MY YAKUZA GIRL : Chapter 3

Cerita sebelumnya… Baca [Chap 1] [Chap 2]

-oOo-

Dan aku masih belum selesai berpakaian, hanya baru mengenakan celana training, mengencangkan talinya agar tak merosot, saat tiba-tiba pintu ruang ganti terbuka dan Sakura yang berwajah panik masuk begitu saja sambil masih berbalut handuk.

Aku melohok melihatnya. Bukan karena sekedar penampilannya, wajah polosnya, rambut basahnya, tapi kabar yang dia sampaikan padaku setelah itu.

“Gawat, Sasuke. Ada orang yang masuk kemari.”

“EH?!”


-oOo-

MY YAKUZA GIRL : Chapter 3 [Diri Sakura yang sebenarnya?]

Story by FuRaHEART

sasusaku

Disclaimer:

Sasuke Uchiha x Sakura Haruno and all characters of NARUTO © MASASHI KISHIMOTO

Rate: Mature (for save)
Genre: Romance, Hurt/Comfort
Length: 4.249 words
WARNING: AU, OOC, No Lemon, (miss)typo, alur GaJe cerita se-mau-gue

Happy Reading

-o0o-


Terdengar suara pintu ruang ganti terbuka dan dari celah lemari tempatku bersembunyi, kulihat sesosok pria brewokan datang dan berjalan sambil bersiap menyalakan sebatang rokok.

Asuma-sensei?!

Kurasa aku tahu apa yang hendak dilakukannya. Aturan sekolah memang ketat termasuk pada guru sekalipun, dan seorang perokok berat seperti dia pasti sering merokok diam-diam di tempat sepi seperti ini. Dia duduk di bangku tengah ruangan, menyalakan televisi dan tampak santai menonton sambil merokok. Sepertinya tak curiga akan kehadiran kami di sini. Untung saja aku berhasil menemukan tempat bersembunyi sebelum dia memergoki kami, walau jadinya aku terjebak dalam situasi mendebarkan bersama Sakura.

Saat panik, kami bersembunyi dalam lemari perlengkapan yang syukurlah isinya masih bisa muat untuk dua orang berdiri. Meski itu sempit dan membuat posisi tubuh kami nyaris merapat. Dada bidangku yang telanjang dan kulit punggung Sakura sesekali bersinggungan. Dan kalau melihat jenjang lehernya yang terbuka, rasanya aku bisa mengerti perasaan vampir yang ingin menerkam mangsanya.

Glek

Aku coba alihkan perhatianku. Menyingkirkan selintas pikiran itu. Untung di dalam sini gelap, sehingga aku tak terlalu fokus memerhatikan Sakura. Hanya ada seberkas cahaya lampu dari luar menerobos sekat-sekat pintu lemari yang jadi penerang kami sekarang.

“Jangan dorong-dorong! Geser sana!” bisik Sakura.

“Kau pikir aku sengaja? Tempatnya sempit gini.” balasku.

Sakura merengut, memeluk erat tubuhnya sendiri yang masih hanya berbalut handuk. Meski dia sudah membawa baju gantinya, tapi mustahil dia bisa memakainya di sini sekarang. Aku juga bukannya senang ada dalam situasi ini, justru sebaliknya sangat merasa tak nyaman. Ini lebih dari tadi sekedar kami mandi bareng bersebelahan, kan?

Duh, dalam hati aku menggerutu melihat Asuma-sensei masih saja asyik merokok. Apa dia akan menghabiskan sebungkus rokok di sini? Padahal itu sudah rokok yang ke tiga. Satu batang yang dihisapnya sekarang sudah hampir habis tapi tak ada tanda-tanda dia akan pergi secepatnya.

Aku kembali melirik Sakura dan sedikit iseng menggodanya, “Kau gak pakai dalaman, ya?” bisikku di telinganya dan…

BUK

—dia menghadiahiku satu hantaman bogem shanaroo-nya tepat mengenai hidung. Buatku ngilu. Untung tak sampai mimisan. Aku hampir teriak tapi kutahan.

“Berisik!” desisnya, “Kau ingin kita ketahuan?”

“Bercanda…”

“Hih, dasar kau…”

Aku lekas menutup mulut Sakura dengan sebelah tangan dan menariknya makin merapat padaku. Sakura memelototiku tapi tak jadi berontak saat dia pun melihat Asuma-sensei berjalan ke depan lemari tempat kami bersembunyi. Jantungku berdebar kencang bukan main takutnya, khawatir dia membuka pintu dan memergoki kami. Entah apa yang akan terjadi nanti seandainya kami ketahuan. Dijelaskan bagaimanapun alasannya, kurasa tak bisa diterima bila melihat kondisi kami berdua sangat mencurigakan seperti pasangan pelajar mesum yang sedang asyik berduaan.

Cklek

Pintu lemari sebelah terbuka. Sambil bersiul-siul, Asuma-sensei sepertinya mengambil sesuatu. Mungkin handuk atau baju ganti. Sepertinya dia hendak membersihkan diri untuk sekedar menghilangkan bau asap rokoknya. Sedikit asap rokok yang dia hembuskan menerobos masuk melalui celah pintu dan membuat kami sesak. Sesaat kami berdua menahan nafas untuk tak menghisapnya. Sakura memilih mencium bau tubuhku sedangkan aku sendiri menghisap dalam-dalam aroma sampo di rambutnya. Yah, daripada tidak bernafas sama sekali.

Tak lama Asuma-sensei pergi. Begitu terdengar dia meninggalkan ruangan dan suara kran air mengalir, aku lepaskan Sakura dan kami lekas keluar dari tempat persembunyian. Akhirnya kembali bisa menghirup nafas lega.

Hhhhh~…

“Nyaris saja. Aku pikir barusan aku akan mati saking takutnya.” desah Sakura.

Aku mengangguk-angguk, mengiyakan pendapatnya, masih mengatur nafasku. “Sudah sana cepat pakai bajumu sebelum dia datang lagi.” ucapku sambil memakai kaos olahragaku.

Sakura bergegas, namun sesaat terhenti dan memandangku sinis. “Dan kau akan melihatku ganti baju, Sasuke?”

Ah, iya aku lupa. “Ng, aku tunggu di luar.” kataku sambil lalu.

Sakura berbalik.

Sebelum aku menutup pintu ruang ganti, selintas aku melihat helaian rambut merah muda itu tersibak. Memperlihatkan setengah punggungnya yang terbuka dan sesuatu yang samar tadi kulihat dalam kegelapan di situasi panik tampak jelas di mataku sekarang. Goresan garis-garis di punggungnya yang kukira itu hanya ilusi mataku saja, ternyata nyata. Pola gambar itu…

Punggung Sakura bertato?

Kami berhasil kembali ke kelas dan meski teman-teman yang lain menatap kami curiga dengan penampilan kami yang berbeda dari sebelumnya, tapi tak ada yang berani bertanya. Tentu saja selain Ino dan Sai yang menggerutu kesal memarahi kami yang sudah seenaknya pergi di tengah kerja kelompok tadi. Sakura kian bersikap memusuhiku di sisa hari itu. Tapi aku tak terlalu memikirkan umpatannya, satu hal yang buatku penasaran cuma tentang tato itu. Melihatnya dengan tanda itu rasanya makin menegaskan siapa sosok Sakura sebenarnya. Pewaris tunggal klan yakuza Haruno. Aku berharap akan ada kesempatan lain bagiku untuk bisa lebih mengenalnya.

.

.

.

Hari-hari berlalu tanpa ada sesuatu yang berarti terjadi. Terkadang nyaris membuatku bosan. Tak ada kemajuan juga dalam hubunganku dan Sakura. Dia masih suka membolos dan berbuat onar. Aku sendiri sibuk mempertahankan imej-ku pada sosok siswa teladan, rajin, pintar, populer dan tampan. Kami berdua bagai bumi dan langit. Saling bertolak belakang dan terbiasa dibanding-bandingkan oleh guru maupun teman. Terkadang latar belakang keluarga pun dibawa-bawa. Parahnya lagi, Sakura tampak biasa saja. Sedangkan aku malah merasa jarak diantara kami perlahan menjauh. Sontak menimbulkan kekhawatiran lain dalam diriku.

Sore hari itu dalam perjalanan pulang, aku berniat mampir sebentar ke suatu tempat. Entah kenapa aku merasa ingin datang ke tepi sungai tempat rahasiaku dan kakak. Ketika hampir sampai, sesaat langkahku terhenti. Onyx terpicing memandang sosok yang tengah duduk di bawah pohon rindang dekat sungai di pinggir jalanan sepi itu. Sudah lama tak kemari dan tak kusangka aku malah menemukan apa yang kucari di sini. Bibirku tertarik sendiri, seakan tak bisa menahan diri untuk tak tersenyum menggambarkan perasaan senang yang aku rasakan sekarang. Aku ingat dia pun pernah mengklaim tempat ini sebagai tempat rahasianya juga, tapi tak kusangka dia akan datang kemari lagi atau justru malah sering melamun sendirian seperti sekarang ini?

Sakura terdiam, menumpukan kepala diatas kedua lutut yang dipeluknya erat. Tatapan emerald menerawang jauh. Gemerisik rerumputan, suara langkah kakiku yang mendekat mungkin menyadarkannya dan membuatnya berpaling ke arahku. Senyumku pudar, aku terpana melihat sosok gadis musim semi itu saat dia mengerjap menatapku dan sedikit cairan bening tampak menelesak turun membasahi pipinya.

Dia menangis?

Sakura terkejut mendapatiku memergokinya dan cepat-cepat dia seka kedua matanya. Memberikan alasan meski aku tak bertanya. “Hahaha, barusan aku coba uji kemampuan berapa lama aku sanggup tak berkedip…” ucapnya sambil terkekeh pelan.

Sikapnya yang begitu membuatku tahu kalau dia berbohong.

“Hn.” Aku sunggingkan sudut bibirku, tersenyum samar. “Lalu berapa rekormu?” kuambil tempat duduk di sampingnya.

“Err, sekitar…” gadis itu sejenak berpikir, “—sepuluh menit.” jawabnya.

“Oh ya?” Sebelah alisku terangkat, memandang ragu padanya. “Kalau begitu coba lawan aku. Tatap mataku. Yang duluan berkedip, dia yang kalah ya.”

“Hei,” Sakura hendak protes tapi aku keburu menghitung mundur dan adu saling tatap itu pun dimulai.

“Yang kalah, traktir ramen Ichiraku selama seminggu.” lanjutku.

Dengan jarak terpaut setengah meter, onyx kian menyelami emerald. Iris cantik berwarna hijau itu dasarnya tampak kemerahan. Aku bisa lihat dengan jelas sembab di bawah matanya. Melatih kemampuan tak berkedip sungguh alasan konyol yang tak masuk akal. Raut wajah itu begitu jelas menggambarkan kesedihan.

Sakura gigiti bibirnya dan menahan nafas agar tak terisak. Tak lama dia berpaling sambil mengerjapkan matanya. “Tch, taruhan bodoh. Aku tak mau melakukannya.” ucap gadis itu lekas berdiri.

“Hei, kau kalah.”

“Sejak awal aku juga kan tak bilang iya.” Sakura menepuk-nepuk rok seragamnya yang kotor, dia lekas sambar tasnya dan mulai melangkah pergi.

Aku tatap punggung gadis musim semi itu, “Jadi kau sepengecut itu?!” teriakku, membuatnya sejenak terhenti. “Jadi seorang Haruno mudah menyerah begitu saja?” Aku menunggu dia berbalik atau sekedar menanggapi, tapi Sakura tetap lanjut melenggangkan jenjang kakinya menaiki bukit menuju jalan. “Kau lemah!” lanjutku kemudian.

Gadis itu tak berpaling.

Aku ambil sebuah batu kerikil di dekatku dan melemparkannya jauh-jauh ke arah sungai. Tampak air sungai yang berkilauan terpantul cahaya senja pun meriak. Suasana alam begitu damai namun hatiku malah tak tenang. Dalam hati aku merasa kesal. Entah padanya atau pada diriku sendiri yang malah berdiam diri tak mengejarnya barusan. Karena aku tahu, tak ada yang bisa kulakukan pada Sakura bila dia sudah memutuskan untuk seperti itu. Aku pikir dia tak membutuhkan aku. Tapi ternyata…

Duk

Aku terkejut saat punggungku seperti dihantam sesuatu. Aku menoleh dan melihat kepala berhelaian merah muda yang tertunduk menempel di sana. Ujung baju seragamku seperti digenggam erat oleh tangannya yang gemetar.

“Memangnya kau siapa, Uchiha?” tanya Sakura. Aku mengernyit mendengarnya. “Memangnya kau siapa?” dia ucapkan itu berulang kali, “Memangnya kau siapa berani mengataiku lemah?!”

Aku masih terdiam. Aku tahu Sakura tak butuh jawabanku. Dia seperti ingin terus bicara. Dan aku pun tahu, dia tak mau aku berbalik dan melihatnya sekarang.

“Kenapa hanya padamu aku begini?” lanjut Sakura, “Kenapa aku tak bisa menyembunyikan kelemahanku dengan baik di hadapanmu? Kenapa aku selalu merasa membutuhkanmu?” Sakura terisak, “Kenapa itu harus kau?!” jeritnya, “AAAAA—hikhikhik…”

Tangisnya pecah dan turut membasahi hatiku. Kesedihannya merasuk juga dalam diriku. Tapi aku masih tak tahu apa yang harus kulakukan. Sakura tampak begitu rapuh. Aku malah jadi takut kalau aku salah sedikit saja aku bisa menghancurkannya. Gadis itu terus bicara, bertanya-tanya hal mungkin tanpa aku sadari aku pun memikirkan yang sama. Sementara Sakura masih begitu, perlahan aku coba tarik kedua tangannya yang mencengkeram punggungku. Membiarkannya kini memelukku dari belakang. Membiarkannya menumpahkan segala rasa. Jadikan aku sebagai sandaran.

“Hanya di hadapanmu seorang, Sasuke, pertahananku runtuh. Setiap kali aku melihatmu, aku merasa seperti aku bisa menjadi diriku sendiri.”

Dan untuk pertama kalinya aku mendengar kisah hidup gadis itu.

Haruno Sakura terlahir di keluarga yang tak biasa. Meskipun begitu dia tumbuh dan dibesarkan di lingkungan dengan orang-orang yang sayang, tunduk dan menghormatinya. Sampai usia lima tahun mungkin itu masa-masa paling membahagiakan bagi Sakura. Saat dia masih polos dan tak tahu apa-apa. Dia tak tahu status keluarganya dan bisnis apa yang dijalankan orang tuanya. Kenapa ada banyak orang berwajah sangar, berkelakuan jahat di sekitarnya namun bersikap begitu baik padanya? Tapi justru sebaliknya, di luar rumah mereka kenapa tatapan orang-orang tampak takut melihatnya? Dan kenapa guru serta orang tua murid tampak sungkan menghadapinya? Terlihat tak suka membiarkannya bergaul dengan anak-anak mereka. Sakura tak tahu.

Mereka hanya malu berteman denganmu, makanya kau harus ramah pada mereka. Tersenyum dan bersikap baiklah pada semua orang. Sakura, putri ibu yang manis dan cantik, kau tahu sebenarnya ada banyak orang yang suka dan menyayangimu, ehm?”

Begitulah yang sering diucapkan Mebuki Haruno bila Sakura menceritakan kegelisahannya. Dijauhi teman-teman dan selalu sendirian tampaknya membuat gadis kecil itu kesepian. Tapi usai mendengar nasihat ibunya, Sakura akan kembali bersemangat. Dia jauh lebih ceria dan akhirnya bisa bergaul dengan orang lain.

Di bangku Sekolah Dasar, Sakura berkenalan dengan Yamanaka Ino. Dan dibantu gadis berambut pirang, putri pemilik toko bunga Yamanaka itu, Sakura berhasil punya lebih banyak teman. Walau itu pun tak berlangsung lama.

Sakura sangat senang saat teman-temannya menerima tawaran datang ke rumahnya untuk main dan kerja kelompok. Bersama Mebuki dan pelayannya, Sakura bahkan membantu membereskan ruangan dan menyiapkan camilan. Dia senang teman-temannya tampak kagum dan memuji rumahnya yang besar juga masakan yang dibuat Ibunya. Mereka bermain-main dan semuanya akan baik-baik saja bila dia tak melanggar aturan rumah yang utama. Ketika Kizashi melarang siapapun melewati sisi bagian halaman belakang kediaman Haruno.

Seandainya saat itu bola yang mereka mainkan tak melambung tinggi ke arah sana. Seandainya saja Sakura tak mengejarnya. Seandainya saja kebetulan mengerikan itu tak dilihatnya. Mungkin kebahagiaan itu masih akan bisa dia genggam lebih lama. Akan lebih baik bila dia selamanya tak tahu apapun, bahkan menyangkut tentang keluarganya sendiri. Menjadi anak polos yang tak mengerti apa-apa.

Tapi seperti bola karet yang dipungutnya pun terjatuh kembali dan tak dia kejar lagi, tubuh gadis kecil itu membeku sementara jiwanya seakan ikut terhempas pergi. Emerald itu terbelalak dengan ekspresi wajah terkejut saat tangan sang ayah yang memegang katana terangkat dan dalam hitungan detik melayang, memotong jari-jari seorang pria yang menjerit kesakitan.

Entah karena angin sore atau efek bawaan cerita yang mengerikan, aku pun ikut merinding mendengarnya. Tak bisa kubayangkan Sakura pernah melihat hal kejam seperti itu saat dia masih kecil.

“Kau bercanda, kan?'” tanyaku, sedikit meragukan ceritanya.

Kulihat gadis yang kini duduk di sampingku itu menunduk dan menggeleng. Tampak samar di wajahnya Sakura tersenyum kecut, “Aku akan senang bila itu semua hanya bercanda, Sasuke.”

“Lalu…”

“Ayah terkejut melihatku, mungkin dia lebih terkejut daripada aku. Saat itu aku merasa aku tak bisa berbuat apa-apa, aku terlalu takut. Bahkan saat dia mendekat, memanggil namaku, aku rasanya malah ingin lari. Dan hal buruk pun terjadi. Meski ayah sudah memerintahkan orang-orang menyingkirkan pengkhianat—ya, katanya pria itu dihukum potong karena melanggar aturan berat klan kami—tapi itu semua sudah terlambat. Temanku ada yang sekilas melihatnya juga dan berteriak ketakutan. Semua menjadi panik. Lalu mereka…” Sakura sejenak menahan nafasnya, “—pergi meninggalkanku.”

Penjahat.”

Orang tuamu Yakuza”

Mamah bilang jangan lagi dekat-dekat denganmu.”

Aku takut padamu, Sakura-chan.”

Jangan main lagi dengan kami.”

Sana pergi!”

Kau mengerikan.”

Keluargamu mengerikan.”

“Dan makin banyak lagi yang mereka ucapkan. Hingga tak ada lagi yang mau berteman denganku, hahaha…” Sakura tekekeh pelan. “Sejak saat itu aku jadi semakin tahu tentang siapa aku, siapa kami sebenarnya. Awalnya begitu berat—ya, meski sampai sekarang pun aku tetap merasa berat. Tapi dulu aku punya ibu yang jadi tempatku melarikan diri.”

“Dulu?” Entah kenapa aku merasa cerita Sakura akan jadi lebih menyedihkan.

Satu cairan bening menelesak turun membasahi pipi gadis itu. Dia terdiam sejenak sambil merengut dadanya. Tampak tengah mencengkeram hati yang seakan bisa meledak kapan saja.

“Semua makin berantakan. Tapi aku bisa menghadapinya, Sasuke. Aku bisa menerima siapa diriku.”

Butuh waktu lama bagi Mebuki untuk menenangkan putrinya. Dengan sabar dan penuh kasih sayang Mebuki menasehati sekaligus menghibur Sakura. Berulang kali dia berkata, betapa menyesalnya dia tak katakan lebih awal pada Sakura tentang kenyataan keluarga mereka. Kizashi pun juga sama menyesalnya. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Awalnya mereka pikir mereka ingin menjauhkan Sakura dari dunia seperti itu. Dunia yang terlalu kejam untuk putri kecil mereka. Meski kemudian rencana itu gagal total, karena Sakura jelas sebagai satu-satunya keturunan Kizashi yang akan meneruskan kepemimpinannya.

Tak ada maksud dari Kizashi menyuruh anak buahnya selalu mengawal dan mengawasi Sakura sampai sekarang. Karena dia tak ingin kejadian yang sama terulang kembali. Kejadian yang merengut dan melukai orang-orang yang dicintainya. Seakan itu adalah balasan atas perbuatan yang dilakukannya. Ketika Sakura berusia 10 tahun, dia diculik oleh mantan anak buah Haruno yang berkhianat dan bekerja sama dengan kelompok yakuza Kuro Sanshouou yang dipimpin oleh Hanzo dari Amegakure.

Dengan alasan dendam dan perebutan wilayah kekuasaan, dua kelompok yang telah lama bersitegang itu bentrok. Orang-orang berkelahi, saling bertarung dengan tangan kosong, pedang, palang besi, batang kayu, bahkan senjata api. Situasi sangat kacau. Banyak yang terluka. Tak hanya dari kedua pihak, tapi kepolisian pun yang bermaksud menertibkan keadaan juga terkena imbasnya.

“Ah, aku tahu kejadian itu.” ucapku, menyela cerita Sakura. “Aku ingat waktu aku masih kecil ada pemberitaannya. Tou-san juga ikut dalam pasukan khusus kepolisian. Dia ada di sana. Kami diminta untuk tak keluar rumah. Sepanjang hari Kaa-san bahkan sangat khawatir. Tak kusangka ternyata itu…”

Sakura mengangguk, “Syukurlah setidaknya ayahmu kembali dan kalian masih bisa berkumpul bersama sampai sekarang. Tapi aku…” gadis itu tersenyum lirih, “Kehilangan hal paling berharga dalam hidupku.”

“Jangan-jangan…”

“Ibuku tewas dalam insiden itu. Dia tertembak oleh Hanzo saat ayah sedang bernegosiasi.”

“Eh?!” Aku terbelalak tak percaya.

“Aku tak ingat detailnya. Aku tak melihat kejadian itu. Kaki dan tanganku terikat, mataku tertutup, mulutku di lakban tapi telingaku masih bisa mendengar bunyi letusan pistol itu dan saat-saat terakhir kali Ibu meneriakan namaku. Ayah mengerang keras dan aku… aku… a-a-aku…”

“CUKUP!” ucapku kembali menyela, “Jangan lagi diceritakan kalau kau tak sanggup. Jangan paksa untuk mengingatnya.” Emerald itu terangkat dan dibalas dengan tatapan lembut onyx. Sementara tanganku menggenggam erat tangan Sakura yang gemetar, aku bantu dia sedikit menyeka air mata di wajahnya. Perlahan menenangkannya. “Kau sudah alami hal buruk yang tak terbayangkan oleh siapapun. Tak kusangka hidupmu begitu berat, Sakura. Aku sudah benar-benar salah. Kau sama sekali tak lemah. Kau gadis yang kuat.”

“Sa-su-ke…”

“Jadi walau kau menangis dan sedih, kau tak boleh terlalu larut didalamnya.” Aku taruh tanganku diatas pucuk kepala merah muda itu, “Cepatlah kembali tersenyum dan ceria.”

Ah, aku tak percaya aku mengatakan sesuatu yang manis seperti itu. Tapi aku memang tak bisa menahannya. Aku tak tahan bila melihatnya bersedih. Rasanya akan kulakukan apapun untuk membuatnya kembali tersenyum. Menguatkannya di saat dia rapuh. Dan kalau kulihat lengkungan di wajah cantiknya kembali mengembang dan berkata lembut menyebut namaku seperti sekarang, itu akan lebih baik.

“Terima kasih, Sasuke. Inilah yang membuatku suka saat bersamamu. Aku merasa nyaman. Mengingatkanku saat sedang bersama ibuku.”

“Hn?” Aku terperangah mendengarnya.

“Jadi saat aku menghampirimu tadi, kau sedang teringat ibumu?” tanyaku.

Sakura mengangguk, “Belakangan ini aku merasa semakin sesak. Sampai-sampai rasanya sulit untukku bernafas. Di sekolah sama sekali tak menyenangkan. Aku bisa bersikap biasa saja, tapi bukan berarti aku bisa mengabaikan semuanya. Meski aku sudah kebal terhadap tatapan dan cibiran orang lain padaku, tapi aku juga tak bisa selalu menghindarinya dan berpura-pura tak tahu. Di rumah juga tak ada yang bisa kuperbuat. Terkadang aku muak melihat tampang-tampang jahat itu. Rasanya aku ingin menyalahkan mereka semua atas apa yang terjadi padaku.”

“Kau tak ceritakan hal ini pada ayahmu?”

“Apa yang bisa dilakukannya?” bibir gadis itu tersungging, “Kalau aku cerita, situasinya justru akan semakin buruk. Sosok ayah yang kukenal sudah hilang sejak kematian ibuku.”

Aku mengernyit heran. Apa maksudnya?

Haruno Kizashi pada dasarnya adalah ayah yang baik. Meski awalnya dia sangat mengharapkan sosok seorang putra dari Mebuki, tapi bukan berarti dia membenci kehadiran Sakura. Mungkin Tuhan punya rencana lain dengan memberikannya seorang putri. Itu seperti menahan hasrat dan ambisinya untuk membawa keluarga Haruno kian terjerumus dalam dunia kegelapan. Dimana zaman semakin maju, latar keluarga mereka tentu akan semakin sulit di terima masyarakat pada umumnya.

Kizashi tak berniat melibatkan Sakura dalam bisnis keluarganya. Itulah sebabnya untuk beberapa waktu dia menyembunyikan fakta tentang pekerjaannya. Dan saat Sakura memergokinya, dia sungguh merasa bersalah. Dia kehilangan senyum tulus dan sikap manja gadis itu, berganti dengan tatapan takut dan perlakuan yang seakan memandangnya seperti penjahat. Ya, mungkin dia memang jahat. Dia tak bisa menjadi sosok ayah yang normal dengan pekerjaannya yang tak biasa.

Kehilangan Mebuki mengacaukan segalanya. Dia menyalahkan dirinya sendiri yang gagal melindungi orang-orang yang dicintainya. Tapi itu tak berarti melemahkannya. Kizashi bangkit dengan ambisi yang berbeda. Bagaimanapun pikirnya dia harus menjadi yang terkuat di kalangannya. Dengan menjadi yang paling berkuasa, maka tak akan ada yang berani lagi menyentuhnya. Tekadnya kian membawa Haruno bangkit dari keterpurukan dan semakin teratas. Itu semua dia lakukan demi Sakura, meski putrinya sendiri pun tak menginginkannya.

Sakura, hanya kaulah satu-satunya yang ayah miliki sekarang. Kau harapan dan kebanggaan ayah. Demi ibumu. Ingatlah apa yang sudah dikorbankannya. Kau harus jadi kuat dan pantas memikul tanggung jawab ini, sampai hari dimana aku serahkan nama Haruno padamu sepenuhnya.”

Di hari pemakaman Mebuki, Kizashi memintanya menjadi penerus. Tak ada alasan untuk Sakura menolak. Seperti yang sudah ditakdirkan, dia terlahir dan menyandang nama ini.

Iya, ayah. Aku, Haruno Sakura, bersedia melakukannya.”

“Jadi tato di punggungmu itu…” gumamku kembali teringat sesuatu.

Sakura lekas menoleh dan menatapku sambil menyentuh punggungnya, “Kau tahu?” tanyanya khawatir. “Kapan kau melihatnya?!”

“Waktu kita terjebak di ruang ganti.”

“Kau mengintipku ganti baju, SASUKE?!” pekiknya tak percaya.

“TIDAK!” bantahku, “Aku hanya sekilas melihatnya.”

Sakura masih balas menatapku tajam.

“Gambarnya tak jelas kulihat, tapi itu hampir menutupi punggungmu, ya?”

Emerald mendelik menghindariku.

“Apa harus begitu? Apa itu sakit?” tanyaku. “Aku tak habis pikir kulit gadis cantik sepertimu dilukai. Apa kau yang menginginkannya?”

“Ini simbol.” jawab Sakura, “Berawal dari satu lingkaran di tengah punggungku yang jadi tanda keluarga kami, aku mendapatkannya saat usiaku 13 tahun. Lalu setiap tahun, seiring usiaku bertambah, akan bertambah pula gambar lainnya. Saat anak lain mendapatkan hadiah manis dari orangtuanya di hari ulang tahun mereka, yang kudapat malah ini.” Gadis itu menyeringai, “Mengerikan bukan?” tanyanya, “Setelah kau mendengar semua ini, kau pasti jijik padaku kan, Sasuke?”

Aku terdiam dan sejenak berpikir. “Tidak juga.” Aku kembali menoleh dan menatap gadis itu lekat-lekat. “Sebaliknya, aku kasihan padamu, Sakura.”

“Apa kau bilang? Kasihan?” cengangnya.

“Hn.”

“Hah? Hahaha… Ini lebih menyedihkan kalau kau justru mengasihaniku.”

“Tapi itu membuatku makin lebih menyayangimu.”

Tawa hambar gadis itu pudar. Untuk beberapa saat kami berdua terdiam dan hanya saling bertatapan. Emeraldnya seperti tengah menyelami onyx-ku untuk mencari kepastian. “Sayang? Tch, harus kubilang berapa kali Sasuke, kita dua orang yang berbeda. Kau kan…”

“Berhenti memberiku alasan bodoh satu itu. Aku sudah muak mendengarnya. Kau tahu kan, aku tak peduli meski ayah kita berselisih atau siapapun dirimu?”

“Kau tak mengerti.”

“Aku mengerti.” jawabku tegas. “Dan setelah mendengar ceritamu daritadi aku semakin mengerti. Aku hanya harus jadi lebih kuat untuk bisa bersamamu.” Sakura terperangah mendengarnya. “Kau juga merasakan hal yang sama, kan?” tanyaku. Tangannya terasa tegang saat dalam genggamanku. “Katakan kalau kau menyukaiku, Sakura.” pintaku padanya dengan tulus. Ini pernyataan cinta yang kedua kalinya kusampaikan. “Aku menyukaimu.”

Aku sekarang seperti sedang bertaruh untuk dapatkan jawaban yang kuinginkan. Sakura tampak masih kebingungan. Apa dia masih berpikir perbedaan kami jadi penghalang? Apa itu terlalu berat baginya? Atau justru aku yang terlalu berharap? Tapi lama kutunggu dan melihat reaksinya seperti itu, mungkin yang harus menyerah adalah aku.

Sejenak aku menghela nafas sambil perlahan melepaskan genggaman tanganku. “Baiklah, aku tak akan memaksa.” lanjutku, tersenyum tipis. “Sepertinya aku terlalu besar kepala mengira kau akan menyukaiku setelah ada banyak hal yang telah kita lakukan berdua.”

“Sasuke…” panggilnya saat melihatku berdiri dan menenteng tasku.

“Kurasa aku sudah selesai.” ucapku padanya sebelum berbalik, “Jaa nee~…” kulenggangkan jenjang kakiku pergi, menapaki bukit menuju arah jalan pulang.

Sekilas aku kembali melirik ke belakang. Sudah selesai, bisikku dalam hati. Miris terasa saat kulihat gadis itu masih terdiam bahkan tak mencegah kepergianku. Terima nasibmu, Sasuke. Kau sudah ditolak dua kali olehnya. Menyerahlah!, batinku—sambil berjalan dengan tak bersemangat.

Grep

Tapi tiba-tiba belakang bajuku tertarik. Aku berbalik dan melihat wajah Sakura yang terengah. Tak kupercaya dia mengejarku?!

“Mau kemana?” tanyanya padaku, “Kau mau pergi kemana setelah tadi seenaknya bicara begitu…”

“Eh, aku kira kau sudah menolakku. Kau tak suka pada—”

Kalimatku terhenti ketika dengan cepat Sakura meredamnya. Gadis itu mendekat seraya menarik kerah kemejaku. Di hadapan iris onyx-ku yang terbelalak, kelopak dengan bulu mata lentik yang menyembunyikan sang emerald itu terlihat begitu dekat. Sesuatu yang lembut terasa menekan bibirku. Meski hanya beberapa detik tapi efek getarannya sampai pada jantungku yang jadi berdebar-debar kencang.

Sakura menciumku?!

“—ki…” bisiknya usai dia lepaskan kecupannya, “Suki da yo, Sasuke-kun.”

Jadi bila dalam hati saja aku merasa hangat mendengar apa yang diucapkannya, mungkinkah semburat merah bodoh kini sudah menyebar di seluruh wajahku?

Sakura menyukaiku?!

Dalam perjalanan pulang, kami berdua tak banyak bicara. Setelah saling bilang suka, kenapa suasananya jadi canggung begini?

“Ehem…” Sakura mendehem.

Mata kami saling lirik dan keduanya malah sama-sama berpaling saat bersiborok. Hal sederhana seperti melihat wajahnya saja masih membuatku tersipu. Dan aku tak ingin menunjukkan ekspresiku yang begini ke hadapannya. Entah apa Sakura juga sama? Jujur aku masih terkejut, tak menyangka tadi dia akan bilang suka bahkan sampai menciumku segala.

“Hmm, Sasuke…” panggilnya.

“Hn?”

“Kau tak keberatan kan dengan permintaanku tadi?” tanya Sakura.

“Hn.”

“Maaf…”

“Hn.”

“Kita pacarannya backstreet saja ya.” lanjut Sakura.

Sejenak langkahku terhenti. Aku mulai berani untuk kembali menatap wajah cantik gadis itu dan tersenyum tipis. “Aku tahu. Kau tak perlu minta maaf.”

Sakura balas tersenyum. Sesaat dia tampak ragu ketika perlahan mendekatiku. Dia menyusupkan sebelah tangannya merangkul lenganku dan kami berdua mulai jalan bersama.

“Aku tak ingin ambil risiko bila sampai orang tua kita tahu. Entah apa yang mungkin ayahku lakukan kalau tahu putrinya pacaran dengan seorang Uchiha.”

“Hn. Orang tuaku juga pasti tak suka putranya pacaran dengan anak yakuza.” lanjutku.

“Tuh kan, kubilang juga apa…” cemas Sakura.

Kutaruh sebelah tanganku diatas pucuk kepala gadis itu, “Kubilang juga jangan pikirkan hal itu.” Aku membelai lembut rambutnya, “Tak akan yang berubah kalau kita hanya diam dan tak berbuat sesuatu.”

“Tapi sementara backstreet dulu ya.” pinta Sakura. “Pokoknya jangan sampai ketahuan.”

Aku mengangguk, “Hn.”

“Termasuk dengan orang-orang di sekolah juga…”

“Sasuke?!”

Terdengar suara seseorang memanggil menyela pembicaraan kami. Sakura memiringkan kepalanya, melihat ke belakangku. Firasatku mendadak jadi tak enak. Aku kenali suara itu. Aku berharap aku salah dengar. Tapi nyatanya saat aku ikut menoleh, aku bisa pastikan kalau yang kulihat itu benar-benar dia.

“Sedang apa kau di sini?”

Glek

Kenapa harus ketahuan secepat ini?!, panikku dalam hati. “Okaa-san…”

“Siapa gadis itu? Pacarmu?”

.

.

TBC… next to Chapter 4

.

.


A/N:

NYAHAHAHAHA… *tawa nista

Oke deh chapter 3 nya nyampe sini dulu ya, soalnya klo dipanjangin takut lama lagi updetnya, heuheu… (^-^)a Berhubung di RL jadwal kerja lagi padat, ini juga nyicil-nyicil kerjainnya, coz lagi banyak siswa yang minta konsis persiapan UKK. Hayo yang pada mau ujian, semangat ya!

Ngakak sendiri bikin adegan terakhir, kasian banget niat mau backstreet malah udah ketahuan ama orang tua sendiri. Gimana nasib sasusaku selanjutnya?! Tunggu chapter 4 ya, hehehe…

Special Thanks to Reviewers:

hanifah24, Zanika Putri, nur j, Fitria aisyah, Kezia Palinoan (@Kezia_Palinoan), Ayra Uzumaki, Azu-chan, chii, winda, Ainun, Nanda_Nabila, nerd, mary elshiro, Putri yuliani, yaumil kawaii, 

And

All of You Silent Readers

Makasih juga buat yang udah review di FB ato LINE, maaf ga disebutin satu-satu coz lupa siapa aja namanya. Yang jelas, makasih bangeeeeetttt… Silakan kalau ada lagi yang ingin disampaikan, jangan lupa komen saja.

Sign,

FuraHEART

[040615]

\(^-^) See You ~RnRnC? (^-^)/

55 Comments

Leave a Reply

One Ping

  1. Pingback:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *