggapi serius khayalan konyol Kushina.
Gadis itu tertunduk, kulihat tangannya terkepal. “K―kenapa kau masih tak percaya? Padahal sudah jelas ini takdir. Mimpi-mimpiku. Pertemuan kita…”
“Cuma kebetulan. Ingat baik-baik. Dan cuma karena roti. Bukannya aku tak percaya takdir. Aku juga bukan orang yang tak pernah bermimpi. Tapi sadarilah, di dunia ini ada hal-hal yang yang tak bisa dipaksakan. Ini dunia nyata. Kadang tak sesuai dengan harapan yang kau inginkan. Bukannya aku tak menghargai pendapatmu soal takdir, sekarang aku hanya ingin jujur. Dan saranku, sebaiknya kau hilangkan kebiasaan berkhayalmu itu sebelum dianggap gila. Kita akhiri permainan ini…”
Aku menengadahkan tangan, Kushina tahu apa yang kuinginkan. Kartu identitas terakhirku yang masih disimpannya. Kulihat sekilas wajah itu memerah. Amethyst tampak basah. Dan dengan tangan yang bergetar Kushina serahkan kartu itu padaku.
“M―maaf,” ucapnya parau, seraya berbalik dan cepat berlari pergi.
DEG
Ada sesuatu yang aneh yang kurasakan dalam diriku kala menatap jauh sosoknya yang menghilang di ujung lorong.
‘Maaf’… Bukankah kata itu harusnya aku yang ucapkan?
.
.
.
.
.
Dibawah langit biru cerah, suara kicau burung berpadu dentingan lonceng-lonceng. Aku berada di sebuah taman di atas bukit berhamparan padang rumput hijau berbunga. Mengenakan pakaian tuxedo putih, tampil tampan dan menawan berdiri di depan altar. Disampingku sosok itu tak kalah cantiknya. Berbalut pakaian pengantin putih bersih yang tampak begitu anggun. Helaian brokat tipis menutupi wajah. Perlahan aku mengangkatnya, melihat sosok sesungguhnya dia. Senyuman manis tampak di wajah cantik gadis berambut merah itu.
“Kalian resmi sebagai suami-istri. Silahkan cium pasanganmu…” ucap entah siapa.
Tentu saja, tanpa ragu aku melakukannya. Mengecup lembut bibir semerah rambut cantiknya. Istriku tercinta, Kushina Uzumaki.
Ah, tidak.
Kushina Namikaze.
HAH?!
Aku terbangun dari tidurku dengan nafas terengah dan berkeringat dingin. Untuk sesaat aku terdiam sembari menyusun kembali ingatanku akan mimpi barusan. Apa itu? Mimpi yang sama lagi. Yang selalu hadir dalam tidurku belakangan ini. Kupijat sebentar kepalaku yang jadi terasa berat, sebelum mengalihkan tanganku menyentuh dada kiri diatas jantung yang berdebar kencang.
Kenapa… Kushina, inikah salah satu mimpi yang dulu sering kau ceritakan padaku?
…
Sejak pertengkaran waktu itu sudah lebih dari sebulan aku tak lagi bertemu dengan Kushina. Sosoknya seakan menghilang dari dunia ini. Tak kutemui lagi teriakan khas memanggil-manggil namaku. Wajah ceria yang menungguku. Orang yang seenaknya mengikutiku. Gadis yang berceloteh tentang jodoh, benang merah dan takdir padaku. Sudah tak ada. Harusnya aku tenang. Kehidupan normalku sebelum ini telah kembali. Tapi entah kenapa, jauh di relung hatiku sedikit terasa kosong. Ada bagian yang mengharapkannya kembali. Dan aku duga itu mungkin karena perasaan bersalahku.
‘Maaf’, harusnya sempat kuucapkan padanya.
…
…
…
Menjalani hari seperti biasa. Aku terlambat bangun, terburu-buru pergi dan tak sempat sarapan. Hari ini persis seperti hari itu. Nasi kotak Ichiraku habis, dan aku terpaksa membeli roti isi. Satu roti isi tersisa, saat hendak mengambilnya, bersamaan denganku seseorang pun ikut menjepitnya.
Kushina…, pikirku. Sontak menolehkan kepala, terkejut mendapati helaian rambut yang dimiliki orang disampingku.
Bukan.
Meski sama-sama berambut merah tapi dia bukan Kushina. Hanya seorang anak SMP biasa yang tak kukenal.
“Maaf, boleh ini untukku?” tanyanya.
Aku gulirkan pandanganku melihat roti terakhir itu.
“Aku mohon.” pintanya.
“Hn. Baiklah.” Tak seperti dulu, kali ini aku mengalah. Sekali lagi aku teringat Kushina. Pertemuan kami karena berebut sepotong roti. Ah~ rasanya timbul sedikit kerinduan. Dimana dia sekarang? Dalam hati terkadang aku mempertanyakannya.
“Arigatou onii-san.” ucap gadis berambut merah berkacamata itu dan lekas bergegas pergi menuju kasir. Sedangkan aku sendiri pergi keluar toko tak beli apa-apa.
…
“Eh, hei! tunggu!” teriak seseorang.
Lagi-lagi rasanya seperti déjà vu. Aku menoleh dan melihat gadis berambut merah berkacamata tadi berlari menghampiri. Aku memandangnya dan menunggu dia selesai mengatur nafas yang terengah.
“Ini―” diserahkannya sebuah bungkusan padaku, “Ganti roti tadi, terima kasih. Maaf, kutukar saja dengan yang lain.”
“Eh, tak perlu repot-repot.” kataku hendak menolak. Tapi dia terus memaksaku menerima bungkusan berisi 3 potong taiyaki itu. “Err, terima kasih.”
“Tidak apa-apa. Aku merasa tak enak hati karena aku memang harus beli roti isi daging itu. Susah sekali mendapatkannya…”
“Pesanan seseorang?” tanyaku tak sengaja. Entah kenapa aku jadi kelepasan bicara bertanya hal pribadi seperti itu pada orang lain.
“Hn,” gadis itu mengangguk, “Menyebalkan bukan. Padahal di toko roti lain juga dijual, tapi dia memaksaku harus beli di Ichiraku.”
Aku hanya tersenyum menanggapinya. Gadis itu sekilas tampak tersentak. Ternyata ponsel dalam sakunya bergetar. Merasa sudah tak ada lagi urusan, kami pun sama-sama pamit pergi. Berjalan ke arah berlawanan. Dia berbalik duluan seraya membuka ponsel flip miliknya. Sesaat aku masih perhatikan. Melihat helaian rambut merahnya, walau dengan potongan berbeda, tapi itu mengingatkanku pada Kushina.
“Kushina-nee…”
Eh?!
Langkahku seketika terhenti. Samar terdengar nama itu terucap dari anak SMP tadi. Dia bicara dengan seseorang di telepon sana. Entah terbawa perasaan apa, aku berbalik dan kembali menghampirinya.
“Kushina. Kau kenal Kushina? Kushina Uzumaki?” tanyaku to the point, mengagetkan gadis yang sudah mengakhiri percakapannya dan kembali menutup ponselnya.
“K―kau kenal kakakku?” Dan dia pun malah balik bertanya.
“Kakak?”
“Aku Karin Uzumaki, adiknya Kushina Uzumaki.”
Apa ini hanya kebetulan?
Jodoh?
Benang merah?
Takdir?
Apa benar dunia sesempit ini?
…
…
…
Hazelnut itu menatapku dengan tak berkedip. Selama beberapa menit kami terdiam, Karin hanya mengernyit seolah tak percaya. “Kau sungguh-sungguh ada? Jodohnya nee-chan?”
“Err, aku tak yakin soal itu. Jangan bilang aku ini jodohnya.” kataku, “Jadi Kushina memang suka cerita tentang hal-hal aneh semacam itu?”
Karin mengangguk. “Kukira dia cuma berkhayal. Bicara pria dalam mimpi itu muncul di hadapannya.”
Ow, ternyata bukan hanya aku yang menganggapnya tak waras, keluarganya pun…
“Hebat.” ucap Karin, “Kushina-nee benar-benar bertemu denganmu.”
“Hei, sudah kubilang ini tak semuanya benar. Cuma kebetulan.”
“Tapi berkat itu nee-chan jadi semangat. Itu yang buat dia kembali bangkit untuk sembuh.”
“Sembuh?” tanyaku tak mengerti.
Ekspresi Karin berubah sedih. Dicengkeramnya bungkusan roti isi pesanan Kushina erat-erat. Bibir gadis itu bergetar, seakan menahan tangis. “Nee-chan sakit. Mungkin umurnya tak akan lama lagi.”
EH?!
.
.
=0=0=0=0=0=
=0=0=0=0=0=
A/N:
Jiahahahaha~ bikin cerita baru (^-^)v Two shot aja~
Kepikiran gara-gara sebuah mimpi di suatu hari. Hmm, terus terang saya suka menebak-nebak klo dapat mimpi romance, gimana klo orang dalam mimpi itu tiba-tiba beneran muncul dan dia adalah jodoh kita, fufufufu~ #plak
Kali ini pengen coba pake pair lain, MinaKushi. Entah apa feel-nya dapet ya (-_-)a belum lagi OOC (?) ck~ maaf klo ada yang ga suka m(_ _)m tapi beginilah adanya fic ini saya buat.
Penasaran lanjutannya? Mau SAD/HAPPY END nih? (^-^)
Tunggu saja UNMEI NO HITO Chapter 2 : I am Your Destiny
Akhir kata, kepada seluruh pembaca saya ucapkan Terima Kasih *udah kaya pidato* #ditendang
See you –(^o^)/
Berkenan komen?
34 Comments
Leave a Reply3 Pings & Trackbacks
Pingback:UNMEI NO HITO : CHAPTER 2 « furahasekai
Pingback:[Archive] FanFiction By FuRaha | furahasekai
Pingback:FanFiction by FuRaHEART furahasekai