DAREKAGA : Chapter 5

Cerita sebelumnya… Baca [Chap 1] [Chap 2] [Chap 3] [Chap 4]

-oOo-

Ada yang bilang di dunia ini tak ada yang namanya kebetulan, yang ada hanyalah takdir. Namun meski takdir disebut sebagai sesuatu yang tak terelakan, jalan hidup manusia tetap diri mereka sendirilah yang memilihnya. Aku selalu percaya, sejak pertama kali melihat Itachi, pertemuan kami berdua merupakan sebuah takdir.

Seandainya hari itu aku tak terlambat bangun tidur, aku akan tepat waktu mengejar bis menuju sekolah. Seandainya aku tak salah jalan, aku akan turun di halte dekat gerbang depan sekolah. Seandainya aku tak memilih jalan memutar, menyelinap masuk halaman belakang sekedar menghindari hukuman, mungkin aku tak akan sampai memanjat pagar kawat besi gedung olahraga. Rokku tak akan tersangkut, merusak sarang lebah dan dikejar-kejar serangga itu hingga kakiku terperosok jatuh ke dalam kolam renang. Tanpa sempat berteriak, terus meronta dalam gulungan terpal yang menjebak, saat kupikir aku akan mati, uluran tangan yang menarikku ke permukaan pasti adalah takdir yang masih mengizinkanku tetap hidup. Diujung kesadaranku, samar terlihat sosok seseorang. Meski tak sempat kukenali siapa dia, tapi aku tahu dialah yang sudah menolongku.

“Hei, kau tidak apa-apa?”

Begitu sadar ternyata aku sudah dirawat di ruang kesehatan sekolah. Apa itu suatu kebetulan bila yang kulihat saat aku membuka mataku adalah Itachi? Aku melihat tatapannya persis seperti tatapan orang itu. Seseorang yang terjun ke dalam air dan menarikku kembali ke permukaan. Sang Pangeran Penyelamat-ku.

“Jadi kau yang sudah menolongku?” tanyaku pada Itachi, kembali memastikan. Lelaki itu balas tersenyum lembut dan tampak lega. Aku yakin pasti benar dia, “Terima kasih.” ucapku tulus.

Begitulah takdir kami bergulir seperti seharusnya. Tak ada orang lain antara aku dan Itachi. Tak ada dia yang tiba-tiba muncul membantah keyakinanku selama ini dengan segala kebetulan yang coba diperlihatkannya padaku. Dan tak seharusnya pula aku bimbang pada sosok yang hanya sebatas ‘kebetulan’. Karena takdirku tak mungkin tertukar.

.

.

.

-o0o-

DAREKAGA : Chapter 5

(Kebetulan Dia)

Sasuke-Sakura

Story by FuRaHEART

Disclaimer:

Sasuke Uchiha x Sakura Haruno x Itachi Uchiha and all characters of NARUTO (c) MASASHI KISHIMOTO

fanart / illustration are NOT mine

Rate: Teen+
Genre: Romance, Hurt/Comfort
Length:  8.368 words
WARNING: AU, OOC, (miss)typo, alur GaJe cerita se-mau-gue

Happy Reading

-o0o-

.

.

.

“SAKURAAAAA, HEIIIII!”

Reflek aku berbalik dan menengadahkan kepalaku ke arah balkon lantai tiga gedung sekolah. Kulihat empat orang anggota Akatsuki ada di sana termasuk seorang pria tampan dengan wajah ceria melambai-lambaikan tangannya padaku. Senyumku seketika mekar dan balas melambaikan tangan pula padanya.

“Sini, sini, cepat sini!” ajaknya, “Cepat kemari, Sakura, sekarang!”

“Kau dipanggil kak Itachi?” Ino dan Hinata yang juga sedang berjalan bersamaku tampak keheranan, “Sejak kapan kau jadi akrab dengan anggota Akatsuki?”

Aku hanya terkekeh dan mengedipkan sebelah mataku. Tak ada waktu untuk menjelaskan pada mereka. Setelah aku menyuruh keduanya pergi duluan ke kantin di jam istirahat ini, aku lekas berlari ke tempat Itachi. Aku senang sekaligus penasaran, untuk apa dia memanggilku terburu-buru dan bersemangat begitu?

“Eh, kau betulan kemari? Hahahaha…” Itachi tertawa-tawa saat melihatku menghampirinya, lain dengan Sasori, Deidara dan Kisame yang mendengus kesal.

“Ah sial, aku jadi kalah.” ucap Kisame.

“Kenapa kau harus datang secepat ini sih!?” gerutu Sasori.

“Dasar cewek gampangan.” sindir Deidara.

“Lho?”

“Hahaha, kubilang juga apa, dia pasti datang,” Itachi merangkulku yang masih kebingungan dengan sebelah tangan. Sementara itu, “ayo cepat bayar!” pintanya pada ketiga temannya itu sambil menengadahkan tangan. Dengan kesal mereka pun mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompet mereka sambil mengumpat.

Bayar!?

Mataku terbelalak dan senyum bermekaran diwajahku pun seketika layu saat aku menyadari apa yang sebenarnya terjadi.

“Maaf Sakura, aku memanggilmu tadi cuma bercanda. Kami taruhan, apa kau akan langsung datang kemari kurang dari 5 menit setelah kupanggil barusan, hahaha… tak kusangka aku yang menang,” kata Itachi, “kau pasti berlari kencang untuk sampai kemari. Menaiki anak tangga ke lantai tiga tentu melelahkan, maaf ya, hehe.”

Sewotan besar muncul di jidat lebarku. Lelah? Tentu saja. Bahkan sekarang nafasku pun masih terengah dan rasanya berat ketika aku tahu kenyataan ini. Jadi mereka sedang bertaruh? Itachi mempermainkanku? Orang-orang ini sungguh kekanak-kanakan. Kutahan emosiku dalam kepalan tangan di sisi jahitan samping rok seragamku. Untung saja aku masih sabar, kalau tidak sudah kulesatkan shanaroo pada wajah mereka masing-masing. Sebisa mungkin aku coba untuk tetap tersenyum seperti biasa namun sedikit perasaan kesal masih terbersit di hati. “Oh, jadi gitu, kukira ada apa. Ya sudah, kalau begitu aku pergi, permisi…” ucapku ketus sembari lekas berbalik.

“Eh, tunggu dulu!” Tak kusangka Itachi malah menahan bahuku. Tawa renyahnya yang tadi terdengar gembira karena menang taruhan menghilang, berganti dengan cengiran dan ekspresi tak enak hati. Sepertinya dia menyadari perasaanku dan merasa bersalah, “Karena aku sudah menang, kutraktir kau hari ini ya?” Dia perlihatkan lembaran uang hasil taruhannya sambil dikipas-kipas segala, “Semua ini juga berkat dirimu, Sakura. Yuk, makan siang bersamaku sekarang.”

“Eh!?”

Ya ampun, sepertinya benar apa kata Deidara, aku ini memang cewek gampangan. Gampang terhanyut rayuan dan luluh pada senyum di wajah tampan sang Uchiha. Aku sampai speechless dan tak berani menolak saat Itachi begitu saja menarikku dan kami berjalan sambil bergandengan tangan.

KYAAA, AKU BAHAGIAAAAAA!, jeritku dalam hati.

Sepanjang jalan menuju kantin aku bisa merasakan tatapan semua orang tertuju pada kami. Banyak anak gadis berbagai angkatan tampak gregetan dan terbelalak menatapku. Mereka pasti iri. Itu sudah pasti, secara Uchiha Itachi si Pangeran Sekolah memang populer dan punya banyak fans. Tapi Itachi tak se-playboy kebanyakan anggota Akatsuki lainnya yang sering kelihatan gonta-ganti pasangan. Jadi bisa dibilang momen dia jalan-jalan dengan cewek di sekolah itu langka. Dan bayangkan posisiku kini terang-terangan berjalan bersamanya tentu jadi pusat perhatian. Mungkin kami tampak seperti pasangan kekasih, hihihi. Asyik.

Setelah sampai di kantin dan mengambil menu paket makanan kesukaan, kami berdua duduk saling berhadapan di satu meja. Rasanya seperti sedang kencan di restoran cepat saji. Jujur, baru pertama kali ini aku makan berdua bersama orang yang kusukai. Aku gugup tapi berusaha menahan diri, menggulum senyumku yang selalu ingin merekah mengekspresikan kebahagiaanku. Ini benar-benar saat yang menyenangkan. Aku harap tak ada yang mengganggu kami. Ya, kuharap begitu. Tapi baru saja kami hendak menikmati acara romantis makan siang ini, gangguan tak terduga pun menghampiri.

“Apa yang masih kau lakukan di sini?” tanya Yahiko, kebetulan lewat bersama Konan dan Zetsu, “kita akan ada rapat dengan OSIS sekarang, ayo siap-siap.”

“Eh, serius?” Itachi tampak terkejut dan langsung berdiri.

Aku juga sama tak kalah terkejut dengannya. Berarti kalau dia pergi aku bakal ditinggal sendiri dong.

“Waduh, gimana nih…” Lelaki berkuncir raven itu tampak kebingungan dan tersenyum padaku, tampak serba salah. “Maaf ya Sakura,” Aku menahan nafas sesaat melihatnya bersiap pamit, “lain kali aku ganti.” lanjutnya.

Tuh kan, kenapa selalu saja begini?, dengusku dalam hati. “Iya, tak apa-apa kok kak, namanya juga darurat.” balasku sambil tersenyum pahit.

“Tapi sayang juga nih makanannya jadi mubazir,” manik onyx itu sejenak menatap nampan makanannya yang sama sekali belum tersentuh kemudian kembali menatapku, “kau sanggup habiskan semuanya sendiri?”

“Apa?” Sebelah alisku terangkat. Buset, makan dua porsi dong!?

“Eh, tidak, tidak, tunggu bentar!” Itachi tiba-tiba berulah lagi, sepertinya dia baru saja melihat sesuatu di kantin, “Sasukeeee!”

Aku bergidik mendengar nama itu disebut dan menoleh mengikuti arah pandangnya. Aku punya firasat buruk soal ini. Jangan-jangan…

Karena tak mau menghampiri sang kakak, Itachi lekas beranjak menariknya.

“Apa sih, baka Aniki?” gerutu si bungsu Uchiha itu sembari melepaskan rangkulan tangan Itachi yang melingkar di bahunya.

“Kau sudah makan?” tanya Itachi.

“Baru mau pesan,” kata Sasuke, “dan kau malah menyeretku kemari, hah!?”

“Bagus, gak usah pesan. Kau makan punyaku, ya?”

“Apa?” cengang Sasuke.

Dan ‘APA!?‘ cengangku juga.

Dengan sedikit memaksa Itachi mendorong Sasuke duduk di bekas kursinya—duduk di hadapanku. “Aku yang traktir. Kau juga bisa hemat uang jajanmu hari ini,” bujuk Itachi, “dan tolong aku sekali lagi, temani Sakura makan di sini ya?”

Aku tak habis pikir, semakin miris dalam hati saat mendengarnya, bagaimana bisa dia melakukan ini lagi padaku!?, jeritku frustasi.

“Tak apa-apa kan, Sakura? Kau bisa makan bersama Sasuke.” ucap Itachi padaku, tampangnya terlihat meyakinkan.

“Eh, tunggu, kak. Tapi aku…”

“Ayo, cepat!” sela Yahiko memerintahkan Itachi. Anggota elite sekolah itu tampak kesal menunggu daritadi.

“Iya, iya, ini juga mau,” ujar Itachi, membuatku jadi tak bisa berkata apa-apa lagi. Lelaki itu keburu pergi. Dengan wajah tanpa dosa dia malah tersenyum pada kami, “Sudah ya, aku tinggal. Selamat menikmati makan siang kalian berdua, jya!” ucapnya terdengar menggelikan sambil memberi hormat dua jari dan mengedipkan sebelah mata. Ya, ini menggelikan. Karena dia telah menjebakku kembali bersama Sasuke.

“Aaaahhhh, arrgghhh…” gerutuku sambil menekan kepala merah mudaku yang jadi terasa pening sekarang, “Apa-apaan sih…” aku tak habis pikir tentang semua ini.

“Tch,” Perhatianku teralih mendengar seseorang berdecih. Aku angkat pandanganku menatap lelaki yang tengah duduk sambil melipat kedua tangan di dadanya itu, “kau ini benar-benar menyedihkan ya,” ucap Sasuke sambil tersenyum miring, “nikmati saja Sakura, sepertinya kakakku ingin kita bersama.”

Aku jadi merasa tersinggung mendengarnya. Lekas saja aku berdiri sembari menggebrak meja, “Yang benar saja, aku tak bisa menikmatinya, nafsu makanku langsung hilang begitu melihatmu!” ucapku ketus. Kemudian segera saja aku angkat kaki dari sana.

Menyebalkan! Kenapa harus selalu dia sih!?, rutukku dalam hati. Sumpah, aku tak ingin berurusan dengan makhluk bernama Uchiha Sasuke itu lagi!

JDERRR

Tapi entah kebetulan atau takdir, sesuatu yang tak terlihat seolah mengikat kami berdua kian erat. Karena di hari lainnya…

Langkahku sejenak terhenti, aku terpaku menatap Ino dan Hinata yang sudah duduk di salah satu meja kantin. Mereka melambai-lambaikan tangan padaku menyuruhku cepat menghampiri. Sekilas aku berdecih, dalam hati jujur merasa enggan. Kenapa mereka harus ada di sana? Apa tak ada tempat lain yang lebih bagus untuk kita merumpi seperti biasa? Sungguh bukannya aku tak mau untuk ikut makan siang bersama mereka sekarang kalau saja tak ada tambahan beberapa orang lain di sana. Bukan karena ada pacarnya Ino, si Sai itu bersama kecengannya Hinata, si Naruto itu tapi lebih tepatnya pada si Pantat Ayam menyebalkan yang juga ikut nongkrong di sana. Sial!

“Sakura, ayo cepat sini, duduk di sini!” Hinata menepuk-nepuk bangku kosong di sebelahnya.

Aku yang sudah mendekat sebentar tersenyum kaku dan menghela nafas berat. “Aku duduk di sebelah sana saja ya, rasanya mengganggu kalau di sini, hehe.” ucapku beralasan sembari hendak melimpir ke meja kosong lain di kantin.

“Hei, siapa yang mengganggu? Sikapmu aneh sekali, Sakura.” balas Ino dan lekas beranjak dari bangkunya lalu menarikku duduk di kursi. Nampan makan siangku sampai bergetar membentur meja karena sikapnya yang tiba-tiba.

“Habisnya kalian kan sedang double date, untuk apa ada aku? Lebih baik aku pergi.” Aku kembali menolak ajakannya, tapi gadis itu cepat menyela.

“Apa sih, justru kalau kau tak ada, tak akan ramai. Kalau memang mengganggu, kami juga tak akan sengaja mengajakmu tadi.”

“Ooh jadi gitu…” Aku kembungkan sebelah pipiku, pura-pura cemberut. “Bisa-bisanya kalian, mentang-mentang sudah pada punya pacar.” dengusku.

“Hahaha, ya, makanya kau tak perlu sungkan. Toh di sini juga ada Sasuke.”

Deg

Sesuatu seakan menikam dadaku saat mendengar satu nama itu disebut. Aku refleks melirik ke arah orang yang dimaksud dan cepat berpaling saat tak sengaja mata kami bersiborok.

“Kasihan dia kalau jadi kambing congek sendirian, hahaha,” canda Ino sambil tertawa, “eh, tapi kau sudah kenal dengan Sasuke, kan?” tanyanya kemudian saat melihatku masih terdiam.

“Err, ehmm,…” Aku hanya tersenyum kaku, bingung bagaimana mengatakannya.

“Mustahil enggak kenal lah, pasti tahu,” Naruto ikut bicara, “waktu pesta Sai kemarin kalian sudah kenalan dan pulang sama-sama, kan?”

“TIDAK… / Tidak.” jawabku dan Sasuke nyaris bersamaan. Bikin semua orang keheranan.

“Eh, kok bisa?” tanya Sai pada Sasuke, “Kusuruh kau mengantarkannya, kan? Sakura mabuk berat mana bisa dia pulang sendiri.”

“Justru karena mabuk, makanya kami berdua…” jawab Sasuke.

“Itu tidak penting!” sentakku cepat menyela sebelum dia bicara macam-macam, “aku tak mau membahasnya, kumohon, kalau kita mau makan ya makan saja. Jangan banyak omong!” Aku lekas duduk di bangkuku dan mematahkan sumpit kayu sekali pakai, lalu tanpa basa-basi menyantap menu makan siangku.

“Ah, ha ha ha… iya juga sih,” Ino dan Hinata saling berpandangan, sepertinya mereka menyadari perubahan mood-ku dan tampak tak enak bila masih diteruskan. “waktu istirahat juga sebentar lagi, gawat kalau kita tak cepat menghabiskannya, hehe.”

“Diluar dugaan ternyata makanmu lahap juga, padahal kau pernah bilang jadi tak bernafsu bila melihatku.”

Bhuuuh… Nyaris saja aku menyemburkan makananku mendengar sindiran Sasuke barusan. Aku angkat pandanganku, menatap tajam onyxnya, “Kau mau coba ini terbang menusuk kedua matamu, hah!?” desisku sembari mengacungkan sumpit pada Sasuke.

“Eh, hei, kenapa kalian tiba-tiba jadi bertengkar?” heran Hinata.

“Sudahlah, Teme, jangan ganggu dia,” Naruto coba menenangkan kembali suasana, “maaf ya Sakura, Sasuke ini memang rada-rada…”

“Sudah cukup, ayo kita makan.” kata Ino.

Itadakimasu.”

Syukurlah setelahnya suasana kembali santai. Berisik dengan canda dan obrolan mereka, minus aku dan Sasuke tentunya. Maaf, ucapku dalam hati. Aku sadar aku sudah bersikap kasar barusan. Tapi aku memang merasa tak nyaman dekat dengan orang itu. Aku hanya ingin cepat-cepat pergi dari sini.

“Hn.”

Karena sekilas melihat dia tersenyum tipis dengan onyx kelamnya yang menatapku penuh arti, aku merasa seolah diriku tengah dilahapnya perlahan-lahan.

Hari-hari terus berlanjut. Setelah dua sahabatku berpacaran dengan dua sahabatnya, aku bisa menduga kalau kejadian serupa pasti akan terjadi lagi. Mau tak mau belakangan ini aku jadi sering bertemu dengan Sasuke. Kami berdua memang tak banyak bicara dan hanya sekedar ikut-ikutan kemana dua pasangan itu pergi. Meski aku masih bisa menolak ajakan mereka, tapi terkadang aku sama sekali tak bisa menghindar. Yah, tak hanya sekedar makan siang bersama atau pergi berjalan-jalan sepulang sekolah, tapi juga saat tak sengaja kami berpapasan di lorong kelas dan jadinya malah mengobrol.

Setiap kali kami bertemu, aku selalu merasa Sasuke adalah ancaman. Dia selalu datang untuk menggangguku, memberikanku rasa tak nyaman, memancingku dengan kegelisahan. Tapi di sisi lain dia seakan sengaja membuatku penasaran. Dia mungkin tahu aku tak akan berani melabrak, bertanya langsung padanya atau bersikap balik menantangnya bila di hadapan teman-teman kami. Karena jujur aku lebih suka memilih diam dan enggan meladeninya. Aku hanya tak ingin mengingat perbuatan jahatnya padaku, tapi bukan berarti aku sudah melupakan apa yang pernah dia lakukan.

Seperti siang hari itu, mungkin masih ada sedikit waktu sebelum bel masuk jam istirahat berbunyi. Sehabis dari kantin kami asyik mengobrol sepanjang jalan menuju kelas sembari makan camilan. Tiba-tiba saja Naruto seenaknya menyeruput minuman milik Hinata dan…

“Eh, itu ciuman gak langsung, kan? Cie cie…” Ino langsung menggoda pasangan baru itu sampai bikin wajah Hinata memerah bak kepiting rebus, “Jangan-jangan ciuman langsungnya juga kalian udah pernah?”

Seketika saja arah pembicaraan kami jadi membahas soal ciuman. Mengingat NaruHina belum lama jadian, bisa dibilang mereka sering jadi korban bully SaiIno yang sudah lebih dahulu menjalin kasih. Lalu aku yang masih jomblo biasanya hanya ikut tertawa hambar. Sebenarnya aku sendiri kadang tak terlalu larut dalam obrolan mereka. Malah aku merasa tak ada hubungannya. Sempat aku bertanya-tanya apa pentingnya kehadiranku sementara mereka bisa saja asyik berempat. Tapi aku mengerti, tujuan Ino dan Hinata masih selalu mengajakku kemana-mana mungkin karena merasa tak enak bila aku ditinggal sendiri sementara mereka asyik pacaran.

“Lalu kalau kalian berdua bagaimana?”

Aku terpaku tiba-tiba ditanyai seperti itu oleh mereka.

“Sudah pernah ciuman?” Dengan frontal Sai kembali memperjelas maksud pertanyaannya.

“Ka-kami berdua maksudmuuh?” balasku dengan suara melengking aneh saking gugupnya. Aku dan Sasuke saling berpandangan. Sesuatu menggetarkan dadaku. Pertanyaan barusan tentu saja membuka kembali kenangan yang berusaha kukubur dalam-dalam. Saat di tempat karaoke Sasuke pernah seenaknya mencumbuku. Kalau kuingat kembali, jantungku jadi berdebar kencang dan bibirku terasa kaku.

“Ya bukan antara kalian berdua juga sih, hehe…” jelas Sai sambil tersenyum, “mungkin dengan orang lain.”

“Tidak… / Pernah…” jawabku dan Sasuke berbarengan. Aku sontak melotot padanya. Apa dia bermaksud menceritakan kebenarannya? Aib yang selama ini kusimpan rapat-rapat akan terbongkar?

“Wah, dengan siapa Teme?” Naruto merangkul bahu Sasuke sok akrab, “Cepat katakan siapa orangnya?”

Aku semakin berdebar-debar melihat bibir di wajah tampan itu tersungging sementara onyx-nya menatap lurus padaku. Sedikit aku menggeleng, seolah memohon padanya untuk tak bicara.

“Rahasia.” jawab Sasuke datar.

Batinku mencelos mendengarnya. Seketika lega.

“Ah, pelit, kau tak berani mengatakannya.” Naruto cemberut.

“Hn.”

“Tapi kau bohong, kan?” Ino tiba-tiba mencolek pinggangku, “Aku tahu bibirmu sudah tak perawan lagi.”

“INOOOO… Sembarangan kau bicara!” Aku memelototinya.

“Wah, benarkah? Tadi kau jawab tidak, yang benar yang mana?” Naruto kembali kepo.

“Itu lho, bibirmu sudah tersentuh oleh Pangeran Penyelamat impianmu itu, kan?”

“Pangeran Penyelamat Impian? Hahaha…” Naruto terbahak, “Apa ada orang dengan panggilan senorak itu?”

“Tapi bagi Sakura itu sangat berarti,” ujar Hinata, “orang itu rela mempertaruhkan nyawanya demi menyelamatkan Sakura.”

“Kejadian waktu Sakura tenggelam di kolam renang sekolah pas tahun pertama yang waktu itu kau ceritakan padaku?” tanya Sai pada Ino. Gadis pirang berkuncir ekor kuda itu mengangguk, “Hanya CPR saja apa masih disebut ciuman? Itu sekedar pertolongan pertama, kan?” lanjut Sai.

“Tapi berkesan karena bisa dibilang dia juga cinta pertama Sakura.” Ino menambahkan.

“Oh ya? Apa tokoh fiksi seperti itu benar-benar ada?”

“Tentu saja ada,” jawabku bersemangat. Teringat pada Itachi, refleks aku tersenyum, “aku kan sudah menemukannya.”

“Siapa?” tanya Sasuke.

“Itu…” Aku angkat pandanganku dan terpaku. Aku ingin bilang dengan tegas ke hadapannya dan berterus terang tentang Itachi juga pada yang lain, tapi mendadak muncul sensasi aneh yang terasa menggelitik dadaku saat melihatnya.

“Siapa orang itu?” Sasuke kembali bertanya.

“Itu bukan urusanmu, bodoh! Aku tak akan mengatakannya.” jawabku dengan suara keras. Akhirnya aku malah menolak bicara.

“Yah, apaan, kelihatan banget bohongnya.” cibir mereka, kemudian tertawa.

“Aku tak bohong,” bantahku yakin, “lihat saja nanti, akan kutunjukkan pada kalian kalau aku sudah berhasil pacaran dengannya.”

“Hahaha… ya, kami sangat menantikannya, Sakura.” kata mereka.

“Kalau kau Sasuke, apa ada orang yang kau sukai sekarang?” tanya Ino.

“Hn,” senyuman tipis tertoreh di wajah tampannya, onyx itu bergulir menatapku. Sasuke tampak mengelus-elus batang lehernya, “daripada suka mungkin disebutnya lebih pada orang yang ingin kumiliki.”

Deg

Getaran itu kembali terasa saat kupikir dia barusan seperti sedang membicarakanku secara tak langsung. Hahaha, tidak! Mustahil, dalam hati aku tertawa, lekas mengenyahkan pikiran konyol itu. Mungkin yang Sasuke maksud bukan aku. Lagipula kalau pun benar, dia itu bukan siapa-siapa. Sudah ada orang lain yang kucintai selama ini. Jadi seharusnya aku tak perlu sampai gelisah meski dalam dadaku kini jadi berdebar-debar.

Ino dan Hinata pernah bertanya padaku mengapa aku tampak tak menyukai Sasuke dan tak mencoba untuk menyukainya. Aku tahu sebenarnya ada niat mereka yang ingin menjodohkanku dengan Sasuke. Ino sering bilang, “Padahal lebih asyik kalau kita bisa betulan triple date, ya.” atau Hinata yang bilang, “Sebenarnya kau cocok sekali lho sama Sasuke.” Tapi kuyakinkan diriku untuk selalu menolaknya. Aku merasa tak pantas menyukai lelaki itu. Tentu saja alasan utama karena aku telah menyukai Uchiha lain. Dan itu adalah Itachi, kakak kandungnya Sasuke. Jadi bagaimana mungkin aku biarkan diriku terjebak diantara keduanya. Yah, walau samar-samar sepertinya aku memang sudah terjebak. Habisnya terkadang aku merasa Sasuke seolah menyimpan sesuatu tentang diriku. Di satu sisi aku penasaran tapi di sisi lain aku juga takut mengetahui kebenaran.

Suasana gedung olahraga hari ini tampak lebih ramai dari biasanya. Itu karena di luar sedang turun hujan dan lapangan sepak bola tak bisa digunakan. Guy-sensei—guru olahraga kami terpaksa menggabungkan PE kelas A dan F. Ino dan Hinata tampak senang dengan situasi ini. Mereka jadi bisa melihat aksi pacar mereka masing-masing dalam pertandingan basket. Belasan siswi lainnya pun bersorak dan menjerit histeris saat mereka menyemangati anak cowok yang main. Aku tak menyangka ada juga penggemar si Uchiha bungsu itu di kelasku. Ternyata dia cukup populer.

Kukencangkan tali sepatuku dan kuikat rambutku ke belakang agar terasa lebih leluasa. Aku bersiap turun ke lapangan saat giliran anak perempuan main. Aku cukup mahir berolahraga, termasuk basket, jadi tak perlu khawatir akan mempermalukan diriku bila bertanding dengan anak kelas lain. Dan terbukti di quarter pertama kelas kami unggul 10 poin. Tapi di quarter kedua kami mulai kewalahan. Mereka berhasil mengejar dan aku yang dijaga ketat oleh beberapa pemain sekaligus kesulitan membalikkan keadaan.

“Sial!” dengusku ketika lagi-lagi bolaku direbut. Aku cepat memutar balik dan mengejar. Tapi sayang mereka berhasil mencuri poin lagi.

Bola kini ada di tangan Ino. Dia mendribelnya seraya berlari ke sisi kiri dan cepat mengopernya sebelum direbut. Tayuya berhasil menangkapnya dan membawa bola semakin dekat dengan ring. Dia bersiap melompat untuk mencetak angka tapi tiba-tiba Temari muncul melecutkan tangannya hingga bola gagal masuk. Pemain andalan tim kelas lawan itu merebut bola dan menggiring kami untuk balas mengejarnya. Dengan cekatan Hinata memblok lawan, kini bola ada di tangannya dan sebelum direbut kembali, cepat-cepat dia oper padaku. Aku segera berlari ke daerah lawan. Pandanganku tertuju pada ring. Bagaimanapun juga aku harus berhasil mencetak poin atau kami akan kalah. Seorang lawan terus menempel padaku, berusaha merebut bola. Tapi aku berhasil menghindarinya dan sudah sampai di posisi bagus untuk menembak. Aku berhenti dan bersiap melompat sembari melecutkan tanganku. Ini sempurna. Sebentar lagi pasti bisa masuk. Aku pasti bisa…

JDUG

Krek

“SAKURAAAA!”

Kejadiannya begitu cepat, tahu-tahu aku sudah jatuh dan terbaring di lapangan. Peluit wasit terdengar menghentikan sejenak pertandingan. Teman-temanku pun langsung datang mengerumuni.

“Kau tak apa-apa, Sakura?” tanya Hinata cemas, dia membantuku perlahan bangkit ke posisi duduk.

Aku menggeleng dan menyentuh kepalaku yang jadi sedikit pusing. Sepertinya ini akibat tadi jatuh membentur lantai. Kurasakan hidungku ngilu dan…

Oh my god.” Ino melohok melihatnya. Ternyata aku sampai mimisan. Jadi benar ya tadi juga aku kena sikut pemain lawan.

Anak perempuan kelas kami langsung pada ribut, mengumpat dan menyalahkan tim lawan. Aku pun ingin marah saat adu mulut terjadi, tapi kuabaikan dulu hal itu, karena sepertinya lukaku tak hanya ini.

“Kau masih bisa main?” tanya Tayuya.

Aku mengangguk dan mencoba berdiri, “Aaahh… issshhh…” ringisku, langsung kembali terduduk. Pergelangan kakiku sakit sekali. Ternyata aku juga terkilir. Sial.

“Bagaimana ini? Panggil Guy-sensei sekarang!” teriak Ino, “Cepat suruh kemari,” karena yang kami tahu guru ber-jersey hijau ketat itu tadi keluar untuk menyelesaikan tantangan mengelilingi sekolah dengan kedua tangan di bawah melawan Kakashi-sensei, “atau siapa saja lah, anak cowok, hei, anak cowok, bantuin dong!”

Hup

Tanpa disadari entah darimana dia datang, di tengah kepanikan itu tiba-tiba Sasuke sudah muncul dan lekas memangkuku ala bridal style.

“Sasuke-kun?!”

Banyak dari kami melohok menatapnya, temasuk aku.

“He-he-hei, apa-apaan ini, turunkan aku!” Aku merasa malu jadi pusat perhatian sekarang. Malu dia melakukan hal ini padaku. Padahal kupikir tadi mungkin aku hanya akan dibopong orang dengan bahu menuju ruang kesehatan, bukan diperlakukan bak tuan putri begini.

“Diam. Jangan banyak bergerak. Kau mau lukamu tambah parah?” desisnya datar.

Aku coba berontak tapi takut juga saat aku hampir terjatuh dari pangkuannya. Refleks aku kalungkan kedua lenganku melingkar di lehernya. Sejenak kami bertatapan dan hawa panas seperti meniup wajahku. Entah kenapa aku jadi gugup. Takut ada semburat merah bodoh muncul di kedua belah pipiku misalnya. Tidak. Aku lekas tersadar dan palingkan wajahku. Posisi ini memaksaku bersandar pada dada bidangnya. Tercium sedikit wangi cologne bercampur keringat dari pakaiannya. Ini menjijikan tapi juga terasa nyaman. Kami tak banyak bicara selama dalam perjalanan menuju ruang kesehatan. Aku bisa mendengar suara detak jantungnya berpadu dengan suara detak jantungku. Dan aku tak mengerti mengapa ini terasa seperti tak asing bagiku.

Sampai di ruang kesehatan, Shizune-sensei ternyata tak ada. Kami tak tahu kemana dia pergi. Sasuke mendudukanku selonjoran di atas ranjang sementara dia berinisiatif sendiri mengobatiku. Khawatir hidungku masih berdarah, dia menyumbatnya dengan gulungan kain kasa kecil. Sebentar dia berlari pergi keluar ruangan dan meninggalkanku seorang diri. Aku cukup terkejut saat melihatnya kembali membawa sekaleng jus dingin dan meletakkannya di persendian kakiku yang terkilir sebagai pengganti kompres es. Melihat punggung lelaki yang kini tengah mencari perban di lemari obat itu, sejenak kuperhatikan, tak bisa kupungkiri adanya kebaikan yang kudapatkan darinya.

“Hei, aku…”

“Perban elastisnya tak ada,” ucap Sasuke menyela perkataanku, “sepertinya ditaruh di lemari ini,” dia guncangkan pintu lemari yang terkunci, “mau tak mau kita harus menunggu Shizune-sensei.”

Aku hanya mengangguk. Kuurungkan niatku yang ingin mengatakan sesuatu padanya tadi.

“Kau sudah tidak apa-apa? Masih sakit?” tanyanya seraya mendekat dan duduk di ranjang samping tempat tidurku.

“Tidak,” aku menggeleng dan tersenyum, “maaf merepotkan, kau boleh pergi sekarang. Aku bisa menunggu sensei sendirian di sini.”

Sasuke menguap lebar, sedikit meregangkan badan dan malah berbaring tidur di atas ranjang, “Ada kesempatan untukku bolos, kenapa aku harus repot-repot kembali ke kelas sekarang.” ujarnya.

“Kau ini, dasar… jadi ini tujuanmu membantuku?” dengusku tak percaya.

Sasuke tak membalas, dia tutupi matanya dengan sebelah tangan, sepertinya benar-benar mencoba untuk tidur.

“Lho, ada pasien ternyata,” Tak lama Shizune-sensei datang dan terkejut saat melihatku, “apa yang terjadi?”

“Terkilir saat pelajaran olahraga.” jawabku sambil terkekeh.

“Waduh, maaf ya tadi aku keluar sebentar,” ucapnya tampak bersalah. Dia lalu mendekat dan melihat kondisiku, “sepertinya sudah diberi pertolongan pertama. Bagus…” Guru muda cantik berambut pendek itu kini mengambil alih untuk mengobatiku. Dia keluarkan ethylchloride spray dan perban elastis yang tadi kami cari dari lemari yang terkunci. Sekilas dia melihat ke arah Sasuke, “Anak ini sakit juga?” tanyanya padaku.

Aku hanya nyengir sambil mengendikkan bahu, “Mungkin hanya kelelahan setelah berolahraga, bu.”

Mata Shizune-sensei terpicing, tampak ragu. Tadinya dia mau bangunkan, tapi tak jadi, “Akan kuusir dia di jam pelajaran keenam bila memang tak sakit.” Shizune pun menutup gorden pembatas antara tempatku dan Sasuke, lalu mulai mengobatiku.

Kakiku kini sudah diperban dan diberi bantalan di bawahnya untuk mengurangi pembengkakan. Aku diizinkan untuk pulang atau beristirahat di ruangan ini sampai jam pelajaran terakhir, tapi kubilang mungkin aku akan kembali ke kelas nanti setelah jam istirahat, toh lukaku juga tak terlalu parah. Menurutnya cederaku bisa sembuh sekitar sebulan atau lebih cepat kalau aku menjaga kesehatanku dan tak banyak membebani kaki kiriku. Sementara hal seperti berjalan jauh, berlari dan olahraga berat dilarang. Terakhir dia memberiku analgesik dan menyuruhku beristirahat.

Sebentar Shizune masih menungguiku, kami sedikit mengobrol tapi kulihat dia tampak gelisah seperti ingin pergi keluar. Mungkin dia ingin kembali ke halaman belakang untuk memberi makan Tonton, hewan peliharaan Kepala Sekolah yang juga dia sayangi. Jadi aku bilang saja bahwa aku tak perlu terus diawasi, lagipula tak ada lagi yang kubutuhkan selain tidur. Dan dia pun tampak senang mendengarnya.

“Aku akan kembali sebelum bel pelajaran berikutnya berbunyi kok.” ucap guru itu langsung ngacir.

“Ckck, ya ampun…” aku terkekeh melihat tingkahnya.

Suasana mendadak hening. Sejenak aku menatap langit-langit ruang kesehatan yang tinggi. Mungkin karena ada banyak obat di sini, sedikit tercium bau khas rumah sakit. Dari luar tak terdengar suara berisik. Hanya semilir angin dan gemerisik pepohonan yang terdengar menemani. Semuanya sekarang pasti sudah masuk kelas karena jam pelajaran juga sudah berganti. Aku penasaran apa Ino dan Hinata nanti akan datang menjengukku di sini. Sedikit cahaya mentari masuk melalui jendela. Menghangatkan ruangan namun tetap terasa sejuk, membuatku jadi cepat mengantuk. Dalam ketenangan seperti ini pantas saja banyak anak yang terkadang pura-pura sakit untuk sekedar bolos tidur di sini. Ya, seperti dia?

Aku palingkan wajahku menghadap ke arah Sasuke. Lupa kalau dia pun masih ada bersamaku. Tirai yang tadi ditarik oleh Shizune ternyata tak menghalangi kami sepenuhnya. Aku masih bisa melihat wajah lelaki itu tertidur dari sedikit celah yang terbuka.

“Rasanya seperti dulu…” gumam Sasuke tiba-tiba.

Aku terkejut mendengarnya sementara batinku bertanya-tanya, barusan dia mengigau atau memang dari awal hanya pura-pura tidur?

“Dulu…?” tanyaku heran.

Dan kedua onyx kelam itu pun terbuka lantas melirik padaku. Sambil membuka tirai lebih lebar, Sasuke miringkan badannya ke arahku sehingga kini kami jadi saling berhadapan, “Bedanya waktu itu kita tak sempat bicara seperti ini…” lanjutnya, semakin membuatku tak mengerti.

“Apa maksudmu?”

Lelaki itu tersenyum tipis, “Kau masih tak ingat?” dia malah balik bertanya padaku.

Aku menggeleng pelan, “Aku tak mengerti setiap kali kau bilang begitu, memang apa yang harus kuingat tentangmu?” Sasuke tak langsung menjawab. Dia hanya terus menatapku. Kulihat di matanya seperti tengah menyimpan sesuatu, “Siapa kau sebenarnya?” tanyaku.

“Uchiha Sasuke.” jawabnya datar.

“Hah ha haaah…” Aku tertawa kesal, “kalau sekedar nama aku juga tahu.”

“Lalu sejak kapan kau tahu aku?”

“Entahlah, mungkin sejak pertama kali kita bertemu di rumahmu.”

“Sebelum itu?” dia bertanya lagi.

Aku jadi merasa seperti sedang diinterogasi, “Tidak.”

“Masa?”

“Iya.” Aku yakin.

“Malam minggunya?”

Aku sontak terdiam, teringat peristiwa yang paling ingin kulupakan. Aku tak mau mengungkitnya. Fakta bahwa aku pernah bertemu Sasuke, sempat mabuk dan terbangun di ranjang bersamanya terasa seperti mimpi buruk bagiku. Walaupun ada banyak hal yang selalu membuatku penasaran tentang malam itu, tapi aku sudah memutuskan untuk melupakannya.

“Kita sudah bertemu bahkan sebelum kau mengenalku.” lanjut Sasuke.

“Aku tak mengenalmu, aku hanya sekedar tahu.”

“Kau tak tahu Sakura, kau tak pernah tahu aku.”

Aku sunggingkan bibirku, tersenyum meremehkan, “Dan aku juga tak mau tahu.”

“Tapi kebetulan selalu mempertemukan kita, kan?”

“Mungkin hanya kebetulan orang itu adalah kau.” ucapku.

“Kebetulan yang mengerikan,” Sasuke menambahkan, “kau pasti berpikir begitu.”

“Iya,” jawabku sambil mengangguk, “Dan aku jadi kesal, kenapa kau harus ada hubungannya dengan Itachi?” Mungkin bila lelaki yang kutemui di malam itu adalah orang lain, situasiku tak akan jadi serumit ini.

“Aku juga berpikir begitu,” lanjut Sasuke seolah mengerti. Dia berbisik, nyaris tak terdengar, “kenapa gadis itu harus kau?”

Deg

Aku lekas palingkan wajahku darinya, tak berani menatap langsung mata itu. Entah kenapa saat dia mengatakannya barusan perasaanku jadi aneh. Kuredam jantungku yang kembali berdebar kencang. Di benakku kini ada satu hal yang dari dulu ingin aku tanyakan padanya.

“Hei,” panggilku, sedikit meliriknya, “soal malam itu… a-apa kita…” bibirku gemetar, kalimatku sesaat tertahan. Aku masih ragu untuk menanyakannya, tapi—”apa kita benar-benar sudah melakukannya?” akhirnya pertanyaan yang selama ini kusimpan terlontar juga. Aku cengkeram erat selimut tipis yang menutupi sebagian tubuhku. Ternyata daripada mengatakannya, aku lebih takut mendengar jawabannya. Meski tak detail aku jelaskan, tapi pasti Sasuke mengerti apa yang kumaksud. Aku selalu takut sudah berhubungan lebih jauh dengannya tanpa aku sadari dan dia akan bilang ‘iya’.

Bukannya langsung menjawab, Sasuke malah sejenak terkekeh. Aku jadi tak kuasa menahan air mataku. Begitu terkumpul diatas iris, saat aku berkedip seketika saja mengalir. Tawa Sasuke pun pudar saat melihatnya. Dia lekas bangkit dari posisi berbaringnya. Sementara aku katupkan bibirku rapat-rapat supaya tak terisak.

“Tidak.” jawab Sasuke kemudian.

Aku kembali menatapnya, dalam hati masih tak percaya, “Kau tak bohong?”

Onyx itu terlihat teduh. Sasuke tersenyum tipis, “Tak perlu khawatir, kita tak sampai melakukannya kok.”

“Hah, benarkah?”

“Kalau terjadi sesuatu, aku pasti akan bertanggung jawab.”

Emeraldku membulat, “Ta-tanggung jawab kau bilang!?” Aku melohok mendengarnya, “Kau gila!” teriakku, “Jadi yang benar yang mana?” Aku kembali merasa takut, “Tanggung jawab itu maksudmu…” Aku masukkan kedua tanganku ke dalam selimut dan mendekap erat perutku. Hal-hal yang paling kutakutkan lekas mengisi pikiranku.

“Pppfftt…” Tapi di saat panik seperti ini Sasuke kembali menahan tawa, “bercanda.” lanjutnya dan langsung saja kuhadiahi lemparan bantal tepat ke wajahnya.

“Sialan. Jangan permainkan aku dengan lelucon konyol seperti itu, baka!” teriakku.

“Maaf.” ucapnya.

Aku masih ingin mengamuk tapi akhirnya hanya menghela nafas panjang, “Syukurlah kalau memang kita tak melakukannya, aku juga merasa lega.”

“Hn.”

Diam sejenak.

“Kau ingin tahu apa yang terjadi malam itu?” tanya Sasuke.

Aku tak menjawab, hanya kembali balas menatapnya. Habis aku juga bingung, antara ingin tahu dan tak mau tahu kebenarannya. Aku menelan ludah saat dia mulai bercerita.

“Kau tahu sebenarnya aku tak berniat menghadiri pesta itu, makanya aku baru datang di tengah acara. Entah kau ingat atau tidak, tapi tiba-tiba saja kau pingsan dan jatuh menimpaku. Situasi langsung panik. Karena kau tak kunjung sadar, Sai jadi terpaksa membubarkan pestanya lebih awal. Setelahnya kami bingung harus bagaimana mengurusmu karena kau bahkan tak mau melepaskanku.”

“Eh, tunggu bentar!” selaku penasaran, “maksudnya tak mau lepas itu jadi aku terus memelukmu?”

Sasuke mengangguk.

“NOOOOO!” Aku terkejut tak percaya. Aku tak pernah mabuk sebelumnya, mana aku tahu akan bertingkah aneh begitu.

“Mau kulanjutkan?” tawar Sasuke.

“Memangnya kalian tak berusaha melepaskanku?” tanyaku heran.

Sasuke mengangkat bahu, “Hmm, kau seperti menemukan guling paling nyaman di dunia untuk kau peluk dan langsung mengamuk saat dilepaskan. Jadi terpaksa mereka meninggalkanmu bersamaku. Kita berdua menunggu taksi di pinggir jalan. Niatku akan langsung menyerahkanmu pada supir taksi dan memintanya mengantarmu sampai rumah. Tapi ternyata kau malah memuntahiku. Kalau ingat baunya, aku masih merasa jijik sampai sekarang.”

Mulutku menganga lebar. Kutarik selimutku sampai ke bawah mata, sungguh merasa malu, “La-lalu…?”

“Kau juga tak berhenti muntah dan mengigau, lalu pingsan lagi di jalanan. Aku tak pernah merasa dipermalukan seperti itu oleh siapa pun. Aku sampai kesal dan ingin sekali membuangmu waktu itu. Tapi… yah, aku juga tak bisa begitu saja mengabaikanmu.”

“Jadi kau terpaksa membawaku ke hotel itu?” tebakku.

“Cuma tempat itu yang bisa kutemukan di dekat sana.” Sasuke menambahkan.

Bisa kubayangkan apa yang terjadi selanjutnya. Aku dapati pagi hari terbangun dengan sosok Sasuke setengah telanjang mungkin karena dia melepaskan pakaiannya yang basah gara-gara muntahanku. Dia membaringkanku di ranjang juga karena aku pingsan. Itu cukup logis.

“Tapi…” kusentuh jenjang leherku, teringat tanda merah yang dia tinggalkan, “kau tak punya alasan sampai bikin kiss mark segala, kan?” Aku kembali menyalahkan Sasuke, “Jangan-jangan kau memanfaatkan keadaan untuk berbuat sesuatu saat aku tak sadarkan diri?”

“Itu kan kau yang minta.” jawab Sasuke santai.

“EH!? EEEEHHH?! Aku yang minta?” Aku melohok tak percaya, “Bohong. Jangan bercanda. Bagaimana mungkin aku sampai menyuruhmu…”—menggerayangiku, misalnya. Satu kata itu tak sanggup kuucapkan langsung padanya. Memikirkannya saja membuatku merinding, “memang kau tak bisa menolak?” pekikku.

Sasuke tampak salah tingkah. Sebentar dia palingkan wajahnya, sengaja menghindar. Tapi sudut bibir itu terangkat, sekilas tersenyum, “Tak bisa.” jawabnya.

“Yang benar saja…” dengusku sambil mengusap wajah.

“Makanya sering kubilang bisa-bisanya kau tak mengingatku setelah kejadian itu, padahal kau duluan yang menggodaku.”

“Tidak. Itu tidak mungkin.” Aku menggeleng-gelengkan kepala, menolak kenyataan itu. Aku masih tak bisa menerima fakta bahwa semua ini terjadi karena kesalahanku sendiri.

“Kau masih ingin dengar detailnya?” tanya Sasuke sambil mengangkat sebelah alisnya, tampak nakal.

“Cukup, aku tak mau dengar!” kusembunyikan diriku dalam selimut, gemetar didalamnya. Kaa-san, Tou-san, apa yang sudah putrimu ini lakukan? Maafkan aku. Ini akan jadi aib seumur hidupku. Aku gelisah dan mulai menangis. Haruskah aku tanyakan padanya sudah sejauh mana? Rasanya aku tak bisa. Itu pasti akan sangat memalukan. Kalau bisa aku ingin menghilang saja sekarang dari dunia ini.

TIDAAAAAAKKKK!

Selama aku mencoba menenangkan diri, Sasuke tak banyak bicara ataupun melakukan sesuatu. Dia tetap diam di tempatnya dan hanya memerhatikanku—entahlah, tapi saat aku sudah merasa lebih baik dan membuka selimutku, kulihat dia masih di sini.

Perlahan aku mulai menghela nafas, “Ka-kau tak akan ceritakan hal ini pada yang lain, kan?” tanyaku dengan suara bergetar. Kuseka air mata dan ingusku dengan ujung lengan baju olahraga.

Sasuke mengangguk, “Tentu saja, itu juga hal yang memalukan untukku.”

“Ini akan jadi rahasia kita berdua. Janji?” tanyaku sembari mengacungkan sebelah jari kelingkingku.

Sasuke berjalan mendekat. Dia tautkan pula jari kelingkingnya, “Aku janji, tapi aku minta sesuatu darimu…”

“A-pa?” tanyaku gugup. Tatapan onyx itu seperti mengunciku. Kusadari dia condongkan wajahnya terlalu dekat dengan wajahku.

“Berhentilah berharap pada kakakku, Sakura.” bisik Sasuke.

Emerald membulat. Aku hempaskan tanganku dan mendorong lelaki itu menjauh, “Tak bisa. Aku tak mau melakukannya. Jangan bawa-bawa Itachi dalam hal ini.”

“Ehm…” Sasuke tersenyum getir, “Percayalah itu demi kebaikanmu.”

Cklek

Kedatangan Shizune-sensei menginterupsi kami berdua.

“Ah, kau sudah bangun. Kalau tak sakit, sana cepat kembali ke kelas.” ucapnya pada Sasuke.

“Hn.”

Sasuke lekas berbalik dan melangkah pergi. Aku masih memerhatikannya sampai dia keluar dari ruangan.

“Kau sudah merasa lebih baik sekarang?” tanya Shizune padaku.

“Malah jadi tambah pusing, bu.” kataku sambil mengacak-acak helaian rambut merah mudaku.

Aku menyadari sesuatu saat sejenak menengadah menatap langit cerah hari ini. Jarang kulihat ada matahari dan bulan di waktu bersamaan. Kalau diibaratkan Itachi adalah matahari, maka Sasuke adalah bulan. Meski terlalu menyilaukan hingga terkadang pedih saat menatapnya, cahaya matahari yang terang dan hangat membuatku lebih tertarik dibanding cahaya bulan yang dingin dan tampak suram. Adanya matahari di saat kuterjaga kadang membuatku tak tahu bulan pun sebenarnya ada. Tapi memang bulan terlihat karena ada matahari, seperti halnya aku menyadari kehadiran Sasuke karena Itachi.

Aku baru berpikir kalau Sasuke itu sebenarnya baik tapi dia kembali menjahatiku. Aku tak tahu alasan mengapa dia tampak begitu menghalangi kedekatanku dan Itachi. Mungkin kebetulan yang terjadi antara kami di malam itu terlalu membawa perasaannya. Aku sendiri tak mau terlalu percaya diri beranggapan bahwa Sasuke menyukaiku. Entahlah, tapi permintaannya yang memaksaku untuk berhenti berharap pada Itachi seolah menyembunyikan sesuatu. Itu demi kebaikanku? Memang apa yang akan terjadi? Apa dia khawatir kelak aku akan menjadi kakak iparnya? Yang benar saja, pikiran seperti itu masih terlalu dini.

Lamunanku buyar saat kurasa ada yang mencolek bahuku. Aku menoleh dan tersenyum saat melihat Itachi sudah berdiri di sampingku.

“Maaf lama,” katanya baru datang, “hei, kenapa kau malah menunggu sambil berdiri? Kakimu tak apa-apa?”

Aku menggeleng, “Tidak kok, aku juga baru datang.” Aku sedikit melirik pergelangan kakiku yang terkilir. Dua minggu berlalu sejak kejadian itu dan sekarang sudah tak begitu sakit. Tapi aku masih membalutnya sekedar untuk jaga-jaga.

“Yakin masih mau teruskan?” tanya Itachi ragu, “kita bisa tunda sampai kau benar-benar sembuh.”

“Yakin,” jawabku mantap. “tenang saja kak, aku tak akan minta kau menggendongku bila aku sampai terjatuh.” lanjutku sambil bercanda.

“Haha, syukurlah klo begitu. Karena aku pun tak mau melakukannya,” balas Itachi, entah bercanda atau serius bikin aku jadi baper sendiri, “Ayo!” Lalu kami pun mulai berjalan menyusuri jalanan ramai di disrik Konoharajuku.

Ingat janji kencan yang gagal waktu itu? Hari minggu ini Itachi memenuhinya. Kebetulan dia sedang ada waktu luang dengan tidak ada gangguan dari teman-teman Akatsuki rese-nya. Aku harus pastikan kencan kali ini benar-benar sukses. Aku sudah lakukan banyak persiapan mulai dari penampilanku, tempat-tempat yang akan kami kunjungi juga topik menarik apa saja yang bisa kubahas saat mengobrol nanti. Aku pun sampai tanya-tanya pada Ino dan Hinata yang sudah punya pengalaman kencan lebih banyak. Dan puncaknya nanti aku harus siapkan diriku untuk sesuatu yang penting. Hari ini aku berniat menyatakan kembali perasaanku dan meminta jawabannya. Aku tahu aku tak bisa terus menunggu tanpa kepastian seperti ini.

Sampai saat ini semuanya sempurna. Kami bergembira dan aku senang melihat Itachi tampak menikmati saat-saat bersamaku. Aku merasa kami semakin dekat dan jadi saling mengenal satu sama lain. Aku yakin harapanku akan menjadi kenyataan.

“Lalu kau tahu apa yang dilakukan Sasuke saat aku berpura-pura mengambil mainannya? Wajahnya hampir menangis, mungkin dia tak rela tapi dia malah memberikannya padaku begitu saja, hahaha… padahal itu mainan kesayangannya. Adikku itu memang lucu sekali.”

Saat ini kami sedang menikmati sepotong cake dan parfait di sebuah cafe. Sepanjang hari ini Itachi banyak bercerita, bahkan sambil tertawa-tawa kalau membicarakan Sasuke. Aku memang tak punya saudara, tapi kurasa sepertinya hubungan mereka begitu erat.

“Meskipun begitu kadang aku khawatir…” Tiba-tiba nada bicara Itachi berubah. Dia menundukkan pandangan tampak sedang memikirkan sesuatu.

Aku pun jadi penasaran dan ikut merasa cemas, “Apa terjadi sesuatu?”

“Ish, gimana ya… Sasuke itu kadang tak bisa jujur bahkan pada dirinya sendiri. Kalau seperti itu terus mungkin dia akan kesulitan untuk mendapatkan hal yang dia inginkan.”

Sesaat aku tertegun mendengarnya. Mereka berdua saling memikirkan. Pantas saja selama ini Sasuke bersikap begitu.

“Ya, entah apa mungkin karena memang dia agak tsundere, hahaha…” Itachi kembali tertawa.

Kenapa bila dipakai untuk bersenang-senang waktu serasa berjalan cepat? Langit sudah gelap saat kami keluar dari gedung bioskop sehabis menonton. Saat kulihat jam di pergelangan tanganku, sekarang sudah menunjukkan pukul tujuh lebih. Tak terasa waktu berlalu dan aku masih belum bertindak apapun. Aku terlalu larut dalam kegembiraan sampai lupa pada misiku yang utama. Sekarang sudah di jalan pulang dan aku belum juga nembak Itachi.

“Kau bersenang-senang hari ini?” tanya Itachi.

“He’em,” Aku mengangguk sambil tersenyum, “terima kasih.”

“Tidak, aku yang berterima kasih. Dan maaf baru bisa memenuhinya sekarang.”

“Kalau kakak sendiri bagaimana?” tanyaku.

“Ya, tentu saja. Aku sudah lama tak bersantai seperti ini.”

“Apa kakak senang bersamaku?”

“Iya,” Itachi menoleh padaku dan meletakkan sebelah tangannya di atas kepalaku, “kau tahu betul cara membuatku merasa nyaman, hehe, gadis pintar…” dia acak-acak helaian rambutku.

“Kalau begitu…” Kuhentikan langkah dan mengangkat pandanganku, menatap wajah lelaki yang terpaut jauh lebih tinggi dariku itu. Jantungku berdebar-debar. Kucengkeram tali tas selempangku menahan rasa gugup. Ini lebih dari sekedar aku menuangkan perasaanku dalam surat cinta yang kuberikan. Sekarang aku berdiri di sini, di hadapannya untuk benar-benar menyampaikannya langsung, “Aku selama ini menyukaimu. Kak Itachi mau jadi pacarku?”

Itachi tampak terkejut. Dia turunkan tangannya dari atas kepalaku dan tampak salah tingkah. Aku semakin gugup karena dia masih tak bicara apapun.

“Aku tahu aku ini tak begitu menarik. Aku juga sepertinya bukan tipe wanita kesukaanmu. Tapi aku akan berusaha dan aku benar-benar berharap. Kak Itachi sudah baca suratku waktu itu, kan? Aku sudah jatuh cinta padamu sejak pertama kali kita bertemu.”

Sejenak Itachi mendehem dan mengangguk-angguk. Dia menghela nafas panjang, mulai akan bicara serius, “Iya, aku sudah baca suratmu. Aku mengerti alasanmu dan tampaknya kedekatan kita seperti memberimu harapan ya? Aku minta maaf.”

Mendengar kata ‘maaf’ membuatku murung. Aku tahu itu bisa jadi awal dari sebuah penolakan.

“Tapi… ada satu hal yang harusnya aku sampaikan padamu sejak awal, Sakura,” lanjut Itachi. Onyx yang menatapku itu seperti merasa bersalah, “selama ini kau sudah salah paham padaku. Tentang cara kita bertemu, aku ini, aku sebenarnya bukan orang yang sudah menye…”

“Tunggu, kak!” selaku tiba-tiba sembari mengangkat sebelah tangan, minta interupsi. “Langsung saja bilang Ya atau Tidak. Aku tak mau mendengar banyak alasan sebelum dapat jawaban.”

“Ppfftt…” Itachi menahan tawa, mungkin dia anggap aksiku barusan lucu, “kalau alasanku itu justru menentukan jawabanku bagaimana, hah?” tanyanya sambil terkekeh, “dasar kau ini, dengar dulu dong apa yang kubilang, hahaha…”

Mendengarnya sampai tertawa renyah, aku kerucutkan bibirku, masang tampang cemberut, “Orang lagi serius malah diketawain.”

“Bukan gitu maksudnya, justru kau yang tadi malah bikin ketawa.”

“Ya sudah kalau begitu lanjutkan…”

“Lupa lagi tuh,” canda Itachi, “tadi aku mau bilang apa coba?”

“Yeh, gimana sih…” Aku memukul-mukulnya pelan.

Sebentar kami jadi bercanda. Ini memang sedikit mencairkan suasana tegang yang ada. Tapi entah suatu kebetulan atau takdir, di saat seperti ini hal yang tak terduga pun malah terjadi.

“Kyaaa…”

JDUK

“Adududududuh…”

Aku terkejut saat melihat seorang gadis tiba-tiba jatuh dari undakan tangga keluar sebuah restoran di dekat kami.

“Hei, kau tak apa-apa?” Lekas saja aku menghampiri dan membantunya berdiri. Sepertinya barusan dia terpeleset karena salah langkah atau high heels yang dikenakannya terlalu tinggi. Nyut—dan aku sendiri salah bertindak. Saking terburunya barusan aku terlalu menekan kaki kiriku yang terkilir. Rasanya jadi berdenyut lagi.

“Ahaha, iya, makasih. Duuuh~…” ringisnya sambil mengusap-usap pantat. Pasti sakit sekali dan malu karena orang-orang yang melintas di trotoar ini jadi memerhatikannya, “mampus aku…” dengusnya sebentar menutup wajah, membuatku sejenak terkekeh. Gadis ini lucu sekali. Tak lama dia rapihkan rambut panjangnya dan barulah aku merasa seperti pernah melihatnya.

“Eh, kau yang waktu itu?” tanyaku padanya.

“Ya?” bola mata berwarna kelam milik gadis itu menatapku tampak heran.

Aku kenali setitik tahi lalat kecil di dekat mata kanannya dan tersenyum gembira ketika aku yakin itu dia, “Iya, aku yakin itu kau. Aku tak menyangka bisa bertemu lagi denganmu,” aku menepuk-nepuk dadaku, “kau ingat aku yang waktu itu kau tolong di bis? Membayar ongkos dan membelaku di depan supir saat aku ketinggalan dompetku. Apa kau masih ingat?”

Alis gadis cantik itu bertaut tampak sedang mengingat-ingat, “Bis?” sejenak dia menelisik memerhatikan wajahku. Lalu tangannya memegang ujung rambut merah mudaku, “Ah iyaaaa…” teriaknya kemudian, “si gadis bubblegum!” dia menunjuk wajahku, “aku ingat kamu.”

“Ahahaha, syukurlah…” Aku masih tersenyum lebar, “terima kasih bantuanmu waktu itu.” ucapku sambil sedikit membungkukan badan.

“Iya, iya… dan terima kasih pula sudah menolongku barusan,” balasnya tak kalah ceria denganku, “kebetulan ya kita bisa bertemu kembali.”

“He’em.” Aku mengangguk-angguk.

“Kebetulan apanya?” tanya seseorang tiba-tiba menyela.

Aku seperti mengenal suara itu. Sementara si gadis asing lekas menoleh ke belakang melihat sosok lelaki yang berdiri di ujung anak tangga pintu restoran tadi.

“Aku jatuh~…” kata si gadis terdengar manja sambil mengerucutkan bibirnya, “kau lama, jadi aku keluar duluan tapi malah terpeleset. Untung saja ada yang langsung menolongku.” Gadis itu menyingkir dari hadapanku sekedar ingin menunjukkan diriku pada kenalannya dan saat aku angkat pandanganku, aku terkejut mendapati siapa yang ada di hadapanku.

Deg

Mata kami sejenak bertatapan. Aku terkejut. Tak salah dengan apa yang kulihat!?, cengangku dalam hati. Seperti bulan yang nampak di langit malam kini tak lagi tertutup awan—Kenapa Sasuke ada di sini?

“Hn!?”

Dia juga tampak terkejut melihatku. Tapi kami berdua langsung diam seribu basa. Sasuke perlahan berjalan menghampiri saat gadis itu memanggilnya supaya mendekat. Aku tak tahu apa di saat seperti ini kami harus berpura-pura tak saling kenal?

“Eh, hei, kau tahu, aku dan dia dulu sempat gak sengaja ketemu…” Gadis itu bicara pada Sasuke seperti sudah lama saling mengenal.

Sementara itu Sasuke mengedarkan pandangannya dan terpaku ke arah Itachi. Aku juga ikut berpaling. Sesaat aku lupa bahwa aku sedang bersamanya. Itachi masih ada di sana. Diam dan hanya menatap kami. Ekspresinya berubah. Sulit kuartikan. Tadinya kupikir situasi ini hanya untuk kami bertiga. Aku, Sasuke dan Itachi. Sampai si gadis asing itu tak kusangka akan berlari dan malah berhambur memeluk Itachi.

“Senangnyaaaaa…” ucap gadis itu, “senangnya aku bisa bertemu lagi denganmu.”

Itachi tak balas memeluk. Tubuhnya seperti membeku, “I-zu-mi…” Baru kali ini aku melihatnya seperti itu. Seolah Itachi baru mendapatkan kejutan luar biasa, “kenapa kau ada di sini?”

Dan tiba-tiba saja peranku pun berubah menjadi orang asing diantara mereka bertiga.

.

.

.

TBC… Next to Chapter 6

.

.

.


Author Note:

Hai, Hehehehehe… Apa saat aku muncul, aku akan ditimpuk? (^-^)a

Kyaaaa… mohon maaf atas keterlambatan tak terkira pada cerita ini. Terasa sudah setahun lebih ya tidak dilanjutkan *sungkem* semoga cukup memuaskan, walau jadinya ini ff masih aja absurb. Uyuhan atuh da dilanjut juga, huhuhu *terharu pada diri sendiri* sebenarnya klo niat, jadi lho seminggu juga, mwehehehe…

Tiba-tiba ini ff dilanjut lalu bersambung dengan kemunculan seorang gadis asing? Siapakah dia sebenarnya? Ada hubungan apa dengan Uchiha bersaudara? Sedikit gambaran bisa disimak di Side Story setelah ini ya.

Makasih banyak buat yang udah baca, juga review, juga nagih, juga mengingatkan saya selama setahun ini supaya minta dilanjut. Bahkan sampai ada yang berkali-kali dan sering mengingatkan saya, saya sangat bersyukur ada yang masih peduli sama ff ini. Rasanya pengen peluk kalian satu-satu *gyut* Nah, silakan barangkali klo ada yang ingin disampaikan komen saja. Saya sangat menghargai pendapat kalian dan maaf klo ga bisa bales satu-satu 😀

Special Thanks to Reviewers:

Ayu Dwie, Cinta Lusyafi, Nadya Harvard, Haneefah, Pipiey Ao, Handa, Uchiha Safitri, Uzumaki Safitri 41246, Ayra Uzumaki, Layla, Aya-Chan, AyuGita, Ifa-Chan, Rury, Widhia, Sakura Kirameki, Louis, Sachika Arikazuto, Aryo Namikaze, Say, Uchiha Rien, Sunggaeul, Hatake Winda, Farah303, Ohsehun, Loisadl, Thelycia, Linasel, RaiNee Dewy, Fahreza Arpianti Putri, Nanda Nabila, Ayra Kim, Siti Humaery Farhah, Sitinaya Aisyah, Putri Kusuma, Mary Elshiro, Ayu Dwi, Nurul Afiqah, Poppy Erliana Gultom

And

All of You Silent Readers

Maaf mungkin banyak yang gak kesebut, terutama buat yang komen di LINE, FB, Twitter, dsb


.

.

.

DAREKAGA

(Side Story)

.

.

.

Setetes, dua tetes, tiga tetes air jatuh dari langit, disusul jutaan tetes lainnya kemudian. Hujan yang turun tiba-tiba membubarkan kerumunan orang di jalanan. Sebagian ada yang lekas membuka payung mereka, namun yang tak bawa segera mencari tempat berteduh. Sepasang anak remaja di bawah naungan sepotong jaket yang sudah basah pun tampak berlarian menuju gazebo di tengah taman.

“Yah, kenapa tiba-tiba turun hujan sih…” dengus si gadis. Dia seka air yang sedikit membasahi rambut panjang dan pakaiannya, sementara yang lelaki mengibaskan jaketnya yang basah usai dipakai jadi payung darurat tadi. Dia hanya menatap gadis itu dan terkekeh.

Mereka adalah Itachi Uchiha dan Izumi Uchiha. Usia mereka hanya beda beberapa bulan, tapi karena Izumi lebih dulu masuk sekolah dasar maka dengan Itachi jadi beda satu angkatan. Dari kecil mereka sudah akrab dan sering main sama-sama. Walaupunmasih satu marga Uchiha dan merupakan saudara sepupu jauh, tapi masih memungkinkan bagi mereka untuk menikah. Itulah sebabnya diam-diam Itachi menyimpan perasaan pada Izumi. Bisa dibilang gadis itu adalah cinta pertamanya.

Hujan di sore hari itu tak terlalu deras tapi anginnya cukup kencang dan gazebo tempat mereka berdua berteduh pun sudah bobrok. Air hujan sedikit demi sedikit menetes dari beberapa lubang di atap yang bocor. Melihat ke sekeliling tak tampak ada orang lain di sekitar sini. Sepertinya mereka salah memilih tempat berteduh.

Sementara memecah keheningan di antara suara deru air yang turun, mereka berdua asyik bercengkrama. Antara obrolan ringan, saling bercanda dan main tebak-tebakan. Di tengah itu semua Itachi kadang memerhatikan Izumi yang mulai memeluk tubuhnya erat-erat dan mengeluh kedinginan. Kalau saja Itachi bernyali, dia akan langsung memeluk gadis itu dan memberinya kehangatan. Tapi sekedar untuk menawarkan hal itu saja rasanya dia tak berani.

Hanya karena lahir lebih dulu, selama ini Izumi menganggap Itachi seperti adik lelakinya. Padahal Itachi terkadang justru lebih dewasa ketimbang Izumi. Tapi Izumi selalu bertingkah seperti seorang kakak perempuan bagi Itachi dan Sasuke. Sebagai teman sedari kecil dia begitu perhatian pada dua Uchiha itu. Izumi juga gadis yang baik dan senang membantu orang. Karena sifat itulah Itachi menyukainya. Dia jatuh cinta pada Izumi sejak pertama kali mereka bertemu di pertemuan keluarga dan membela Itachi yang diganggu saudara-saudara nakal mereka yang iri.

“Eh, kenapa kau sekarang jadi lebih tinggi ya?” tanya Izumi, menyadari tingginya hanya sebatas bawah dagu Itachi saat mereka berdiri bersebelahan.

“Tentu saja, aku kan tumbuh,” kata Itachi, “memangnya kau, yang dari kecil kayaknya gak ada perubahan.” Onyx hitam lelaki itu melirik sesuatu pada Izumi.

Izumi terbelalak, sontak menutup dadanya dengan kedua tangan saat dia sadari apa yang dimaksud Itachi, “Mesum! Aku juga sudah tumbuh tau!” ucapnya sedikit ketus, merasa tak terima. Itachi terkekeh melihat sikap Izumi seperti itu. Kemudian gadis itu ulurkan sebelah tangannya, “Setidaknya aku masih bisa menyentuh kepalamu.” lanjutnya sambil mengacak-acak poni rambut Itachi.

Diperlakukan seperti ini, di sisi lain Itachi merasa senang sekaligus sedih. Mereka berdua masih bisa seakrab ini tapi apa yang dipikirkan Izumi tentang dirinya?

“Wah, rambutmu juga sudah tumbuh lebih panjang rupanya,” lanjut Izumi, “kau ini gak pernah cukuran ya?”

“Lupa,” jawab Itachi, “aku akan potong besok.”

“Tunggu!” kata Izumi tiba-tiba, dia tarik kembali tangannya yang daritadi membelai rambut Itachi. Sebentar gadis itu menarik karet rambut miliknya dan tersenyum jahil, lalu meminta Itachi berbalik. Tanpa bisa protes pada tindakan teman semasa kecilnya itu, Itachi pasrah saja saat Izumi melakukan sesuatu pada rambut gondrongnya, “haha, begini jadi lebih baik.” ujar Izumi.

“Hei, apa yang sudah kau lakukan padaku?” Itachi pegang belakang kepalanya dan menyadari rambut panjangnya kini dikuncir, “aku jadi seperti anak perempuan.”

Gadis itu terkikik geli, “Tidak kok, hihihi… sumpah.” Izumi mengangkat dua jari tangannya.

Dahi Itachi mengerut, tampak tak suka.

“Ayolah, kau pantas dengan penampilan ini,” hibur Izumi, “kau lebih terlihat tampan.”

“Benarkah?” tanya Itachi ragu.

“Benar.”

Itachi terdiam, matanya sejenak menatap Izumi, “Kau suka?” tanya Itachi kemudian.

Izumi mengangguk-angguk, “Aku suka. Sangat suka sekali.”

“Padaku?” Itachi maju selangkah lebih dekat, hingga membuat Izumi semakin menengadahkan kepalanya menatap lelaki itu.

“I-iya…” Gadis itu tampak gugup saat Itachi menyentuh dagunya.

“Kalau begitu jadilah pacarku.” ucap Itachi lantas mengecup bibir Izumi.

Onyx si gadis mengerjap beberapa kali. Izumi katupkan bibirnya yang sesaat kaku. Dia cerna kembali apa yang barusan terjadi. Rasanya seperti mimpi. Tapi kalau hanya mimpi, jantungnya tak akan berdebar-debar seperti ini. “Haaaah?!” hela Izumi tak percaya. Dia pegang kedua pipinya yang jadi terasa hangat, “kenapa pacar pertamaku harus dengan bocah SMP?”

Itachi terkekeh melihat tingkah Izumi, “Tahun depan aku juga akan jadi anak SMA dan menyusulmu ke Konoha Gakuen,” Dia lekas menarik tangan gadis itu dan memeluknya, “jadi tunggu aku ya, my lovely senpai.

“He’em.” Izumi mengangguk dan mengeratkan dekapannya. Hujan di luar masih deras dan tak ada tanda-tanda akan berhenti. Tapi kini gadis itu tak lagi mengeluh. Dia dapatkan orang yang disayangi hadir untuk menghangatkan dirinya.

.

.

.

FuRaHEART

[200716]

Mind to Review?

 

29 Comments

Leave a Reply

One Ping

  1. Pingback:

Leave a Reply to Ayra Uzumaki Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *