UNMEI NO HITO : LAST CHAPTER

Cerita sebelumnya… Baca [Chapter 1]

Leukemia―kanker darah yang ditandai oleh perbanyakan secara tidak normal atau transformasi maligna dari sel-sel pembentuk darah di sumsum tulang dan jaringan limfoid, umumnya terjadi pada leukosit (sel darah putih). Sel-sel normal di sumsum tulang digantikan oleh sel tak normal yang keluar dari sumsum dan dapat ditemukan dalam darah perifer. Sel-sel leukemia ini memengaruhi proses pembentukan sel darah normal dan imunitas tubuh penderita. Jumlah yang semakin tinggi dapat menggangu fungsi normal dari sel lainnya. Tercatat lebih dari 256.000 anak dan dewasa di seluruh dunia menderita penyakit sejenis ini, dan 209.000 orang diantaranya meninggal.

“Dua tahun lalu nee-chan divonis menderita leukemia kronis. Meski dia masih punya harapan hidup lebih lama, paling tidak sampai setahun-lima tahun, tapi dia memilih untuk menyerah. Menolak kemoterapi, obat-obatan murni, terapi radiasi, bahkan pencangkokan sumsum tulang belakang.”

Tak berguna. Pada akhirnya aku juga akan tetap mati. Hahahaha~… jadi untuk apa diobati?’

“Tapi aku―kami sekeluarga tahu bahwa dia hanya ingin menanggung semuanya sendiri. Padahal sesungguhnya dia menderita. Terkadang kudapati dia melamun. Menangis dalam diam di tengah malam. Terbangun dari mimpi buruk dan ketakutan akan kematian.”

Tak apa. Aku bisa sendiri.’

“Tegar. Dia selalu bersikap seolah semua baik-baik saja. Tapi yang sebenarnya terjadi, dia terpuruk dengan kondisinya. Terlebih teman-temannya di sekolah pun satu per satu mulai meninggalkannya. Memperlakukan dia seperti orang penyakitan. Yah, walau dia sakit, tapi itu keterlaluan bukan? Padahal yang dideritanya juga tak menular. Nee-chan kesepian. Dirinya semakin pasrah. Patah semangat menjalani hidup. Sampai suatu hari…”

Karin, coba tebak semalam aku mimpi apa?’

“Dia mulai bicara soal mimpi-mimpinya. Khayalan aneh yang dianggapnya nyata. Sungguh, dulu tiap kali aku mendengarnya bercerita, batinku sendiri malah jadi miris rasanya. Apa nee-chan sudah jadi gila? Dia bermimpi bertemu dengan sosok lelaki yang sama. Dia bicara soal masa depan. Dia bilang dia tak akan mati muda. Dia mungkin akan hidup lebih lama.”

Orang itu ada. Dia sungguh ada. Seperti dalam mimpiku, aku akan menikah dengannya. Aku bisa menikah. Aku masih punya masa depan. Tuhan berbaik hati padaku, masih mengaitkan benang merah jodohku dengannya. Orang itu, orang yang ditakdirkan untukku, Karin.’

“Sejak saat itu nee-chan jadi bersemangat. Tiada hari tanpa keceriaan membicarakan sosok seorang Minato Namikaze. Katanya orang dalam mimpi itu betul-betul muncul di hadapannya. Aku pikir pasti dia hanya berkhayalan, jadi kutanggapi biasa saja. Namun tak kusangka, ternyata nee-chan benar…”

Jodoh.

Benang merah.

Orang yang ditakdirkan.

“Kaulah orangnya, Minato-niisan?”

Aku tidak tahu.

Apakah takdir kami benar ada?

Apakah aku orang yang ditakdirkan untuknya?

Apakah dia orang yang ditakdirkan untukku?


=0=0=0=0=

UNMEI NO HITO

=0=0=0=0=

wpid-Minato-and-Kushina-minato-namikaze-20337196-600-417.jpg

Chapter: 2/2 | I am Your Destiny

Rate: T

Genre: Romance, Hurt/Comfort

Disclaimer: NARUTO © MASASHI KISHIMOTO

Length: 3.373 words

WARNING: OOC, AU, typo, alur GaJe cerita se-mau-gue.

 Story by

FuRaHa

If you don’t LIKE? Read? Don’t Read?

WHATEVER!

~Itadakimasu~


.

.

.

Berdiri di depan kamar 302. Tertera nama ‘Kushina Uzumaki’ pada kartu pasien. Untuk sesaat aku merasa ragu saat Karin membuka pintu. Aku masih memikirkan bagaimana reaksinya kalau Kushina melihatku. Memikirkan apa yang akan kulakukan dan apa tujuanku sebenarnya.

Nee-chan…” sapa Karin yang masuk terlebih dahulu. “Aku bawa pesananmu.”

“Wah, sankyu~…”

Mendengar suara khas yang barusan membalas rasanya membuat jantungku makin berdebar. Sejenak mereka bercakap-cakap. Aku bingung. Sesuatu seperti tiba-tiba menyerangku. Terasa berat dan sesak ketika diam-diam kulihat wajah pucat polos itu dari celah pintu yang sedikit terbuka. Wajah yang kuingat selalu tersenyum dan tertawa tapi tak pernah berpikir kalau dia menyimpan kesakitan. Apa dia menderita? Apa yang selama ini dia sembunyikan dibalik senyuman dan tawanya? Dalam pikiranku kini dipenuhi wajah ceria Kushina. Senyum dan tawa miliknya yang belakangan ini kurindukan.

“Roti daging Ichiraku memang paling enak, haha~…”

“Hmm, iya dan nee-chan tahu, aku sampai berebut dengan seseorang untuk mendapatkannya.”

“Oh, ya?”

“Iya, dengan dia…” Karin membalikan badan, menyingkir dari depan Kushina sehingga kini kami dapat saling bertemu pandang.

Deg!

Untuk sesaat aku dan Kushina sama-sama terdiam. Ekspresinya membeku. Mulut yang tengah mengunyah roti itu nampak sedikit terbuka, bergumam pelan menyebut namaku, sebelum kulihat bergetar dan lekas dia gigiti seperti menahan tangis. Ya, bahkan amethyst-nya sekilas menatap nanar, sebelum lekas dia palingkan ke arah lain menghindari tatapan aquamarine.

“Ke―kenapa ada di sini? Karin, apa yang kau…” tanya Kushina.

“Ajaib bukan?” selaku. Akhirnya dengan langkah ringan aku dapat berjalan menghampirinya, “Apa dunia begitu sempit? Apa ini hanya kebetulan lain? Pagi tadi aku bertemu dengannya di Ichiraku. Kami berebut roti. Gadis berambut merah. Persis―mengingatkanku pada dirimu. Tak kusangka kalian malah kakak-adik. Menurutmu apa artinya? Takdir sungguh mengikat kita berdua?”

Kushiha terkekeh, walau dengan suara yang terdengar aneh. “Kau bukannya tak percaya pada semua itu? Pergilah. Kalau kau datang karena tahu kondisiku, sebaiknya…”

Grep,

Tak kutunggu sampai dia selesai bicara, aku mengambil tindakan langsung memeluknya. Kushina tampak terkejut. Dia coba mendorongku jauh namun tak kulepaskan dekapanku.

“Aku datang karena aku percaya.” ucapku, berbisik di telinganya. “Aku melihat mimpi yang sama. Mungkin takdir itu sungguh ada.” Kukendurkan dekapanku agar aku bisa melihat wajah Kushina sekarang. “Maaf, aku terlambat menyadarinya.” lanjutku, lekas kuseka sedikit cairan bening yang bergerak turun dari matanya kemudian kubelai lembut pipi kurusnya. “Aku datang untukmu, Kushina.”

“Mi―minato-kun…” Kushina malah tak kuasa menahan tangis. Masih dengan bibir yang bergetar dia bicara, “Tidak… Itu tidak mungkin… Kau lihat sendiri kan, aku… aku… sakit… lemah… selain itu aku tak tahu sampai kapan aku bisa hidup…” Gadis itu tertunduk, terisak dan gemetar. “Masih bisakah aku berharap?”

“Tentu saja,” Aku ambil dan genggam kedua tangannya. “Bukankah karena selama ini kau percaya, makanya kau bisa jadi kuat? Aku pun sudah putuskan, aku akan berada di sisimu. Mulai sekarang, mari kita sama-sama coba mewujudkannya. Aku akan bantu menopang hidupmu.”

“Aaa―a…” Kushina sesaat tak mampu berkata-kata. “Kau tak sedang berbohong, kan? Kau sungguh-sungguh mengatakannya?”

“Hn, iya. Aku menyukaimu, Kushina.”

Kushina Uzumaki

“Huaaaa―Baka,” Dia menerjang memelukku, mencengkeram erat bajuku. “Kenapa kau baru bilang sekarang?” ucap Kushina sambil terisak, “Aku suka, aku sayang Minato. Sejak sebelum pertama kali kita bertemu, sejak berpisah sampai sekarang, sekalipun aku tak pernah bisa melupakanmu. Aku tak menyangka kalau kau akan datang. Rasanya seperti mimpi. Kupikir aku pasti sedang memimpikanmu… hiks… hiks… hiks… Dan sekarang, sekarang kau bilang suka padaku? Kau tahu kan, kalau kau bilang begitu aku tak akan melepaskanmu.”

“Iya, iya…” Aku tersenyum, membalas pelukannya seraya membelai rambut merah panjang itu. “Aku juga sayang Kushina.”

“Hmm, hiks… hiks… Arigatou, Minato-kun…”

.

.

.

minato_x_kushina_by_dashkin_lis-d4r0ri7

.

.

Tuhan, takdir apa sebenarnya yang hendak kau ikatkan pada kami?

Entah kelak akan bagaimana, kami hanya bisa menjalaninya.

Tapi satu hal yang kuminta, aku mohon, berikanlah dia, aku―kami kebahagiaan.

.

.

.

.

.

“Hooeekk… fuhh…”

“Kushina…” Dengan panik lekas kuambil beberapa lembar tisu dari atas buffet, memberikannya pada Kushina yang barusan muntah darah.

“Uhuk… uhukk…” beberapa kali dia terbatuk dan rasanya miris melihat lembaran putih tisu tadi kini penuh bercak-bercak merah. Aku hendak berlari keluar memanggil dokter, takut terjadi sesuatu padanya, tapi Kushina malah menahanku. “Tak apa-apa, Minato. Aku baik-baik saja, tak perlu cemas.”

“Tapi kan…”

Kushina menggeleng, menyeka sudut bibirnya lantas tersenyum. “Tolong, perlakukan aku biasa saja.”

Ya, dia memang paling tidak suka kalau orang-orang memperlakukannya seperti orang penyakitan. Padahal maksudku hanya ingin menolongnya. Tapi Kushina mungkin menganggapnya tak sekedar perhatian.

“Hn, baiklah.” kataku, “Kalau kau ingin diperlakukan biasa, bagaimana kalau hari ini kita kencan?”

Kushina tampak terkejut. Diangkatnya sebelah alis gadis itu, menatapku heran. “Sungguh? Hahaha~ tumben sekali kau duluan yang mengajakku. Senangnya~… Hmm, tapi sayang tuan Namikaze, aku menolak ajakanmu.”

“Eh, kenapa?”

Kushina menggendikkan bahu, seakan ingin perlihatkan padaku keadaannya. “Aku belum bisa keluar dari Rumah Sakit. Kecuali kalau kau berani menculikku dari sini.”

Aku sedikit merengut dan mengerucutkan bibirku kecewa, sebelum akhirnya aku dapatkan sebuah ide.

“Kyaaa~…” pekik Kushina kaget saat aku mengangkatnya ala bridal style, “Mau apa kau?!”

“Hmm, menculikmu, hehehe~…” cengirku yang lekas membawanya pergi keluar dari kamar.

Tentu saja aku bercanda. Tak benar-benar kubawa pergi dia jauh. Kami habiskan beberapa waktu sore itu dengan berjalan-jalan di sekitar taman Rumah Sakit. Hal sepele memang, tapi buat kami bahagia. Asal bisa bersama-sama seperti ini, melihatnya tersenyum dan tertawa.

.

.

.

.

.

.

Sambil bersenandung kecil, membelai pucuk helaian rambut merahnya, pandanganku tak lepas dari sosok gadis yang tengah terbaring tidur di atas ranjang. Demikian pula dengan genggaman sebelah tanganku padanya. Aku merasa lega melihat Kushina akhirnya kini dapat tertidur pulas. Setelah sebelumnya dengan keras kepala gadis itu menolak memejamkan mata.

“Tidurlah…” pintaku untuk kesekian kali.

Kushina menggeleng, menolak untuk kesekian kalinya juga.

“Hei, jangan nakal. Aku tahu kau sudah mengantuk. Efek obat tadi terasa kan?”

“Aku takut.” ucap Kushina.

Aku tertawa kecil, “Lampunya tak akan aku matikan. Tenanglah.”

“Tapi aku takut, aku yang mati.”

Eh?!… Aku tersentak mendengar perkataannya. “Jangan bicara begitu. Hanya tidur saja kau tak akan mati, nanti juga bangun lagi…”

“Bagaimana kalau tidak?” sela Kushina, wajahnya merengut. “Bagaimana kalau setelah tidur, aku tak bisa membuka mataku lagi…”

Aku tahu. Aku maklumi keadaannya. Situasi seperti ini biasa dialami oleh mereka yang sedang sakit. Ketakutan akan kematian. Terlebih lagi mengingat kondisi Kushina. Sudah lebih dari dua bulan dia dirawat di rumah sakit dan mulai pengobatan intensif. Sejak penyakitnya mengalami gejala. Dokter bilang Kushina dalam tahapan watchful waiting (menanti sambil menunggu). Meski gejala penyakitnya dapat terkontrol. Kushina menerima terapi pemeliharaan untuk membantu agar kankernya tetap remisi. Meskipun begitu kemoterapi tetap tak bisa menyembuhkannya. Satu-satunya pilihan bagi Kushina untuk sembuh adalah dengan transplantasi sel induk.

“Dengar Kushina, sekarang kau harus tidur. Kau lelah…” bujukku, “Jangan pikir macam-macam. Aku pastikan tak akan terjadi sesuatu padamu.”

“Tapi…”

“Sstt,” desisku, “Akan kutemani sampai kau bangun nanti, mau?”

“Janji?” tanyanya sambil menggeliat manja.

“Hn.” Aku menggangguk dan mulai mengelus-elus pucuk rambutnya, “Jadi sekarang tidurlah.”

Kushina mengangguk kecil, amethyst-nya lekas terpejam. Namun tak lama kembali terbuka.

“Apa lagi?” tanyaku, “Kau baru tidur 5 menit.”

“Err,…” Kushina mengerling, tampak ragu. “Tapi kau belum berikanku itu…” gumamnya pelan. “Aku jadi tak bisa tidur.”

“Itu?” aku mengernyit tak mengerti.

“O―oyasumi kissu~…” jelas Kushina kemudian dengan semburat garis kemerahan tampak berangsur muncul di kedua belah pipinya. Buat aku terkikik geli melihatnya. Dia sungguh menggemaskan.

Aku sedikit angkat tubuhku, condong padanya dan kukabulkan permintaan aneh gadis itu sebelum tidur. Cup~… mengecup lembut bibirnya.

Oyasumi Kushi-koi~ Ii yume mitai…”

Tidurlah yang nyenyak. Mimpi indah. Dan percayalah selalu kau akan bisa melihat hari esok yang cerah.

.

.

Minato_kushina-together

.

.

“Minato-kun…” panggil seseorang dan lekas menghadang perjalananku, “Bisa kita bicara?”

“Err, maaf Ayame, tapi aku sekarang…”

“Sebentar saja, aku mohon.” pinta gadis teman sekelasku itu.

“Hmm, ya, boleh lah…” jawabku, walau aslinya tak mau. Seperti biasa, belakangan ini sehabis berakhir jam mata kuliah aku memang selalu terburu-buru pergi. Kemana lagi, tentu ke Rumah Sakit untuk menemui Kushina. Seluruh kegiatan dan waktu luangku sekarang kuhabiskan untuk menemaninya.

“Mau bicara apa?” tanyaku pada Ayame, tanpa basa-basi.

Ano~ Minato-kun, sebenarnya aku…” Ayame tampak gugup, “Aku sudah lama memerhatikan Minato-kun. Minato-kun itu selain tampan, pintar, baik hati, juga perhatian, aku kagum padamu…”

Eh, tunggu. Rasanya aku sudah punya firasat kemana ujung pembicaraan ini.

“Aku―aku suka Minato-kun. Maukah kau jadi pacarku?” tanyanya kemudian dengan wajah sudah blushing berat.

WHAT THE?!

Terus terang aku terkejut. Jantungku juga berdegup kencang. Hal yang wajar kurasa dirasakan setiap orang saat ada yang menyatakan cintanya padamu. Walau itu bukan untuk pertama kali, walaupun itu dari seseorang yang tak kau kenal dan tak kau sukai, tetap saja kan buatmu berdebar.

“Ehm, aku tahu belakangan ini kau sedang dekat dengan seorang anak SMA. Tapi dia bukan pacarmu kan? Dulu kau sempat tegaskan itu di hadapan kami. Dan aku juga tahu kalau gadis tak jelas itu hanya mengejar-ngejarmu.”

“Kushina…” selaku sambil mengangkat pandangan yang sedari tadi tertunduk. “Dia bukan gadis tak jelas. Namanya Kushina Uzumaki.” Aku tahu, aku pikir sekarang aku memang harus menegaskannya pada Ayame, “Mungkin benar dia bukan pacarku. Dia hanya seorang gadis aneh yang mengejar-ngejarku. Tapi maaf Ayame, meskipun begitu Kushina adalah orang yang ditakdirkan untukku. Makanya aku tak bisa menerimamu.”

“Eeh?!” Raut wajah Ayame tampak terkejut, “Orang yang ditakdirkan…”

Aku tersenyum tipis, “Mungkin terdengar konyol. Tapi begitulah adanya.”

.

.

.

Jodoh.

Benang merah.

Orang yang ditakdirkan.

Aku percaya, kami terikat sesuatu yang tak terelakan.

.

.

.

.

.

“Kau gila. Untuk apa kau habiskan waktumu bersamanya?” kata Fugaku disuatu hari menceramahiku setelah dia tahu hubunganku dengan Kushina dan bagaimana kondisinya.

Aku tahu apa yang dikatakannya benar. Tapi aku tak ingin berpikir begitu. Aku sendiri tak mengerti kenapa aku sampai bisa seperti ini terpengaruh oleh kehadiran Kushina. Semua yang kulakukan memang untuk dirinya, karena aku merasakan dorongan besar di hatiku. Sesuatu seperti selalu menyuruhku melakukannya. Bukan karena rasa kasihan. Sedapat mungkin aku selalu singkirkan segala pikiran buruk. Walaupun Kushina sakit. Walaupun dia sekarat. Walaupun tak tahu sampai kapan dia masih bisa bertahan. Asal selalu bersama, itu sudah cukup.

Musim berganti. Hari-hari tak berubah. Setiap hari kami bertemu. Seberat apapun kesakitannya, Kushina tak mengeluh. Dia begitu kuat. Dan setiap kali kulihat senyumannya, aku bisa percaya lebih dari apapun dia tak akan mati. Meski jauh di relung hati terdalam aku sendiri merasa takut, tapi aku harus yakin dia bisa hidup lebih lama. Aku tak ingin kehilangan dirinya.

Karena itu dengan segenap hati,

Tuhan,

Kumohon berikanlah keajaiban.

.

.

.

.

Angin sejuk musim semi bertiup sepoi-sepoi. Dedaunan bergemerisik, menerbangkan kelopak-kelopak bunga Sakura yang jatuh terbawa angin. Cahaya matahari senja menyusup melalui celah rindangnya pepohonan, sedikit pancarkan kesan hangat dan membuat suasana makin romantis. Kulihat raut kebahagiaan pun terpancar dari wajah cantik gadis yang saat ini kugenggam erat tangannya. Hari ini dia kenakan topi bundar berwarna putih, menutupi rambut merah panjangnya yang jadi tipis karena sedikit rontok akibat efek samping pengobatan. Penampilannya sangat cantik dengan gaun terusan baby blue yang manis. Kuperhatikan Kushina tersenyum, tertawa, disela dia berbicara. Menceritakan banyak hal dari mulutnya yang cerewet.

Aku bersyukur kini kondisinya kian membaik. Rasanya Kushina telah kembali sehat seperti dulu. Walaupun tubuh itu menjadi sedikit lebih kurus. Gejala penyakitnya berkurang sejak dia rutin menjalani pengobatan. Dan tentu saja, yang buat dia mampu terus bertahan adalah ketetapan hati dan semangatnya. Juga diriku. Haha~… itu yang Kushina bilang. Karena aku ada di sampingnya, menemaninya, itu cukup mampu buat dia semangat terus melanjutkan hidup. Ya, tentu saja. Selama dia tak berputus asa, semua pasti baik-baik saja.

“ENAAAAKKK~…” ucap Kushina, matanya sampai menyipit sementara sudut bibirnya terangkat. Dia lontarkan pendapatnya soal makan siang yang kami lewatkan tadi di kencan hari ini. “Kau tahu Minato, dari semua topping ramen, aku paling suka sama naruto. Saking sukanya malah jadi kepikiran, seandainya nanti aku punya anak, mungkin akan kuberi dia nama naruto saja, hahaha~ konyol ya…” ucap Kushina sejenak tertawa, sebelum tawa itu memudar dan berganti senyuman lirih. Langkahnya tiba-tiba berhenti. Membuatku ikut terhenti.

“Ada apa?” tanyaku heran.

“Hn, apa yang kuharapkan? Punya anak… itu mustahil, kan?” Kushina bergumam pelan dalam wajah yang tertunduk.

“Kushina…” panggilku, perlahan mendekatinya dan menarik dia masuk dalam pelukan eratku. Aku tahu, terkadang memang ada saat Kushina seperti ini. Saat dia mendadak berubah pikiran dari yang asalnya positif, jadi negatif. Dari yang asalnya semangat, jadi putus asa. Dari yang asalnya percaya, jadi tak percaya.

“Tak ada yang mustahil. Kau pasti bisa…” lanjutku.

“Tapi bagaimana? Aku bisa mati kapan saja…” ucap Kushina lirih.

“Stt, jangan bicara sembarangan.” aku coba terus menenangkannya. “Itu bukan hal konyol. Menarik sekali kau bahkan sudah pikirkan nama anak kita…”

“Anak kita?” Kushina mengangkat pandangannya, menatapku tak percaya, “Minato, memangnya kau mau punya anak denganku?”

Aku sebentar tertawa mendengar pertanyaan polosnya, “Hahaha~… tentu saja.” Seiring kukendurkan dekapanku, aquamarine menangkap amethyst. Saling menatap seolah sedang membaca isi pikiran masing-masing. Kutangkup kedua sisi wajah cantiknya seraya memperpendek jarak diantara kami, membuat dua hidung saling bersinggungan sampai kudaratkan bibirku diatas bibirnya.

“Kushina…” ucapku seusai berpagutan, “Menikahlah denganku.”

Amethyst itu membulat. Selama beberapa saat menatapku lekat, cairan bening berkumpul diatas iris. Bibir tipis yang usai kukecup lembut itu bergetar, nampak hendak bicara namun tak ada satu katapun yang terucap. Apa pernyataanku barusan mengejutkannya?

“Ayo kita menikah!” kupertegas lagi keinginanku, “Kita coba wujudkan satu persatu apa yang ada dalam mimpi kita.”

“Huu―uuhh, Minato~…” Kushina kembali berhambur memelukku. Dia cengkeram erat bajuku, seolah tak ingin lepas. Tubuhnya bergetar karena menangis. Tapi aku tahu dia menangis bukan karena sedih, melainkan bahagia. “Hebat. Ini sungguh keajaiban, bukan? Minato, kau melamarku tepat di bawah hujan bunga Sakura. Persis seperti dalam mimpi.”

.

.

minato_and_kushina_by_ourownsweetyaoiplace-d5eh8o6

.

.

Dibawah langit biru cerah, suara kicau burung berpadu dentingan lonceng-lonceng. Aku berada di sebuah taman di atas bukit berhamparan padang rumput hijau berbunga. Mengenakan pakaian tuxedo putih, tampil tampan dan menawan berdiri di depan altar. Disampingku sosok itu tak kalah cantiknya. Berbalut pakaian pengantin putih bersih yang tampak begitu anggun. Helaian brokat tipis menutupi wajah. Perlahan aku mengangkatnya, melihat sosok sesungguhnya dia. Senyuman manis tampak di wajah cantik gadis berambut merah itu.

“Kalian resmi sebagai suami-istri. Silahkan cium pasanganmu…”

Tentu saja, tanpa ragu aku melakukannya. Mengecup lembut bibir semerah rambut cantiknya. Istriku tercinta, Kushina Uzumaki.

Ah, tidak.

Kushina Namikaze.

minato_and_kushina_by_piinl-d2yi592

Dan kau tahu, kali ini bukan mimpi. Kami sungguh-sungguh mempererat jalinan benang merah yang mengikat kami.

“Terima kasih, Minato.” ucap Kushina sambil tersenyum, “Impianku terwujud. Aku merasa sangat bahagia.”

“Aku juga sangat bahagia, Kushina.”

Tuhan, kumohon jagalah dia.

Apapun yang terjadi, jangan biarkan dia bersedih dan putus asa.

Berikan kekuatan agar dia bisa tetap berdiri.

Berikan kesempatan baginya untuk ada lebih lama di dunia ini.

Sebelum semua harapan itu terwujud, sebelum semua impiannya tercapai.

Kumohon, biarkan dia berada di sampingku dan selalu bahagia.

Itulah doaku.

.

.

418073_345315208844515_601180536_n

.

.

.

Lima Tahun kemudian,

Kriiit… kriiit… kriiit…

Bunyi derit tiang besi berkarat terdengar mengisi keheningan. Seorang bocah berambut pirang rancung tampak tak bersemangat bermain ayunan seorang diri. Dengan berwajah datar, aquamarine miliknya menatap tajam sekelompok bocah lain seusianya yang tertawa-tawa ceria bersama orangtua mereka yang sudah datang menjemput di TK.

“Naruto!” panggilku.

Bocah itu menoleh. Seketika wajah kusutnya berubah cerah. “Too-chan!” serunya lekas berlari menghampiriku, langsung memelukku yang sudah membungkuk menyamakan tinggiku dengannya. “Kau yang datang hari ini?”

Aku tersenyum, mengacak-acak gemas rambutnya. “Yupz, jagoan. Maaf ya, lama menunggu. Kau kesal ayah datang telat menjemputmu?”

Naruto menggeleng, dia tampilkan cengiran khasnya, “Aku senang, daripada Karin-bachan yang jemput, hehe~ dia cerewet sih. Kalau pulang sekolah gak pernah mau mampir dulu ke konbini. Padahal aku kan mau jajan.”

“Hahaha~ …” Aku tertawa mendengar curhatannya. “Iya, kalau gitu nanti sambil jalan kita mampir ke konbini.” Lekas kugendong anakku itu dan mengajaknya menuju mobil.

“Mampir juga ke Ichiraku, too-chan. Aku mau ramen…”

“Hn, boleh.” Kubukakan pintu mobilku, “Tapi sebelumnya kita mampir dulu ke suatu tempat.”

“Kemana?” tanya Naruto.

“Hmm, menurutmu?”

Naruto melihat buket bunga lili putih yang kupindahkan dari kursi depan ke bangku belakang mobil agar dia bisa duduk dengan lebih leluasa di sana.

“Whaaa~ bertemu kaa-chan!”

“Kau senang?”

“Iya, tentu saja.”

Kushina juga pasti senang.

.

.

=0=0=0=0=0=

F.I.N

=0=0=0=0=0=

Namikaze Family


A/N:

Whahahahaha~ akhirnya tamat dengan GaJe-nya (^w^)v fufufufu~ #plak

Hmm, walaupun saya tidak ceritakan dengan detail, apa bisa ketebak apa yang sebenarnya terjadi dengan Kushina di akhir?

Entah ini Sad/Happy End, tapi beginilah adanya fic ini saya buat (^-^)a

Maaf klo jelek dan mengecewakan m(_ _)m Saya emang lemah bikin short story, tapi klo dipanjangin juga idenya malah gak kepikiran, heuheu~

Terima kasih buat yang udah baca mpe akhir 😀 berikutnya masih ada omake.

Sampai jumpa lagi di FanFiction by FuRaHa lainnya (^-^)/ Jaa~


Special Thanks to:

Dy Vamps Addict

Anindi

Nur Janah

chii

Marshanti Lisbania Gratia

zoggakyu

jile sing

graceflorencemanroe

yoo_habanero

aminato

And

All of You Silent Readers


~ OMAKE ~

.

.

.

Suasana kelas di pagi hari sudah heboh. Beberapa siswa tampak asyik bermain-main, ada yang berkelahi, ada yang cuma nonton, ada yang mengobrol, ada juga yang tetap kalem duduk di pojokan. Keadaan kembali normal dan tenang saat bel masuk akhirnya berdering dan guru pun datang.

Sarutobi-sensei muncul dengan membawa seorang siswa baru ke kelas genin. Dia bilang anak perempuan berambut merah itu pindahan dari Uzu ke Konoha.

“Namaku Kushina Uzumaki. Dan aku akan jadi Hokage cewek pertama, camkan itu baik-baik!”

“Huuuu~ blagu!” seru beberapa siswa lelaki dengan iseng langsung mencemooh anak itu. “Murid baru blagu! Dasar tomat! Hahaha~ lihat rambut dan wajah bulatnya, mirip tomat! Kushina tomat!”

“APA KALIAN BILANG?! KURANG AJAR!” raung Kushina. Dia pun mengamuk dan melempari seisi kelas dengan kapur, lalu menghajar mereka yang menyindirnya.

“WAAAA~… Siluman tomat berubah jadi Hanabero berdarah!

“AARGH, AWAS YA!”

Pletak…

“Aw…” ringis seorang bocah blonde jabrik yang kena lemparan kapur nyasar tepat kena jidat. “Sialan.” dengusnya. Tapi tak seperti siswa lelaki lain, dia tak membalas perbuatan gadis itu.

Sesuatu yang aneh dirasakan Minato Namikaze. Memerhatikan Kushina Uzumaki buatnya terasa lain. Padahal ini kali pertama mereka bertemu, tapi gadis berambut merah itu tampak tak asing baginya.

Dimana?

Rasanya dia pernah bertemu dengan Kushina sebelumnya.

.

MinaKushi-LOVE

.

Benang merah kembali terjalin.

Kami berdua bertemu dan bisa bersama-sama.

Lebih dari takdir, itu mungkin keajaiban.

83 Comments

Leave a Reply

One Ping

  1. Pingback:

Leave a Reply to FuRaha Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *