[EDIT 301214]
Summary:
Aku tak tahu kalau liburanku kali ini akan jadi pengalaman paling mengerikan. Awalnya semua ini kulakukan hanya untuk membayar hutang. Aku yang sedang dalam kesulitan meminta bantuan ZEON untuk menyelesaikannya. Sebagai balas budi pada Dika, mau tak mau aku harus mengikuti perintahnya untuk menggantikan dia datang ke sebuah acara pertemuan keluarga. Menyusup, menyamar, berpura-pura itu mungkin beresiko. Tapi mengingat hutangku bisa lunas dan aku pun dibayar, kenapa tidak? Itu pikirku. Lagipula hanya seminggu dan aku dapatkan banyak keuntungan. Hanya saja waktu itu aku belum menyadari akan bahaya yang kuhadapi. Ada sesuatu yang aneh dalam keluarga Sanjaya.
Part: 1
Genre: Mystery/Friendship/Romance
Rate: Teen+
Length: 2.507 words
ORIFIC pertama gue, mwehehehe… ^w^)a
SO…
If you don’t like, don’t read.
But it’s all up to you…
Happy Reading
😀
.
HOLIDIE
Story by FuRaHEART
.
.
.
Tiga hari berlalu sejak memasuki awal bulan Juli, tapi baru pagi ini kurobek kertas kalender Juni yang tergantung di dinding kamar. Satu tanggal di minggu pertama bulan ini sengaja kulingkari dengan spidol berwarna merah. Sebuah panah kecil mengarah pada tulisan diatasnya, ‘Pendaftaran terakhir UAS’. Aku menghitung mundur waktu yang tersisa. Ternyata tinggal tiga hari lagi. Sejenak aku menghela, pikiranku kembali dijejali berbagai macam persoalan yang belum terselesaikan.
Kejadiannya memang terlalu tiba-tiba. Kabar buruk itu datang seminggu sebelum pelaksanaan Ujian Akhir Semester tahun ini dimulai. Dari awal aku sudah merasa cemas. Ini minggu terakhir pendaftaran ujian dan aku belum bisa mendaftar karena masih terbelit tunggakan pembayaran uang kuliah. Sebagai mahasiswa yang merantau dari Bandung ke Yogyakarta untuk kuliah, tak banyak yang bisa kulakukan selain menunggu kiriman uang dari orangtua. Terakhir kali kuhubungi, mereka bilang tak perlu khawatir. Dalam beberapa hari lagi uang akan segera ditransfer. Itu sedikit membuatku merasa lega. Tapi ternyata hal yang kutunggu tak juga kunjung datang.
Gawat!, pikirku, aku sudah tak punya banyak waktu lagi.
Aku terkadang merasa segan bila harus meminta dikirimi uang pada kedua orangtuaku. Meskipun itu menjadi kewajiban mereka untuk membiayai pendidikanku, tetap saja rasanya tidak sopan bila harus meminta uang sementara mereka sedang tidak punya. Mencari uang itu tak mudah dan mungkin saat ini sedang ada sedikit masalah. Ugh, kalau teringat betapa kerasnya usaha yang mereka lakukan untukku, itu selalu membuatku terharu. Dan kemarin malam, hal yang kutakutkan pun terjadi. Tiba-tiba saja aku mendapat kabar kalau rumah makan yang keluarga kami kelola….
“Haa, Kebakaran?!” Aku terhenyak, “Ibu pasti bercanda, kan?”
“Dasar, kau ini… memangnya hal seperti itu bisa dijadikan candaan? Ini benar-benar serius, semuanya telah habis. Semuanya… semuanya… huhuhuhu….”
Suara tangis Ibu diseberang telepon terdengar sangat meyakinkan. Langsung menggetarkan hatiku, membuat jantungku berdegup kencang. Tak terasa air mataku mengalir. Ini pasti hanyalah sebuah mimpi dan kuharap seseorang cepat membangunkanku. Tapi saat ini aku tidak sedang tertidur, sepenuhnya sadar sesadar-sadarnya. Dan kenyataan bahwa kemarin lusa kami mendapatkan musibah itu benar-benar terjadi. Peristiwa besar yang berpengaruh pada masa depan kami sekeluarga, kehilangan tempat tinggal sekaligus tempat usaha yang dikelola oleh kedua orangtuaku selama ini. Bagaimana dengan nasib kami selanjutnya? Lalu nasibku? Pendaftarannya? Tunggakannya? Ujiannya? Argh, aku harus bagaimana?
“Radix! Radix! Tenang, Radix!” teriakan Ibu langsung membuyarkan lamunanku.
“Ah, bagaimana bisa sampai seperti itu?” tanyaku sesaat setelah sadar, “Lalu, apa ada yang tersisa?”
“Huhuhu, entah memang kecelakaan atau sabotase orang lain. Penyebab kebakarannya masih diselidiki. Ibu sih curiga kalau ada orang yang sengaja membakarnya. Kejadiannya malam-malam sekitar jam sebelas. Bisa dipastikan apinya bukan berasal dari dapur. Bisnis kita sekarang sedang maju-majunya. Bikin iri pemilik rumah makan lain. Makanya, pasti ada orang yang nekat. Untung saja tak sampai merembet ke rumah tetangga. Kalau sampai itu terjadi, Ibu tak tahu harus bagaimana lagi. Sementara ini kita ikut tinggal di rumah Tante Delly. Kalau sampai Ibu tahu pelakunya, tak akan Ibu maafkan. Ibu doakan semoga dia mendapat balasan berkali-kali lipat dari ini. Kurang ajar sekali. Lihat saja nanti, cepat atau lambat pelakunya pasti ketemu. Dan saat itu Ibu ingin sekali menghajarnya.”
“Sudahlah, Bu. Jangan dulu berprasangka buruk pada orang lain sebelum kita tahu kenyataan yang sebenarnya.” Aku mencoba menenangkan meski sebenarnya perasaanku sendiri tak tenang.
“Maaf, Ibu baru memberitahumu sekarang. Kau pasti cemas, nak. Maaf.”
“Kenapa Ibu harus minta maaf? Sudahlah, justru aku yang harus minta maaf karena tak ada disana disaat kalian membutuhkanku. Aku tak bisa banyak membantu.”
“Bukan begitu, Radix. Ini mengenai biaya kuliahmu….”
Jantungku kembali berdegup kencang. Tanganku yang terkepal pun ikut bergetar karena tegang. “Tak perlu cemas.” potongku cepat. “Tak Ibu katakan pun aku sudah tahu.”
“Makanya, Ibu, hik… hik…”
Ah, mendengar tangisan itu semakin membuat perasaanku tambah berat.
“Ibu, Ibu tenang dulu.” kataku, “Sudah jangan menangis. Aku tak suka mendengarnya. Sudahlah. Tak apa-apa. Sungguh, aku tak apa-apa. Semuanya baik-baik saja.”
“Tapi, tapi, kan…. Ujianmu bagaimana?”
“Sudah lunas kok.” Kata itu terlontar begitu saja dari mulutku. Ibu berhenti terisak dan terdiam. “Aku bisa ikut ujian. Tak apa-apa. Sebenarnya tak ada hal yang perlu Ibu cemaskan mengenai aku.”
“LUNAS?!” cengang ibuku. Tiba-tiba saja tangisannya berubah menjadi teriakan, “Apa maksudmu? Lunas darimana? Memangnya kau punya uang untuk melunasinya? Radixa, apa yang sebenarnya terjadi? Kau tak punya uang sebanyak itu. Disana kau tak berbuat macam-macam, kan? Kelakuan anak muda jaman sekarang kadang memuakkan, kau tidak mengkhianati kepercayaan ayah dan ibu disini, kan?”
“A-aku tidak melakukan apa-apa. Jangan berpikiran macam-macam dulu.” Aku berusaha untuk menyela. Kenapa jadi gawat begini?, batinku bicara. Padahal awal tujuanku berkata begitu kan supaya membuat Ibu sedikit tenang. Tapi kenapa situasinya malah semakin rumit. Seharusnya tadi aku tak perlu sampai berbohong segala. Harus bagaimana sekarang? Menutupi kebohongan dengan kebohongan lagi? Ugh, sadar tidak sih, kamu melakukannya pada ibumu sendiri. Dosa besar, Radixa.
“Ibu, dengar dulu! Lunas itu, maksudnya bukan lunas.” lanjutku.
“Lalu apa maksudnya? Kau tadi bilang sudah bisa ikut ujian, kan?”
“Hah? I, Iya.” Aku bingung, apa yang harus kukatakan. “Maksudnya, memang belum lunas. Tapi karena sudah sebagian kubayar. Dari uang tabunganku lho. Ehm, juga sedikit mendapat kebaikan dari Bu Rianti, pembantu dekan bagian keuangan, aku mendapatkan dispensasi. Diperbolehkan ikut ujian, asal sanggup melunasi sisanya sebelum semester baru dimulai. Begitu….”
“Tabungan?” Nada bicara Ibu terdengar seolah meragukan, “Benar sudah mendapat dispensasi dan diperbolehkan ikut ujian?”
“I, iya. Pokoknya tenang saja. Aku sudah bisa ikut ujian. Aku disini masih bisa mengurus diri sendiri. Jadi Ibu tak perlu khawatir lagi. Fokus saja untuk menyelesaikan masalah rumah makan kita. Jaga kesehatan ayah dan Ibu. Maaf, aku tak bisa banyak membantu. Ehm, sudah, yah. Nanti kuhubungi lagi. Pokoknya Ibu tak perlu cemas, doakan saja supaya ujianku lancar. Sampai nanti.”
Tut…tut…tut…tuut…
Buru-buru kuakhiri saja pembicaraan ini. Terdengar suara protes Ibu sebelum teleponnya kututup. Kalau semakin lama berbicara dengan Ibu, bisa-bisa kebohonganku semakin bertambah.
“Huff,” Kuhempaskan tubuhku ke atas ranjang. Berbaring sejenak, mencoba menghilangkan ketegangan. Rasanya ini bukan saat yang tepat untuk menghela nafas lega. Masalahnya semakin bertambah rumit, membuat kepalaku pusing dipenuhi banyak pikiran. Nah Radixa, sekarang apa yang akan kau lakukan?
“Hh, bagaimana aku akan menyelesaikan masalah ini sekarang?” desahku pasrah.
.
.
.
.
.
Pagi hari ini kubongkar isi celenganku. Padahal sebelumnya aku sudah berniat tak akan kubuka sebelum isinya benar-benar penuh. Tapi sekarang karena sedang dalam kondisi darurat kuhempaskan juga gentong celengan itu ke lantai hingga pecah. Mengeluarkan beberapa lembar uang kertas dan banyak recehan yang ternyata tak seberapa. Yah, kusadari memang berapa banyak uang yang telah kukumpulkan dari sisa uang jajanku selama setahun. Tak bisa berharap lebih deh, uang segini paling-paling hanya cukup untuk biaya makan sehari-hari. Itu pun tak tahu sampai kapan. Mungkin kurang dari sebulan aku bisa bertahan. Bersiap menjalani masa-masa sulit. Aku harus ekstra hemat mengelola uang yang ternyata hanya tinggal empat ratus dua puluh lima ribu rupiah lagi.
“Argh, ini semua hartaku?!” teriakku frustasi.
Kenyataan semakin bertambah sulit kala aku harus mengetahui bahwa tak ada lagi peluang bagiku untuk mengikuti Ujian Akhir Semester tahun ini. Mencoba untuk berharap pun rasanya tak bisa. Seharian ini kuusahakan untuk mencari cara menyelesaikan masalahku. Menghubungi banyak pihak terkait yang mungkin bisa menolong, termasuk Bu Rianti yang kujadikan satu-satunya kunci penyelesaian. Namun ternyata tak ada yang berhasil. Dalam hati aku kembali menangis. Pasrah. Benar-benar pasrah.
…
…
…
“Seira!” panggilku, “Bisa kita bicara?”
Gadis cantik berambut panjang itu menoleh dan tersenyum mendekatiku, “Ada apa, say?”
Mataku memandang awas kesekeliling, memastikan tak ada orang lain yang ikut mendengarkan. Rasanya gugup sekali. Sesaat aku bingung, tak tahu bagaimana memulai pembicaraan ini. “Kau punya uang?” bisikku pelan, “Pinjami aku lima juta atau berapapun dari isi di dompetmu.”
“Hah? Uang?!” Seira terbelalak, lalu mengernyit tak mengerti. Selintas terlihat ada sedikit rasa takut di wajahnya. Ekspresi yang wajar. Mungkin kata-kataku barusan memang terdengar seperti seorang pemalak. “Apa maksudmu Radix? Kau minta apa?” tanya Seira kembali.
“Eeh, ehm, ti-tidak….” Aku jadi salah tingkah, “Tidak jadi. Aku tidak bisa melakukan ini padamu. Maaf. Lupakan saja kata-kataku barusan. Err, aku pergi dulu, ya?! Bye…” Buru-buru aku berbalik meninggalkannya.
“Hei, tunggu dulu, Radix!” panggil Seira.
Aku semakin mempercepat langkahku, berusaha untuk tak menoleh dan mengacuhkan panggilannya. Memang terlihat jahat, baru kali ini aku menghindari Seira sampai seperti ini. Sebenarnya kalau kupikir kembali, kenapa aku harus melarikan diri? Yang kulakukan tadi memang sedikit memalukan. Aku seperti telah berbuat jahat pada Seira. Tapi, karena sudah terlanjur pergi, kalau kembali lagi rasanya justru akan terlihat semakin memalukan. Ya ampun, aku benar-benar menyesal sekarang. Bisa-bisanya tadi aku berbicara seperti itu pada sahabatku sendiri.
“Radixa!” Seira berlari menyusulku, dia langsung menghadang dan menghalangi jalanku. “Kenapa kabur? Ada apa sih? Hari ini tingkahmu aneh.”
“Hah? Ha ha ha….” Aku tertawa hambar, kusadari memang tingkahku aneh. Untuk sesaat aku jadi tidak bisa berpikir jernih. Seira memandangiku cemas. Tangannya cepat bergerak menggenggam tanganku, membuat perasaanku bergetar.
“Ayo, cerita.” katanya pelan. Aku jadi tak bisa menahan perasaanku lagi saat melihat ketulusan yang ditawarkannya. Air mata yang selama ini sanggup kutahan pun akhirnya terjatuh. Dengan cepat dia merangkulku. Ternyata aku memang butuh tempat untuk bersandar sekarang. Dan di atas sweater merah mudanyalah aku menangis sekarang.
“Sei, tolong bantu aku…”
…
…
…
Taman bundar menjadi salah satu tempat favorit mahasiswa di lingkungan kampus. Ditumbuhi banyak pepohonan rindang, beraneka macam jenis tanaman, warna-warni bunga di atas rerumputan hijau serta kolam ikan besar dengan air mancur buatan. Letaknya yang berada di tengah komplek kampus memudahkan mahasiswa dari berbagai fakultas untuk mengunjunginya sebagai tempat berkumpul atau sejenak melepaskan kepenatan disela-sela jadwal maupun tugas kuliah yang menggila. Berbaring santai di rerumputan sambil memandangi langit, duduk menikmati angin sepoi-sepoi yang berhembus menerpa wajah, ketenangan sejati akan benar-benar kau rasakan di sini.
Seira mengajakku duduk di sebuah kursi taman di tepi kolam. Sesaat dia masih membiarkanku sendiri supaya lebih tenang. Menawariku sebotol air mineral dan perlahan-lahan mulai mengajakku bicara. Kehadirannya mampu menenangkan hatiku. Menjadi pendengar yang baik, tak banyak menyela dan berkomentar sehingga aku pun tak segan lagi untuk mencurahkan semua kesedihan, masalah-masalahku dan segala beban pikiranku padanya.
“Begitulah… sekarang aku bingung harus bagaimana?” kataku sembari menyeka mataku dengan tisu yang dia berikan dan mengakhiri ceritaku.
“Aduh, Radixa, kenapa kau baru cerita sekarang?” cemas Seira, “Mendadak begini bagaimana aku bisa membantumu? Kalau dari awal aku tahu, atau setidaknya kemarin, mungkin aku masih bisa mencari cara lain. Seharusnya kau mempercayaiku.”
“Bukannya tak percaya. Ini memang salahku, kebiasaan tak bisa bertindak cepat, selalu mengulur-ulur waktu. Habisnya kupikir mungkin aku masih bisa menyelesaikannya sendiri. Tapi ternyata malah ada kejadian mendadak. Aku juga terlanjur berkata pada kedua orangtuaku bahwa semuanya sudah diselesaikan. Saat hari ini kupikir bisa menemui Bu Rianti untuk benar-benar memberikanku dispensasi, ternyata dosen itu malah sedang menghadiri seminar di luar kota dan baru akan kembali empat hari lagi. Saat itu waktuku sudah benar-benar tamat. Aku pasrah, mungkin sudah tak ada lagi yang bisa kulakukan.”
Sejenak kami berdua terdiam.
“Bagaimana dengan ZEON?”
Aku melotot memandang Seira yang tiba-tiba berkata tentang ZEON.
“Mau coba minta tolong pada mereka?” lanjut Seira.
“Kau berkata seperti itu atas nama siapa?” tanyaku dengan nada sedikit sinis. Maklum saja, jika membicarakan ZEON dengan Seira, aku selalu menjadi emosi. Kami berdua sebenarnya sahabat yang cocok dalam segala hal, tapi hanya mengenai ZEON saja pikiran kami berbeda.
Tak ada yang tahu persis mengenai ZEON, tapi kehadirannya di kampus ini sudah menjadi rahasia umum. Beberapa orang yang memiliki keahlian khusus dibidangnya masing-masing membentuk sebuah tim yang bekerja untuk memberikan jasa pemecahan masalah. Mereka menyebut dirinya sebagai ZEONers. Siapa saja bisa menyewa jasa mereka, meminta tolong untuk menyelesaikan atau sekedar memfasilitasi berbagai persoalan pribadi. Kasus-kasus ringan yang biasa ditangani seputar penyelidikan orang ketiga, biro jodoh, penyamaran, pengintaian, bahkan hanya untuk sekedar dibantu dalam menyelesaikan tugas kuliah. Kebanyakan penyewa jasa adalah mahasiswa kampus sendiri karena ZEON masih bergerak di sekitar wilayah kampus.
Karena keberadaannya yang tersembunyi, untuk bisa menjalin kerjasama dengan mereka pun dilakukan melalui cara khusus. Kau hanya perlu mengirim e-mail berisi cerita masalahmu ke alamat ZEON. Mereka memang sedikit selektif dan hanya menangani kasus-kasus tertentu saja. Bila tertarik untuk membantu, maka mereka akan langsung menghubungimu. Selanjutnya dilakukanlah kerjasama, menjalin sebuah ‘perjanjian tanpa perjanjian’ itulah yang ditawarkan ZEON. Memberikan kenyamanan dan keamanan privasi para klien.
Identitas para anggota ZEON atau ZEONers sendiri pun merupakan rahasia. Mereka bisa jadi siapa saja orang-orang disekitarmu bahkan mungkin teman baikmu sendiri. Hanya para klien penyewa jasa ZEON saja yang mungkin tahu siapa saja mereka. Tapi seolah telah terikat dengan sebuah perjanjian, tak satu pun yang berani mengungkapkannya pada publik. Tetap menjadikan ZEON sebagai biro jasa terselubung. Tentu saja terkecuali aku. Aku mengenal beberapa diantara mereka, salah satunya adalah Seira.
“Kau tak dengar barusan aku memakai kata ‘mereka’ dan bukannya ‘kami’, itu berarti aku disini berbicara sebagai Seira Yolanda Mega, sahabatmu. Aku tahu kau tak suka membicarakannya apalagi sampai berurusan dengan ZEON. Tapi coba kau pikirkan kembali. Mungkin hanya ZEON yang bisa membantumu sekarang.” lanjut Seira.
“Terimakasih atas sarannya, tapi kau pasti tahu jawabanku, Seira. Aku tak akan pernah mau bekerjasama dengan biro jasa ilegal seperti ZEON. Maaf, mungkin ini sedikit menyinggung perasaanmu sebagai ZEONers. Memangnya tak bisa kalau kau saja yang membantuku?”
“Radix, sudah kubilang ini terlalu mendadak. Aku tak bisa memberimu uang sebanyak itu. Bahkan jika aku berbicara sebagai ZEONers pun tak ada yang bisa kulakukan. Ini diluar keahlianku secara pribadi. Tapi mungkin bila kita membahas masalahmu di ZEON, pasti akan ada yang punya ide untuk menyelesaikannya.”
“Tidak.” tolakku cepat, “Aku tak mau melakukannya.”
“Kau memang keras kepala.” keluh Seira. “Teguh pada pendirian memang baik. Tapi ingat juga situasimu sekarang. Kau butuh pertolongan. Apa sih yang sebenarnya kau takutkan?”
“Aku takut ditertawakan.” jawabku polos.
“Hah?” Seira melohok sesaat, “Maksudmu… oleh Dika?”
“He’em,” Aku mengangguk-angguk seraya memutar mataku, “Dia pasti memperolokku bila tahu aku meminta bantuan pada kalian.”
Seira tertawa kecil, “Hehe, mungkin sih. Tapi kurasa dia tak akan melakukannya. Saat kau meminta bantuan, kau adalah klien kami. Hanya memiliki hubungan sebatas rekan bisnis. Kami bekerja secara profesional. Bisnis adalah bisnis, bagi ZEON tak ada yang namanya pertemanan. Terdengar kejam, tapi hal seperti itu terkadang bisa menghancurkan kerjasama yang ada. Dan kau tahu dengan pasti bagaimana cara kerja kami.” Seira menghela sejenak, “Baiklah, kalau kau tak mau, biar aku yang akan bicara. Akan kuceritakan masalahmu pada yang lain dan mencarikan jalan keluarnya untukmu. Tapi bila kau berubah pikiran dan ingin melakukannya sendiri…” Seira merobek secarik kertas dari memo kecilnya dan menuliskan sesuatu untukku, “—kau tentu tahu harus bagaimana.” lanjutnya seraya menyerahkan kertas itu padaku.
“Ekh?! Ini…” Aku tertegun menatap tulisan pada memo itu. Didalamnya tertera alamat e-mail untuk menghubungi ZEON.
Apa yang harus kulakukan sekarang?
.
.
Bersambung ke HOLIDIE : 2
.
.
10 Comments
Leave a Reply3 Pings & Trackbacks
Pingback:HOLIDIE : 2 | furahasekai
Pingback:HOLIDIE : 3 - furahasekai furahasekai
Pingback:FanFiction by FuRaHEART furahasekai