DAREKAGA : Chapter 3

Cerita sebelumnya…. Baca [Chap 1] [Chap 2]

-oOo-

Tidak apa-apa. Tidak terjadi apa-apa, kan?

Berulang kali aku tekankan hal itu dalam diriku meski aku sendiri pun tak yakin. Pertemuanku dengannya terasa seperti mimpi. Samar. Tak berarti. Tak mampu kuingat. Tak akan kutemui lagi sesuatu yang tampak sekilas dan tak berbekas seperti dia dan kejadian malam itu. Aku akan bersikap biasa dan menjalani hidupku dengan normal. Lalu aku akan melupakannya. Terlupakan seperti bentuk awan berarak di langit yang kulihat kemarin. Kupikir bisa semudah itu. Tapi…

Benarkah sekilas? Benarkah tak berbekas?

Dengan perasaan berdebar dan tangan gemetar aku sentuh jenjang leherku. Menutupi satu bagian tanda yang kulihat terpantul di cermin.

Tidak apa-apa. Tidak terjadi apa-apa, kan?


-o0o-

DAREKAGA : Chapter 3

(Dia si pemberi tanda)

Sasuke_Sakura_I_Love_U

Story by FuRaHEART

Disclaimer:

Sasuke Uchiha x Sakura Haruno x Itachi Uchiha and all characters of NARUTO © MASASHI KISHIMOTO
fanart / illustration are NOT mine
Rate: Teen+
Genre: Romance, Hurt/Comfort
Length: 4.629 words
WARNING: AU, OOC, (miss)typo, alur GaJe cerita se-mau-gue

Happy Reading

-o0o-


Aku berjalan malas memasuki ruang kelas. Membalas sekedarnya ucapan selamat pagi teman-teman yang menyapaku dan langsung duduk di bangkuku dengan tak bersemangat sambil menghela nafas panjang. Terdengar cekikikan dan suara tawa disela obrolan asyik yang Ino dan Hinata lakukan saat mereka datang menghampiri. Aku hanya gulirkan manik emeraldku menatap mereka. Sejujurnya sama sekali tak berminat mendengar apalagi membicarakan hal terkait pesta kemarin. Bila hari senin biasa saja sudah membuatmu malas, maka ini adalah senin termalas dalam hidupku.

Semalaman aku tak bisa tidur. Rasanya setiap kali aku menutup mata dan pikiranku kosong, aku malah jadi memikirkan hal yang tidak-tidak. Aku merasa kacau sekarang. Seolah kebahagiaan tengah menjauh dariku. Padahal asalnya tak begini. Aku punya banyak kesenangan yang bisa kulakukan dan kupikirkan. Hal sederhana seperti mengingat kak Itachi saja biasanya sudah membuatku bahagia, tapi sekarang tidak. Pikiranku malah dipenuhi sosok orang itu, seseorang yang bahkan wajahnya saja tak bisa jelas kuingat. Sial. Ditambah lagi ponselku sekarang hilang. Jadi semakin banyak yang tidak bisa kulakukan untuk sekedar mengalihkan perhatian. Seperti menulis status galau di akun jejaring sosialku—misalnya.

“Kau kenapa? Sakit?” tanya Hinata melihatku terdiam.

Aku menggeleng, “Tidak. Hanya sedang bad mood.” jawabku sembari cemberut.

“Hari pertama?” tebak Hinata.

Sesaat aku menegang. Rahangku mengeras. Di bawah meja kukepalkan tanganku erat mencengkeram ujung rok seragam. Mendengar pertanyaannya barusan menyerempet nyaris mengenai kegelisahanku.

“Err, ya begitulah…” jawabku sambil tersenyum tipis.

“Haha, sudah kuduga.”

“Hei, bersemangatlah. Kau tahu aku punya segudang kekuatan cinta yang akan kubagikan ke seluruh dunia.” ucap Ino sambil merangkulku. Wajahnya tampak berseri-seri sekali.

“Hah?” aku mengernyit heran melihat tingkah centil gadis itu. “Kenapa dengannya?” tanyaku pada Hinata.

“Tentu saja karena Ino kan baru jadian.”

“Yang benar?!” pekikku tak percaya.

“Iya, kau tahu kemarin Sai bilang apa padaku? So Sweet…”

Dengan antusias Ino lantas menceritakan semuanya. Dia bicarakan mulai dari perlakuan manis Sai dan bagaimana cowok berkulit pucat itu menyatakan cinta padanya sampai akhirnya mereka berdua jadian. Ino terlihat begitu bangga karena jadi yang pertama pacaran diantara kami bertiga. Tingkah gadis yang lagi kasmaran memang luar biasa. Melihatnya bahagia aku pun ikut merasa bahagia. Memang sudah kuduga pesta kemarin mungkin cuma modus yang dilakukan Sai untuk mendapatkan cinta sahabatku. Tapi tak kusangka ternyata Hinata pun sama.

“HEE?! Diajak kencan?!” cengangku dan Ino berbarengan usai mendengar curhatan Hinata.

“Sebenarnya sih hanya makan ramen di Ichiraku.”

“Kyaaaaa…” Kami berdua heboh lagi.

“Sstt… jangan teriak gitu dong. Aku malu.” Gadis itu menutupi wajahnya yang merona, tampak malu-malu.

“Kau yakin mau jalan bareng sama Naruto?” tanya Ino tak percaya. “Idih, anak itu kan tukang bikin masalah.”

“Naruto tak seperti itu kok.” bela Hinata.

Aku tahu dia sudah lama memerhatikan Naruto, dan karena pesta goukon itu hubungan mereka tampaknya mulai ada peningkatan. Sambil tersipu dengan wajah memerah, Hinata bahkan seperti mau pingsan saat tak sengaja Naruto tiba-tiba lewat depan pintu kelas dan menyapanya.

“Cie cie cie…” Aku dan Ino sontak makin gencar menggodanya.

Ini menyenangkan sekali saat orang lain bahagia dan kita pun ikut berbahagia.

“Lalu bagaimana denganmu?” tanya Ino sambil menyikutku. “Kemarin apa yang terjadi setelah kami tinggal pergi?”

Aku melohok sesaat, sebelum kemudian mengerjap beberapa kali menyadarkan diriku sendiri yang hampir melamun. “Ehm, tidak terjadi apa-apa.” jawabku.

Tadinya aku berniat menceritakan kegelisahanku pada dua sahabatku itu. Tapi saat kulihat Ino dan Hinata tampak bersemangat membicarakan hal bahagia mereka di pesta kemarin, aku memilih untuk bungkam. Mana bisa aku bicarakan masalahku sedang yang akan kualami bertolak belakang dengan apa yang mereka alami.

“Kau pulang dengan siapa?” tanya Hinata.

“Aku pulang sendiri.”

“Hah, yang benar? Jadi orang itu meninggalkanmu begitu saja.” dengus Ino tak percaya.

“Orang itu? Kau kenal siapa yang terakhir bersamaku di pesta kemarin?” Barulah sekarang aku mulai antusias membicarakannya.

“Tentu saja.”

“Siapa?” tanyaku dengan perasaan berdebar.

“Dia kan…”

“Heh, Sakura!” panggil seseorang menyela. Aku menoleh melihat Shikamaru di lawang pintu. “Ada yang mencarimu nih.”

Aku mengernyit menatapnya heran, “Siapa yang mencariku?” Dan jawabannya kudapat saat kepala berhelaian raven itu melongok dari belakang Shikamaru.

“Yo!” sapanya.

Aku terbelalak melihat sosoknya, “Kak Itachi?”

Aku pergi menemuinya dan kami mengobrol sebentar di koridor agak jauh dari kelasku. Ino dan Hinata tampak mengikuti dan bersembunyi di balik tembok sambil menatap kami curiga. Mereka pasti penasaran—aku pun sama—tiba-tiba saja Sang Pangeran Sekolah datang menemuiku. Memangnya ada urusan apa?

“Hei, kenapa kau tak membalas pesan-pesanku sejak kemarin?” tanya Itachi.

Aku sedikit terkejut mendengarnya, apa dia penasaran mendapati aku tiba-tiba menghilang?

“Kukira terjadi sesuatu padamu. Atau kau marah karena rencana kita sabtu kemarin batal. Kau jadi tak mau lagi menemuiku.” lanjut Itachi.

“Ah, hahaha… tidak.” jawabku, “Ponselku hilang makanya aku tak bisa menghubungimu.”

“Oh ya? Kenapa bisa hilang?”

“Itu…” Sejenak aku terdiam. Tentu saja tak bisa kukatakan yang sebenarnya. “Ponselku ketinggalan di suatu tempat dan aku tak bisa mengambilnya.”

“Wah, sayang sekali.” Onyx kelamnya tampak prihatin menatapku. “Semoga cepat kau dapat lagi ponsel yang baru ya.”

“He’em…” Aku mengangguk walau dalam hati sungguh merasa miris. Berharap dapat ponsel baru rasanya mustahil. Tak kuceritakan hal ini pada kedua orang tuaku. Mereka pasti malah akan memarahiku kalau tahu aku menghilangkannya. Eh, tapi… rasanya aku jadi teringat sesuatu.

Kemarin saat aku pulang ke rumah, kukira aku akan dimarahi habis-habisan oleh orang tuaku. Tahu anak gadisnya semalam tak pulang dan tak jelas kabar lalu tiba-tiba pulang pagi, orang tua manapun pasti akan berpikir macam-macam dan merasa cemas, kan? Terlebih memang terjadi sesuatu padaku. Bermalam di hotel dengan seorang pria asing. Bagaimana reaksi mereka kalau sampai tahu? Padahal aku sudah takut setengah mati. Tapi ternyata mereka sama sekali tak marah. Kehilangan dompet, ponsel, dan juga ingatan. Memikirkan hal itu kembali membuatku merinding. Kaa-san bilang dia dapat kabar kalau aku menginap di rumah Hinata. Itulah sebabnya dia tenang-tenang saja, karena memang sudah biasa. Aku tak tanya detailnya karena aku langsung berburu masuk ke kamarku dan mengurung diri sepanjang sisa hari itu. Kupikir sekarang tak mungkin Hinata sengaja berbohong mencari alasan untukku. Lalu kalau begitu siapa yang mengirim pesan pada ibuku?

“Jadi gimana Sakura, kau mau ikut?”

Aku tersentak mendengar pertanyaan Itachi. Barusan aku melamun. “Iya, kenapa kak?”

Itachi mengerling, “Ya ampun kau ini, bisa-bisanya malah melamun saat aku bicara denganmu.”

“Maaf,” Aku tersenyum kecut, “Sesaat tadi ada yang terpikirkan olehku. Jadi ada apa?”

“Sebagai ganti sabtu kemarin, pulang sekolah hari ini apa kau mau ikut jalan bersamaku?” tanya Itachi.

Sontak aku menutup mulutku yang nyaris teriak dengan sebelah tangan. Tak bisa kupercaya Itachi Uchiha perhatian sekali padaku. Apa bisa dibilang aku masih punya harapan untuk lebih dekat dengannya? Kyaaa, rasanya aku ingin bersorak dan melompat-lompat gembira saking senangnya. “Iya, iya,kak, aku mau.” jawabku tanpa ragu.

“Sip, kalau gitu sampai jumpa lagi nanti sore.” ucapnya sambil pamit. Kebetulan bel masuk sekolah sudah berbunyi. Sejenak aku pandangi punggung lelaki berkuncir yang berjalan pergi sampai menghilang di belokan koridor.

Perasaanku berdebar-debar. Aku yang sejak kemarin seakan lupa cara tertawa karena saking galaunya, kini malah jadi tak bisa berhenti tersenyum saat kusadari ternyata orang yang kusukai memerhatikan dan tampak tertarik padaku. Jadi sungguh bolehkah aku berharap? Kak Itachi memberiku harapan, kan? Apa aku nanti bisa seperti Ino dan Hinata yang mulai dekat dan akhirnya menjalin ikatan dengan orang yang disuka? Aku sangat menantikannya.

“Hei, Sakura, apa yang terjadi? Untuk apa Uchiha-senpai mencarimu?”

Sekembalinya ke kelas, dua sahabatku itu langsung bersiap menginterogasiku. Mereka tanya banyak hal tapi kubalas hanya dengan senyuman bahagia.

“Hehe…”

Untung saja guru pelajaran pertama sudah datang. Dia menyuruh kami lekas kembali ke bangku masing-masing dan bersiap mengikuti pelajaran. Sejenak aku berpaling, menoleh menatap ke luar jendela. Menerawang jauh ke arah langit biru cerah itu, seberkas cahaya mentari pagi melewati celah awan-awan yang perlahan berarak. Aku perhatikan bentuknya, mungkin tak sama dengan bentuk awan di langit yang kulihat kemarin saat aku menangis. Aku telah melupakan bentuknya, seperti aku telah melupakan kegelisahanku. Aku tak akan lagi mengingatnya.

Tidak apa-apa. Tidak terjadi apa-apa, kan?

Kuyakinkan itu dalam diriku. Tapi…

Deg

Apa itu?!

Emerald-ku tertarik menatap bayangan di seberang jendela gedung sebelah. Terlihat seperti ada sosok yang balas memerhatikanku. Siluet itu…

“Haruno Sakura?!”

Ah—”Hadir!” ucapku lantang sambil mengangkat tangan kananku menjawab panggilan Iruka-sensei.

“Kau ini, pagi-pagi sudah melamun.” sindirnya dan langsung disambut gelak tawa anak sekelas.

Aku kerucutkan bibirku dan menunduk malu. Sedikit kulirik kembali seberang jendela itu dan tak ada apapun di sana. Apa yang sempat kulihat tadi hanya ilusiku saja?

Kukira kak Itachi hanya bercanda dan kembali mengerjaiku sewaktu dia bilang ingin mengajakku pergi sebagai ganti gagal kencan kemarin. Aku sudah kecewa karena saat pulang sekolah tadi tak kulihat dirinya menungguku. Aku tersenyum miris dan sedikit sakit hati. Aku juga kesepian karena tak bisa pulang bersama Ino dan Hinata seperti biasa berhubung mereka tampaknya sudah punya rencana masing-masing sepulang sekolah. Ino dengan pacar barunya dan Hinata dengan kencannya. Tapi ternyata saat sedang berjalan sendirian menuju halte, kak Itachi memanggilku.

“Hei, Sakura! Syukurlah aku masih sempat mengejarmu.”

Aku terkejut melihatnya menghampiriku dan tampak kelelahan seperti sudah berlari jauh.

“Tadi ada sedikit urusan dan karena ponselmu tak ada, aku jadi tak bisa memberitahumu kalau aku akan terlambat.” lanjut Itachi sambil masih mengatur nafasnya yang terengah.

“Oh, begitu rupanya.” ucapku, dalam hati sungguh merasa terharu. “Aku kira kakak lupa.”

“Haha, mana mungkin kan…”

“Iya, hampir saja aku naik bis dan pulang sendiri.”

Sesaat kami berdua tertawa kecil.

“Jadi, kau masih mau ikut bersamaku?” tanya Itachi dan langsung kujawab dengan satu anggukkan mantap.

Aku tak tahu kalau berjalan bersama dengan orang yang disuka akan terasa begitu menyenangkan seperti ini. Dulu aku hanya pernah membayangkannya saja dan tak kukira kini menjadi kenyataan. Di sampingku pria itu berjalan. Tungkai panjangnya perlahan bergerak menyamakan langkahnya denganku. Sosok wajahnya yang tersenyum kali ini baru kulihat dari samping. Sudut bibirnya, lirikan onyx-nya, mimik wajah yang nampak di setiap ekspresi, dalam penglihatanku kini sosoknya terlihat seperti berkilauan. Aku berjalan bersama Uchiha Itachi sekarang.

“Kak, sebenarnya kita mau pergi kemana?” tanyaku sesaat menyela obrolan. Aku sudah penasaran daritadi. Dan aku hanya mengikuti saja kemana Itachi mengajakku. Di halte tadi kami naik bis yang berlawanan arah dengan tempatku tinggal, lalu berhenti di depan gerbang sebuah komplek perumahan. Karena terlalu asyik mengobrol aku sampai lupa menanyakannya.

“Kita ke rumahku.” jawab Itachi kemudian.

“Hah? Apa?” cengangku tak percaya. “Ru—rumahmu?!”

Lelaki berhelaian raven berkuncir itu mengangguk, “Iya. Kebetulan orangtuaku sedang tak ada, jadi kita bisa ‘bebas’ bersenang-senang bersama.”

Langkahku sesaat terhenti. Dengan emerald membulat kutatap wajah tampannya yang tersenyum. Itachi jadi berada sedikit di depanku. Dia masih terus berjalan.

“Kenapa?” tanya Itachi, menoleh melihatku terdiam. “Atau kau mau pulang? Kita sudah sampai. Ini rumahku.”

Aku gulirkan mataku memandang rumah yang cukup besar berlantai tiga di depanku. Terdapat papan nama bertuliskan Uchiha di sisi tembok gerbang depan. Jadi daritadi untuk sesaat kami seperti berjalan-jalan memutari benteng rumahnya saja? Tatapanku kembali melihat Itachi yang masih menanti jawaban.

“Ah, tidak apa-apa.” jawabku sambil menggeleng.

“Kalau begitu, ayo!” ajaknya kembali.

“He’em.” Dan aku pun melangkah mengikutinya.

Sekilas dia melirikku sebelum cepat berpaling menyembunyikan seringai yang tampak samar terlihat. Aku kepalkan tanganku menggenggam erat tali tas sekolahku. Entah kenapa tiba-tiba seperti ada sesuatu yang berdesir dalam dada. Sedikit keringat dingin serasa keluar dari punggungku. Tahu orang tuanya tak ada dan kami akan berduaan di rumah sebesar ini, aku jadi teringat kejadian kemarin malam. Tidak! Sebaiknya aku lupakan. Tak akan terjadi sesuatu seperti itu. Aku kenal kak Itachi bagaimana. Lagipula kami berdua belum pacaran, jadi mustahil dia akan sembarangan berbuat sesuatu padaku.

Dan benar saja, aku hanya terlalu banyak memikirkan hal yang tidak-tidak.

Ceklek—Itachi membuka pintu rumahnya.

“Anggap saja rumah sendiri.” katanya, mempersilakanku masuk.

“Permisi.” ucapku sambil melangkah. Aku membungkuk untuk membuka sepatuku dan baru kusadari di sekitarku ada banyak pasang sepatu lain.

“Semuanya juga sudah datang.” kata Itachi seperti menjawab rasa penasaranku.

“Eh?! Semuanya?”

Gelak tawa dan suara obrolan yang terdengar samar dari pintu masuk tadi kini kian jelas seiring aku ikuti kemana punggung lelaki itu membawaku masuk ke sebuah ruangan.

“Halo! Selamat datang!” sambut beberapa orang. Ada yang melambai-lambaikan tangannya padaku, ada juga yang hanya menoleh cuek. Yang pasti aku tak menyangka dengan apa yang kulihat. Sekumpulan orang-orang ini setidaknya aku kenali sebagai AKATSUKI.

“Hahaha, kau terlambat Itachi.” ucap pria blonde dengan rambut modis seperti Ino. Kalau tak salah dia adalah Deidara-senpai, ketua klub seni di sekolah.

“Kau jadi terlambat mengikuti permainan seru kami tadi.” lanjut Sasori. Baru kali ini aku melihat tampang senior terimut itu benar-benar seperti boneka porselen bermata hazel yang antik.

Ada juga Hidan-senpai dan Kakuzu-senpai yang tampak sedang bermain PS. Sepertinya mereka tengah bertaruh. Mereka hanya sekilas melihatku dan kembali saling adu mulut, dengan Hidan terus membahas Jasin—apalah itu—sedangkan Kakuzu ribut-ribut soal uang. Sementara yang terlihat santai duduk di sofa sambil menegak minuman adalah Kisame-senpai. Tobi-senpai dan zetsu-senpai pun asyik sendiri. Dan aku sedikit melongo melihat Konan-senpai bermesraan dengan Yahiko-senpai di pojokan. Ya ampun, ternyata benar gosip soal mereka yang pacaran diam-diam.

Itachi sebentar mengacuhkanku sementara dia ikut berbaur dengan teman-temannya. Aku bukannya merasa lega, justru malah gugup berada dalam situasi ini. Memang kami tak jadi berduaan tapi berada di tengah-tengah para senpai golongan elit ini membuatku canggung.

“Dia Haruno Sakura, adik kelas kita.” kata Itachi memperkenalkan diriku.

“Hoo~… ‘kouhai‘ kesayanganmu.” seru mereka sambil setengah bercanda.

“Salam kenal.” ucapku gugup.

Itachi merangkulku dan membawaku duduk di sofa. Beberapa dari mereka kemudian ikut nimbrung dan mengobrol.

“Wah, kau selalu dapat gadis yang manis ya.” kata Deidara.

Kouhai lagi, ckckck… senpai yang satu ini bikin iri.” timpal Tobi.

Itachi tertawa, “Hahaha, mungkin karena pesonaku.”

“Ish, sombong sekali kau!” balas Sasori. “Eh, Sakura-chan, kau mau tidak jadi pacarku?” Dia lantas mengambil tempat duduk di sebelahku. Reflek aku menjauh darinya yang coba merapat sementara aku masih dalam rangkulan Itachi. Meski pertanyaan barusan mungkin candaan tapi sikapnya menyebalkan sekali. “Mau ya?” tanyanya kembali. “Jangan berharap pada Itachi, lebih baik denganku saja.”

“Jangan bercanda kak, aku tak mau tertawa, hee~…” ucapku sambil terkekeh pelan.

“Wah, belum apa-apa aku sudah ditolak.” Sasori cemberut dan berikutnya jadi bahan ledekan yang lain.

Aku sesungguhnya tak ingin ikut tertawa. Situasi ini sangat tak menyenangkan. Aku sudah dengar sepak terjangnya Sasori sebagai si playboy ‘kalajengking merah’, tapi semenarik apapun dia menggodaku tentu aku tak berminat padanya. Aku kan suka pada Itachi. Tapi kenapa Itachi malah ikut-ikutan asyik menikmati.

“Abaikan saja, tapi kalau kau mau dengan Sasori juga boleh.” bisik Itachi padaku.

EH?!

Aku melohok mendengarnya dan balas tersenyum kaku. Bagaimana bisa dia bicara begitu? Meski kemudian dia menertawakan sikap seriusku dan bilang semua hanya bercanda tapi tetap saja rasanya aku seperti sudah dipermainkan. Kenapa aku merasa jadi tak nyaman? Tapi aku masih coba bertahan. Kurasa kalau aku ingin berada dekat dengan Itachi, aku harus lebih mengenalnya dan bisa bergaul dengan orang-orang ini.

“Kau sudah kenal mereka, kan?” tanya Itachi. Dia lalu memperkenalkan teman-temannya. “Dia Sasori, lalu Deidara, Hidan, Kakuzu. Terus Kisame, eh mana dia? Yang itu Tobi dan Zetsu. Yahiko dan Konan. Kami Akatsuki. Kau mungkin terkejut melihatnya. Imej kami di luar sekolah benar-benar berbeda.”

Aku hanya menarik bibirku untuk tersenyum dan mengangguk-angguk pelan, setuju dengan hal itu. Sebagai Dewan Siswa di sekolah, kedudukan Akatsuki lebih tinggi dari OSIS. Selain karena berprestasi, mereka adalah kumpulan orang-orang berlatar belakang keluarga terpandang. Itulah yang membuat mereka justru lebih berpengaruh di semua kegiatan dan klub-klub di sekolah. Selalu terlihat berwibawa dan bersikap terhormat. Sampai tak berani ada yang mengusiknya. Tapi tak kusangka mereka punya sisi nakal khas anak remaja normal. Atau mungkin selama ini aku terlalu berlebihan memandang mereka. Kau tak akan percaya kalau kau tak melihat kenyataan itu sendiri, kan?

Selama beberapa waktu kami asyik mengobrol. Walau aku sebenarnya lebih banyak diam dan ikut-ikutan tertawa saja. Sedikit ada perasaan ingin pulang saat kulihat jam menunjukkan hampir pukul tujuh malam. Tapi Itachi selalu berusaha membuatku tetap di sini.

“Santai saja. Kau bebas melakukan apapun. Bersenang-senanglah.” ucapnya.

“Ayo.” Konan lalu menarik tanganku, hendak mengajakku ikut menari saat musik disco menghentak mulai dimainkan.

“Tidak, aku disini saja.” tolakku.

“Ah, kau membosankan.” desisnya pelan tapi sambil tersenyum, walaupun terlihat sinis. “Ya sudah.” Dia lalu pergi sendiri ke tengah kumpulan orang-orang yang menari itu.

Rasanya seperti deja vu. Tentu karena baru malam minggu kemarin aku berada di pesta yang kurang lebih semeriah ini. Meski aku tak benar-benar bersenang-senang sekarang. Aku merasa asing. Sendirian. Padahal Itachi ada di sampingku kini, bukankah harusnya aku bahagia?

“Sakura.”

Aku tersentak mendapat panggilan itu. Saat aku menoleh kulihat wajah Itachi sudah berada dekat dengan wajahku. Sejak kapan?! Emerald-ku membulat dan aku membeku saat sebelah tangannya tiba-tiba menyentuh pipiku. Tangannya terasa dingin dan sedikit basah karena kutahu dia habis memegang gelas kristal minuman.

Itachi memiringkan kepalanya dan tersenyum lembut padaku, selembut sentuhan belaiannya. “Kau ternyata manis ya.”

Aku jadi berdebar-debar dibuatnya. Apa yang hendak dia lakukan padaku?!, “Itachi-senpai…” gumamku makin gugup saat dia perlahan mempersempit jarak antara kami.

“Sakura, boleh aku…” pintanya kian mendekat.

PZZT

Suasana mendadak hening. Suara musik berhenti terdengar, berganti keluhan orang-orang yang mempertanyakan ulah siapa ini. Dan semuanya memandang ke arah pintu ruangan yang terbuka, dimana sosok asing berdiri sambil memegang kabel amplifier yang sudah dicabutnya.

“Berisik! Tak bisakah aku mendapat ketenangan di rumah ini?” ucap orang itu dingin.

Teman-teman Itachi tampak jadi bersikap canggung sekarang, dan lelaki Uchiha di sampingku itu pun lekas berdiri. Aku ikut mengalihkan perhatianku turut melihat siapa sebenarnya yang datang. Lalu seketika seperti ada tombak yang terlempar tepat mengenai jantungku sebagai sasaran, aku tertohok jadinya saat kulihat siapa dia. Orang itu…

Deg

“Sasuke.” sebut Itachi, “Kau sudah pulang?” tanyanya ramah.

Tapi tak ada yang berubah dengan tampang stoic pemuda itu. Dia terdiam sementara menatap tajam selama mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Dan tiba saat onyx itu bersiborok dengan emerald-ku, aku seperti ditatap oleh ular besar yang siap memangsa. Tak bisa kupercaya aku melihatnya. Sungguh aku merasa kalau itu dia. Garis wajah tampan itu. Tatanan rambut anehnya. Orang itu, aku pernah bertemu dengannya. Meski ingatanku samar tentang kejadian di malam minggu kemarin, tapi entah kenapa aku merasa kalau memang dialah lelaki yang kemarin di LOVE Hotel!

Brak

Sasuke menghempaskan kabel amplifiernya dengan sedikit kasar seraya berlalu pergi.

“Ah, iya, iya, bubar, bubar semuanya. Pesta sudah selesai. Kita main kartu dan game seperti biasa saja ya.” ucap Itachi kemudian menyuruh teman-temannya tenang.

“Yah, gak asyik.” keluh yang lain.

“Boleh pakai musik tapi jangan terlalu keras, gak enak juga kan kalau sampai ganggu tetangga. Ayo, ayo, atau kalian memilih berpesta di rumah yang lain saja?” tawar Itachi.

“Malas nih, kita sudah terlanjur asyik di sini.” dengus Kisame.

“Ayolah, rese banget sih adikmu.” cibir Sasori.

“Adik?” ucapku tak percaya.

“Iya.” jawab Itachi sambil tersenyum, “Maaf untuk sikapnya yang tak sopan.”

“Dia adikmu?” tanyaku sekali lagi.

Itachi mengangguk-angguk, “Uchiha Sasuke. Memangnya kau tak kenal? Padahal kalian satu angkatan lho.”

Aku terperangah mendengarnya, kurasa itu cukup menjelaskan keberadaan dia di pesta Sai kemarin.

“Anak kelas 1-A. Mungkin karena terlalu menekan hawa keberadaannya, apa kau sampai tak mengenalnya? Kukira dia sepopuler aku pas kelas 1, haha.” canda Itachi.

Kelas 1-A berarti memang sekelas dengan Sai dan Naruto. Kelas yang letaknya di seberang gedung kelasku. Bayangan yang kulihat dari jendela pagi ini pun mungkin adalah dia. Tapi kenapa dia seolah menyembunyikan diri dariku? Atau aku yang selama ini tak menyadarinya? Meskipun tadi dia bersikap biasa saja saat kami bertemu, tapi bukan berarti dia sungguh-sungguh tak mengenalku.

“Jangan bilang setelah bertemu dengannya kau jadi jatuh cinta padanya, Sakura?” tanya Itachi sedikit menggodaku.

“Hah? Tidak. Tentu saja tidak.” sanggahku cepat. Dan memang kujawab dengan jujur.

“Syukurlah.”

Aku ikut tersenyum saat Itachi tersenyum padaku. Hanya saja tetap dalam hati ada perasaan yang mengganggu. Karena aku masih tak tahu apa yang terjadi denganku di hotel malam itu. Terlebih lagi yang bersamaku adalah adiknya Itachi. Pikiranku kini jadi dipenuhi dengan sosoknya.

Uchiha Sasuke.

“Permisi kak, aku mau ke toilet.”

“Oh, iya. Tempatnya di dekat ruang makan, belokan sebelum tangga ya.”

“He’em.”

Ya ampun, rasanya aku jadi sesak. Mau bernafas pun terasa berat. Aku tak bisa tenang. Meskipun ada kemungkinan salah orang tapi bagaimana kalau itu benar Sasuke? Gawat kalau sampai ketahuan. Aku tak bisa biarkan Itachi sampai mengetahui hal ini. Dia pasti berpikir macam-macam tentang diriku. Padahal tinggal sebentar lagi mungkin aku akan pacaran dengannya.

Sambil melamun, membasuh kedua tanganku di wastafel usai pergi ke toilet sebentar, aku terkejut saat kuangkat wajahku dan melihat bayangan di cermin tampak di belakangku berdiri sosoknya. Si Uchiha Sasuke itu, onyx kelamnya menatapku tajam. Aku lekas berbalik menghadapnya dan kulihat bibirnya tersungging, memperlihatkan senyuman tipis meremehkan. Mimpi burukku dimulai. Kurasa firasatku benar kalau memang dia orangnya.

“Jadi ternyata kau pacaran dengan kakakku?” tanyanya.

Aku katupkan bibirku, memilih untuk tak menjawab. Aku melenggang pergi mengacuhkannya, dan—”Kyaa… mau apa kau?!” pekikku saat Sasuke menarik tanganku dan mendorongku hingga merapat ke tembok. Dia menekanku. Aku hendak teriak tapi dengan cepat dia membekap mulutku dengan tangannya yang satu lagi.

“Sstt…” desisnya, “Sekarang Itachi-nii ada di ruang sebelah, memangnya kau mau kalau sampai ketahuan?!”

Aku memelototinya. Apa dia sedang mengancamku sekarang?!

“Ke—ketahuan juga memangnya kenapa?” tantangku saat dia akhirnya melepaskan tangannya dari mulutku, “Tak terjadi apa-apa antara kita kemarin.”

Sasuke terkekeh pelan, tampak geli mendengarnya. “Kau yakin tak terjadi sesuatu? Kau tak ingat?”

Ukh, dia tahu benar kelemahanku. Tapi aku tak akan takut menghadapinya. “Aku yakin. Meski aku mabuk, aku tahu kita tak… auch—” Aku terkejut saat Sasuke menarik paksa kerah kemeja seragamku dan menyingkapkannya untuk melihat jenjang leherku. Lekas buru-buru aku singkirkan tangannya dariku, “Apa yang kau lakukan?!” bentakku padanya.

“Bekasnya masih ada.”

Aku melohok mendengarnya. Dia tahu?! Dia tahu yang jadi kegelisahanku. Hal yang berkali-kali kuyakinkan dalam diri ‘tak apa-apa, tak terjadi apa-apa‘—tapi dia malah bertingkah seperti memang ada sesuatu yang terjadi. Aku menyadari ada tanda ruam kemerahan ini di jenjang leherku saat aku pulang ke rumah hari itu. Ini bekas seperti telah disentuh oleh sesuatu. Dan membayangkannya dia melakukan ini padaku membuatku merinding. Mustahil, apa sebenarnya malam itu aku dan dia sudah…

Tap

Sasuke mengetuk dahiku. Dia meletakkan sebelah tangannya diatas pucuk helaian merah mudaku. “Jangan menatapku seperti aku seorang penjahat.”

“Tapi kau melakukannya, kan?!” marahku padanya. Batinku terasa tersiksa. Aku sungguh ingin menangis sekarang. “Kiss mark ini…”

“Hn,” jawab Sasuke. Tapi tak kuduga tatapan kelam lelaki itu berubah teduh. Sesaat dia terdiam sementara tangannya membelai—mengacak-acak rambutku. Tampak seperti dia sedang memikirkan sesuatu, “Aku menandaimu karena kau tak seharusnya menjadi milik yang lain, Sakura.”

“A-pa?” Aku terperanjat mendengarnya, sama sekali tak mengerti. “Apa maksudmu?”

Sasuke hanya tersenyum tipis lantas menurunkan tangannya dari atas kepalaku. “Sampai sini dulu.” ucapnya sambil berlalu pergi meninggalkanku yang masih menatapnya penuh tanya. “Sampai nanti, Sakura. Mungkin kau akan ingat.”

Usai dia pergi, aku merosot jatuh ke lantai. Kakiku rasanya lemas. Jantungku berdebar-debar. Siapa dia? Siapa itu Uchiha Sasuke? Tanpa kusadari aku sudah ada dalam situasi membingungkan. Posisiku benar-benar dalam bahaya. Aku suka pada kakaknya tapi kenapa malah terlibat lebih jauh dengan adiknya?

.

.

.

TBC… Next to Chapter 4

.

.

.


Author Note:

Hihihihi… senang akhirnya bisa updet juga lanjutan cerita ini. Maaf ya klo dirasa lama. Tapi semoga ceritanya makin suka. Aku sendiri seneng karena Sakura akhirnya sudah mulai berinteraksi dengan Sasuke. Dan kira-kira ada apa ya dengan mereka sebenarnya?

Oh iya, ada yang tanya DAREKAGA apaan? Judul ini sebenarnya Dareka ga dalam bahasa jepang itu artinya ‘seseorang’, yang disini adalah orang yang dicari Sakura sebagai cintanya. Entah Sasuke atau Itachi, dia masih bingung gitu~…

Nah, lanjutannya ditunggu saja. Mungkin bakal updet nanti udah lebaran. Jadi jangan ngarep cepet-cepet, gomen 🙁 Makasih buat yang udah baca dan tinggalin jejak untuk chapter sebelumnya 🙂 Yang masih silent reader juga makasih ya, hayo komen juga dong, biar aku tahu kesan kamu setelah bacanya, hehe…

Seperti biasa, setelah ini masih ada side story.

Special Thanks to Reviewers:

Ayra Uzumaki, pipiey ao, yaumil kawaii, chii, Ainun, Uchiha Rien, Putri yuliani, Hatake Winda, qori, Rona_, remember, Nanda_Nabila, hanifah24, Fitria aisyah, RiZuKa, handa, Yutaka Ratna, minato nhk, Tifanny Melinda, mutia, 

*huaaa… banyak reader baru yang tinggalin jejak, makasih ya. Maaf klo ada yang terlewat. Terutama yang komen juga lewat BBM, FP, FB dan LINE, sorry ga bisa disebutkan satu-satu. Yang pasti kalian baik sekali mau berbagi kesan untuk fanfic gaje satu ini, hihihi… 

And

All of You Silent Readers


.

.

.

DAREKAGA

(Side Story)

.

.

“Sasuke! Kau sudah pulang? Sasuke!”

Berulang kali Itachi mengetuk pintu kamar itu namun sama sekali tak ada jawaban. Iseng dia memutar kenopnya dan ternyata terbuka. Tahu tak dikunci mungkin daritadi dia langsung saja masuk sendiri. Perlahan pemuda berambut raven panjang sepunggung itu melangkah masuk dan samar terdengar suara air shower mengalir dari arah kamar mandi. Pantas saja Sasuke tak menyahut saat dipanggil, mungkin dia sedang mandi—pikir Itachi.

Bosan menunggu, sebentar dia berkeliling dalam kamar itu tanpa maksud menerobos wilayah pribadi orang lain, meskipun itu kamar adiknya sendiri. Hanya sekedar melihat-lihat karena merasa belakangan ini hubungan mereka tak lagi seakrab dulu. Entah karena sedang masa puber atau ini yang disebut pemberontakan masa remaja, tapi Itachi tak mengerti ada apa dengan Sasuke sekarang. Adik lelaki kesayangannya itu tampak sering menghindari dan bersikap ketus padanya. Padahal seingatnya dia tak melakukan sesuatu yang membuat Sasuke kesal. Kalau sekedar iseng menggoda dan mengerjainya sih dari kecil juga paling hanya berantem, bertengkar kecil-kecil dan biasanya langsung akan baikan.

Melewati meja belajar, ada sesuatu yang menarik perhatian Itachi. Di atas meja tergeletak dua ponsel smartphone beda tipe.

“Hah, si baka otoutou itu beli hape baru?” Diambilnya ponsel asing yang tak pernah Itachi lihat sebelumnya. “Second ya?” Itachi amati ponsel itu sudah ada beberapa goresan. “Untuk apa dia punya dua hape segala.” pikirnya bingung. Baru saja hendak dia tekan tombol ON ponsel itu, tiba-tiba Sasuke dengan cepat menyambarnya.

“Jangan sentuh barang-barangku.” ucap pemuda itu.

Itachi nyengir, lantas tertawa kecil. “Kapan kau datang? Seram amat tiba-tiba muncul.” candanya.

Sasuke hanya mengerling menanggapinya, “Ada apa?” tanyanya sambil mengeringkan rambut ravennya yang basah usai keramas dengan handuk.

“Kapan kau pulang? Semalam kau menginap dimana? Kenapa kau pergi tanpa memberitahu orang rumah?” tanya Itachi seperti orang tua memarahi anak gadisnya yang suka keluyuran.

Tapi seperti biasa, Sasuke hanya menjawab seperlunya. “Hn.”

“Heh, jawab yang benar. Ada apa denganmu belakangan ini?” tanya Itachi mulai kesal.

“Apa urusanmu? Kau sendiri kemarin sibuk dengan geng orang-orang bodoh itu, kan?” balas Sasuke.

Itachi mengerjap beberapa kali, “Kau masih tak suka aku bergaul dengan Akatsuki?”

Sasuke hanya berdecih dan memilih menghindar, “Ah, sudahlah. Yang penting aku sudah pulang. Semalam aku juga ingin bersenang-senang. Aku menginap di rumah teman. Puas? Kalau tak ada urusan lagi, keluarlah kak.”

Melihat sikap Sasuke, Itachi mengerti adiknya ini sedang tak ingin diganggu. Meski dia ingin berada sedikit lebih lama tapi kalau dipaksa takutnya Sasuke malah berontak. “Baiklah, aku pergi.” Itachi mengalah. Sesaat langkahnya terhenti sebelum keluar dari kamar itu, “Heh, Sasuke…” Itachi kembali menoleh, “Kalau ada sesuatu, bicarakan saja denganku. Dan lain kali kita pergi main bersama ya?”

Ekspresi sang adik sedikit berubah saat mendengar tawaran itu, “Hn,” Tapi sebisa mungkin Sasuke redam perasaannya yang hampir meluap ingin dia tumpahkan. “Iya, kapan-kapan.”

“Sip,” Itachi tersenyum, “Jaa ne…” pamitnya sambil mengangkat sebelah tangan.

Sasuke menghela nafas panjang usai melihat Itachi pergi. Onyx-nya lantas bergulir memandang ponsel yang bukan miliknya dalam genggaman. Dinyalakannya tombol ON smartphone itu dan tampak pada wallpaper foto seorang gadis cantik berambut merah muda yang tersenyum, bergaya dengan mengangkat dua jarinya membentuk lambang ‘peace‘.

“Mana bisa aku bilang, kan?” gumam Sasuke. “Tentang dia…”

.

.

.

.

FuRaHEART

[230615]

Mind to Review?

110 Comments

Leave a Reply

Leave a Reply to ayu dwie Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *